Minggu, 13 Maret 2011

PUISI, SALING MENGINSPIRASI

D. Kemalawati
~ Pemilik Romog Sastra, Aktivis LaPena, Penyair dan Guru Matematika

Sumber inspirasi menulis puisi bisa dari mana saja. Pernyataan itu tentu tak perlu kita bantah. Menonton telivisi yang menayangkan bagaimana dahsyatnya gempa bumi melanda sebuah pulau,bagaimana bangunan bertingkat seolah menari-nari saat gempa berskala tinggi menggoyangnya, akan menjadi inspirasi bagi seorang penulis puisi untuk menuliskan syairnya. Bagaimana banjir bandang menghanyutkan gelondongan kayu dengan airnya kuning dan berat meluncur dengan kekuatan dahsyat, menghantam semua penghalang dan menghancur leburkan seluruh infrasruktur yang ada hingga nyawa manusia direnggutnya. Melihat tubuh manusia yang tergulung, berputar diantara air yang memburu kemudian tergeletak dibalut lumpur, tak bergerak, naluri penyair akan berpendar-pendar mencari kata yang tepat menggumamkan rasa dukanya.

Penyair menyampaikan semua rasa yang bergejolak di jiwanya dengan menyusun kata yang kadang menusuk para pembacanya tepat pada sasarannya. Ada penyair yang berhasil mengumpulkan kekuatan kata-kata sehingga puisinya dimaknai seperti yang dikehendaki. Tetapi tidak sedikit penyair yang mencari cara lain agar puisi-puisinya mengajak pembaca berimajinasi lebih liar dari penulisnya sendiri.

Tak ada patokan yang harus dipatuhi seorang penyair kecuali menjaga rambu-rambu seadanya selebihnya adalah rasa yang ditawarkan kepada pembaca yang kemudian dicecap oleh pikiran perasaan pembaca bahwa puisi yang dihasilkan oleh penyair tersebut mempunyai cita rasa tinggi. Dan seperti juga makanan yang enak di lidah orang yang gemar memasak, dia akan selalu terinspirasi bila memakan makanan dengan cita rasa yang belum pernah dirasa untuk memasak dengan rasa yang sama. Tentu dengan mengetahui bumbu-bumbu apa yang ada dalam racikan makan yang baru pertama dinikmatinya.

Demikian juga penyair. Dalam hal ini, saya ingin berbagi bagaimana sebuah puisi yang saya tulis membalas SMS seorang sahabat hati (meminjam istilah penyair Dimas Arika Mihardja) bapak Arsyad Indradi yang mengabarkan kepada saya tentang kebahagiaannya karna baru saja mendapat anugerah dari Allah SWT seorang cucu laki-laki. Meski bukan cucu pertama, tapi bagi sang kakek yang sastrawan Indonesia yang sangat bergiat dalam dunia maya, lewat blog Penyair Nusantara dan beberapa blog lainnya yang beliau kelola, hal ini adalah kebahagiaan yang tak cukup kata untuk melukisnya. Dan saya membalas SMS beliau dengan puisi singkat yang saya beri judul Menimang Cucu.

SMS yang terkirim itu masih saya simpan, dan saya yakin bapak Arsyad Indradi pun masih menyimpannya. Berikut saya turunkan di sini SMS tersebut.

MENIMANG CUCU
Kepada Arsyad Indradi
D Kemalawati

Setelah takbir kau perdengarkan
geliatnya kelihatan nyata
sembari mengucap syukur
kau raba detak jantungmu
menyamakan dengan denyut nadinya
sungguh waktu memberimu debar itu
sebagai jelmaan diri
kau simak tangis pertamanya
sebagai puisi berima muda
mendaratlah kasih dalam kecupan
entah telah berapa lama
kau simpan wanginya
sebelum ia dalam pelukan.


Banda Aceh, 10 Maret 2011

Setelah puisi itu terkirim ke bapak Arsyad, dan beliau membalas: “Trimakasih mba De bingkisan puisinya. Cucu pertama kedua orangtuanya teriak kaget campur kagum karena kukasih tongkat dan mahkota dewa di fotonya dan daku jadikan foto profilku di FB. Oya mba De kita berempat baca puisi di gunung wayang, nanti daku pasangkan di blog mba De.”

Demikian SMS balasan bapak Arsyad. Ya, rumoh sastra dkeumalawati tampil jauh lebih indah setelah campur tangan bapak Arsyad Indradi. Puisi- puisi yang ada di bawah rumah wayang adalah puisi SMS yang diabadikan bapak Arsyad sehingga ikatan kekerabatan dengan foto kami (Arsyad Indradi, Diah Hadaning, De kemalawati dan Dimas Arika Mihardja) tampil lebih simetris dan menarik.

Apa yang saya tuliskan sebagai prolog ini sebenarnya adalah suatu pembuka perbincangan yang biasanya kami lakukan di ruang diskusi Rabu sore di lembaga kami, Lapena. Karena berbagai kesibukan ruang diskusi rabu sore itu sudah vakum dalam waktu yang lama. Dan sebagai pelepas rasa kangen saya dengan teman-teman peserta diskusi yang biasa hadir nyata di lapena, maka lewat lembaran catatan ini saya berbagi dengan teman teman bagaimana puisi itu sebenarnya saling mengispirasikan bagi sesama penyair.

Puisi Menimang Cucu yang saya kirimkan spontan ke bapak Arsyad Indradi seperti yang saya tuliskan di atas, kemudian saya baca ulang lalu saya edit beberapa bagian sehingga saya yakin untuk menetap di Rumoh Sastra D Keumalawati dan Romoh Puisi Kemala. Setelah muncul di halaman depan blog, saya pikir tak salah kalau saya juga berbagi di FB. Dan ternyata setelah saya terbitkan dengan menandai beberapa teman yang bagi saya meski pun ruangnya berbeda, mereka tak lain adalah teman berbincang di diskusi Rabu sore Lapena, komentar teman-teman disana tak hanya komentar biasa tetapi juga puisi-puisi yang dilahirkan spontan oleh teman-teman penyair seperti yang saya kutip berikut ini. Saya mulai dengan puisi saya.

MENIMANG CUCU
Kepada Arsyad Indradi
D Kemalawati

Setelah takbir kau perdengarkan
geliatnya kelihatan nyata
sembari mengucap syukur
kau raba detak jantungmu
menyamakan dengan denyut nadinya
kau simak tangis pertamanya
sebagai puisi berima muda
mendaratlah kasih dalam kecupan
entah telah berapa lama menghidu wanginya
sebelum kau timang dia


Banda Aceh, 10 Maret 2010

Komen pertama yang menuliskan puisinya untuk Bapak Arsyad datang dari Dimas Arika Mihardja.

MENIMANG CINTA, MEMINANG KASIH
~ bait-bait buat abah arsyad indradi


Dimas Arika Mihardja

seusai kautancapkan gunungan lengkap dengan wajah ceria
angin lalu bercerita tentang desah kasih, ciuman putih
ingin jemari ini tak letih menguntai ruas doa buat abah
untuk pewaris riwayat cinta berbusana kasih

Puisi itu dituliskan beberapa saat setelah puisi saya Menimang Cucu itu saya berhasil diterbitkan di FB. Dan komentar kedua yang menuliskan puisinya juga untuk bapak Arsyad dengan nada yang sama muncul dari Yssika Susastra. Berikut ini aslinya.

DALAM BAYANG IMPIAN
Yessika Susastra


engkaukah cucuku? darah daging yang kuderaskan pada denyut
jantung yang bernama kekasih? ah, senyummu sepertinya aku hafal
sejak nenekmu dulu mencium punggung tangan saat ikrar
sebelum persandingan

engkaukah? ah, alangkah cantik mungil bibirmu
apakah yang kaubisikkan? abah?o, aku kakekmu
yang lucu, hayo tersenyumlah

duh, basah deh sarung kakek terkena pipismu
tapi enggak apa, pipislah lagi
basuh dada kakek dengan kehangatan
engkaulah? ah, kakek bahagia

Puisi itu juga tak berselang lama muncul di layar sama setelah beberapa komentar lainnya. Puisi berikutnya ditulis oleh penyair Moh Gufron Cholid yang di bawahnya dituliskan tanggal penulisannya yaitu 11 Maret, satu hari setelah puisi Menimang Cucu saya publikasikan.

ADA SURGA DALAM KECUPMU
: Arsyad Indradi

Moh Gufron Cholid

Ada surga dalam kecupmu
Saat kau timang cucu
Dalam debar rindu

Ada surga dalam kecupmu
Kebahagian menjadi tugu
Dunia pun cemburu
Sebab karunia tak henti memburu
Ramai sunyi hidupmu

Kamar Hati, 11 Maret 2011

Terinspirasi dengan puisi Menimang Cucu, seorang teman guru yang handal dalam menulis cerpen dan pernah beberapa kali memenangkan Sayembara Menulis Cerpen Guru (LMCP) yang diadakan Diknas Herni fauziah, kini bermukim di Medan, Sumatra Utara juga menulis puisi dengan judul yang sama Menimang Cucu. Sambil tertawa-tawa di telpon Herni yang akrab kupanggil Tata itu mengatakan kalau dia terinspirasi dengan puisi saya dan sengaja memakai judul itu sebagai tandingan. Berikut puisi yang diterbitkan di note-nya Herni Fauziah.

MENIMANG CUCU
Herni Fauziah

Seorang perempuan renta
melantunkan senandung buaian
tak berirama

Ceracau-ceracau
bagai suara mantera di antara wangi dupa
Seorang bocah
bertelanjang dada
meringkuk
merengkuh tubuhnya berselimut kain kumal, pudar warnanya

Gigil-gigil sisa tangisan tadi malam
masih lekat di gurat-gurat wajahnya
senandung buaian masih terdengar
mengisahkan cerita yang tertunda


Ayah tiada
Bunda di Saudi Arabia
bersandar di bahu yang renta
rapuh pula
dengan buaian kehilangan irama
senandung terus terdengar
entah sampai ke lembaran berapa
mereka tak berani menerka


Medan, 11 Maret 2011

Dengan tidak bermaksud mengatakan siapa menginspirasi siapa, dan juga tidak bermaksud memberikan suatu kesimpulan yang mutlak, dari apa yang saya dapatkan dalam menulis catatan di FB berupa puisi yang sangat sederhana telah lahir beberapa puisi yang sangat menginspirasi dan layak untuk dibincangkan. Tentu bagi mereka yang menulis di komentar puisi saya masih terbuka peluang untuk mereka mengubahnya dan menuliskan kembali di catatan mereka. Demikian, salam sastra De Kemalawati



Banda Aceh, 13 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar