Oleh: Husni Hamisi
Para
pecinta kata yang budiman,
Jelang
tahun baru cina di Makassar, adalah waktu yang dipenuhi deru angin dan hujan
yang turun untuk berkisah tak memilih waktu, hujan itu tiba di bumbungan membawa
gigil dan mengundang hangat pelukan, kadangpula hujan itu di mata para penyair
dimaknai sebagai sebuah keresahan, atau sebuah derai ratapan pada kenangan
untuk sebuah harapan yang ingin di genggam kelak padanya, bertolak dari sinilah
saya melihat hujan itu tumpah dalam puisi berjudul BUAH SIMALAKAMA ITU…puisi
yang lahir dari jemari jiwa penyair DAM, seorang penggiat yang tetap masih
malang melintang di dunia pergolakan sastra Indonesia, penggiat sastra yang
telah mapan dan mau berbagi, yang bagi saya termasuk salah satu diantara
beberapa yang tinggal sedikit saja yang masih kita temui eksis di maya ini
(baca; facebook). DAM selain penelur puisi dan esais yang handal, juga dermawan
membagi ilmu dengan jurus yang kita kenal; saling asah-asih-asuh itu.
Semenjak
dunia sastra dengan mediumnya itu mengalami metamorphosis dan berkembang tak
pernah henti, dari koran dan majalah, dari gelanggang pertunjukan panggung
pembacaan puisi, ke louncing buku sastra, ke milis ke blog hingga ke facebook,
ke acara-acara pertemuan para penyair di nusantara ini, nama DAM tak asing
lagi, ia selalu hadir dan ikut mengalir bersama gejolak keresahan perkembangan
sastra nusantara, ia boleh menyebutnya dirinya sebagai DAM atau waduk penampung
air namun saya lebih senang menyebutnya sebagai salah satu JEMBATAN dari
beberapa saja yang tersisa untuk menjembatani antara penggiat sastra generasi
lama dan generasi kini, dari para penggiat sastra yang tak lagi berkecimpung di
maya dengan kita di maya ini ( apa anda pernah bayangkan saat menulis sebuah
catatan puisi di facebook ini, lalu tiba-tiba muncul kakek Sapardi atau paman
Goenawan menulis komentar singkat,’ I like your poem mas bro”. Jika itu
terjadi, saya yakin anda pasti pingsan seperti saya). DAM ikut hadir dalam
perkembangan sastra yang yang menurut sebagian kritikus sastra berjalan di
tempat, tidak ada kebaruan lagi - belum ada kemajuan berarti.
Semenjak
eforia Afrizal Malna yang muncul dengan kegilaannya, dengan pola menulis dan
gaya ucap seperti mengkokang senapan penembak burung itu. Beberapa waktu
terakhir ini, khalayak sastra tanah air sedikit terperangah dengan pola Joko
Pinurbo yang membawa rasa geli dalam karya-karya dan daya ungkap puisinya, atau
buli buli Nirwan
Dewanto, seorang esais filusuf perfeksionis yang tiba-tiba, yang barangkali
menerima kutukan di suatu malam untuk jatuh cinta menulis puisi, ada sebagian
orang mengatakan kala membaca Nirwan, perasaan seperti di tabrak bus di jalan
tol bebas hambatan. Gelap dan hening kemudian meleleh dalam ketidakmengertian yang
begitu dalam, mungkin hanya nirwan dan mereka-mereka yang memahami makna-makna
falsafat di balik diksi yang ia pilih tetap sumringah seperti menggandeng
pinggul gitar Sahrini, pada sebuah mimpi di malam minggu.
Penyair
generasi kini dan Para Dedengkot Dunia sastra Indonesia
Saat
membaca puisi DAM, yang dialamatkan kepada penyair generasi kini, kepada
kawan-kawan dan juga saya. Menurut hematku, DAM menjelma seperti guru shaolin
di filem kungfu. Bagi kita yang menyimpan cita-cita menjadi seorang penyair
yang mumpuni di dunia persilatan sastra nusantara, atau minimal menjadi
seorang penulis puisi yang berhasil, atau minimal hasil karya puisi kita dapat
awet dan tahan lama dari segala cuaca dan waktu, dapat mampu tetap enak dan
lezat dibaca hingga anak cucu atau tujuh turunan kelak, kita di suruhnya
berani mengunyah “buah
simalakama” di “meja
makan” [baca : peta sastra bangsa ini]. Dengan umpan berbahaya,
dengan panggilan mesra itu ‘ wahai generasi kini, wahai “cintaku”.
Buah
simalakama itu menurut DAM adalah dalam pencarian pola ucap kita merangkai
puisi, dimintanya kita menikmati karya kakek penyihir bertopi pet Sapardi Djoko
Damono dalam maha karyanya dukanya
abadi kakek ini, selain jago meramu kenangan massa kanak-kanak,
juga piawai dalam pola pemenggalan sebuah larik puisi ke larik puisi
berikutnya. Ia juga dikenal pandai “menginteraksikan” benda-benda,
hewan-hewan, dan tumbuhan dengan manusia. Jika kembali membaca puisi aku ingin miliknya,
selalu mampu menyihir saya untuk “nembak’
kepada semua gadis manis atau tante – tante penjual sayur yang saya temui.
Dalam sebuah essai Sapardi yang saya simpan, kakek penyair legendaris ini juga
bisa memuntahkan kejengkelan dengan begitu heroiknya, ia katakan *
“
Harus kita akui bahwa sepandai-pandainya pengarang, bisa saja ia melakukan
kekeliruan atau kecerobohan dalam cara penyampaian maupun apa yang disampaikan.
Ia mempunyai kewajiban untuk memeriksa ulang dan memperbaikinya, dan penerbit
yang baik juga berkewajiban untuk membantunya. Naskah yang masuk ke penerbit
dan penyelenggara sayembara penulisan menunjukkan bahwa kecerobohan pengarang
sangat tinggi kadarnya. Menurut pengalaman saya, praktis tidak pernah ada
naskah peserta sayembara penulisan yang seratus persen siap untuk diterbitkan.
Karena tidak adanya usaha untuk menyelenggarakan penyuntingan yang
sungguh-sungguh, sebenarnya sebagian besar sastra kita adalah sastra yang
ceroboh. Kita pernah membaca kritik F. Rahardi, penyair dan redaktur majalah pertanian Trubus, terhadap kecerobohan A. Tohari mengenai berbagai masalah pertanian
dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk.10
Novel Umar
Kayam
yang banyak mengandung kosa kata Jawa, Para Priyayi, agak menderita sebab tampaknya si
penyunting tidak begitu menguasai penulisan ejaan bahasa Jawa. Dan amat sangat
banyak karya sastra kita yang mencerminkan lemahnya penguasaan bahasa; cerita
rekaan menjadi bertele-tele dan menjengkelkan, puisi menjadi gelap.
Sastra
tidak bisa dilahirkan dengan tergesa-gesa, pengarang tidak bisa sepenuhnya
bekerja sendirian. Secara langsung atau tak langsung memerlukan bantuan bidang
dan keahlian lain. Sistem kesusastraan kita tampaknya belum sepenuhnya siap
menunjang kelahiran sastra di zaman yang serba cepat ini. Bisnis penerbitan
mensyaratkan dipercepatnya proses penerbitan dan dilipatgandakannya judul buku
baru. Tujuan penerbitan yang mementingkan faktor laba ini segera tampak
bertentangan dengan hakikat sastra yang memang tidak bisa dipaksa tergesa-gesa
dan ceroboh. Yang sekarang diperlukan adalah suatu sistem penerbitan sastra yang
bisa mempertemukan keduanya. Jadi, kita harus menciptakan sistem kepengarangan
dan penerbitan yang bisa bekerja sama dengan baik, tanpa harus merugikan
perkembangan kesusastraan “.
*
Kita dan Sastra Dunia,
SDD, Pada acara Temu Mitra Redaksi Mizan Pustaka yang bertema Menjelajah Sastra
Terjemahan, yang berlangsung di Bandung, 8 Februari 2003.
Tujuan
merangkai kata dan menabung makna pada Puisi
Kembali
kepada DAM, dengan belajar kepada para sesepuh dunia sastra kita, pada
nama-nama yang ia sebutkan bagaikan kepingan-kepingan puzzle atau urutan
petunjuk, selain Sapardi yang telah saya ungkit sebahagian kelebihan yang harus
kita pelajari diatas, adapula GM, Subagyo, SCB dan dewa puisi idaman saya si
plontos Afrizal Malna. membaca mereka kata DAM tentu saja mengundang resiko,
katanya /apapun pilihan
akan meruahkan masalah dalam pencarian /. Dengan banyak menikmati
karya mereka tentunya akan mempengaruhi kita dalam merangkai puisi, mereka akan
selalu hadir dalam bayang-bayang saat kita menggoreskan sebuah karya milik kita
sendiri, di sebahagian penyair ada saja yang belum mampu keluar dari
bayang-bayang penyair-penyair besar ini, atau minimal masih tercium “perkawinan
hibrida” dalam pola ucap sebuah proses lahirnya sebuah karya puisi mereka,
namun ada juga yang yakin, di antara ribuan penggiat sastra dari waktu ke waktu
ada saja yang mampu keluar dan menemukan cara ucap sendiri atau kekhasan
masing-masing. Menurut esais terkenal Hudan Hidayat pengasuh JSTH “
penyair-penyair besar ini dahulu saat berproses dan menjadi seperti itu, juga
banyak belajar dari karya para penyair besar yang di kenal dunia”, apakah
dengan pola membaca, menerjemahkan atau so what gitcu loh. Kata DAM disinilah
letak masalahnya. namun meski mengandung “masalah” mereka harus tetap dipelajari.
“Sebab mereka adalah nama-nama yang memiliki ciri khas yang begitu unik dan
telah terbukti keberhasilannya di belantika sastra kita” lanjut Hudan.
Disinilah maksud yang tersimpan pada teka-teki titik dalam judul buah
simalakama itu menurut saya.
Di
bait kedua puisi karya DAM, kita disuguhi nama-nama yang kental dalam mengusung
tema ketuhanan atau kedekatan kepada Tuhan atau yang kuat dalam menukik pada
tema-tema rahasia misteri falsafat ketuhanan, ada Amir Hamzah, ahasveros,
Takdir, atau raja Ali, mereka nama-nama ini, dalam maha karya mereka
begitu tebal dengan pesan misteri kehidupan. Mungkin barangkali pada semua
penyair kelaknya akan bersentuhan dengan tema universal ini, sebab penyair
adalah mereka yang di kirim Tuhan dapat memaknai dan membahasakan makna
tersembunyi dari sebuah rahasia kata. Sebahagian penggiat sastra yang telah
mumpuni percaya, bahwa puisi yang berhasil adalah puisi yang mengandung sebuah
nilai amanat ketuhanan di dalamnya, di balik rahasia kata, kita tak dapat
membedakan warna baju lagi, semua agama yang hadir di muka bumi ini pada
prinsipnya mengajari rahasia cinta kasih, keanekaragaman itu hakekatnya hanya
pada luarnya saja, namun pada rahasianya yang tersembunyi, cinta tetaplah cinta
yang datang dari Maha Rahman
dan Rahim,
semua rahasia kata akan berpulang kepada Maha berkata-kata
jua.
Saat
memandang rahasia akhir tujuan itu, kita bakal menjelma “intan berkilauan”
kata penyair DAM, karya kita bakal abadi dan di kenang selamanya, sebab
memiliki keterikatan yang begitu kuat dengan Maha Abadi, Dia yang Maha
Mengetahui pintu-pintu ucap dalam misteri kata-kata akan menganugrahkan kita
rahasia gemerlap kata-kataNya yang begitu kaya dan tak terduga itu. Di seluruh
jagad raya yang belum semua terungkap, banyak matahari yang belum kita temukan,
banyak yang belum terbahasakan di dalam rahasia kata-kataNya, oleh mereka yang
mengatakan tak ada lagi yang baru di bawah cahaya matahari adalah mereka yang
tak mau menerima bahwa jutaan galaksi rahasia kata-kataNya adalah milyaran matahari
baru yang belum di kenal manusia yang pernah hidup hingga sekarang ini,
disanalah muara semua penyair yang ibarat pengelana itu,yang tak lelah mencari
itu, memulangkan seluruh kerinduannya.
Semoga.
Topi
Jerami, 12/01/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar