Oleh: Dimas Arika Mihardja
Topik puisi yang digubah oleh Akhmad Fatoni dapat diklasifikasikan dalam lima kategori berikut (1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan. Akhmad Fatoni sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indonesia menaruh perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.
Persoalan-persoalan edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius itu pada gilirannya merupakan manifestasi dari kristalisasi nilai-nilai yang dijadikan penuntun, pemandu, pedoman, pengendali, rujukan, tolok ukur ucapan, tindakan, dan perilaku penyair sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Lebih lanjut, nilai-nilai itu bagi penyair berfungsi mendasari, merangsang, mendinamiskan, mendorong, menggerakkan, dan mengarahkan tindakan penyair dalam berkarya sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Hasil dari itu semua adalah dibuahkannya puisi yang mendedahkan nilai-nilai edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius. Nilai-nilai ini secara samar dan tersirat meruak di dalam puisi-puisi Akhmad Fatono seperti beberapa kutipan berikut.
Kutipan 1:
surat
:DAM
kota ini, ternyata telah memutus sendi kesetiaanku
mengelupas berlahan-lahan yang menyisakan ingatan perih
di bulir-bulir doaku. aku bermunajat yang mungkin
sangat miris bila kau dengarkan. sebab sayapku telah
menyerupa kupu-kupu dan memilih terbang meninggalkanmu
bersama semangatmu yang telah digerogoti anggur, arak, dan
semacamnya. sehingga yang tertinggal hanya potret-potret harapan
yang usang.
aku menyadari metamorfosis tulisanmu, ketika kulafalkan
dengan ejaan yang terbata di setiap surat kabar yang membungkus
senyummu dengan galaksi rindu pada tegukan-tegukan yang
memengaruhi kekolotan pikiranmu akhir-akhir ini. dan kau
seenaknya menyalahkan lingkungan. sadarkah fajar pagi itu
membawa belati yang akan memutuskan namaku dari sehelai kafan
yang tak pernah terjamah di pojok kamarmu itu. tapi tahukah kau
aku memilih kematianku saat desir angin menyampaikan kabar tipis
yang bugil darimu. sebab kabar itu, meletiklesitkan pusat mimpi-mimpiku
dan kini aku terlahir kembali menjadi seorang bayi
Kutipan 2:
malam kesekian di trowulan
malam itu terasa begitu sunyi
hanya lantunan nada-nada yang
mengantarkanku pada kesunyian
yang abadi
sepanjang perjalananku inilah
malam yang paling lenggang
sebab suara-suara yang sesekali
terdengar telah menelanjangi rinduku
dan aku memilih membiarkan malam ini tetap menjadi
malam yang buta. sebab kailku tak lagi memunyai umpan
untuk memancing percakapan kumbang kecuali sosokmu
yang bergoyangan karena hembasan anggur yang telah membisu
sebab itulah tanda dari yang kuterjemahkan
setelah sekian lama aku menunggu bersama dingin
hanya demi sisa angin yang terselip di harapanku
bila esok kampung ini menjelma elegi
aku ingin bibirmu merapal janji tentang perjamuan mimpi
yang selalu kau tawarkan
tapi maaf, seusai aku merapal wajahmu
kini aku harus menanggalkan baju untuk kelahiran puisiku.
Kutipan 3:
sore hari
hari ini mungkin penuh air, basah di mana-mana.
air hujan meninggalkan kenangan di baju dan celana.
sungguh air mampu merusak konsentrasi,
menanam wajah kuyu, lesuh dan senyum pun seperti
enggan bertengger lagi di kedua bibir yang mungil.
setidaknya hujan sudah memenuhi kewajibannya
dan airmata kini tetap saja menggoda
membasahi retina dan meretaskan luapan di jiwa
yang sudah lama terpendam dan membatu.
20 januari 2010
Kutipan 4:
jauh
jauh sebelum kau menaburi tamanku dengan bunga-bunga
airmata, aku telah merasakan ketakutan
yang menjamah tubuh ini
dengan hati yang tak lagi seindah
senyuman di bibirmu
jauh sebelum kau meninggalkanku
pesakitan telah bersemayam di tubuhku,
di kepalaku, dan kau datang membisikkan
suara yang lirih di telingaku
karena kau takut kebohonganmu
didengarkan telinga-telinga di sekelingmu
Kutipan 5:
gemigil di tuban
kasri, kau menuai api yang
memanas, nian sungguh kau dekat dengan malang
air, genang, dan penyakit
datang menyapa dengan bertubi
mirip mendung yang tak kuat menahan air
dan menjadikannya hujan
sungguh ingin aku memelukmu kasri
memeluk dengan iba
dan dentum yang menggema
membawa baju, sekardus mi instan, dan obat-obat
yang di jual murah di apotek-apotek
sungguh mereka tak
kasihan melihat kasri, semua ditelan dan
dimasukkan kantong dengan diam-diam
dan mulai gusar ketika atm dibobol beruntun
dengan manis dan sangat ritmis
mereka tak bisa tidur
tiap malam mengerang dan membayangkan uang
sampai mata mereka merah seperti
mata merah kasri yang terundang
suara sumbang rumah, kasur, kursi, tv, dipan, piring,
semua terbawa air dan tiada yang tersisa
kasri, aku hanya mampu
menuliskan puisi, untuk melayangkan derita
agar luka pergi tertiup angin
31 januari 2010
Kutipan 6:
lelaki yang menari
ia datang dengan seutas senyum
dan memanggul tas hitam di pundaknya
tanpa bunyi ia menyapa lantai dengan
sepatunya.
dan dengan kacamata merah
ia duduk bersandar melahirkan anak-anak
yang akan membawanya pulang
pulang di awal bulan tanpa
oleh-oleh sebab upah belum kunjung keluar
lelaki itu tetap saja tersenyum
senyum dengan parfum yang
menyelimuti tubuhnya
membuat dirinya sewangi parfum
yang membawa angan gentayangan
"selamat malam, semoga air tak membuatku terlambat datang"
ujarku padanya malam itu
lalu aku pergi dan tinggal di dalam kata-kata yang tak
terpaksa diakhiri karena deadline koran yang harus terbit pagi.
31 januari 2010
Kutipan 7:
mengeja sunyi dalam senyummu
kita terlahir dengan keterpaksaan, seperti matahari yang ada di bibirmu
hidupku terlalu lekat dengan gelap, hingga sampai pada kening pekat
yang menguning di antara daun gugur, sementara wajahmu
sesejuk rerumput yang menabur benih suka dalam sukmaku
angin bersorai sebab mendengar teriak
cacing dari dalam perutku, yang menggema lagu perih
hingga melarutkan wajahku pada isarat tangis
yang mengalir, berbicara tentang waktu
tapi aku lebih suka menggigil, menemani bayangmu,
daripada mendengar istirah sunyi yang tak pasti
sebab aku rela mengeja kesunyian demi
setangkai maaf dan senyum suka dari bibirmu.
(2008)
Kutipan 8:
pintu gerbang
di dalam mulutnya aku tertelan
menyimpan lekuk-lekuk airmata
meneteskan keringat yang brengket
seperti roda-rodamu yang terus menggerusku
hingga menjadi tirus
kau biarkan aku terkunci di dalamnya
menyiangi wajah-wajah pasi di sisa subuh
yang tak sempat tersimpan di laci
karena mimpi pun tak sampai pada selimut pagi
keesokannya selalu kutemukan bungkus makanan, permen,
atau pun minuman penyegar yang terus
menatapku tanpa berkelakar
kita harus cepat melebihi kilat
seorang bertahi lalat, mendetumkan diktat-diktat
di otakku. sibuk menjejali dengan huruf yang tak
tahu malu. menumbuhkan luka yang teramat lusuh,
seperti jamur tiram yang urung mengembang
menghilangkan jenjang yang masih teramat panjang
biar saja kukurung petaka di ruang itu
sebab telanjur sudah aku memilin waktu.
itu kebijakan yang harus ditiadakan
kau masih tetap saja berkata,
sambil terus mengucurkan darah
di jiwa-jiwa yang telah teraniaya
mojokerto, 21 oktober 2010
Kutipan 9:
pertemuan kupu-kupu
kita terlahir dari sarang ke sarang
bersama angin yang mencipta lengang
aku masih ingat, saat tubuhmu mengeliat
merambat dari daun-daun rindu
menuju perseteruan semu di kepompong waktu yang menidurimu
beberapa atau separuh dari tubuhmu
yang menyatu
seperti negeri babi
berebut upacara penyuci
untuk reinkarnasi
biar terlahir lebih suci dari sepi
kadang memang aku tak sadar, ketika teringat
kisahmu yang legam. sebab kusimpan
dan kuerami hingga tumbuh menjadi sungu
tanpa mengelu tapi mampu menipu
seolah menutup lampu-lampu penerang
di setiap jalan di tubuhmu
kecuali sayap yang siap membuatmu melayang
aku tak pernah membayangkan
bisa bertemu secepat itu, aku mengira
baru kemarin kau dan aku mengeliat
tapi kini kita terbang dari batang satu ke batang yang lain
menjalin kisah yang hanya seujung kuku
mojokerto, 21 oktober 2010
Kutipan 10:
bunglon
:r.a.
seperti permulaan kisah kita,
kubiarkan kulitnya berubah-ubah. kita
mengawali kisah ini dengan bukit-bukit kecil,
saling mengejar dan berlari. aku datang
dengan menawarkan warna gincu
yang tak pernah kau oles di bibirmu.
menyelami lautmu yang amat dalam,
membuatku terengah-engah kehabisan rasa sayang.
airnya teramat asin, membuatku malu-malu kucing menahan
kencing di ujung kelamin. membuatku makin mbediding
untuk mengejarmu meski pintunya tak pernah kau kunci.
kubiarkan angan terus melayang, seperti katamu yang
tak pernah menyentuh daunku. hingga akar dan batangku
makin biru. sebiru wajahmu di tangkai waktu yang layu.
tapi aku seperti pencuri, yang mengendap-endap
mencuri warnamu yang terus berubah. kadang kuning,
merah, biru, hijau bahkan kelabu. tapi kisah kita tetap
seperti putri malu yang mengempis jika tersentuh.
kau merah dengan tawamu, aku biru dengan hatiku.
kau kuning dengan matamu, aku hijau dengan telingaku.
aku diam, tapi kau berubah menjadi kelabu.
selanjutnya aku membiarkan kisah itu tumbuh
dengan warna sesukanya.
mojokerto, 22 oktober 2010
Semua nilai-nilai itu oleh Akhmad Fatoni dikemas sebagai upaya penyampaian keindahan dan kebenaran melalui teks puisi. Nilai-nlai ini dijadikan prioritas bagi penyair dalam berkarya, meskipun jauh di lubuk hati penyair mungkin tidak dimaksudkan sebagai “petani yang sengaja menanam tanaman nilai-nilai”. Terkait dengan ini dapat dikemukakan bahwa setiap penyair, termasuk Akhmad Fatoni, dalam menciptakan puisi selalu berorientasi pada penyampaian nilai-nilai ini. Penyampaian nilai-nilai ini realisasinya berupa usaha maksimal penyair dalam menata bahasa dalam bingkai konvensi sastra dan konvensi budaya untuk mewadahi gagasan yang akan disampaikan melalui teks puisi. Salah satu cara ungkap yang digunakan oleh Akhmad Fatoni dalam penulisan kreatif puisi-puisinya ialah dengan cara “bilang begini, maksudnya begitu” atau meminjam ungkapan Riffaterre dalam Semiotic of Poetry (1978) “Says of thing and means another”.
Dalam konteks pengudaran dan pengendapan nilai-nilai ini pembaca dapat menikmati puisi-puisi Akhmad Fatoni yang secara umum dapat dicirikan sebagai puisi-puisi (1) remang-remang tetapi menawan, (2) puisi-puisi yang sarat dengan pemikiran filsafati, (3) puisi-puisi yang lincah mengolah kata-kata, (4) puisi-puisi yang sarat pemikiran kejawen, (5) puisi-puisi yang sederhana tetapi kuat dalam penyampaian pesan, dan (6) puisi-puisi yang mengolah ragam bahasa Jawa di beberapa puisinya.
Teks puisi yang diciptakan oleh penyair Akhmad Fatoni secara umum memiliki ciri ketidaklangsungan pengungkapan yang menurut Riffatere (1978) timbul akibat adanya penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. Karakteristik ketidaklangsungan teks puisi tersebut dirangkum dalam paparan berikut ini.
Pertama, penggantian arti. Di dalam teks puisi-puisi yang diciptakan oleh penyair Akhmad Fatoni pada umumnya kata-kata kiasan difungsikan untuk menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain.
Kedua, penyimpangan arti. Penyimpangan arti terjadi apabila di dalam puisi ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Di dalam puisi yang digubah oleh Akhmad Fatoni kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Di dalam teks puisi yang ditulis oleh Akhmad Fatoni juga terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir, sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan.
Ketiga, penciptaan arti. Menurut Riffaterre (1978:2) penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam teks puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme.
Teks puisi termasuk ke dalam jenis teks transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Teks puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena teks puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun teks puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, teks puisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa teks puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, teks puisi merupakan teks khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.
Teks puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam teks puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam teks puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi. Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari teks itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara. Teks itu sendiri dapat menyajikan fakta mengenai jenis kelaminnya, usia, wajah, dan pekerjaannya. Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu.
Hakikat epilog ialah penyampaian “pemandangan akhir” dari keseluruhan corak puisi-puisi yang termuat di dalam sebuah buku. Prolog ini kiranya telah memberikan gambaran bagaimana seorang Akhmad Fatoni “mengudar gagasan” dan “mengendapkannya” di dalam teks puisi. Upaya pengudaran gagasan, yang lalu ditindaklanjuti dengan pengendapan gagasan itu dikemas dengan karakteristik utama sebuah puisi yang pada prinsipnya: “Says of thing and means another”, bilang begini maksudnya begitu. Dengan prinsip ini, Akhmad Fatoni berhasil mengungkapkan topik puisi yang diklasifikasikan dalam lima kategori: (1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan. Secara ringkas dapat dikemukakan untukmengakhiri epilog ini bahwa Akhmad Fatoni sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indonesia menaruh perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.
Demikian, salam sastra.
Saya membaca esai kritik ini dengan seksama; dan, sungguh, terpesona dengan liak-liuk bahasa sajak Akhmad Fatoni yang dikutipkan. Puisi-puisi itu terasa seperti liatnya lepat beras ketan berisi kelapa yang manis. Tak bisa berhenti, sebelum habis.
BalasHapusSaya juga membaca teks penilaian Pak DAM atas puisi-puisi itu. Jujur, saya kira Pak DAM bersungkan-sungkan dalam mengulasnya, sehingga yang ditampilkan lebih pada banyak teori umum, tentang hal-hal jenderal yang sudah mesti ada.
Setiap orang memang berlainan cita rasanya. Saya, walau pun suka ombang-ambing sajak-sajak yang bagus itu, tetap tak berhasil masuk jauh ke hati. Puisi-puisi yang kuat, namun karena kecenderungan subjektif si penyair, saya jadi pergi membawa gambar-gambar. Memang, itu pastilah karena bias subjektifitas saya sendiri.
Secara keseluruhan, saya senang membaca teks esai ini, juga suguhan sajak-sajak yang dikutipkan. Karya yang bagus.