Rabu, 02 November 2011

KEPAK ANGSA PUTIH AKAN TERBANG TINGGI

- Djazlam Zainal (Melaka, Malaysia)

Daerah pedalaman sajak sangat konkrit. Lalu apakah yang mahu dilunasi bagi sebuah sajak? I.A. Richard dalam Practical Criticism: A study of Literature Jugdement ( 1973 ) menyatakan bahwa pemikiran manusia yang sedang membaca sajak akan tertakluk kepada 3 peringkat iaitu apakah arti sajak, tujuan pembacaannya serta bagaimana sajak dimanfaatkan untuk orang ramai. Tanggapan ini dilihat daripada kacamata seorang strukturalisme yang melihat keberuntungan makna sajak dengan sentuhan rasa ( sense ) perasaan ( feeling ) dan nada ( tone ).

Sajak adalah pembawa pengalaman hidup manusia, cara merasa dan berfikir, sikap dan pandangannya terhadap masyarakat dan alam raya. Kerana sajak bukannya bahan ilmu tulen seperti biologi, psikologi, atau sosiologi, ada kaedah dan logika untuk mempersembahan acuan tersebut dengan peraturan disiplin dalam bentuk keobjektifan ilmu iaitu disiplin lingustik. Campuran perasaan, pemikiran dan deria rasa, sajak cuba menangkap kenyataan-kenyataan yang luar biasa, yang abstrak, membawa kita kepada pengalaman-pengalaman dari sudut pendekatan yang baru. Karya-karya yang baik selalu membijaksanakan, dengan maksud ia menolong kita mengenal arah dan bentuk sesuatu masalah ( Muhammad Haji Salleh, 2005: 12 )

Penyair yang mula-mula menggunakan sajak adalah orang-orang yang melihat kesusastraan sebagai lambang kebebasan dari masa lampau dan masa yang ada ketika itu. Mereka adalah orang-orang yang terdidik dengan pendidikan barat dan mereka beda dengan kebanyakan orang lain yang tidak mendapat pendidikan yang sama. Untuk menyatakan kebebasan dan kelainan mereka, mereka merasa perlu untuk menciptakan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dari yang ada sebelumnya. Karena pengaruh pembaratan barat lebih awal di Indonesia berbanding Malaysia, sajak-sajak Melayu Malaysia terpengaruih dengan pemodenan yang begitu lancar di Indonesia. Sudah tentu Chairil Anwar adalah tokoh penyair yang begitu diidolakan di Malaysia. Penyair Malaysia terus mengerumun penyair-penyair moden yang begitu mengerdip. Lantas apabila saya melihat Kepak Angsa Putih ( Lembaga Swadaya Mandiri, Jambi, 2011 ) yang saya terima daripada Dosen Pengampu mata kuliah Penulisan Puisi, Universitas Jambi, Dr. Sudaryono, M. Pd., dosen yang membimbing mahasiswa semester III, sebagai langkah awal memasuki dunia penulisan kreatif, saya sangat terasa tersanjung. Ini mengembalikan ingatan bahwa puisi serumpun ini tidak dapat dipisahkan secara geo-politik dan alam semestanya. Secara metodologis, acara tulis-baca di bilik kuliah bisa menerbitkan energi bagi proses penulisan sajak. Bagi pengampu bukan mudah untuk menjuruskan sesuatu sajak dalam sebuah antologi puisi oleh rata-rata pelajar yang belum cukup matang untuk menyatakan persoalan. Untuk itu agaknya, perspektif historis, tanah Jambi dipilih untuk menokohkan instuisi pada pelajarannya. Lalu kita ketemukan dengan komunikatif puisi yang berbicara dengan khalayak. Alamsyah memulakan dengan Belantara Sunyi.


tak ada cahaya di sini

angin memalas

jemari langit cengkeram ujung

betapa mimipi melati di cermin

pecah menyerbu

lelehan mendung merintih

sekan letih merembas

hingga teritisan kalbu

beku



Alamsyah telah menghasilkan puisi yang mempunyai unsur hubungan emosi-psikologi, antara karya dengan pengarang. Lihat bagaimana penyair menyatakan sikap dan emosinya dengan menulis, tidak ada cahaya di sini/ angin memalas/ jejari langit cengkeram ujung/ belati mimpi melata di cermin. Emosi-psikologi digabung dengan bagi memperlihatkan gerak selari antara dalaman dan luaran yang memperlihatkan ikatan sense, feeling dan tone.



aku tersesat di sini

belantara sepi

padang gersang jiwa

panggung resahresah

aku hilang

di tengah kemelut hari



ternyata danau senja

tak ada

maka hampa menangkap

mata

jantan kelelawar

enggan berkelana



Sajak bertolak dari gerak rasa kejujuran dan pasrah seseorang terhadap dirinya. Alamsyah merasakan bahasa beliau tersesat dalam belantara sepi di mana padang-padangnya gersang. Danau-danau hanya igauan yang akan lenyap dari tangkupan mata. Suatu yang bersifat marginal ( pinggiran ) yang tidak lekat pada sentuhan rasa.

Buku ini sangat sederhana penerbitannya dengan mendekati bentuk remaja. Bahasa yang digunakan dalam biodata pengenalan juga mengambil sisi santai justru ia sangat akrap dengan golongan remaja yang berjinak-jinak dengan sajak. Barangkali pemgampu membiarkan sahaja kesilapan-kesilapan kecil agar ia terpamer ke mata masyarakat sebagai pengadilan. Misalnya dalam puisi Cermin Senja karya Zuhriyah Alpiani. Fajar telah beralih senja. Fajar dan senja adalah satu jarak yang begitu jauh untuk dipersandingkan. Fajar adalah lambang waktu dini sebelum pagi dan senja adalah lambang selepas petang menjelang malam. Persandingan mereka ( fajar dan senja ) dengan meninggalkan tengah hari dan petang adalah kurang wajar. Namun, sebagai mata pengajaran dan pembelajaran, sengaja ia dilepaskan begitu agar masyarakat pembaca tahu di mana kelemahan dan kelebihan anak muda berjulung keris dalam bidang puisi ini bertatih.

Sebagai sebuah karya sastra, puisi tidak lepas dari menyampaikan amanat untuk masyarakatnya. Konsep sastra Eropa sebelum kurun ke 20, Dante, Chaucer, Cenventes, Shakespeare, Goethe, menulis untuk menyampaikan amanat agama dan nilai masyarakat, separuhnya dalam cara yang agak langsung, dan separuhnya tidak. Tetapi hari ini keadaan ini sekiranya berlaku akan mendapat cemoohan andai kata ada pengarang yang cuba mengajar pembacanya. Kata-kata kritikal seperti didactic dan phony sering dilontar kepada mereka.

Tetapi dalam dunia pembelajaran, rasanya ia belum sampai ke tahab itu. Saya melihat semua puisi-puisi pelajar ini hanya berada di permukaan saja. Mereka menyuarakan yang paling terapung di atas tanpa mendasari ke dalam-dalaman yang filosofis. Misalnya sajak Nopriyando Eko, Tanah Kenangan ini.



silsilah tanah ini bermula dari perang

yang menyisakan gundukan sejarah dan kehidupan

pada ujung siginjai terukir manis sebuah kekuatan

di lebur meliuk merungkai kenangan



tanah kenangan yang ditinggalkan

menghadiahkan hamparan hutan dan perbukitan

dipisahkan sebuah sungai naga dari selatan

tempat berenang anak kemanakan



Pada dua perenggan ini penulis hanya menggambarkan visual yang ada. Tidak kelihatan pun dalamannya yang mahu diloloskan secara folosofis. Memang tidak dinafikan bahawa usia juga mematangkan penyair. Dalam usia rata-rata 20-an, ia adalah usia Chairil Anwar menceburi dunia sastra pada tahun-tahun 30-an dulu. Selain usia kematangan, persekitaran juga memainkan peranan yang besar terhadap pertumbuhan pemikiran seseorang. Chairil di universitas alami sedangkan mereka ini di universaitas pravesi. Hasilnya sangat berlainan. Memang tidak bermaksud saya mengajari bagaimana puisi itu terhasil dengan segala susuk wujudnya. Ini telah dipelajari oleh pelajar-pelajar dalam mata kuliahnya. Namun memperkatakan hasil cipta, ini lebih membahagiakan. Coba perhatikan pantun lama ini.


Hari hujan puyuh mendengut

Mendengut mari sepanjang jalan

Air dalam kapal tak hanyut

Konon pula kemarau panjang



Masuk hutan dalam belukar

Hendak cari pucuk rotan

Sebab durian menjadi mangkar

Waktu luruh ditimpa kawan



Jikalau tuan pergi ke Jambi

Kemboja tumbuh di batu

Jikalau tuan kasihan kami

Ambillah mega buatkan baju



Apakah yang dapat kita cuplik dalam pantun di atas. Ya, sudah tentu makna dalamannya, bukan. Inilah yang mahu saya katakan dalam penulisan puisi. Puisi-puisi besar biasanya akan terkandung amanat di dalamnya. Bahasa atau permukaan puisi itu hanya visual untuk melontarkan kata. Lihat bagaimana Chairil menghasilkan puisinya.



Rumahku



Rumahku dari unggun-timbun sajak

Kaca jernih dari luar segala nampak



Kulari dari gedong lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalan



Kemah kudirikan ketika senjakala

Di pagi terbang entah ke mana



Rumahku dari unggun-timbun sajak

Di sini aku berbini dan beranak



Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

Jika menagih yang satu



Puisi seperti dalam seni yang lain bergerak dan hidup atas daya estatik. Pengalaman estatik adalah pengalaman yang bergerak secara bebas dan seboleh-bolehnya tidak mahu tunduk kepada aturan-aturan, hatta nilai dan akhlak ( Muhamad Qutb, 1983: 5 ) Jika melihat perkembangan seni sastra yang berorentasikan barat, seni puisi seakan bebas bergerak. Estatik iaitu ciri seni yang menampilkan ciri keindahan.



Dalam sajak Senja Kali Ini, ciptaan Putri Rahayu menyatakan sedemikian.



senja kali ini. aku di pinggir sungai. di sungai anak-

anak riang berenang. matahari bersinar dan begitu hangat.

langit kemerahan dan gumpalan awan membentuknya

berbeda-beda seperti ingin bermain denganku

aliran air begitu tenang. ingin kurangkai apa yang

kuinginkan

tapi. percuma saja. air tetap saja air. bukan buku yang

bisa menampung rangkaian kata. lalu bisa diabadikan

di pinggir sungai. dan senja kali ini. matahari

begitu menghangatkan tubuhku

kemudian tenggelam begitu saja



Secara introvet atau eksrovet seorang seniman yang menyuarakan perasaannya, sekaligus menyuarakan tentang persekitaran, masyarakat, alam dan pandangan-pandangan pribadinya tentang harapan, cita-cita dan tujuan zaman dan masyarakatnya. Sastrawan-sastrawan Eropa abad ke 18, Voltaire ( 1694-1778 ) dan Rousseau ( 1712-1778 ) menggunakan puisi sebagai pencerahan zaman feudal di Perancis. Di Amerika, Thomas Paine ( 1737-1809 ) melalui Common Sense, The Crisis, The Right of Man dan Age of Reason membangkitkan semangat rakyat terhadap penjajahan Inggeris. Rabindranath Tagore ( 1861-1941 ) melalui Gitanjali telah memperkenalkan filsafat masyarakat Asia khususnya India sebagai tenaga besar yang menjadi roh kebudayaan dan sosial kehidupan.



Saya kutip puisi Kertas Buram tulisan Ummi Kalsum ini.



kertas buram

kau dibuang disisihkan

tanpa belas kasihan

dan tak seorang pun

yang mau memilihmu



kertas buram

kau dilumuri bercak tinta

membuat kau penuh noda



kertas buram

kau seperti hama

yang merusak tanaman

para petani



Puisi yang sangat sederhana namun masih menarik untuk diperkatakan. Secara umumnya, dapat digolongkan dua cabang penyuaraan diri ( self-expression ) dalam sastra. Pada satu bagian pengarang menyelam ke dalam jiwanya sendiri ( introveted ) yang terdapat pada puisi-puisi larik, autobiografi atau puisi-puisi perkabungan ( elegy ) Satu bagian yang lain adalah penyair menggeledah dunia luar diri yang lebih subjektif. Dan pasti diingat, seorang pengarang bukan semata-mata mengarang sesuatu yang indah-indah, melainkan yang penting adalah isinya yang bakal dikongsi bermasa oleh pembacanya.



Elok juga kalau puisi-puisi matang disertakan di sini untuk melihat keindahannya. Sebagai contoh, lihat Lagu Gadis Itali ini.



kerling danau di pagi hari

loceng gereja bukit Itali

jika musimmu tiba nanti

jemputlah abang di teluk Napoli

kerling danau di pagi hari

loceng gereja bukit Itali

sedari abang lalu pergi

adik rindu setiap hari



kerling danau di pagi hari

loceng gereja bukit Itali

andai abang tak kembali

adik menunggu sampai mati



batu tandus di kebun anggur

pasir di bawah nyiur

abang lenyap hatiku hancur

mengejar bayang di salju gugur



Dan coba lihat sajak Kasih karya H. R. Bandaharo ini.



Dari ini aku genap 39 tahun

di depanku di atas meja sebuah vas

dengan aster merah dan putih

Ah, Chai, cintamu suci ini

beri rasa kaya padaku melebihi

Rockefeller atau siapa pun

Kau beri makna haru pada warna lama

dan bunga-bunga bisu ini bicara padaku

tentang kasih yang damai di dada



Puisi yang berskala universal, cakupan temanya lebih besar daripada puisi personal. Ini beda antara penyair senior dan penyair junior dalam pengungkapan puisinya. Puisi universal adalah generalisasi fikiran dan perasaan yang terang dalam bahasa yang tidak akan mati, dan ia menyentuh perasaan dan tepat mengenai hal-hal setiap orang ( Anis Sabirin, 1972: 16 ) Ia menyuarakan kembali segala emosi kemanusiaan namun paling tinggi nilainya menyuarakan kembali perasaan yang mengendap jauh di lubuk hati setiap manusia dalam bahasa yang indah dan berkesan.



Lihatlah bagaimana Jojor Helmita mengutarakan persoalan personalitinya.



Pelita Hatiku



Ibu kasihmu mengalir tulus padaku

kulihat dankurasakan begitu dalam

dekapanmu sungguh menyejukkan hatiku



Ibu maafkan segala kesalahanku

semua yang terbaik kanku berikan padamu

doamu mengiringi setiap langkah hidupku



Dalam Bintang Hatiku pula,



ayah pengorbananmu tulus padaku

susah payah terus berusaha demi aku anakmu

lelahmu meniti kehidupan yang panjang

semangatmu selalu utuh yang tak pernah hilang



Walaupun kedua puisi ini berlainan yaitu dua puisi yang beda, namun pengucapannya adalah sekata dan senada. Untuk tidak membazirkan waktu dan pembacaan pembaca, ia harus menjadi satu saja puisi. Akan menjadi klise sekiranya hal itu diulang-ulang dan terus dirakamkan zaman berzaman. Muhamad Haji Salleh dalam memperkatakan tentang klise menyatakan, walaupun pengukur kejayaan bahasa seseorang penyair ialah kemampuannya memilih dan menggunakan perkataan dengan sesuai dan tepat, tetapi masih terlalu ramai penyair mengulangi ungkapan-ungkapan lama, imej-imej biasa yang tidak dapat lagi menyumbangkan makna yang diinginkan. Kata-kata atau frasa-frasa begini sering disebut ' basi ' dalam dunia kritikan kita, atau ' klise ' dalam istilah baru ( 1984: 54 )

Sigmund Freud ( 1856-1939 ) menyatakan puisi umpama mimpi. Ia pendek, padat dan pekat. Tafsiran dari kata-kata Frued ini harus diselami dan bukan diambil secara eksrinsik ( luaran ) namun seharusnya puisi dipadat-padati dan bukan dipanjang-panjangi. Kerana sastra telah membagikan genre dengan puisi adalah kepadatan dan prosa adalah perincian ( detail ) Cerpen ( cerita pendek ) adalah perincian kepada puisi yang agak pendek dan novel pula perincian puisi yang panjang. Puisi seperti mimpi, menggunakan bahasa perlambangan atau bahasa kias. Jadi puisi adalah perlambangan-perlambangan yang harus dicari maknanya oleh pembaca. Memang dalam dunia puisi di Nusantara, puisi pendek lebih lekat diingatan pembacanya berbanding puisi panjang berbentuk balada. Puisi-puisi pendek Chairil Anwar terbukti mengangkat namanya sebagai penyair. Begitu juga puisi pendek Sapardi Joko Damono, Sitor Sitomurang, Amir Hamzah dan lain-lain. Puisi-puisi panjang kepunyaan Rendra, Linus G. Suryadi misalnya, sangat langka dan hanya didengari seketika saja. Di Malaysia juga, puisi-puisi Latiff Mohidin, Zurinah Hassan, Siti Zainon Ismail, A. Ghaffar Ibrahim, antaranya sangat relatif pendek dan digemari.

Bagi seorang pengamat atau kritikus, suara yang dilontar ke tengah audien adalah kata-kata yang penuh keberanian. Misal tulisan ini saya perturunkan, " pada pendapat saya bunyi sajak ini agak patah-patah, tidak licin dan tidak dimaksudkan supaya licin. Kesan patah-patah ini nampaknya datang dari penggunaan kata-kata yang keras konsonannya, baris-baris yang pendek dan pergerakan idea yang cepat. Tidak ada percantuman, antara isi dan irama di sini, manakala isinya agak lembut serta sedih, iramanya keras dan patah-patah. Kesannya ialah pertentangan antara isi dan suasana. Sajak ini tidak berjaya. " ( Muhammad Haji Salleh, 2005: 99 )

Dalam kata pendahuluannya, Dr. Sudaryono, Dosen Pengampu Matakuliah Penulisan Puisi telah menyatakan, dalam perspektif historis, Negeri Jambi berdiri di atas tanah terpilih. Ada semacam keyakinan bahwa di masa sepasang angsa putih itu bercengkarama, mengais tanah dan beristirahat. Yang demikian saya dapati banyak puisi mengenai latar Jambi ini dinukilkan oleh penyair. Antara yang dapat dikesan ialah Sungai Batanghari ( hal. 8 ) Angso Duo ( hal. 15 ) Simpang Rimbo, Alam Barajo ( hal. 17 ) Satu Sudut Tanah Pilih ( hal. 22 ) Payo Sigadong ( hal. 32 ) Senja di Betrix ( hal. 33 ) Kesetiaan Batanghari ( 34 ) Sketsa Batanghari ( hal. 39 ) Trotoar Tepi Batanghari ( hal. 40 ) Pasar Angso Duo ( hal. 44 ) Tanah Jambi ( hal. 47 dan 49 ) Angso Dua Bicara ( hal. 52 ) Jambi ( hal. 66 ) dan lain-lain.


Dan kembali menggunakan teori dan perkembangan sajak-sajak Chairil, teori ' genetic structuralisme ' yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann, yang selalunya bergerak dalam hubungan ' sociology of literature. ' Ia dapat menghubungkan fikiran pusat dalam satu-satu kelompok masyarakat dan kebudayaan. Sajak dengan sendirinya telah menjadi medium yang sangat berkuasa pada tempat-tempatnya.

Dapatlah saya tanggapi bahwa antologi puisi Kepak Angsa Putih, hasil kerja mahasiswa semester III, Matakuliah Menulis Puisi ini merupakan langkah awal bagi mahasiswa ini mendekati dunia sastra yang lebih besar dan mencabar. Mahasiswa telah ditunjuk konsep lokakarya dan unjuk kinerja yang menjadi acuan dalam proses penulisan puisi dan seharusnya ia menjadi bekal untuk mereka menjadi sastrawan pula. Bagi saya, Dr. Sudaryono sudah menunjukkan jalan benar karena beliau bukan sahaja seorang dosen yang mengajar puisi tetapi beliau sendiri larut dalam duinia puisi tersebut. Dan ini merupakan satu-satunya jalan bagi mereka yang ingin terus berjalan di jalan berliku dan berdebu bernama dunia puisi.

Daftar Pustaka

Kepak Angsa Putih ( Dr. Sudaryono, Pengantar ) Lembaga Swadaya Mandiri, Jambi, 2011
Modern Literary Theory - A Comprative Introduction, Ann Jefferson and David Robey, London, 1982
Pengalaman Puisi, Muhammad Haji Salleh, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur 2005
Asas Menganalisa Sastra, Mana Sikana, Penerbit Karyawan, Bangi, Selangor, 1988
Dilema Usaha Manusia Rasional, Sindhunata, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1993
Mengenal Puisi, Anis Sabirin, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1989
Penelitian Sastra Metodologi dan Penerapan Teori, S. Jaafar Husin ( ed ) Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kuala Lumpur, 1995
Puisi Melayu Moden, Drs. Umar Junus, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1976



*) Makalah yang dipersiapkan untuk kuliah umum bagi mahasiswa peserta penulisan kreaatif puisi di Universitas Jambi, Desember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar