Senin, 14 Maret 2011

"KALALATU", ANTARA BALADA DAN MANTRA

Jika Ajip Rosidi punya “Jante Arkidam” dan Rendra punya “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo” atau “Mencari Bapa”, seorang Arsyad Indradi (Penyair dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan) punya “Bagandang Nyiru”, “Kakek Adul”, “Nama Terpuji”, “Terbang Burung”, “Nini Aluh”, “Harumi Tanah Banyu”, “Nisan Berlumur Darah”, “Dundang Duka Seribu Burung”, dan lain-lain. Balada selalu menarik dibicarakan karena di dalam puisi jenis ini tampil karakter tokoh atau sesuatu yang ditokohkan. Ajip Rosidi menampilkan karakter Jante Arkidam, yang digali dari khasanah budaya Pasundan, Jawa Barat. Rendra menampilkan sosok manusia Jawa dalam sajak-sajak balada yang digubahnya.

Dalam proses kreatif penulisan sajak, atau dalam perkembangan seorang penyair dalam dunia kreatif, hampir dapat dipastikan pernah memilih balada sebagai cara ungkap. Ajip Rosidi meskipun pernah menghasilkan “Jante Arkidam”, tidak dikenal sebagai penyair balada, ia lebih intens menghasilkan sajak-sajak lirik-naratif-imajinatif. Berbeda dengan Ajip, Rendra sangat kuat mengekpresikan ide-idenya melalui puisi berjenis balada.

Di dunia kepenyairan Indonesia, Rendra boleh jadi tergolong penyair yang paling kuat menulis balada, terbukti banyak sajak yang ditulis Rendra, misalnya “Balada Orang Tercinta”, “Balada Sumilah”, “Balada Lelaki Tanah Kapur”, dan lain-lain. Rendra kuat menghasilkan sajak balada, sebab latar belakang penguasaan teater meronai balada-balada yang ditulisnya. Balada memang dekat dengan kemampuan olah teater. Penyair yang juga menguasai teater biasanya berhasil menulis sajak jenis balada ini.

Arsyad Indradi, sebagai penyair yang tumbuh dan besar di daerahnya berhasil menulis sajak-sajak berjenis balada yang dibaurkan dengan mantra dalam bahasa Banjar—dan penyair ini bermukim di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Sajak-sajak bahasa Banjar dan terjemahan dalam bahasa Indonesia dihimpun dalam buku Kalalatu (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, 2006). Buku ini memuat 70 sajak yang ditulis dekade 1990-an hingga 2000-an. Kalimantan dalam peta sastra nusantara tak bisa diremehkan, sebab di pulau ini ada Korrie Layun Rampan, Ajamudin Tifani (almarhum), Hamami Adaby, Micky Hidayat, dan tentu saja Arsyad Indradi.

Balada yang disuguhkan dalam buku Kalalatu ini tentu saja tidak menampilkan pengertian balada secara teoretis, melainkan penyair Arsyad Indradi hanya mengambil dan menampilkan ruh balada dan dipadukannya dengan kekuatan mantra. Dengan kata lain, balada yang diciptakan oleh penyair Banjarbaru ini telah mengalami apa yang disebut eksplorasi intuisi dan imajinasi, serta melakukan sintesis baik pada lapisan bunyi (lapisan lambang-lambang bahasa sastra), lapisan arti (sejumlah makna yang terpendar oleh lambang kebahasaan), maupun lapisan dunia metafisis (dunia pengucapan, tujuan, dan efek yang difungsikan) dan dikawinkan dengan sajak berjenis mantra.

Seterusnya, sebagai hasil kreasi, sajak-sajak balada dan mantra karya Arsyad Indradi menampakkan adanya keaslian (orisinalitas), kejelasan (lantaran pilihan kata yang tepat, penggunaan metafor, dan kesatuan imaji), memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa, foreshadowing, dan penggunaan enjambemen), sugestif (dapat merangsang secara asosiatif dan memberikan daya ajuk), asosiatif, dan menampilkan cerita secara runtut. Marilah kita simak balada yang memiliki kekuatan magis seperti mantra yang digubah oleh Arsyad Indradi.

Dalam sajak “Bagandang Nyiru” (menabuh tampah), tampil tokoh Ainun, Juhri, Kakek Adul, dan Nini Aluh. Ainun digambarkan sebagai teman sepermainan Juhri dan Juhri mewakili tokoh yang bisa dijadikan teladan, “Juhri yang berkaki panjang sebelah/ tapi pintar bagimpar dan bagipang/ di kampung namanya terpuji”. Masyarakat memandang hormat dan bersahabat pada Juhri yang membawa “handayang dan suluh/Riuh bergendang tampah sambil memanggil nama Juhri/”. Ciri khas balada dan mantra tampil melalui repetisi seperti ini: “Sungai semakin mengalir deras Juri pulang/ Juhri pulang/ Juhri pulang/ Juhri merasa semakin juga terbawa arus/... Juhri pulang/ Kau dimana Juhri/ Cepat pulang”. Sosok Kakek Adul dan Nini Aluh ditampilkan sebagai tokoh masyarakat yang mewakili “tuo-tuo tengganai” atau “pemangku adat” yang disegani. Peristiwa tragis yang menimpa Juhri lantaran hanyut di sungai dikemas secara halus, namun tragik. Di sini juga tampak muatan lokal (local colour) yang disajikan secara arif oleh penyairnya.

Tokoh Kakek Adul selanjutnya tampil mendominasi pada sajak berjudul “Kakek Adul”. Siapa Kakek Adul, apa masalahnya, dan bagaimana keberadaannya? Kakek Adul digambarkan sebagai cermin: “Kakek cermin bagi kami”. Hal ini disebabkan bahwa Kakek Adul adalah representasi adat-istiadat, sumber petuah, sumber berbagai ajaran tentang kehidupan. Kita simak: Bila tinggi sekolahnya jangan dilupakan juga/ adatistiadat dan petuah orang bahari/ Hidup ada aturannya tungai/ Jika terlanggar pamali/ Ini dikatakan tahyul/ Permisi lewat di hadapan orang tua/ Pamali duduk di muka pintu waktu hari senja/ Anak beriman ingat dengan waktu/ Pelihara sangkar bumi dan sangkar langit/ kita di dalamnya di bibir tiada lepas dengan thayyibah/ di ruas jari kita jangan tertinggal tasbih/ Bila tidur bantal kita syahadat/ Selimut kita zikir...”. Kakek Adul adalah sosok manusia yang arif, disegani, dan penyayang anak-cucu, dan dijadikan acuan dalam menjalani kehidupan.

Tokoh Nini Aluh, sebagaimana juga tokoh Kakek Adul, merupakan wakil dari sosok orang tua yang nasihat-nasihatnya pantas diteladani lantaran memiliki kesaktian. Sosok Nini Aluh ini secara lengkap dapat kita tangkap melalui penggambaran: “Di banua banyak orang berobat pada nenek/ Jika kena pulasit parang maya atau termakan racun/ Dan beliauu seperti membuangi klimpanan/ Cah jika ular saja tidak mempan mematuk beliau/ dimasukkan beliau dalam tapih”. Kekuatan balada dan mantra, antara lain tampil melalui deskripsi atau narasi dengan eksplorasi intuisi dan imajinasi, serta melakukan sintesis baik pada lapisan bunyi (lapisan lambang-lambang bahasa sastra), lapisan arti (sejumlah makna yang terpendar oleh lambang kebahasaan), maupun lapisan dunia metafisis (dunia pengucapan, tujuan, dan efek yang difungsikan). Kita simak sajak “Nama Terpuji” berikut:

Harum setanggi pudak melati berenteng di gelung dua
Bergelang emas berkalung emas bersusun bertingkattiga
Berwajah cantik berharta banyak apalah artinya
Apalah artinya jika adat budi bahasa
tidak dipakai tidak dijaga
Banyak orang berperilaku banyak menenam nyiur
Padahal handayangnya gugur memperapas

Peribahasa menyatakan “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama”. Manusia mati meninggalkan nama ini dijadikan entry bagi penyair untuk mengekspresikan pemikirannya. Sajak yang mengandung ajaran luhur seperti itu, tampil juga dalam sajak “Sayang Gunung” seperti ini:

Bumi yang dipijak
Langit yang dijunjung
Siapalah lagi yang memelihara
Jika kita juga tidak ikut membangun
Rusaklah binasa
Jauhkan bencana

Sayang gunung
Sampai jauh batas suara burung
Sayang gunung
Sayangi tanah air hutan belukar
....
Seterusnya, sebagai hasil kreasi, sajak-sajak balada dan mantra karya Arsyad Indradi menampakkan adanya keaslian (orisinalitas), kejelasan (lantaran pilihan kata yang tepat, penggunaan metafor, dan kesatuan imaji), memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa, foreshadowing, dan penggunaan enjambemen), sugestif (dapat merangsang secara asosiatif dan memberikan daya ajuk), asosiatif, dan menampilkan cerita secara runtut. Kita simak beberapa penggalan berikut ini.

“Berdeburan angin beruap panas/ Diketinggian gunung hauqalah bau harum/ kembang alo kautsar semerbak/ Kupegangi erat jazim dalam dadaku/ Kuiringi kemana terbang hinggap kupukupu...Jangan sungkan masuklah/ Beradab dengan shalawat/ Nyalai karmanya dengan ma’rifatullah/ Bukai jendelanya dengan nuruttajali” (“Terbang Burung”).

Sementara itu, sajak yang kental nuansa mantranya tampak pada sajak “Darah” seperti ini: Adalah langit darah berdarah/ Tak habishabis jadi laut berabadabad telah/ tak berpus di atasnya rajah perahu Nuhmu/tak singgahsinggah pada dermaga darahku/Hu Allah darahku hanyut dalam darahmu/ kutubku tenggelam dalam kutubmu/ menghemas napas darahku membatubara/ dikunci rahasia Alifmu Alif Alif/ darh Adamku yang terdampar di bumi/yang rapuh berabadabad mencari darah hawaku/ yang rapuh tersesat di belantaramu meraung/ darah laparku mencakarcakar mencari darahku/ beri aku barang setetes Hu Allah/ getar alir napas menyeru darahmu mengalir darah mataku/ mengalir darah musafir di sajadahmu/ mengalir menuju rumahmu.

Kekuaatan magis dengan pola ungkap mantra, seperti pernah dilakukan oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri dengan “O, Amuk, Kapak”-nya, dapat kita rasakan dalam larik-larik sajak “Darah” berikut:

darah hidupku Hu Allah
darah matiku Hu Allah
darah hidupmatiku Hu Allah
darah raungku Hu Allah
darah cakarku Hu Allah
darah laparku Huu Allah
darah hausku Hu Allah
darah ngiluku Hu Allah
darah rinduku Hu Allah
....

semesta bergoncang Hu Allah
arasy pun bergoncang Hu Allah
darahku aujubilah
darahku astafirullah
darahku subhanallah
Allah

Sajak “Darah” yang berdarah-darah ini niscaya memiliki kekuatan magis setara dengan sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Arsyad Indradi dalam sajak “Darah” ini berhasil menggali potensi budaya Melayu dengan tradisi mantranya. Ciri-ciri mantra yang memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa, foreshadowing, dan penggunaan enjambemen), sugestif (dapat merangsang secara asosiatif dan memberikan daya ajuk), dan membius lantaran ketepatan ungkapan dengan kata-kata kongkret. Tak pelak lagi, sajak “Darah” mewakili keberhasilan Arsyad Indradi sebagai penyair yang pantas diperhitungkan. Sekian, salam budaya.

1 komentar:

  1. Salam silaturrahmi dari tanah sakera, meski lama tak bersua, bukan berarti langit duga, harus menjadi lukisan jiwa,

    salam silaturrahmi dari tanah sakera, tanah yang selalu mengajarkan cinta, pada seluruh mata dan seluruh benih bangsa

    BalasHapus