Minggu, 27 November 2011

Dari Dukomen Lama: Catatan tentang Antologi Puisi Negeri Angsa Putih Merayakan Pemberontakan

Catatan Nurul Fahmy

Tapi apakah sebenarnya puisi? Sebagai sekumpulan kata dalam suatu bahasa, puisi tak hendak diaktualisasikan sedemikian rupa hingga makna menjadi mutlak dan absolut karenanya. Sebab, jika puisi adalah sekumpulan kata aktual dengan makna tunggal yang menyertainya, apa pula bedanya dengan berita, slogan politik, advertensi atau spanduk kampanye calon walikota yang dipajang di dinding kota.

Pun begitu, puisi bukan pula serangkaian kode, argot, jargon, slang atau sandi yang bersembunyi di balik jubah para penyairnya, yang hanya dimengerti oleh mereka (penyair) dan Tuhan saja. Dalam pemahaman sastra klasik yang kanonik, seorang maha guru yang bijaksana berkata, ”sastra adalah sarana untuk mengarahkan dan mengajar.” Plak!! Aku tertampar masa silam. Berpusingan. Masuk ke dalam mesin waktu. Mundur ke seribu atau tiga ribu tahun silam. Berkutat dengan lontarak dan papirus sebagai medium untuk mencatat dunia dalam kata-kata. Mengikuti jejak tua Sang Plato dan Aristotelian yang hidup dalam masa di mana persoalan baik dan buruk adalah hal yang kontradiktif. Sebagaimana Horatius mengatakannya, “sastra harus bertendensi azas manfaat dan nikmat” (serupa kue yang dimakan lalu dilupakan).

Begitulah tradisi akademik dalam dunia sastra kita, yang telah mendominasi pengertian puisi (sastra) sebagai barang hiburan belaka, bahan pengajaran atau edukasi. Sastra dianggap hanya sebagai teknik dan penggolongan tulisan—ke dalam puisi, cerpen, naskah drama, novel dan lain sebagainya. Lebih jauh lagi: Sastra adalah cerita. Adalah simbol-simbol. Adalah ungkapan-ungkapan. Adalah permainan bahasa. Adalah curahan hati. Adalah sesuatu yang cengeng dan romantik.

Apa boleh buat, konsekuensi logis inilah yang tengah kita hadapi dari pengajaran sastra konvensional di negeri ini, jauh sejak sekolah dasar. Konstruksi kultural dalam dunia akademik yang begini ini, begitu dalam membekas hingga mencuat sebagai representasi diri para siswa—yang kelak bermetamorfosis menjadi penyair—yang hadir sebagai kesadaran palsu yang mengental, menggumpal. Guru kencing berlari, murid malah kencing berdiri. Hingga murid gagal sebagai murid, guru gagal sebagai guru. Dan penyair gagal memerdekakan diri, gagal memerdekakan puisinya dari jerat-jerat kata yang kian memperdaya.

Baiklah, kita tinggalkan Plato tua, Aristoteles atawa Horatius. Kita menuju ke suatu masa, dimana puisi sebagai satu genre sastra bukan lagi setumpuk risalah tentang hal-hal yang baik dan buruk, bukan kitab yang berisikan sistem norma, dogma, etika atau estetika. Jauh-jauh hari Asrul Sani telah menolak itu. Menolak kecenderungan puitis Pujangga Baru—angkatan sebelumnya—yang disebutnya sebagai “seni yang hendak memperoleh kedudukan sebagai usaha yang menghasilkan keindahan. Keindahan yang dibentuk melalui segala bunga kata, royal perumpamaan, dan segala yang puitis, dan yang menganggap keindahan sebagai puisi itu sendiri. Pujangga Baru, lanjut Asrul Sani lagi, menganggap sebuah kamar sebagai rumah.”

Terlepas dari segala kontroversi Asrul Sani dan Angkatan 45 dengan Surat Kepercayaan Gelanggang-nya, kini kita menuju ke suatu masa dimana sugesti puisi saling betot, berkelindan, bergumul dan bertarung antara hidup dan mati, antara realitas dan idealitas. Puisi, sebagaimana definisinya yang terus disesuaikan dan menyesuaikan dengan zamannya, bukan lagi persoalan merangkai kata saja. Persoalan puisi adalah persoalan dunia. Persoalan manusia. Puisi adalah persoalan itu sendiri. Pengerjaan puisi adalah metode menemukan kata dan menangkap makna. Adalah cara mengidentifikasi, me-rasa, bersikap. Adalah pengucapan manusia, pemikiran, perenungan, pencarian, pengembaraan dan pilihan sudut padang dalam membelah-belah kenyataan sosial. Puisi adalah pencarian spiritual; semacam dialog antara ‘aku’, manusia (subjek) dengan dunianya (objek).

Puisi tidak lahir dari ruang hampa. Kekosongan wacana. Ia lahir dari, dan sebagai proses pertarungan diri. Lahir dari pembacaan dan diskusi. Puisi bukan alat dari bahasa. Dan bukan pula sebuah benda. Sutardji Calzoum Bachri dalam Kredo Puisi mengatakan, “kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.”

Untuk itu penyair harus bersetia pada kata dalam meneroka makna, karena puisi bukan simulakra. Puisi adalah puisi itu sendiri. Sebagai sesuara yang polifonik, puisi akan memunculkan keragaman suara. Dan bukan cuma estetika berbahasa. Lantas bagaimana pula puisi yang baik itu?

Puisi yang baik akan mengalami pemenuhan makna. Ia hadir dan berbicara sendiri kepada pembacanya.


Antologi Kolaborasi Dua Generasi

Negeri Angsa Putih (2007) antologi puisi dari negeri Jambi—selanjutnya akan ditulis dengan NAP—lahir dalam jagad kesusastraan modern dari hingarnya kata-kata yang berkelebat. NAP adalah sesuara yang hendak dibaca dan didengarkan. Serupa gumam dalam riuh kata-kata yang berlesatan, berloncatan, berbenturan antara pidato politik, slogan dan propaganda calon walikota dengan idealisme para penyairnya.

NAP berisi 192 puisi dari 12 penyair yang kesemuanya berdomisili dan berproses di Jambi. NAP—seperti juga pengakuan DR. Sudaryono, M. Pd dalam kata pengantar—dapatlah disebut sebagai kolaborasi dua generasi penyair: Generasi yang lebih awal dengan generasi sesudahnya. ‘Penyair generasi awal’ adalah mereka yang telah menemukan kata sebagai puncak kesadarannya dalam memandang dunia. Generasi yang mampu menangkap kata dan mengurai makna dari kelebatan teks-teks yang berseliweran dan mengelaborasikannya menjadi sesuatu puisi. ‘Penyair generasi sesudahnya’ adalah mereka yang cenderung terjerumus pada pola lama konvensi perpuisian: melalui segala bunga kata dan segala yang puitis—pemilahan ini bukan berdasar pada usia, melainkan pada kekuatan karya itu sendiri.

Dimas Arika Mihardja dalam Mendulang Kerlip Bintang, memberi pekabar tentang “Batanghari tak lelah mengarus//menimang tongkang dengan ayunan gelombang. Sementara: acep syahril nggigil mindah nasib sendiri//ari setya ardi menatah matahari//dimas dan tomas membalut perasaan//ghazali burhan riodja mendaki lereng kerinci memilih bertapa//iif rentareksa membangun oratorium puisi//budi telah jadi veteran//iriani duduk di tanggo rajo//muhamad husya’iri menyairkan ayatayat//sang yogiswara memuja padma//mang alloy, nanang, kang didin menyanyikan seloko//al-murtawy menyanyikan lagu bocah kubu.”

Dengan perbandingan Batanghari yang terus mengarus, kita menemukan Dimas yang cemas dengan kondisi kekinian penyair ‘angkatannya’. Dan menggugat mereka yang tak lagi menghadirkan sajak-sajaknya. Hingga ia begitu nyinyir meminta berkali-kali, “beri aku sajak yang paling tuak.” Kecuali E.M. Yogiswara, Nanang Sunarya, dan Dimas sendiri—pengecualian juga bagi Ari Setya Ardi yang telah almarhum—tak satu jua nama-nama yang disebutkannya dalam puisi itu memberikan sajaknya yang paling tuak dalam antologi ini. Entah sebab apa.

Namun begitu, Dimas telah menjawabnya sendiri, “arus sungai mengusung keranda rembulan//....rembulan itu hanyut ke seberang lalu tersangkut di jaringjaring nelayan//...matahari dan rembulan adalah bolabola bilyar//disodok lalu berbenturan//satu demi satu bola itu masuk lubang di akhir permainan.” Dalam puisi ini sekali lagi kita temukan permintaan lirih Dimas, “beri aku sajak yang paling tuak” (dalam Merenungi Obituari Rembulan).

Sementara Hary S. Haryono, begitu masyuk dengan perjalanannya ke kota-kota di belahan dunia lainnya. Ia hadir nyaris tanpa tendensi, tanpa imaji, tanpa sesuatu yang selama ini terlanjur dianggap sebagai puisi. Dan Nanang Sunarya wujud sebagai ‘penyair yang tobat’. Dalam bait-bait sajaknya ia berusaha menemui Tuhan—saya juga seperti tengah membaca Acep ZamZam Noor dalam puisinya.

Termasuk salah ketik, salah cetak dan human error lainnya pra dan pasca-produksi, masih ada yang terasa ganjil dalam antologi ini. Puisi dalam antologi ini telah diperlakukan seperti rombongan anak taman kanak-kanak yang harus dituntun oleh para pengasuhnya ketika menyeberang jalan. Serupa anak-anak balita yang belum fasih berbicara sehingga butuh seseorang (bahkan dua orang) untuk menerjemah apa yang akan disampaikannya kepada para pembaca.

Antologi puisi bukan buku paket sekolah atau diktat mata kuliah. Pembaca bukan mahasiswa atau siswa sekolah. Tak jamak jika sebuah antologi puisi diberi kata pengantar atau catatan ringkas serupa ini. Dalam kondisi ini, kata pengantar—atau apa pun namanya, yang berbau kritik, telaah atau semacamnya——akan menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi kata pengantar telah menghakimi puisi dengan memonopoli pemaknaan atasnya, di sisi lain kata pengantar juga “memaksa” pembaca untuk masuk dalam carabaca “sang juru antar”.

Sejatinya, pembaca akan dapat menemukan dan mencari sendiri makna dari hasil pembacaannya tanpa perlu cekoki dengan segala macam kata pengantar. Karena seperti apa yang telah dikatakan, puisi yang baik akan mengalami pemenuhan makna, ia akan hadir dan berbicara sendiri kepada pembacanya. Untuk itu, jika masih ngotot ‘menyelipkan kata’ dalam antologi puisi, maka mari kita rayakan kematian puisi.

Dibanding ‘penyair generasi awal’, ‘Penyair generasi sesudahnya’ seperti dikata Korrie Layun Rampan dalam catatan ringkasnya masih berkutat dengan persoalan bentuk dan isi. Mereka masih berusaha menjinakkan kata-kata yang liar meradang, seperti tengah menunggangi kuda Zanggi yang binal. Dan terkadang malah berkhianat; mendramatisir peristiwa dan memanipulisir fakta. Simaklah puisi Chory Marbawi ini: “Malam, sepanjang jembatan Makalam//matahari mabuk kepayang//kupu-kupu betina terbang tak kenal pandang//lewati perbincangan//mereka diam dalam kelam//makalam senyum masam (dalam Makalam Kelam).

Apa pula maksudnya, “malam, sepanjang Makalam, matahari mabuk kepayang.” Adakah Chory tengah berteka-teki dengan imaji matahari pada saat malam di Makalam? Dan, aih, tentu Chory sedang berimaji lagi, mengatakan, “ada kupu-kupu betina yang beterbangan sepanjang Makalam.” Kupu-kupu betina metafor dari perempuan malam. Faktanya, tak ada perempuan malam yang terbang di sana malam-malam, kecuali lalu-lalang kendaraan bermotor yang digelimangi cahaya lelampuan.

Demi memenuhi hasrat puitis akan keseimbangan bunyi, Chory rela mengorbankan isi dan makna. Jika ‘penyair generasi awal’ terlepas dari masa silam, ‘penyair generasi sesudahnya’ justru terpuruk dalam lubang itu: Mereka begitu terpesona dengan keindahan kata-kata. Dengan emosionil romantisisme sebagai aku lirik yang masuk dan terlibat sepenuhnya dalam puisi. Dalam “Kapan kita hentikan perjamuan ini”, Chory memunculkan kontradiksi dengan bait-bait sajaknya yang lain:”...haruskah kita ulangi lagi//Sama-sama kita pertanyakan tradisi ini.” Bagaimana Chory mempertanyakan tradisi, jika ia sendiri larut bersama tradisi dan sekiranya juga begitu terpesona dengannya—terpesona pada sajak pantun Melayu yang begitu memuja rima—Ah, sepertinya perlu kita pertanyakan lagi ini pada Chory.

Tapi Chory tidak sendiri, sebagian besar puisi oleh generasinya dalam antologi ini juga terjerumus dalam lubang yang sama. Bahkan, F. Monthana, ibu guru dari Muaro Bungo ini pun begitu terlibat emosi. Puisi-puisinya dalam antologi ini cenderung melagukan kesenduan dan kegundahan hatinya belaka. Begitupun Nicky Handayani, Yohana Ita Kustiawati dan Siti Asiah. Mereka, seperti kata Asrul Sani, masih menganggap kamar sebagai rumah. Karena itu puisi-puisi mereka menjadi ironi ketika kita menyimak kegembiraan sosok pak guru dalam Nyanyian Sepeda Tua oleh Suardiman Malay ini, “Aku benar-benar bangga//telah terlepas dari kebungkaman//bertahun-tahun dengan sepeda tua ini//telah kulahirkan beribu pikiran jernih//yang mengalir dari pengabdian cintaku//kini kaumku tak lagi menjadi manusia bisu//selalu bicara gagu dan berlagak dungu.”

Begitulah, Nanang Tarsuna dengan malu-malu membikin pengakuan ini dalam Pemakaman Seni—namun Nanang berhasil menghadirkan satir dalam proses dan eksistensi ke-penyairan-nya. Di titik ini kita tidak menemukan apa yang ditudingkan Korrie Layun Rampan dalam catatan ringkas-nya, yang telah mengeneralisir “penyair yang baru muncul, yang menunjukkan berbagai pencarian yang mengarus pada penemuan bentuk dan isi.” Simaklah puisi ini, “segala sajak tak berdaya//menanti pemakaman seni//sajakku sendiri menutup diri berkali-kali//terasa punah walaupun syairnya masih indah//di antara jiwa-jiwa yang masih resah//jauh dari keluh//dan aku hanya patuh pada syair yang utuh.”

Apakah puisi ini masih menunjukkan pada pencarian bentuk dan isi? Saya pikir tidak. Hal itu dapat pula kita telusuri dari puisi-puisinya yang lain.

Dan, jika Nanang yang tak berdaya dalam puncak kesadarannya sehingga memilih menanti Pemakaman Seni, Titas Suwanda lebih berusaha berontak dengan mengencingi arena, “kita kencingi arena//lantaran tak ada makna di sana.” (dalam Catatan Terakhir Arena Tua). Inilah kesadaran mereka. Kesadaran yang entah dalam hal apa. Namun telah dicatat oleh E.M Yogiswara sebagai, “kemarau daun yang terisap itu kini menuntut warnanya,” yang mudah-mudahan tidak “lalu diam dalam serangan baliknya” (puisi memaknai pulau temasik).

Demikianlah, meski ada tarik ulur antargenerasi, namun begitu kita menemukan korelasi yang erat antarpuisi dalam antologi ini. Korelasi berupa jejaring yang berkelindan dan bersinergi. Dan semoga antologi ini bukan “kaca terakhir yang terlahir.” Karena dari pembacaan di atas, kita telah menangkap benih-benih pemberontakan dalam puisi, untuk lepas dan keluar dari tradisi yang telah mengkonstruksi alam bawah sadar mereka, jauh sedari pagi. Kini kita hanya tinggal menunggu hari. Untuk itu, mari bersulang, bersama kita merayakan pemberontakan ini.

* * *
Nurul Fahmy,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar