Rabu, 09 Maret 2011

MANIFESTO: PROSES KREATIF PENCIPTAAN PUISI

SAJAK ATAU PUISI ialah gelegak riak jiwa, kesan-kesan perseptual, rekaman rangsang puitik yang tumbuh memutik di antara kelopak bunga kata. Sajak selalu bergerak serupa riak menjadi ombak lalu bergulung serupa gelombang rasa dengan irama nada sebagai hasil olah pikir, dzikir, dan menafsirkan hidup dan kehidupan. Sajak yang kutulis kadang serupa kaca jerning begitu bening hingga kita dengan mudah bercermin melihat aneka bayang wajah sendiri, orang lain, semesta, dan bisa jadi wajah Tuhan yang secara mimesis tampil dalam aneka rupa. Sajak serupa ini kunamakan sebagai sajak "Sederhana untukmu": kutulis sebuah sajak sederhana untukmu dan untuk-Mu. Sebuah sajak mengelopak di dada, kupersembahkan untukmu dan untuk-Mu. Inilah sajakku, suara sukma yang terpadu melagukan nama-nama mesra menyentuh kalbu".

Sebuah sajak, dalam konteks tertentu serupa dengan hidangan yang siap untuk disantap:"Santaplah sajakku. Anggurnya mewangi. Santaplah buah yang terhidang penuh dengan kecintaan, sebab di sana ada desah sederhana untuk keselamatan perhelatan". Penggubah sajak, dalam kaitan ini serupa koki yang meracik hidangan buat persembahan. Sajak yang hakikatnya sebuah masakan itu lalu terhidang untuk keselamatan perhelatan. Ya, perhelatan,sebab hiup ini senyatanya merupakan serangkaian ritual peribadatan yang disebut perhelatan. Hidangan berupa sajak yang tersaji memang harus dinikmati dengan kegairahan tersendiri: Santaplah sajakku, anggurnya mewangi. Santaplah buah yang terhidang penuh gairah, sebab di sana ada desah sederhana untukmu. Tugas penggubah sajak telah selesai begitu telah menyajikan puisi di atas meja hidangan.

Selama menekuni karir di bidang penulisan kreatif puisi, saya menemu sebuah konsepsi estetis bahwa puisi itu merupakan saksi yang sexy. Bagi saya, puisi semata-mata berfungsi sebagai saksi. Saksi yang sexy. Sexy? Ya, keseksian menurut pertimbangan nalar saya bukan semata-mata tampil dalam bentuk atau sosok fisikal semata, dan yang terutama ialah keseksian secara batiniah. Nah, "apa pula keseksian yang bersifat batiniah ini?", mungkin Anda bertanya? Baiklah, saya akan berusaha memperkenalkan konsep ini: puisi sebagai saksi yang sexy.

Menurut pertimbangan saya, berdasarkan sedikit pengalaman selama ini, puisi hadir sebagai saksi. Melalui puisi yang diciptakan oleh penyair, siapa pun penyair itu, puisi yang dihadirkannya pertama-tama merupakan pengalaman pribadi, sosial, atau religius terhadap apa yang terjadi di sekeliling yang bersifat kontekstual. Puisi yang hakikatnya merupakan pengalaman yang paling berkesan bagi penyairnya itu, langsung atau tidak langsung memberikan kesaksian atas berbagai fenomena yang secara kontekstual terjadi pada masanya.

Sebagai kesaksian, puisi mengabadikan peristiwa (suasana, fenomena, berita batin, sikap, visi dan misi) yang paling berkesan, yang realisasinya dapat berupa potret hitam putih, gambar beraneka warna, atau lukisan yang terpapar menurut berbagai aliran melalui pilihan kata yang mewakili aneka pencerapan dan perenungan penyairnya. Puisi dengan demikian berfungsi sebagai saksi mata batin penyairnya. Dalam konteks ini, puisi yang sexy ialah puisi yang mampu mengusung spiritualitas, rohaniah, dan batiniah di mata batin penyair dan pembaca puisi.

Selain sebagai saksi puisi ternyata dalam menjalankan fungsinya berpenampilan sexy. Sexy di sini hendaklah diperluas perspektifnya. Keseksian puisi tidak semata-mata tampil melalui tipografi (tata wajah), diksi (pilihan kata) yang diperindah, melangit, di awang-awang, abstrak, dan seterusnya. Puisi tampil sexy bukan semata-mata pada keindahan bahasanya, meskipun keindahan bahasa menjadi ciri pribadi puisi yang sexy, keseksian puisi juga tampil melalui keindahan makna (perenungan, refleksi, nilai, guna, dan manfaatnya). Pemakaian bentuk bahasa yang indah memang sebagai wadah penyampaian makna yang juga indah. Keseksian puisi hadir melalui keindahan bahasa dan keelokan makna bagi kehidupan manusia. Puisi yang sexy, dengan demikian merupakan puisi yang memiliki harmonisasi, intensifikasi, dan korespondensi antara bahasa dan pendaran maknanya.

Puisi yang sexy mempersyaratkan adanya media ekspresi (bahasa) yang indah dan substansi isi (makna) yang juga indah. Keelokan bahasa yang membungkus makna yang bernilai tentu akan mempercantik sosok puisi. Namun, demikian harus buru-buru ditambahkan bahwa fenomena keindahan bahasa dan makna sebagai penanda keseksian puisi ini realisasinya dapat beraneka ragam. Keseksian puisi, sesuai dengan evolusi selera pembaca, terentang antara sosok puisi yang diafan (mudah dipahami) hingga sosok puisi yang prismatis (banyak memendarkan makna seperti prisma). Memang ada sosok puisi yang tergolong hermetis (gelap) yang susah dipahami oleh pembaca. Puisi yang gelap, yang susah dipahami oleh pembaca menurut saya tidaklah termasuk pada puisi yang seksi sebab di sana terdapaat kebuntuan komunikasi. Puisi yang seksi adalah puisi yang "komunikatif" (komunikatif dalam tanda petik).

Puisi hakikatnya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi protes, puisi kamar, atau puisi auditorium semuanya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi demo, yakni puisi yang memuat protes berupa unjuk rasa secara jelas memberikan kesaksian terhadapfenomena zaman. Puisi kamar, yakni puisi yang cocok dibaca seorang diri di dalam kamar, yang biasanya berisi perenungan penyairnya, hakikatnya juga memberikan kesaksian atas berbagai hal baik secara personal, sosial, atau dalam konteks religiusitas penyairnya. Demikian pula puisi yang bersorak auditorium, yakni puisi yang cocok dibacakan di hadapan audiens di auditorium (panggung) juga berisi kesaksian penyair terhadap gejolak zaman.

Demikian, salam budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar