Rabu, 16 November 2011

PENGUDARAN DAN PENGENDAPAN NILAI-NILAI DALAM PUISI

Oleh: Dimas Arika Mihardja



Topik puisi yang digubah oleh Akhmad Fatoni dapat diklasifikasikan dalam lima kategori berikut (1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan. Akhmad Fatoni sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indonesia menaruh perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.

Persoalan-persoalan edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius itu pada gilirannya merupakan manifestasi dari kristalisasi nilai-nilai yang dijadikan penuntun, pemandu, pedoman, pengendali, rujukan, tolok ukur ucapan, tindakan, dan perilaku penyair sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Lebih lanjut, nilai-nilai itu bagi penyair berfungsi mendasari, merangsang, mendinamiskan, mendorong, menggerakkan, dan mengarahkan tindakan penyair dalam berkarya sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Hasil dari itu semua adalah dibuahkannya puisi yang mendedahkan nilai-nilai edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius. Nilai-nilai ini secara samar dan tersirat meruak di dalam puisi-puisi Akhmad Fatono seperti beberapa kutipan berikut.



Kutipan 1:

surat

:DAM



kota ini, ternyata telah memutus sendi kesetiaanku

mengelupas berlahan-lahan yang menyisakan ingatan perih

di bulir-bulir doaku. aku bermunajat yang mungkin

sangat miris bila kau dengarkan. sebab sayapku telah

menyerupa kupu-kupu dan memilih terbang meninggalkanmu

bersama semangatmu yang telah digerogoti anggur, arak, dan

semacamnya. sehingga yang tertinggal hanya potret-potret harapan

yang usang.



aku menyadari metamorfosis tulisanmu, ketika kulafalkan

dengan ejaan yang terbata di setiap surat kabar yang membungkus

senyummu dengan galaksi rindu pada tegukan-tegukan yang

memengaruhi kekolotan pikiranmu akhir-akhir ini. dan kau

seenaknya menyalahkan lingkungan. sadarkah fajar pagi itu

membawa belati yang akan memutuskan namaku dari sehelai kafan

yang tak pernah terjamah di pojok kamarmu itu. tapi tahukah kau

aku memilih kematianku saat desir angin menyampaikan kabar tipis

yang bugil darimu. sebab kabar itu, meletiklesitkan pusat mimpi-mimpiku

dan kini aku terlahir kembali menjadi seorang bayi



Kutipan 2:

malam kesekian di trowulan



malam itu terasa begitu sunyi

hanya lantunan nada-nada yang

mengantarkanku pada kesunyian

yang abadi



sepanjang perjalananku inilah

malam yang paling lenggang

sebab suara-suara yang sesekali

terdengar telah menelanjangi rinduku



dan aku memilih membiarkan malam ini tetap menjadi

malam yang buta. sebab kailku tak lagi memunyai umpan

untuk memancing percakapan kumbang kecuali sosokmu

yang bergoyangan karena hembasan anggur yang telah membisu



sebab itulah tanda dari yang kuterjemahkan

setelah sekian lama aku menunggu bersama dingin

hanya demi sisa angin yang terselip di harapanku

bila esok kampung ini menjelma elegi

aku ingin bibirmu merapal janji tentang perjamuan mimpi

yang selalu kau tawarkan



tapi maaf, seusai aku merapal wajahmu

kini aku harus menanggalkan baju untuk kelahiran puisiku.



Kutipan 3:

sore hari



hari ini mungkin penuh air, basah di mana-mana.

air hujan meninggalkan kenangan di baju dan celana.



sungguh air mampu merusak konsentrasi,

menanam wajah kuyu, lesuh dan senyum pun seperti

enggan bertengger lagi di kedua bibir yang mungil.

setidaknya hujan sudah memenuhi kewajibannya

dan airmata kini tetap saja menggoda

membasahi retina dan meretaskan luapan di jiwa

yang sudah lama terpendam dan membatu.



20 januari 2010



Kutipan 4:

jauh



jauh sebelum kau menaburi tamanku dengan bunga-bunga

airmata, aku telah merasakan ketakutan

yang menjamah tubuh ini

dengan hati yang tak lagi seindah

senyuman di bibirmu



jauh sebelum kau meninggalkanku

pesakitan telah bersemayam di tubuhku,

di kepalaku, dan kau datang membisikkan

suara yang lirih di telingaku

karena kau takut kebohonganmu

didengarkan telinga-telinga di sekelingmu





Kutipan 5:

gemigil di tuban



kasri, kau menuai api yang

memanas, nian sungguh kau dekat dengan malang

air, genang, dan penyakit

datang menyapa dengan bertubi

mirip mendung yang tak kuat menahan air

dan menjadikannya hujan



sungguh ingin aku memelukmu kasri

memeluk dengan iba

dan dentum yang menggema

membawa baju, sekardus mi instan, dan obat-obat

yang di jual murah di apotek-apotek



sungguh mereka tak

kasihan melihat kasri, semua ditelan dan

dimasukkan kantong dengan diam-diam

dan mulai gusar ketika atm dibobol beruntun

dengan manis dan sangat ritmis

mereka tak bisa tidur

tiap malam mengerang dan membayangkan uang

sampai mata mereka merah seperti

mata merah kasri yang terundang

suara sumbang rumah, kasur, kursi, tv, dipan, piring,

semua terbawa air dan tiada yang tersisa



kasri, aku hanya mampu

menuliskan puisi, untuk melayangkan derita

agar luka pergi tertiup angin



31 januari 2010



Kutipan 6:



lelaki yang menari



ia datang dengan seutas senyum

dan memanggul tas hitam di pundaknya

tanpa bunyi ia menyapa lantai dengan

sepatunya.



dan dengan kacamata merah

ia duduk bersandar melahirkan anak-anak

yang akan membawanya pulang



pulang di awal bulan tanpa

oleh-oleh sebab upah belum kunjung keluar



lelaki itu tetap saja tersenyum

senyum dengan parfum yang

menyelimuti tubuhnya



membuat dirinya sewangi parfum

yang membawa angan gentayangan



"selamat malam, semoga air tak membuatku terlambat datang"

ujarku padanya malam itu



lalu aku pergi dan tinggal di dalam kata-kata yang tak

terpaksa diakhiri karena deadline koran yang harus terbit pagi.



31 januari 2010



Kutipan 7:



mengeja sunyi dalam senyummu



kita terlahir dengan keterpaksaan, seperti matahari yang ada di bibirmu

hidupku terlalu lekat dengan gelap, hingga sampai pada kening pekat



yang menguning di antara daun gugur, sementara wajahmu

sesejuk rerumput yang menabur benih suka dalam sukmaku



angin bersorai sebab mendengar teriak

cacing dari dalam perutku, yang menggema lagu perih



hingga melarutkan wajahku pada isarat tangis

yang mengalir, berbicara tentang waktu



tapi aku lebih suka menggigil, menemani bayangmu,

daripada mendengar istirah sunyi yang tak pasti



sebab aku rela mengeja kesunyian demi

setangkai maaf dan senyum suka dari bibirmu.



(2008)



Kutipan 8:



pintu gerbang



di dalam mulutnya aku tertelan

menyimpan lekuk-lekuk airmata

meneteskan keringat yang brengket

seperti roda-rodamu yang terus menggerusku

hingga menjadi tirus



kau biarkan aku terkunci di dalamnya

menyiangi wajah-wajah pasi di sisa subuh

yang tak sempat tersimpan di laci

karena mimpi pun tak sampai pada selimut pagi



keesokannya selalu kutemukan bungkus makanan, permen,

atau pun minuman penyegar yang terus

menatapku tanpa berkelakar



kita harus cepat melebihi kilat



seorang bertahi lalat, mendetumkan diktat-diktat

di otakku. sibuk menjejali dengan huruf yang tak

tahu malu. menumbuhkan luka yang teramat lusuh,

seperti jamur tiram yang urung mengembang

menghilangkan jenjang yang masih teramat panjang



biar saja kukurung petaka di ruang itu

sebab telanjur sudah aku memilin waktu.



itu kebijakan yang harus ditiadakan



kau masih tetap saja berkata,

sambil terus mengucurkan darah

di jiwa-jiwa yang telah teraniaya



mojokerto, 21 oktober 2010



Kutipan 9:



pertemuan kupu-kupu



kita terlahir dari sarang ke sarang

bersama angin yang mencipta lengang



aku masih ingat, saat tubuhmu mengeliat

merambat dari daun-daun rindu

menuju perseteruan semu di kepompong waktu yang menidurimu

beberapa atau separuh dari tubuhmu

yang menyatu

seperti negeri babi

berebut upacara penyuci

untuk reinkarnasi

biar terlahir lebih suci dari sepi



kadang memang aku tak sadar, ketika teringat

kisahmu yang legam. sebab kusimpan

dan kuerami hingga tumbuh menjadi sungu

tanpa mengelu tapi mampu menipu

seolah menutup lampu-lampu penerang

di setiap jalan di tubuhmu

kecuali sayap yang siap membuatmu melayang



aku tak pernah membayangkan

bisa bertemu secepat itu, aku mengira

baru kemarin kau dan aku mengeliat

tapi kini kita terbang dari batang satu ke batang yang lain

menjalin kisah yang hanya seujung kuku

mojokerto, 21 oktober 2010



Kutipan 10:



bunglon

:r.a.



seperti permulaan kisah kita,

kubiarkan kulitnya berubah-ubah. kita

mengawali kisah ini dengan bukit-bukit kecil,

saling mengejar dan berlari. aku datang

dengan menawarkan warna gincu

yang tak pernah kau oles di bibirmu.



menyelami lautmu yang amat dalam,

membuatku terengah-engah kehabisan rasa sayang.

airnya teramat asin, membuatku malu-malu kucing menahan

kencing di ujung kelamin. membuatku makin mbediding

untuk mengejarmu meski pintunya tak pernah kau kunci.



kubiarkan angan terus melayang, seperti katamu yang

tak pernah menyentuh daunku. hingga akar dan batangku

makin biru. sebiru wajahmu di tangkai waktu yang layu.

tapi aku seperti pencuri, yang mengendap-endap

mencuri warnamu yang terus berubah. kadang kuning,

merah, biru, hijau bahkan kelabu. tapi kisah kita tetap

seperti putri malu yang mengempis jika tersentuh.

kau merah dengan tawamu, aku biru dengan hatiku.

kau kuning dengan matamu, aku hijau dengan telingaku.

aku diam, tapi kau berubah menjadi kelabu.



selanjutnya aku membiarkan kisah itu tumbuh

dengan warna sesukanya.



mojokerto, 22 oktober 2010





Semua nilai-nilai itu oleh Akhmad Fatoni dikemas sebagai upaya penyampaian keindahan dan kebenaran melalui teks puisi. Nilai-nlai ini dijadikan prioritas bagi penyair dalam berkarya, meskipun jauh di lubuk hati penyair mungkin tidak dimaksudkan sebagai “petani yang sengaja menanam tanaman nilai-nilai”. Terkait dengan ini dapat dikemukakan bahwa setiap penyair, termasuk Akhmad Fatoni, dalam menciptakan puisi selalu berorientasi pada penyampaian nilai-nilai ini. Penyampaian nilai-nilai ini realisasinya berupa usaha maksimal penyair dalam menata bahasa dalam bingkai konvensi sastra dan konvensi budaya untuk mewadahi gagasan yang akan disampaikan melalui teks puisi. Salah satu cara ungkap yang digunakan oleh Akhmad Fatoni dalam penulisan kreatif puisi-puisinya ialah dengan cara “bilang begini, maksudnya begitu” atau meminjam ungkapan Riffaterre dalam Semiotic of Poetry (1978) “Says of thing and means another”.

Dalam konteks pengudaran dan pengendapan nilai-nilai ini pembaca dapat menikmati puisi-puisi Akhmad Fatoni yang secara umum dapat dicirikan sebagai puisi-puisi (1) remang-remang tetapi menawan, (2) puisi-puisi yang sarat dengan pemikiran filsafati, (3) puisi-puisi yang lincah mengolah kata-kata, (4) puisi-puisi yang sarat pemikiran kejawen, (5) puisi-puisi yang sederhana tetapi kuat dalam penyampaian pesan, dan (6) puisi-puisi yang mengolah ragam bahasa Jawa di beberapa puisinya.



Teks puisi yang diciptakan oleh penyair Akhmad Fatoni secara umum memiliki ciri ketidaklangsungan pengungkapan yang menurut Riffatere (1978) timbul akibat adanya penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. Karakteristik ketidaklangsungan teks puisi tersebut dirangkum dalam paparan berikut ini.

Pertama, penggantian arti. Di dalam teks puisi-puisi yang diciptakan oleh penyair Akhmad Fatoni pada umumnya kata-kata kiasan difungsikan untuk menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain.



Kedua, penyimpangan arti. Penyimpangan arti terjadi apabila di dalam puisi ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Di dalam puisi yang digubah oleh Akhmad Fatoni kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Di dalam teks puisi yang ditulis oleh Akhmad Fatoni juga terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir, sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan.



Ketiga, penciptaan arti. Menurut Riffaterre (1978:2) penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam teks puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme.



Teks puisi termasuk ke dalam jenis teks transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Teks puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena teks puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun teks puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, teks puisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa teks puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, teks puisi merupakan teks khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.



Teks puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam teks puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam teks puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi. Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari teks itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara. Teks itu sendiri dapat menyajikan fakta mengenai jenis kelaminnya, usia, wajah, dan pekerjaannya. Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu.



Hakikat epilog ialah penyampaian “pemandangan akhir” dari keseluruhan corak puisi-puisi yang termuat di dalam sebuah buku. Prolog ini kiranya telah memberikan gambaran bagaimana seorang Akhmad Fatoni “mengudar gagasan” dan “mengendapkannya” di dalam teks puisi. Upaya pengudaran gagasan, yang lalu ditindaklanjuti dengan pengendapan gagasan itu dikemas dengan karakteristik utama sebuah puisi yang pada prinsipnya: “Says of thing and means another”, bilang begini maksudnya begitu. Dengan prinsip ini, Akhmad Fatoni berhasil mengungkapkan topik puisi yang diklasifikasikan dalam lima kategori: (1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan. Secara ringkas dapat dikemukakan untukmengakhiri epilog ini bahwa Akhmad Fatoni sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indonesia menaruh perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.



Demikian, salam sastra.

1 komentar:

  1. Saya membaca esai kritik ini dengan seksama; dan, sungguh, terpesona dengan liak-liuk bahasa sajak Akhmad Fatoni yang dikutipkan. Puisi-puisi itu terasa seperti liatnya lepat beras ketan berisi kelapa yang manis. Tak bisa berhenti, sebelum habis.

    Saya juga membaca teks penilaian Pak DAM atas puisi-puisi itu. Jujur, saya kira Pak DAM bersungkan-sungkan dalam mengulasnya, sehingga yang ditampilkan lebih pada banyak teori umum, tentang hal-hal jenderal yang sudah mesti ada.

    Setiap orang memang berlainan cita rasanya. Saya, walau pun suka ombang-ambing sajak-sajak yang bagus itu, tetap tak berhasil masuk jauh ke hati. Puisi-puisi yang kuat, namun karena kecenderungan subjektif si penyair, saya jadi pergi membawa gambar-gambar. Memang, itu pastilah karena bias subjektifitas saya sendiri.

    Secara keseluruhan, saya senang membaca teks esai ini, juga suguhan sajak-sajak yang dikutipkan. Karya yang bagus.

    BalasHapus