Rabu, 09 Maret 2011

MERAWAT EKOLOGI SASTRA

Dari dulu hingga kini selalu ada upaya pelahiran sastra. Sastra lahir dari rahim kreator yang karena profesi dan ”panggilan” hati nuraninya selalu termotivasi untuk melahirkan karya-karyanya. Karya sastra bagi sastrawan ibarat anak kandung kehidupan yang dicurahi dan dilandasi rasa kasih sayang. Bedanya dengan jabang bayi lainnya, janin sastra dikandung oleh sastrawan dalam kurun waktu yang tiada terbatas. Ada sastrawan yang mengandung ”janin sastra” selama sebulan, lima bulan, setahun, bahkan bertahun-tahun bergantung ”pendewasaan” dan kesiapan masing-masing sastrawan.

Selama mendewasakan janin sastra, sastrawan tak pernah lelah mengasup gizi yang diperlukan bagi pertumbuhan janin sastra berupa perenungan, pertimbangan, dan ketepatan momentum pelahirannya. Ada sastrawan yang produktif yang banyak melahirkan anak bernama sastra, tetapi tidak sedikit yang tidak produktif bahkan mandul. Dalam gejolak ekonomi, politik, sosial dan budaya seburuk apapun tidak menghalangi pelahiran dan kelahiran sastra. Tidak ada pihak mana pun yang kuasa menghalangi pelahiran dan kelahiran sastra. Sastra bisa lahir di manapun dan dalam kondisi apapun, sebab sejatinya sastrawan selalu bergumul dengan daya kreativitasnya untuk berkarya. Menurut kodratnya, sastra dapat lahir sendiri dengan selamat karena pelahiran sastra itu bersifat personal dan individual. Namun, ada kalanya kelahiran sastra perlu ditolong dan dibantu oleh bidan (baca: penerbit berwibawa), disupport oleh badan (misalnya Pusat Bahasa, lembaga pendidikan, lembaga kesenian, lembaga kebudayaan, dll), dan dirawat oleh seorang Bapak Bijak (baca: pengamat/kritisi).

Masalahnya adalah kehadiran bidan yang siaga (penerbit yang siap melayani), badan (lembaga terkait), dan Bapak Bijak (pengamat/kritisi) yang penuh perasaan cinta untuk merawat dan memelihara sastra semakin langka. Dalam konteks inilah prolog ini bermuara: ”Merawat Ekologi Sastra”. Ekologi sastra terkait dengan lingkungan pelahiran dan tumbuh-kembangnya sastra, yakni kreator, distributor, dan kritisi. Sastra dapat lahir, tumbuh, dan kemudian berkembang sesuai dengan dinamikanya sendiri.

Sastrawan dapat ”berdarah-darah” merawat tumbuh dan berkembangnya sastra. Bisa saja ia menyerahkan hidup dan matinya demi kemajuan sastra. Ia tak mengenal cuaca. Tak mengenal musim. Tak mengenal perubahan panca roba. Sastrawan ialah ibu kandung sastra yang selalu memelihara anak-anaknya dengan penuh perasaan bertanggung jawab, penuh cinta kasih, penuh pengabdian, dan selalu menjunjung kebenaran serta keadilan di atas segala-galanya. Itulah sebabnya kemudian kita bisa memiliki khasanah sastra Indonesia klasik, sastra Indonesia baru, dan sastra Indonesia mutakhir. Sastrawan yang baik selalu mengawal karya yang dilahirkannya hingga tumbuh menembus perjalanan waktu. Tugas utama sastrawan ialah bagaimana ia melahirkan karya sastra yang bernilai literer, best sellers, dan menawarkan sesuatu yang bermakna bagi dirinya sendiri, karyanya, dan terutama demi kebaikan orang lain.

Perkembangan sastra di Provinsi Jambi, misalnya, akan tidak sehat jika berbagai pihak yang terkait dengan ekologi sastra bersikap masa bodoh, menjauh dari entitas bernama sastra, dan tidak peduli ada atau tiadanya sastra. Lantas siapakah yang bertanggung jawab merawat ekologi sastra di Jambi? Pertama dan utama, pihak yang bertanggung jawab atas keselamatan sastra ialah sastrawan. Sastrawan mestilah memiliki tanggung jawab ”moral” dalam berkarya. Sastrawan yang baik selalu berkehendak melahirkan karya sastra yang bernilai, baik lisan maupun tulisan. Pendeknya, sastrawan selalu berusaha melahirkan karya bernilai, baik bernilai bagi karyanya, pembacanya, maupun masa depan sastra. Tugas sastrawan ialah menemukan medium ungkap yang paling tepat bagi karya-karya yang dilahirkannya.

Kedua, pihak yang juga bertanggung jawab menyelamatkan ekologi sastra ialah penerbit, dokumentator, pustakawan, institusi kesenian dan kebudayaan. Pihak ini semuanya turut bertanggung jawab menciptakan ekologi sastra yang sehat. Mereka terkait dan bertanggung jawab langsung atau tidak langsung terhadap nasib sastra. Partisipasi, pengertian, dan pengorbanan berbagai pihak terkait atas nasib sastra kita akan menjadi penyelamat kehidupan sastra di masa-masa yang akan datang. Tentu saja sesuai dengan bidang garapan masing-masing, sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan perasaan ”tanggung jawab” masing-masing.

Pihak ketiga yang turut berkewajiban menjaga ekologi sastra ialah pengamat, kritisi, dan akademisi. Pihak-pihak ini terutama berasal dari kalangan terdidik yang memiliki kesadaran dan kemauan yang baik untuk menjaga, membina, dan mengembangkan kehidupan sastra yang dinamik, demokratis, fleksibel, dan dapat dipertanggung jawabkan menurut metode berfikir ilmiah. Karya sastra yang hadir di provinsi Jambi, termasuk kumpulan cerpen remaja yang diterbitkan oleh Kantor Bahasa Provinsi Jambi, pantas mendapat apresiasi yang selayaknya dari masyarakat pembaca. Masyarakat pembaca memiliki keleluasaan dalam memilih apa yang akan dibaca dan dikaji. Hasil pembacaan dan kajian pembaca atas karya sastra itu pada saatnya turut mengukuhkan keberadaan sastra dan sastrawan bersangkutan.

Antologi Cerpen Remaja ”Hujan di Bulan Juni” yang dilengkapi dengan deskripsi sederhana terkait dengan 20 cerpen nominasi lomba penulisan cerpen remaja tahun 2005-2006 dapat dipandang sebagai satu upaya merawat ekologi sastra. Antologi ini mempertemukan tiga pihak terkait dengan ekologi sastra, yakni kreator cerpen (remaja/pelajar sekolah menengah di Provinsi Jambi), lembaga penerbit (Kantor Bahasa Provinsi Jambi), dan kritisi dari kalangan akademisi. Tahun ini juga terbit sebuah buku kumpulan puisi karya mahasiswa "Kepak Angsa Putih", memuat kaeya mahasiswa penulisan kreatif yang terbit secara Indie dan swadaya mandiri. Buku "Kepak Angsa Putih" ini akan dilaunching tanggal 22 Maret 2011 di Aula Rektorat Universitas Jambi pukul 08.30 sampai selesai. Acara launching buku ini bertepatan dengan acara DIALOG SASTRA DAN TEMU PENYAIR 3 KOTA, yang meluncurkan buku 3 DI HATI yang memuat karya Diah Hadaning (Jakarta), Dimas Arika Mihardja (Jambi), dan D Kemalawati (Aceh).

Taman Budaya Jambi juga merespon dengan mengemas acara LESEHAN SASTRA, yang akan mempertemukan penyair, peminat sastra,dan seniman lainnya untuk bersama-sama menikmati PESTA PUISI, pemapran proses kreatif, dan menggelar wacana perbincangan terkait seni dan budaya sebagai agenda membangun peradaban. LESEHAN SASTRA ini digelar 22 Maret 2011 pukul 20.30 WIB sampai dengan selesai. Sinergisitas antarberbagai pihak ini layak dijaga, dirawat, dan dijadikan acuan dalam membina dan mengembangkan sastra di Provinsi Jambi.

Demikian, salam budaya.

1 komentar: