Minggu, 27 Mei 2012

MENGUNJUNGI LUBUK KATA DIMAS ARIKA MIHARDJA


Oleh: Husni Hamisi
Para pecinta kata yang budiman,

Jelang tahun baru cina di Makassar, adalah waktu yang dipenuhi deru angin dan hujan yang turun untuk berkisah tak memilih waktu, hujan itu tiba di bumbungan membawa gigil dan mengundang hangat pelukan, kadangpula hujan itu di mata para penyair dimaknai sebagai sebuah keresahan, atau sebuah derai ratapan pada kenangan untuk sebuah harapan yang ingin di genggam kelak padanya, bertolak dari sinilah saya melihat hujan itu tumpah dalam puisi berjudul BUAH SIMALAKAMA ITU…puisi yang lahir dari jemari jiwa penyair DAM, seorang penggiat yang tetap masih malang melintang di dunia pergolakan sastra Indonesia, penggiat sastra yang telah mapan dan mau berbagi, yang bagi saya termasuk salah satu diantara beberapa yang tinggal sedikit saja yang masih kita temui eksis di maya ini (baca; facebook). DAM selain penelur puisi dan esais yang handal, juga dermawan membagi ilmu dengan jurus yang kita kenal; saling asah-asih-asuh itu.

Semenjak dunia sastra dengan mediumnya itu mengalami metamorphosis dan berkembang tak pernah henti, dari koran dan majalah, dari gelanggang pertunjukan panggung pembacaan puisi, ke louncing buku sastra, ke milis ke blog hingga ke facebook, ke acara-acara pertemuan para penyair di nusantara ini, nama DAM tak asing lagi, ia selalu hadir dan ikut mengalir bersama gejolak keresahan perkembangan sastra nusantara, ia boleh menyebutnya dirinya sebagai DAM atau waduk penampung air namun saya lebih senang menyebutnya sebagai salah satu JEMBATAN dari beberapa saja yang tersisa untuk menjembatani antara penggiat sastra generasi lama dan generasi kini, dari para penggiat sastra yang tak lagi berkecimpung di maya dengan kita di maya ini ( apa anda pernah bayangkan saat menulis sebuah catatan puisi di facebook ini, lalu tiba-tiba muncul kakek Sapardi atau paman Goenawan menulis komentar singkat,’ I like your poem mas bro”. Jika itu terjadi, saya yakin anda pasti pingsan seperti saya). DAM ikut hadir dalam perkembangan sastra yang yang menurut sebagian kritikus sastra berjalan di tempat, tidak ada kebaruan lagi - belum ada kemajuan berarti.

Semenjak eforia Afrizal Malna yang muncul dengan kegilaannya, dengan pola menulis dan gaya ucap seperti mengkokang senapan penembak burung itu. Beberapa waktu terakhir ini, khalayak sastra tanah air sedikit terperangah dengan pola Joko Pinurbo yang membawa rasa geli dalam karya-karya dan daya ungkap puisinya, atau buli buli  Nirwan Dewanto, seorang esais filusuf perfeksionis yang tiba-tiba, yang barangkali menerima kutukan di suatu malam untuk jatuh cinta menulis puisi, ada sebagian orang mengatakan kala membaca Nirwan, perasaan seperti di tabrak bus di jalan tol bebas hambatan. Gelap dan hening kemudian meleleh dalam ketidakmengertian yang begitu dalam, mungkin hanya nirwan dan mereka-mereka yang memahami makna-makna falsafat di balik diksi yang ia pilih tetap sumringah seperti menggandeng pinggul gitar Sahrini, pada sebuah mimpi di malam minggu.


Penyair generasi kini dan Para Dedengkot Dunia sastra Indonesia

Saat membaca puisi DAM, yang dialamatkan kepada penyair generasi kini, kepada kawan-kawan dan juga saya. Menurut hematku, DAM menjelma seperti guru shaolin di filem kungfu. Bagi kita yang menyimpan cita-cita menjadi seorang penyair yang mumpuni  di dunia persilatan sastra nusantara, atau minimal menjadi seorang penulis puisi yang berhasil, atau minimal hasil karya puisi kita dapat awet dan tahan lama dari segala cuaca dan waktu, dapat mampu tetap enak dan lezat  dibaca hingga anak cucu atau tujuh turunan kelak, kita di suruhnya berani mengunyah “buah simalakama” di “meja makan” [baca : peta sastra bangsa ini]. Dengan umpan berbahaya, dengan panggilan mesra itu ‘ wahai generasi kini, wahai “cintaku”.  

Buah simalakama itu menurut DAM adalah dalam pencarian pola ucap kita merangkai puisi, dimintanya kita menikmati karya kakek penyihir bertopi pet Sapardi Djoko Damono dalam maha karyanya dukanya abadi kakek ini, selain jago meramu kenangan massa kanak-kanak, juga piawai dalam pola pemenggalan sebuah larik puisi ke larik puisi berikutnya. Ia juga dikenal  pandai “menginteraksikan” benda-benda, hewan-hewan, dan tumbuhan dengan manusia. Jika kembali membaca puisi aku ingin miliknya, selalu mampu menyihir saya untuk “nembak’ kepada semua gadis manis atau tante – tante penjual sayur yang saya temui. Dalam sebuah essai Sapardi yang saya simpan, kakek penyair legendaris ini juga bisa memuntahkan kejengkelan dengan begitu heroiknya, ia katakan *

“ Harus kita akui bahwa sepandai-pandainya pengarang, bisa saja ia melakukan kekeliruan atau kecerobohan dalam cara penyampaian maupun apa yang disampaikan. Ia mempunyai kewajiban untuk memeriksa ulang dan memperbaikinya, dan penerbit yang baik juga berkewajiban untuk membantunya. Naskah yang masuk ke penerbit dan penyelenggara sayembara penulisan menunjukkan bahwa kecerobohan pengarang sangat tinggi kadarnya. Menurut pengalaman saya, praktis tidak pernah ada naskah peserta sayembara penulisan yang seratus persen siap untuk diterbitkan. Karena tidak adanya usaha untuk menyelenggarakan penyuntingan yang sungguh-sungguh, sebenarnya sebagian besar sastra kita adalah sastra yang ceroboh. Kita pernah membaca kritik F. Rahardi, penyair dan redaktur majalah pertanian Trubus, terhadap kecerobohan A. Tohari mengenai berbagai masalah pertanian dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.10 Novel Umar Kayam yang banyak mengandung kosa kata Jawa, Para Priyayi, agak menderita sebab tampaknya si penyunting tidak begitu menguasai penulisan ejaan bahasa Jawa. Dan amat sangat banyak karya sastra kita yang mencerminkan lemahnya penguasaan bahasa; cerita rekaan menjadi bertele-tele dan menjengkelkan, puisi menjadi gelap.

Sastra tidak bisa dilahirkan dengan tergesa-gesa, pengarang tidak bisa sepenuhnya bekerja sendirian. Secara langsung atau tak langsung memerlukan bantuan bidang dan keahlian lain. Sistem kesusastraan kita tampaknya belum sepenuhnya siap menunjang kelahiran sastra di zaman yang serba cepat ini. Bisnis penerbitan mensyaratkan dipercepatnya proses penerbitan dan dilipatgandakannya judul buku baru. Tujuan penerbitan yang mementingkan faktor laba ini segera tampak bertentangan dengan hakikat sastra yang memang tidak bisa dipaksa tergesa-gesa dan ceroboh. Yang sekarang diperlukan adalah suatu sistem penerbitan sastra yang bisa mempertemukan keduanya. Jadi, kita harus menciptakan sistem kepengarangan dan penerbitan yang bisa bekerja sama dengan baik, tanpa harus merugikan perkembangan kesusastraan “.

* Kita dan Sastra Dunia, SDD, Pada acara Temu Mitra Redaksi Mizan Pustaka yang bertema Menjelajah Sastra Terjemahan, yang berlangsung di Bandung, 8 Februari 2003.

Tujuan merangkai  kata dan menabung makna pada Puisi

Kembali kepada DAM, dengan belajar kepada para sesepuh dunia sastra kita, pada nama-nama yang ia sebutkan bagaikan kepingan-kepingan puzzle atau urutan petunjuk, selain Sapardi yang telah saya ungkit sebahagian kelebihan yang harus kita pelajari diatas, adapula GM, Subagyo, SCB dan dewa puisi idaman saya si plontos Afrizal Malna. membaca mereka kata DAM tentu saja mengundang resiko, katanya /apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian /. Dengan banyak menikmati karya mereka tentunya akan mempengaruhi kita dalam merangkai puisi, mereka akan selalu hadir dalam bayang-bayang saat kita menggoreskan sebuah karya milik kita sendiri, di sebahagian penyair ada saja yang belum mampu keluar dari bayang-bayang penyair-penyair besar ini, atau minimal masih tercium “perkawinan hibrida” dalam pola ucap sebuah proses lahirnya sebuah karya puisi mereka, namun ada juga yang yakin, di antara ribuan penggiat sastra dari waktu ke waktu ada saja yang mampu keluar dan menemukan cara ucap sendiri atau kekhasan masing-masing. Menurut esais terkenal Hudan Hidayat pengasuh JSTH “ penyair-penyair besar ini dahulu saat berproses dan menjadi seperti itu, juga banyak belajar dari karya para penyair besar yang di kenal dunia”, apakah dengan pola membaca, menerjemahkan atau so what gitcu loh. Kata DAM disinilah letak masalahnya. namun meski mengandung “masalah” mereka harus tetap dipelajari. “Sebab mereka adalah nama-nama yang memiliki ciri khas yang begitu unik dan telah terbukti keberhasilannya di belantika sastra kita” lanjut Hudan. Disinilah maksud yang tersimpan pada teka-teki titik dalam judul buah simalakama itu menurut saya.    

Di bait kedua puisi karya DAM, kita disuguhi nama-nama yang kental dalam mengusung tema ketuhanan atau kedekatan kepada Tuhan atau yang kuat dalam menukik pada tema-tema rahasia misteri falsafat ketuhanan, ada Amir Hamzah, ahasveros, Takdir, atau raja Ali, mereka nama-nama ini, dalam maha karya mereka  begitu tebal dengan pesan misteri kehidupan. Mungkin barangkali pada semua penyair kelaknya akan bersentuhan dengan tema universal ini, sebab penyair adalah mereka yang di kirim Tuhan dapat memaknai dan membahasakan makna tersembunyi dari sebuah rahasia kata. Sebahagian penggiat sastra yang telah mumpuni percaya, bahwa puisi yang berhasil adalah puisi yang mengandung sebuah nilai amanat ketuhanan di dalamnya, di balik rahasia kata, kita tak dapat membedakan warna baju lagi, semua agama yang hadir di muka bumi ini pada prinsipnya mengajari rahasia cinta kasih, keanekaragaman itu hakekatnya hanya pada luarnya saja, namun pada rahasianya yang tersembunyi, cinta tetaplah cinta yang datang dari Maha Rahman dan Rahim, semua rahasia kata akan berpulang kepada Maha berkata-kata jua.     

Saat memandang rahasia akhir tujuan itu, kita bakal menjelma “intan berkilauan” kata penyair DAM, karya kita bakal abadi dan di kenang selamanya, sebab memiliki keterikatan yang begitu kuat dengan Maha Abadi, Dia yang Maha Mengetahui pintu-pintu ucap dalam misteri kata-kata akan menganugrahkan kita rahasia gemerlap kata-kataNya yang begitu kaya dan tak terduga itu. Di seluruh jagad raya yang belum semua terungkap, banyak matahari yang belum kita temukan, banyak yang belum terbahasakan di dalam rahasia kata-kataNya, oleh mereka yang mengatakan tak ada lagi yang baru di bawah cahaya matahari adalah mereka yang tak mau menerima bahwa jutaan galaksi rahasia kata-kataNya adalah milyaran matahari baru yang belum di kenal manusia yang pernah hidup hingga sekarang ini, disanalah muara semua penyair yang ibarat pengelana itu,yang tak lelah mencari itu, memulangkan seluruh kerinduannya.

Semoga. 


Topi Jerami, 12/01/2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar