Selasa, 11 Oktober 2011

MENGENALI STRUKTUR PENULISAN AMIR HAMZAH, CHAIRIL ANWAR, DAN DIMAS ARIKA MIHARDJA

Oleh : Hadi Napster





Masih tentang pembicaraan licentia poetica dalam kaitannya dengan konvensional bahasa, pada kesempatan ini kita awali dengan kutipan pendapat dari Atmazaki (1993: 70-72) yang menulis; Ada tiga faktor yang menjadi penyebab licentia poetica digunakan oleh penyair, yaitu sebagai berikut: 1) Pada dasarnya penyair menyampaikan pengalaman puitiknya. Pengalaman puitik tersebut lebih banyak berhubungan dengan emosi dan intuisi daripada rasio, ilmu dan ilmiah; 2) Karena pengucapan puisi lebih pendek daripada pengucapan non puisi maka berbagai unsur yang menurut penyair mengganggu pengucapan puitiknya akan dihilangkan atau dibuang; 3) Sastrawan (penyair) adalah orang yang mampu menggunakan bahasa untuk tujuan tertentu.



Selanjutnya beragam pendapat tentu dapat leluasa bertumbuh-kembang. Dengan acuan kutipan di atas, masing-masing kalangan bisa membuat opini sendiri-sendiri. Tanggapan pun tentu akan berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang apa yang digunakan untuk melihat licentia poetica. Misalnya ketika kita berdiri dalam lingkup "ragam resmi", sudah pasti tidak akan sama dengan ketika kita mengedepankan "ragam puitis". Atau misalnya jika kita mengikuti arus licentia poetica dengan pemahaman bahasa sebagai alat komunikasi umum, akan berbeda jauh dengan ketika kita menyikapinya atas dasar pemahaman bahasa sastra.



Adapun dalam tulisan ini, sudut pandang yang akan kita gunakan ialah aspek konvensional dalam lingkup bahasa umum (tulisan, non lisan). Mengapa demikian? Karena bagaimanapun juga, konvensi bahasa yang dibakukan dalam bentuk kaidah bahasa bernama EYD, adalah "sesuatu" yang memang telah dan sedang terjadi -- serta terus berproses. Sedangkan paradigma konvensi itu sendiri berjalan dalam tataran masyarakat bahasa secara umum, bahkan selalu dianjurkan untuk diterapkan dalam komunikasi sehari-hari. Sementara karya-karya sastra yang konon banyak mengandalkan licentia poetica --ragam puitis non konvensi-- pada kenyataannya bukan hanya dibaca oleh masyarakat bahasa sastra, tetapi juga menjadi konsumsi masyarakat bahasa secara umum.



Pertanyaannya sekarang adalah; bagaimanakah kira-kira resepsi kita sebagai masyarakat bahasa (dalam lingkup komunikasi umum) yang selalu dan senantiasa dianjurkan agar berbahasa secara konvensional --terutama melalui bangku pendidikan-- akan menyikapi masalah licentia poetica ini? Sudahkah kita mengetahui perihal tata, letak, bentuk, dan lain sebagainya menyangkut licentia poetica dalam karya-karya sastra yang kita baca sehari-hari? Lantas sudahkah kita memahami struktur-struktur seperti apa dalam karya sastra (khususnya puisi) yang tergolong penyimpangan kaidah bahasa dan sebagainya yang digolongkan licentia poetica?



Memang, sejauh ini licentia poetica adalah mutlak milik individu penggunanya, terutama kalangan penyair. Tidak ada satu penyair pun dapat disama-setarakan dengan penyair lainnya dalam hal penggunaan licentia poetica. Para penyair sendirilah yang harus mengenal, menentukan, lalu menguasai dan menumbuh-kembangkan licentia poetica masing-masing. Tentunya tidak boleh dilupakan juga -- dan teramat sangat penting: konsistensi serta tanggung jawab yang "wajib" diemban bagi segala bentuk licentia poetica yang hendak atau telah diterapkan.



Harus ditilik dan dicermati pula, bahwasanya licentia poetica bukanlah berarti "lampu hijau" bagi para penyair untuk melanggar kaidah bahasa begitu saja. Karena ketika melakukan penyimpangan kaidah bahasa dalam karya sastra, haruslah ada alasan kuat serta tujuan akurat. Akan lebih baik jika maksud dan tujuannya ialah demi kepentingan komunikasi, agar karya sastra lebih mudah dipahami pembaca. Karena sekali lagi, pembaca karya sastra bukan hanya satu-dua orang saja, bukan hanya masyarakat yang menggeluti sastra saja, melainkan masyarakat bahasa secara luas -- yang selalu dianjurkan untuk berbahasa konvensional.



Artinya, akan ada pengharapan (kelak) bahwa kecenderungan paham "seni untuk seni" yang masih kental dalam aktivitas kesusastraan selama ini, dapat sedikit bergeser ke arah "seni untuk masyarakat". Sehingga dalam perkembangannya, licentia poetica tidak akan tumpang tindih lagi dengan kaidah bahasa. Melainkan sedapat mungkin berjalan beriringan, hampir-menghampiri, jalin-menjalin, lalu saling melengkapi antara satu dengan yang lain, demi tujuan pencapaian "komunikasi" maksimal dalam lingkup masyarakat bahasa secara luas. Karena diakui atau tidak, kaidah bahasa dimaksud adalah produk konsensus yang ditujukan sebagai pengatur serta pengontrol, dengan tujuan agar bahasa menjadi teratur, tertata, berwibawa, dan berkembang sebagai salah satu citra baik bagi bangsa.



Kalaupun kemudian lantas terjadi pelanggaran terhadap kaidah bahasa, maka hendaknya tetap diperhitungkan: siapa yang melanggar, karya jenis apa yang ditulis, serta kaidah mana yang dilanggar? Sebab merupakan sesuatu yang sangat mustahil jika harus membuat perlakuan sama terhadap tulisan-tulisan jenis karya sastra (khusunya puisi) dengan tulisan-tulisan formal seperti skripsi, tesis, disertasi, jurnal, esai, atau karya ilmiah lainnya. Kaidah bahasa sendiri juga banyak rupa dan ragamnya, bukan satu jenis saja. Dengan kata lain: akan teramat rancu jika harus memandang licentia poetica dari balik kaca mata kaidah bahasa konvensional. Tetapi tidak ada salahnya jika kita mencoba untuk paling tidak mencari tahu, mengenal, lalu berusaha memahami keberadaan licentia poetica di dalam karya sastra yang kita tulis dan baca sehari-hari.



Menyinggung sedikit kaitannya dengan karya sastra --penyair dan karyanya-- licentia poetica sebenarnya lebih cenderung menjadi ciri atau karakter khusus seorang penyair yang bisa kita temukan di dalam karya-karyanya. Maksudnya, licentia poetica memang merupakan wewenang penuh dan mutlak bagi seorang penyair untuk menentukan metode, pola, gaya, maupun cara pengungkapannya, dalam rangka membangun sebuah karya sastra demi pencapaian tujuan tertentu – termasuk komunikasi dengan pembaca. Tetapi harus digarisbawahi juga, bahwa licentia poetica bukanlah "pembelaan" yang patut dikedepankan oleh penyair ketika pembaca atau penghayat mendapati lalu mempertanyakan sesuatu dalam karyanya yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa.



Lebih bijak jika dikatakan; idealnya, kalangan penyairlah yang mestinya lebih dahulu memahami kaidah bahasa sebelum menulis. Agar nantinya ketika ada pertanyaan sehubungan kaidah bahasa yang muncul terkait karyanya, harga mati berupa tanggung jawab untuk menerang-jelaskan karya itu pun dapat diserukan selantang-lantangnya. Jangan sampai kejadiannya justru seperti yang marak terjadi akhir-akhir ini, di mana banyak penyair --terutama angkatan puber dan euforia sastra-- justru pusing sendiri ketika hendak menjawab pertanyaan perihal karyanya. Tak jarang malah banyak yang diam-diam melarikan diri, lalu "gantung pena" dan memutuskan untuk menjadi penyair yang pensiun dini.



Apa pasal? Apa lagi kalau bukan karena pembaca (yang membaca) ternyata lebih paham kaidah bahasa daripada penyair (yang menulis). Masih mending jika penyair bisa terbuka dan berjiwa besar menyikapi wacana kritis dari luar, tapi kalau tidak? Misalnya -- kasus ini sangat sering terjadi; ketika ada pembaca yang menanyakan hal-hal mendasar seperti "kata depan" dalam sebuah tulisan (puisi) yang berubah bentuk menjadi "awalan". Jawabannya bisa ditebak: segera buka google, masuk ke situs wikipedia, lalu cari artikel EYD. Selanjutnya copy-paste dan balas komentar. Atau jika sedang malas mencari informasi di internet, tinggal jawab saja: penulisan seperti itu adalah termasuk “kebebasan” licentia poetica. Menerima jawaban demikian, pembaca yang bertanya pun tersenyum miris, sinis, dan meringis. Membayangkan derap langkah "sastra" yang bukannya maju ke depan, tetapi mundur jauh ke belakang, lantaran adanya "pembelaan mutlak" bernama licentia poetica.



Tanpa bermaksud membandingkan, sebagai ilustrasi sederhana keterkaitan licentia poetica dengan kaidah bahasa (EYD), bisa kita kedepankan tiga orang penyair berikut karya-karyanya, dari tiga periodisasi sastra yang berbeda. Untuk selanjutnya secara bersama-sama kita telusuri sejauh mana cakupan licentia poetica dimaksud jika dipandang dari segi struktur penulisan. Dalam hal ini kita mengusung referensi syair-syair "istana sentris" Amir Hamzah (Angkatan Pujangga Baru), sajak-sajak "ekspresif" Chairil Anwar (Sastrawan Angkatan '45), hingga puisi-puisi "sexy" Dimas Arika Mihardja (Sastrawan Angkatan 2000-an).



Amir Hamzah dalam syair-syairnya, ketika menuliskan kata ulang (reduplikasi), tetap patuh pada kaidah bahasa dengan menggunakan tanda hubung (-), seperti pada kata: bertukar-tukar; memohon-mohon; melayang-layang; tulang-belulang; turun-temurun, dan kata lainnya. Kepatuhan terhadap kaidah bahasa juga masih terlihat kala Amir Hamzah menuliskan ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan, tetap menggunakan huruf awal kapital, seperti pada kata: Allah. Syair-syairnya pun selalu tertib mengawali larik atau bait dengan huruf kapital. Kesemuanya itu masih berjalan dalam koridor kaidah bahasa.



Kemungkinan licentia poetica baru akan muncul manakala kita dapati bahwa Amir Hamzah "sering" menggunakan tanda penghubung pada kata-kata yang mengandung unsur bunyi aliterasi dan asonansi (meski bukan merupakan kata ulang), seperti: mutu-mutiara; membidai-belai; jauh-terjatuh; marak-sumarak; atau nipis-tipis.



Namun apakah layak kita golongkan licentia poetica masalah penulisan partikel "di" dan "ke" yang sebenarnya berfungsi sebagai kata depan (preposisi) --yang menurut kaidah bahasa harus ditulis terpisah dengan kata keterangan tempat yang mengikutinya-- justru ditulis terangkai dalam kebanyakan syair Amir Hamzah? Misalnya pada kata: diatas; diantara; dihadapanmu; diujung; dibawah; didalam; atau kedalam. Entah kasus ini merupakan dampak perubahan kaidah bahasa --karena kaidah bahasa lama memang masih menuliskan kata depan "di" dan "ke" secara terangkai dengan kata yang mengikutinya-- atau karena ada sebab lain. Yang pasti, dalam syair-syair lainnya sebagian kata depan sudah dituliskan terpisah sesuai dengan kaidah bahasa yang baru.



Lalu bagaimana dengan larik-larik dalam beberapa syair Amir Hamzah yang pada akhir lariknya menggunakan 11 hingga 13 tanda titik? Contoh:



Mata hari - bukan kawanku...........

(Padamu Jua)



Tetapi aku tiada merasa...........

(Tetapi Aku)



Menurut hati menaruh rindu.............

(Batu Belah)



Apakah penggunaan tanda titik seperti di atas termasuk licentia poetica juga? Karena menurut kaidah bahasa, tanda elipsis (...) yang difungsikan sebagai penanda dalam kalimat terputus, atau naskah jika ada bagian yang dihilangkan, ketika posisinya berada di antara kalimat maka yang digunakan adalah tiga tanda titik (...), sedangkan jika posisinya berada pada akhir kalimat maka yang digunakan adalah empat tanda titik (....) -- tambahan satu titik untuk menandai akhir kalimat.



Kita tinggalkan sejenak Raja Syair Angkatan Pujangga Baru, sekarang mari menelusuri sajak-sajak "binatang jalang" milik pelopor Angkatan '45, Chairil Anwar. Kepatuhan pada kaidah bahasa juga ditunjukkan Chairil Anwar ketika menuliskan kata ulang (reduplikasi) dengan tetap menggunakan tanda hubung (-), seperti pada kata: sia-sia; dikoyak-koyak; abu-abu; burung-burung; tulang-tulang; buah-buahan; kelok-kelok; katil-katil; ahli-ahli; bermuka-muka; bernyala-nyala; hampir-menghampiri; dan kata-kata lainnya. Kebiasaan menggunakan tanda hubung (-) pada kata yang mengandung unsur bunyi aliterasi dan asonansi nampaknya dipakai juga oleh Chairil Anwar (dalam beberapa sajak), seperti: bergenderang-berpalu; dinanti-dimengerti; atau datar-lebar.



Begitu pula ketika menuliskan unsur-unsur nama atau kata ganti untuk Tuhan, nama orang, nama bangsa, suku bangsa, dan nama unsur geografi (baca: kota), Chairil Anwar selalu konsisten dengan menggunakan huruf awal kapital. Contoh: Tuhanku; Kau; Dia; cayaMu; pintuMu; Ahasveros; Eros; Hitler; Masyumi-Muhammadiyah; Chairil; Mirat; Nina; Yati; Yahudi; Jerman; Eropa; Amerika; Capitol; Krawang-Bekasi; dan kata lainnya. Sajak-sajaknya pun selalu identik dengan huruf kapital pada awal larik atau bait, sama seperti Amir Hamzah.



Aturan kaidah bahasa tentang penggunakan tanda penyingkat apostrof (') untuk menunjukkan penghilangan bagian kata sepertinya tetap diikuti juga oleh Chairil Anwar. Hal ini terlihat ketika menyingkat kata akan menjadi 'kan dalam beberapa larik sajak-sajaknya, seperti:



Kumau tak seorang 'kan merayu

(Semangat)



Karena kau tidak 'kan apa-apa

(Tak Sepadan)



Ajal yang menarik kita, 'kan merasa angkasa sepi

(Kepada Kawan)



Kemungkinan licentia poetica seorang Chairil Anwar akan terlihat jelas pada gaya penulisan yang "gemar" merubah susunan atau pola gramatikal kalimat. Karena merupakan hal lazim jika dalam sajak-sajak Chairil Anwar kita temui susunan kata pada tingkat frasa yang lebih banyak menggunakan bentuk "majemuk regresif" dengan pola M-D (Menerangkan-Diterangkan) daripada bentuk "majemuk progresif" dengan pola D-M (Diterangkan-Menerangkan). Contoh:



setumpuk kecil, menjadi: kecil setumpuk

(Penghidupan)



Udara kabut tebal, menjadi: Udara tebal kabut

(Ajakan)



Pada tingkat klausa juga terjadi hal yang sama, yakni dengan membentuk berbagai variasi struktur fungsional dan sama sekali tidak terikat pada pola S-P-O/ket/pel (Subjek-Predikat-Objek/keterangan/pelengkap). Contoh:



Ini barisan tak bergenderang-berpalu

(Diponegoro)

Semestinya: Barisan ini tak bergenderang dan berpalu



Mampus kau dikoyak-koyak rindu

(Sia-Sia)

Semestinya: Kau mampus karena dikoyak-koyak rindu



Kemudian, meski tidak seberapa jumlahnya, Chairil Anwar juga terkadang memotong atau menghilangan prefiks (awalan) "me-" ketika menuliskan kata kerja (verba). Hal ini terlihat dalam sajak "Penghidupan" ketika membaca larik:



mukul dentur selama



nguji pematang kita



Sampai pada tahapan ini, tentu sudah terbayang poin-poin mana yang layak dikategorikan licentia poetica dan mana yang tidak. Setelah menelusuri kemungkinan-kemungkinan tersebut dalam struktur penulisan Amir Hamzah dan Chairil Anwar, sekarang mari kita melangkah maju ke generasi yang lebih muda. Tepatnya ke periodisasi Sastrawan Angkatan 2000-an untuk sedikit mencari peluang licentia poetica dalam struktur penulisan puisi-puisi "sexy" Dimas Arika Mihardja (DAM).



Sama halnya dengan Amir Hamzah dan Chairil Anwar, penggunaan huruf awal kapital pada unsur-unsur nama dan kata ganti untuk Tuhan masih dipakai juga oleh DAM (dalam beberapa puisi). Bahkan di sini menjadi karakter tersendiri karena selalu dipertegas dengan menyisipkan tanda hubung (-), seperti terlihat pada kata: ya Allah; Nur Ilahi Robbi; Pujangga Sejati-Allah; sajadah-Nya; untuk-Mu; sajak-Nya; istana-Nya; ampunan-Nya; dan kata lainnya. Tetapi, penghayatan akan langsung dihadapkan pada atmosfer multi-tafsir ketika dalam puisi lainnya kita justru mendapati penulisan "serupa" namun tidak mengandung huruf kapital. Contoh: degup-nya; kilau-nya; hadapan-nya; kelebat-nya; terompah-mu; pangkuan-mu; wajah-mu; dan kata-kata lainnya. Nah, apakah licentia poetica kira-kira termasuk juga meliputi gaya penulisan ini?



Khusus untuk penulisan unsur-unsur nama orang, nama bangsa atau suku bangsa, dan unsur geografi, meski dalam beberapa puisi masih kita jumpai penulisan dengan huruf awal kapital, akan tetapi DAM lebih "dominan" menggunakan huruf kecil. Contoh: indonesia; jogja; kulonprogo; jambi; nyi roro kidul; malin kundang; maridjan; ahmad; yessika; nelly; dimas; pras; erny; dan yang lainnya. Pertanyaan kembali muncul, apakah gaya penulisan ini juga tergolong licentia poetica?



Melangkah lagi pada penulisan kata ulang (reduplikasi). Di sinilah kita mulai disuguhi salah satu ciri khas kebanyakan puisi DAM, yakni penghilangan tanda hubung (-) dalam kata ulang. Contoh: ayatayat; diamdiam; mimpimimpi; musimmusim; orangorang; semaksemak; bidukbiduk; tersayatsayat; melengkinglengking; dan masih banyak lagi kata lainnya. Tetapi gaya penulisan ini tidak berlaku secara keseluruhan, karena dalam puisi lainnya kita masih mendapati penulisan kata ulang yang tetap menggunakan tanda hubung (-), seperti: makam-makam; rama-rama; sayap-sayap; bale-bale; nada-nada; mimpi-mimpi; pintu-pintu; resah-resahku; mengiris-iris; mengendap-endap; dan kata-kata lainnya.



Kemudian, ketika menuliskan kata-kata yang (kemungkinan) dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan tertentu, DAM selalu menggunakan tanda hubung (-) atau tanda pisah (--). Contoh: senyum-canda; rumah-amanah; sandang-papan-pangan; suarasuara-maknamakna-lukaluka; riak-ombak-gelombang; mengejar matahari--membakar sesaji; menebar jala--merenda makna; komandan upacara--ibu pertiwi; sajakku--anggurnya; tragedi--demi--tragedi; dan masih banyak lagi kata atau ungkapan lainnya.



Dalam menuliskan kata "kau" (kata ganti orang kedua tunggal) yang diikuti oleh kata kerja (verba) "tak berimbuhan -- awalan", maka kedua kata tersebut akan selalu dirangkai menjadi satu kesatuan oleh DAM. Tetapi harap dicatat; ada beberapa puisi "tertentu" yang menjadi pengecualian, dan penulisan ini juga tidak berlaku jika kata yang mengikuti kata "kau" adalah kata yang berimbuhan "awalan". Contoh: kautenggak; kauziarahi; kaugubah; kaualiri; kausembunyikan; kausapa; kaukirim; dan kata-kata lainnya. Jangan lupakan pula kemungkinan licentia poetica yang lain dalam puisi-puisi DAM, yaitu mayoritas puisinya (tidak semua), sangat identik dengan "huruf kecil" dari awal hingga akhir. Tidak sama dengan Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang selalu memulai larik atau bait syair dan sajak mereka dengan huruf kapital.



Selanjutnya, penghilangan prefiks (awalan) "me-" ketika menuliskan kata kerja (verba) sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar dalam puisi "Penghidupan" nampaknya justru menjadi ciri khas DAM selanjutnya. Ihwal ini akan kita dapati langsung dalam larik-larik beberapa judul puisi, di antaranya:



lalu angin nyeret rahasia-mu

(Menguak Mimpi, 1)



ya, darah melayu netes ke dalam sajak

(Silsilah Tanah Merah)



pesan yang kau kirim padanya mungkin nyangkut

(Kabut di Wajahmu, Kekasih)



ngalir dan mencairkan hujan di mata. ricik-nya

(Ekstase, Malam Hujan)



ngusap airmata

(Jemari Yessika)



aku berlari seperti acep syahril yang nggigil

(Elegi Batanghari)



Penulisan seperti di atas tentu saja sudah di luar dari kaidah bahasa dan menimbulkan tanda tanya besar. Tetapi jawabannya dapat kita temui dalam pernyataan Sudjiman (1993: 19-20); Terhadap cara-cara pengucapan penyair mengelompokkannya ke dalam tiga klasifikasi, yaitu: 1) Penyair mengikuti kaidah bahasa secara tradisional konvensional; 2) Penyair memanfaatkan bahasa secara inovatif tetapi masih di dalam batas-batas konvensi; 3) Penyair menyimpang dari konvensi yang berlaku, yang mana poin ketiga dijabarkan lagi oleh Atamazaki (1993: 72) dengan menulis; Penyimpangan dari konvensi yang berlaku tersebut antara lain dapat berupa penghilangan imbuhan dan penyimpangan struktur sintaksis.



Dari ilustrasi-ilustrasi struktur penulisan ketiga penyair di atas, segala persamaan, perbedaan, kepatuhan hingga penyimpangan kaidah bahasa yang ada, tentu sudah dapat disimpulkan perlahan-lahan. Mana sebenarnya yang termasuk licentia poetica, dan mana yang memang merupakan “kekeliruan” dalam penulisan. Adapun terkait penerapannya dalam karya sastra, entah itu dalam koridor patuh atau menyimpang, semua terpulang pada pertanggungjawaban masing-masing penyair. Karena sudah barang pasti, bahwa seorang penyair menggunakan licentia poetica bukanlah tanpa alasan, maksud dan tujuan.



Jadi? Pilihannya sederhana saja; mari lepas-bebas, mencari, menemukan, mengenali, menentukan, dan memelihara licentia poetica masing-masing, berikut segala bentuk pertanggungjawabannya. Dengan catatan, terlepas dari segala kemungkinan yang bisa terjadi karena dampak penggunaan licentia poetica, barangkali layak direnungkan kembali pernyataan Alisjahbana (1984: 46-47); Penyimpangan dari norma-norma tata bahasa tersebut hendaknya dalam rangka pencapaian nilai-nilai kepuitisan, nilai kepadatan ucapan.



Kalaupun suatu ketika licentia poetica lantas ada yang menudingnya sebagai sesuatu yang melukai bahasa, hal itu pun sangat penting untuk ditelaah lebih jauh. Karena betapa pun pentingnya "ragam puitis" dalam karya sastra, kita semua tentu tidak akan rela jika bahasa yang tadinya merupakan alat pemersatu bangsa, pada akhirnya justru terpecah-belah hanya karena "ketidakmengertian" akan licentia poetica. Ya, perpecahan yang bisa saja mengantar kita untuk kelak teriak serentak; Malu aku jadi orang Indonesia. Bagaimana menurut anda?





Yogyakarta, Oktober 2011

Salam Bahasa, Sastra dan Budaya!

----------------------------------------------------------------



Referensi :

* Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi (Dian Rakyat, 2004 - Cetakan 14)
* Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang (GPU, 2010 - Cetakan 22)
* Chairil Anwar, Deru Campur Debu (Dian Rakyat, 2008 - Cetakan 7)
* Dimas Arika Mihardja, Sajak Emas (Kosa Kata Kita, 2010)

Jumat, 07 Oktober 2011

TAFSIR SEMIOTIK PUISI

“Elegi Buat Agamemnon”:

Tafsir Semiotik Sajak Y.S. Agus Suseno



Oleh : Jamal T. Suryanata*





Abstract



Based on semiotics perspective, poetry is one of language activity form and functions as a meaningfull signs systems. Poetry “Elegi Buat Agamemnon” written by Y.S. Agus Suseno was analyzed by semiotics approach that had two reading process, namely heuristic and hermeneutic reading by Michael Riffaterre. The semiotics approach had revealed the hermeneutic meaning in finding philosophical thinking of the writer.



Keywords: poetry, semiotics approach, heuristic reading, hermeneutic reading.



1. Pengantar

Y.S. Agus Suseno (Banjarmasin, 23 Agustus 1964) mungkin bukanlah nama yang terlalu akrab di telinga pembaca sastra Indonesia karena sosoknya sebagai penyair juga tidak terlalu sering disebut-sebut dalam perbincangan sastra di tanah air. Hal itu karena ia sendiri memang termasuk salah seorang penyair yang tidak begitu produktif dalam berkarya. Namun, di luar persoalan popularitas, sajak-sajak yang pernah ditulisnya pada umumnya sangat impresif dan mampu meninggalkan kesan yang mendalam di hati para pembacanya. Beberapa faktor pendukung kekuatan sajaknya, antara lain, dilantarankan oleh pilihan katanya yang sangat cermat, penggunaan metafor-metafornya yang segar dan eksploratif, dan terutama karena intensitas makna serta nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.



Dari sejumlah sajak yang pernah ditulis Agus (demikian sapaan akrab penyair ini), sejauh yang dapat saya lacak, setidaknya ada lima belas sajak yang menunjukkan kekuatannya sebagai karya literer. Kelima belas sajaknya yang ditulis selama rentang waktu 1984—1989 tersebut dimuat dalam sebuah kumpulan kecil yang dibukukan secara sederhana dan dicetak terbatas untuk kepentingan suatu forum bertajuk “Pembacaan dan Diskusi Puisi Y.S. Agus Suseno” yang digelar di Auditorium Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan (Banjarmasin, 10 Desember 1989).[1] Dalam diskusi tersebut, konon penyair Hijaz Yamani (alm.) menilai bahwa sajak bertajuk “Elegi Buat Agamemnon” merupakan kristalisasi dari seluruh sajak Agus yang dijadikan materi pembahasan. Kemudian, terkait maupun lepas dari penilaian seorang Hijaz Yamani, dalam tulisan singkat ini saya akan mencoba mengangkat kembali sajak “Elegi Buat Agamemnon” sebagai objek kajian. Sebagai “titian analitis”-nya, sajak tersebut akan ditelaah dengan pendekatan semiotik, khasnya dengan model semiotik puisi (semiotics of poetry) yang dikembangkan oleh Michael Riffaterre.



Di samping karena “Elegi Buat Agamemnon” memang menunjukkan bobot literernya yang relatif “cantik” sebagai karya puisi, jatuhnya pilihan saya pada sajak tersebut terutama didasarkan atas pertimbangan yang lebih mengarah pada alasan teknis-metodologis; bahwa sajak tersebut memang sangat cocok dan representatif untuk ditelaah dengan pendekatan semiotik (baca: model semiotik puisi menurut versi Riffaterre). Sebab, berdasarkan pembacaan sekilas, secara teoretis sajak tersebut relatif dapat menampung dan atau membuka peluang bagi kemungkinan penerapan konsep-konsep semiotik yang dikembangkan oleh Riffaterre sebagaimana terurai melalui bukunya yang sudah tak asing lagi dalam percaturan sastra Indonesia, Semiotics of Poetry (1978). Lebih dari itu, sebagai argumen penguat lainnya, sajak tersebut juga secara jelas memperlihatkan jejak (hubungan) intertekstualnya dengan teks tertentu yang diasumsikan sebagai hipogramnya. Padahal, kita tahu, intertektualitas merupakan salah satu aspek yang sangat ditekankan oleh Riffaterre dalam kajian semiotik puisi yang dikembangkannya. Adapun alasan atas ketetapan saya untuk hanya membicarakan sebuah sajak saja sebagai bahan kajian tentunya karena pilihan demikian akan lebih memberi keleluasan ruang-gerak bagi kemungkinan-kemungkinan eksploratif dalam upaya pembongkaran makna esensialnya secara relatif tuntas dan komprehensif.



Akan tetapi, dalam konteks ini, tanpa harus mengemukakan argumen-argumen yang bernada ilmiah sekalipun, persoalan memilih sebuah puisi atau lebih sebagai objek kajian (materi pembahasan) sebenarnya sudah merupakan hak prerogatif setiap pembaca. Sebab, bagaimanapun, suatu pilihan atau penilaian terhadap karya sastra tertentu tak akan pernah bisa benar-benar lepas dari ulur-tarik subjektivitas pribadi setiap pembaca (penelaah). Jadi, secara implisit terkatakan, andai saja saya harus berhadapan dengan pertanyaan “Mengapa Anda memilih karya Y.S. Agus Suseno?” atau “Mengapa Anda menjatuhkan pilihan pada sajak ‘Elegi Buat Agamemnon’ saja sebagai bahan kajian?”, dengan gaya berseloroh pada dasarnya saya cukup mengatakan “Karena saya menyukainya!”[2] Namun demikian, saya juga sangat menyadari bahwa alasan-alasan yang semata-mata bersifat emosional sudah pasti tidak akan memberikan kepuasan ilmiah.



2. Pespektif Semiotik Riffaterre

Dalam uraian di atas, secara eksplisit telah disebutkan bahwa titik tolak pembahasan terhadap sajak “Elegi Buat Agamemnon” karya Y.S. Agus Suseno ini didasarkan pada perspektif semiotik, khususnya dengan model semiotik puisi yang dikembangkan oleh Michael Riffaterre. Dalam pandangan Riffaterre, puisi pada hakikatnya merupakan salah satu aktivitas (ber-)bahasa. Hanya saja, “The language of poetry differs from common linguistic usage –this much the most unsophisticated reader senses instinctively.” Perbedaan bahasa puisi dengan bahasa sehari-hari terutama karena puisi cenderung mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Ketidaklangsungan ekspresi puisi itu ditentukan oleh tiga faktor, yakni pengubahan (displacing), penyimpangan (distorting), dan penciptaan (creating). Terjadinya pengubahan makna dalam puisi disebabkan oleh adanya metafora (metaphor) dan metonimia (metonymy), yakni penggunaan unsur-unsur kiasan. Adapun penyimpangan makna terjadi karena bahasa atau kata-kata dalam puisi seringkali memunculkan ambiguitas (ambiguity), kontradiksi (contradiction), dan permainan kata (nonsense). Sedangkan terjadinya penciptaan makna (baru) disebabkan oleh organisasi tekstual (bentuk fisik) puisi yang sesungguhnya berada di luar sistem linguistik (misalnya simetri, rima, atau kesejajaran semantis antara homologues dalam suatu bait).[3]



Kendati Riffaterre hanya menyebut bahwa pengubahan makna (displacing of meaning) dalam bahasa puisi disebabkan oleh adanya penggunaan metafora dan metonimia, tetapi pada dasarnya hal itu berlaku pula untuk jenis-jenis majas atau perbandingan lainnya (misalnya simile, sinekdoke, alegori, atau personifikasi). Metafora sendiri ada yang bersifat eksplisit dan ada yang hanya bersifat implisit. Metafora eksplisit secara langsung menyebutkan hal yang diperbandingkan (tenor) beserta pembandingnya (vehicle), sedangkan metofora implisit hanya menyebutkan pembandingnya.



Ambiguitas merupakan ciri umum yang terdapat dalam karya-karya puisi dan karenanya penafsiran makna sebuah puisi bersifat multitafsir (poly-interpretable). Selain itu, bias makna juga disinggungkan oleh kehadiran kata-kata yang bersifat kontradiktif, baik berupa ironi maupun paradoks. Begitu juga nonsense, kendati secara linguistis kehadirannya belum mengacu pada makna leksikal tertentu, tetapi kata-kata yang “tidak berarti” itu akan menjadi “bermakna” secara kontekstual karena adanya konvensi sastra yang mendukung pemaknaannya. Demikian pula makna baru dalam sebuah puisi bisa dimunculkan oleh tipografi, enjambemen, aliterasi, asonansi, persajakan, serta berbagai unsur lain yang mengandaikan terdapatnya kesejajaran semantis dengan isi puisi bersangkutan.[4]



Dalam pandangan semiotiknya, Riffaterre memahami puisi sebagai sebuah (kue) donat. Unsur yang hadir secara tekstual diibaratkan daging donatnya, sedangkan unsur yang tidak hadir secara fisik adalah ruang kosong berbentuk bundar yang ada di tengahnya dan sekaligus menopang serta membentuk daging donat sehingga menjadi “donat”. Ruang kosong itulah yang oleh Riffaterre disebut sebagai “hipogram” (hypogram) —suatu istilah yang merepresentasikan bahwa sebuah teks puisi pada dasarnya merupakan bentuk transformatif dari teks-teks tertentu yang menjadi acuan penciptaannya. Oleh karena itu, untuk menemukan makna terdalam sebuah puisi, setiap pembaca mesti berupaya melacak jejak kemungkinan hubungan intertekstualnya dengan teks-teks lain yang menjadi hipogramnya. Pelacakan secara intertekstual itu bisa dilakukan dengan jalan memperbandingkan, menyejajarkan, maupun mengontraskan teks transformatif (puisi) tersebut dengan teks-teks yang menjadi acuannya. Istilah “teks” itu sendiri, dalam hal ini, diartikan secara sangat luwes yang bukan hanya mengacu pada bentuk-bentuk tulisan, melainkan juga pada bentuk-bentuk pengungkapan lisan seperti mitos-mitos atau cerita-cerita rakyat.



Kecuali diandaikan sebagai hipogram, ruang kosong tersebut juga dianggap sebagai “matriks”, yakni pusat makna puisi. Dalam hal ini, sebagaimana juga hipogram, matriks pun tidak terdapat di dalam teks. Unsur yang hadir di dalam teks puisi adalah aktualisasinya berupa ”model” atau disebut ”pola dasar pertama” (bisa berupa kata atau kalimat tertentu yang bersifat puitis). Bertolak dari model inilah seorang penyair kemudian mengembangkan larik-larik lainnya hingga menjadi sebuah puisi yang utuh, sebuah kesatuan tekstual. Kesatuan tektual puisi tersebut merupakan sebuah struktur yang seringkali terdiri dari satuan-satuan yang beroposisi secara berpasangan (binary system) dan mengandaikan adanya hubungan kesejajaran yang memiliki makna sepadan.[5]



Menurut Riffaterre lagi, jika ingin memahami puisi secara semiotik, kita harus melakukannya dalam dua level pembacaan. Level pertama disebut “pembacaan heuristik” (heuristic reading), yakni cara pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasanya. Pada tahap ini diperlukan kemampuan linguistis (linguistic competence) atau pemahaman yang memadai terhadap konvensi bahasa. Misalnya, untuk dapat memahami sajak-sajak Chairil Anwar, seorang pembaca harus menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Pemahaman ini sudah tentu tidak hanya bersifat leksikal, tetapi juga pemahaman terhadap bias-bias maknanya secara kontekstual. Namun begitu, pembacaan pada level pertama ini belum mencukupi untuk dapat menemukan makna puisi yang sesungguhnya. Sebab, pembacaan heuristik masih terbatas pada pemahaman terhadap bahasa sehari-hari yang bersifat mimetik dan terpecah-pecah. Karena itu, untuk menemukan makna puisi secara utuh, proses pembacaan harus dilanjutkan pada level kedua yang oleh Riffaterre disebut “pembacaan retroaktif” (retroactive reading) atau “pembacaan hermeneutik” (hermeneutic reading), yakni tahap pembacaan yang didasarkan pada konvensi sastranya. Dari pemahaman makna yang beraneka ragam dan terpecah-pecah itu, pembaca puisi harus bergerak lebih jauh untuk memperoleh kesatuan makna. Gerak pembacaan ini dimungkinkan dan sekaligus didorong oleh adanya rintangan pembacaan pada level pertama yang disebut “ungramatikalitas” (ungramaticality). Sebagaimana dijelaskan Riffaterre:



The ungramaticalities spotted at the mimetic level are eventually integrated into another system. As the reader perceives what they have in common, as he becomes aware that this common trait froms them into a paradigm, and that this paradigm alters the meaning of the poem, the new function of the ungramaticalities changes their nature, and now they signify as components of a different network of relationships. This transfer of a sign from one level of discourse to another, this metamorphosis of what was a signifying complex at a lower level of the text into a signifying unit, now a member of a more developed system, at a higher level of the text, this functional shift is the proper domain of semiotic. Everything related to this integration of signs from the mimesis level into the higher level of significance is a manifestation of semiosis.[6]



Kiranya jelas bahwa untuk dapat menangkap makna terdalam sebuah puisi, pertama-tama kita harus melakukan pembacaan tingkat pertama yang oleh Riffaterre disebut heuristic reading sebelum memasuki pembacaan tingkat kedua, yakni hermeniutic reading atau retroactive reading. Dalam pembacaan tingkat pertama kita berhadapan dengan bahasa keseharian, tanpa melibatkan diri lebih jauh ke dalam kompleksitas dunia simbolik. Penggunaan bahasa sehari-hari (common linguistic usage) bersifat mimetik, hanya sebagai peniruan alam atau perilaku manusia dan karenanya ia membentuk arti (meaning) yang terpecah, sedangkan bahasa puisi (language of poetry) bersifat semiotik dan karenanya ia membangun makna (significance) yang memusat.



Dalam prakteknya, pembacaan tingkat pertama biasanya dilakukan dengan membuat parafrase atau memberi penanda-penanda tertentu (berupa afiks, preposisi, konjungsi, pungtuasi, dan sebagainya) sehingga batas sintaksis dan koherensi antarkalimat menjadi lebih jelas. Proses penandaan ini perlu dilakukan mengingat besarnya rintangan ungramatikalitas sebagai salah satu ciri bahasa puisi, yakni penyimpangan-penyimpangan dari kaidah-kaidah bahasa yang berlaku yang menciptakan ketidaklangsungan semantis (semantic indirection). Namun, bagaimanapun proses pembacaan tingkat pertama ini baru mencapai “kulit luar”-nya saja dan karenanya harus dilanjutkan pada pembacaan tingkat kedua. Gerakan dari pembacaan heuristik ke pembacaan hermeneutik berarti kita sudah memasuki proses pemaknaan terhadap tanda-tanda yang tersembunyi di balik teks puisi. Dalam proses inilah teks-teks lain (di luar teks puisi) menjadi suatu keniscayaan yang digali dan dijelajahi sebagai unsur yang signifikan dalam pembentukan makna puisi secara keseluruhan. Dalam konteks inilah konsep hipogram, matriks, dan model akan berbicara. Pembacaan hermeneutik ini dimungkinkan oleh karena pada dasarnya setiap teks merupakan transformasi dari teks-teks lain yang ada sebelumnya dan mengandaikan adanya hubungan intertekstual. Di sini, konvensi sastra menjadi terbuka lebar, termasuk konvensi sosial-budayanya.



3. Pembacaan Heuristik

Sebagaimana telah dikemukakan, pembacaan heuristik berarti proses pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa; bahasa keseharian yang bersifat mimetik dan karenanya akan membentuk arti yang heterogen. Untuk lebih jelasnya, mari kita cermati kutipan seutuhnya larik-larik sajak ”Elegi Buat Agamemnon” berikut ini.



ELEGI BUAT AGAMEMNON



aku mendengar sunyi datang, agamemnon

menanam kesangsian dan tanya dalam dada

selalu selalu selalu tiba, agamemnon

menjelang sebuah rumusan kebenaran sempurna



terbaca pengembaraan hidupmu yang kemilau, agamemnon

memanggil angin mengurbankan iphigenia

kebenaran mutlakkah yang membuatmu terpukau, agamemnon

membuatmu lupa menoleh keluasan cakrawala



aku mendengar suara dari padang-padang seberang, agamemnon

mengimbau pelahan menderap dalam dada

selalu selalu selalu saja, agamemnon

membuatku tahu bahwa aku tak tahu apa-apa [7]





Secara leksikal, kata “elegi” berarti syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita, khususnya pada peristiwa kematian, yang dalam konteks sajak di atas ditujukan untuk sebuah nama, seorang tokoh tertentu yang bernama Agamemnon. Untuk terus merujuk pada judul sajak yang merupakan saripati seluruh isi puisi, maka setiap kata, setiap ungkapan, setiap imbauan dan harapan aku-lirik memang seyogiannya tak mungkin dipisahkan dari kehadiran nama Agamemnon yang menjadi tumpu elegi tersebut. Kata demi kata, frase demi frase, gatra demi gatra, larik demi larik, sampai koherensi antarbait harus selalu mendapatkan acuan semantisnya pada sosok Agamemnon. Dengan demikian, judul “Elegi Buat Agamemnon” tidak bisa tidak akan pasti menyatukan persepsi bahwa sajak sendu ini memang dimaksudkan buat Agamemnon yang kehadirannya jelas bukan suatu kebetulan, melainkan sengaja dihadirkan secara monologis sebagai objek dialog-pasif si aku selaku subjek liriknya.



Larik pertama, aku mendengar sunyi datang, agamemnon sudah memperlihatkan kejelasan oposisi antara aku-lirik selaku pronomina persona pertama tunggal yang seolah berdepan-depan secara dialogis dengan Agamemnon yang dihadirkan sebagai pronomina persona kedua tunggal, kendati dialog itu sebenarnya hanya berlangsung dalam dunia imajiner dan dengan pola komunikasi satu arah. Selain itu, di sini kita sudah dihadapkan pada persoalan semantis dengan munculnya kontras antara “mendengar” dan “sunyi” yang secara linguistis sudah tentu bertentangan dengan logika berbahasa, lepas dari efek estetik yang ingin dibangun sang penyair. Akan tetapi, “sunyi” yang “datang” itu ternyata telah mengusik ketenangan si aku: menanam kesangsian dan tanya dalam dada. Rupanya, sesuatu yang disebut “sunyi” itu tidak terhenti sebagai ungkapan kesunyian saja, tetapi kondisi “sunyi yang bersuara” sehingga membuahkan internalisasi diri “selalu” yang dihadirkan dalam bentuk repetisi kuat (dengan tiga kali pengulangan) sebagai penekanan: selalu selalu selalu tiba, agamemnon.



Sebenarnya, apa yang selalu tiba setelah si aku mendengar sunyi datang yang mampu menanam kesangsian dan tanya di dalam dadanya itu? Pertanyaan ini terjawab dalam larik keempat: menjelang sebuah rumusan kebenaran sempurna. Jadi, “sunyi lain” yang datang mengusik alam pikiran aku-lirik itu selalu tiba menjelang terbentuknya sebuah rumusan tentang kebenaran yang sempurna.



Pembacaan heuristik terhadap larik-larik dalam bait pertama di atas segera memunculkan pertanyaan lanjutan secara kilas-balik (flash-back) sekitar latar belakangnya, “Mengapa harus demikian?” Jawaban atas pertanyaan ini tampaknya terungkap dalam bait keduanya, sebagaimana dapat kita simak mulai dari larik kelima: terbaca pengembaraan hidupmu yang kemilau, agamemnon. Agaknya, munculnya sikap kesangsian dan tanya dalam dada yang selalu tiba menjelang terbentuknya sebuah rumusan kebenaran yang sempurna itu dilantarankan oleh pengetahuan si aku tentang sejarah perjalanan hidup lawan dialognya (baca: Agamemnon) yang digambarkan “kemilau” pada satu sisi, tetapi pada sisi lain bernada tragis: memanggil angin mengurbankan iphigenia. Melalui larik keenam ini, sekarang ada dua nama penting yang kehadirannya harus dipandang signifikan sebagai subjek dan sekaligus objek seluruh persoalan. Nama Iphigenia ditampilkan sebagai pronomina persona ketiga tunggal, kendati ia dihadirkan mungkin sekadar latar masalah saja.



Bertolak dari pengetahuannya terhadap latar kehidupan tokoh ini si aku kemudian mencoba mempertanyakan kembali: kebenaran mutlakkah yang membuatmu terpukau, agamemnon/ membuatmu lupa menoleh keluasan cakrawala (?). Pertanyaan dalam larik ketujuh dan kedelapan sajak ini bersifat retoris belaka. Sebab, secara monologis aku-lirik sudah tentu tak bisa mengharapkan apa-apa dari “lawan” dialognya, kecuali tinggal terbentur dalam kesunyian di ruang dadanya sendiri. Namun, kenyataan yang dapat kita tangkap bahwa kondisi emotif yang terungkap dalam bait pertama di atas merupakan buah pergulatan batin aku-lirik setelah memahami dunia tokoh Agamemnon yang ironis: gagah (kemilau) sekaligus tragis, bahkan bengis (mengurbankan iphigenia).



Larik-larik dalam bait ketiga merupakan pengulangan lebih jauh dari kondisi batin aku-lirik yang sebelumnya telah terungkap dalam bait pertama. Sebagaimana dinyatakan: aku mendengar suara dari padang-padang seberang, agamemnon. Jika semula si aku hanya mendengar “sunyi datang”, kini yang didengarnya justru “suara dari padang-padang seberang” yang sekaligus merupakan bentuk penjelasan semantisnya secara lebih kongkret. Suara itu, menurut aku-lirik: mengimbau pelahan menderap dalam dada. Seperti pada larik ketiga, buah internalisasi diri dari kenyataan yang dihadapi si aku kembali diungkapkan secara repetitif: selalu selalu selalu saja, agamemnon/ membuatku tahu bahwa aku tak tahu apa-apa. Jadi, pendengaran aku-lirik terhadap suara dari padang-padang seberang yang mengimbau pelahan dan menderap dalam dadanya itu pada akhirnya selalu saja menumbuhkan kesadaran bahwa ia sesungguhnya tak tahu apa-apa. Larik penutup ini merupakan pembongkaran sikap keakuan sang aku-lirik yang sekaligus merepresentasikan kerendahhatiannya dalam suatu pergulatan batin, suatu upaya menemukan jatidirinya. Kendati semula (dalam bait kedua) ia (aku-lirik) banyak mempertanyakan dan seakan berusaha memberontak dari kenyataan yang dihadapinya, tetapi pada akhirnya ia harus mengakui batas keakuannya.



Dari pembacan heuristik di atas kita memang tidak bisa berharap banyak untuk dapat menemukan makna terdalam di balik larik-larik sajak “Elegi Buat Agamemnon” ini. Sebab, proses pembacaan tingkat pertama ini memang terbatas hanya pada pemahaman terhadap konvensi bahasanya. Kita masih berhadapan dengan makna yang terpecah, heterogen, dan menyimpan banyak misteri. Agak sulit bagi kita untuk menemukan benang merah antara aku-lirik dalam hubungannya dengan kehadiran dua nama asing tadi, Agamemnon dan Iphegenia. Juga agak sulit bagi kita untuk mencari pertautan oposisional antara pernyataan-pernyataan seperti mendengar sunyi datang dengan menanam kesangsian dan tanya dalam dada, antara pengembaraan hidup yang kemilau dengan memanggil angin mengurbankan iphegenia, antara kebenaran mutlak dengan lupa menoleh keluasan cakrawala, atau antara sikap gelisah dan mempertanyakan dengan kesadaran bahwa si aku tak tahu apa-apa. Pembacaan terhadap oposisi-oposisi semacam itu hanya akan menghasilkan makna yang reduksional jika terhenti sampai di sini saja. Oleh karena itu, proses pembacaan ini harus dilanjutkan lebih jauh melampaui batas-batas ungramatikalitasnya menuju kompleksitas dunia simbolik melalui pembacaan retroaktif atawa hermeneutik.



4. Pembacaan Hermeneutik

Sebagai tindak lanjut dari proses pembacaan pada level pertama (heuristic reading) adalah pembacaan hermeneutik (hermeneutic reading), yakni pembacaan level kedua yang bermuara pada penemuan satuan makna puisi. Karena puisi dipahami sebagai suatu struktur yang bermakna, pembacaan hermeneutik pun pada dasarnya dilakukan secara struktural; bergerak bolak-balik dari bagian ke keseluruhan, kembali ke bagian, dan seterusnya. Juga karena puisi dipahami sebagai satuan yang menyerupai sebuah donat yang memiliki ruang kosong di tengahnya, pembacaan hermeneutik seyogianya dilakukan dengan mempetimbangkan unsur-unsur yang tidak tampak secara tekstual. Kita harus berupaya mencaritemukan hubungan intertekstualnya dengan melacak jejak unsur-unsur hipogramatiknya. Hipogram itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial terkadang mewujud dalam bahasa sehari-hari seperti presuposisi dan sistem deskriptifnya, sedangkan hipogram aktual berupa teks-teks lain (di luar teks puisi) yang ada sebelumnya atau yang pernah ada. Sementara itu, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, pengertian “teks” dalam hal ini bersifat sangat fleksibel; bisa berupa teks-teks sastra, naskah-naskah tua, mitos-mitos, cerita rakyat, dan berbagai bentuk pengungkapan dari tradisi lisan lainnya.[8]



Menjelajahi makna puisi berdasarkan hipogram potensialnya berarti masih melandasi pemaknaan pada konvensi bahasanya, tetapi sekaligus mempertimbangkan segala bentuk implikasi makna kebahasaannya, baik berupa presuposisi maupun makna-makna konotatif yang sudah dianggap umum. Kendati implikasi pemaknaan tersebut tidak terdapat di dalam kamus, tetapi sesungguhnya sudah ada dalam pikiran para penutur bahasa pada umumnya. Sebab, makna-makna konotatif itu memang hanya didasarkan pada konvensi masyarakat penuturnya dan presuposisi bertolak dari daya kreatif penafsiran pembaca. Jadi, pembacaan pada level ini sebenarnya tidak lagi sebatas sebagai pengungkapan unsur-unsur bahasa berdasarkan sifat mimetiknya, tetapi sudah mulai memasuki lingkaran semiotiknya. Kata “aku” yang terdapat di awal larik pertama, misalnya, sebenarnya telah mengimplikasikan adanya orang kedua (“kamu”) yang dalam sajak ini dieksplisitkan dengan kehadiran nama Agamemnon. Dalam konteks ini, pasangan oposisional antara orang pertama dengan orang kedua (Agamemnon) sekaligus telah mengimplikasikan pula terdapatnya oposisi antara “masa sekarang” dan “masa lampau”. Larik aku mendengar suara datang merepresentasikan waktu kekinian, sedangkan penyebutan (sapaan langsung) agamemnon mewakili waktu kelampauan berdasarkan pengetahuan referensial yang telah dimiliki aku-lirik. Representasi waktu kekinian itu terus berlanjut ke larik kedua, ketiga, dan keempat, kecuali pada pengulangan nama Agamemnon pada larik ketiga: menanam kesangsian dan tanya dalam dada/ selalu selalu selalu tiba, agamemnon/ menjelang sebuah rumusan kebenaran sempurna.





Oposisi “aku-kamu” dan “kekinian-kelampauan” terus berlanjut hingga memasuki larik-larik pada bait kedua dan ketiga. Pada larik kelima dan keenam tampak jelas bahwa sang penyair berupaya mengangkat citra kelampuan itu ke dalam konteks kekinian dengan memanfaatkan pandangan historisnya tentang sosok “kesiapaan” Agamemnon maupun Iphegenia: terbaca pengembaran hidupmu yang kemilau, agamemnon/ memanggil angin mengurbankan iphegenia. Pengetahuan tentang pengembaran hidup Agamemnon yang dijadikan referen seluruh gagasannya, sekaligus juga menjadi titik tolak sikapnya (the poets attitude toward his subject matter), telah memunculkan suatu keraguan ontologis terhadap hakikat “kebenaran”: kebenaran mutlakkah yang membuatmu terpukau, agamemnon (sehingga) membuatmu lupa menoleh keluasan cakrawala? Keraguan terhadap hakikat kebenaran inilah yang sejak semula telah mengemuka, sebagaimana tampak pada larik yang telah diturunkan sebelumnya (larik kedua): menanam kesangsian dan tanya dalam dada. Jadi, oposisi kekinian-kelampauan itu menjadi semacam katalisator yang membuat aku-lirik merasa berdepan-depan dengan pengembaraan hidup Agamemnon secara dialogis. Akan tetapi, kebenaran mutlak macam apakah yang ingin dipertahankan Agamemnon dan yang mendorong aku-lirik demikian tergoda untuk merenungkannya secara serius? Sampai di sini, kita memang belum beroleh suatu jawaban secara determinatif.



Empat larik terakhir dalam bait ketiga, sekali lagi, sebenarnya merupakan pengulangan gagasan dari bait pertama atau sebagai penegasan kembali sikap aku-lirik yang telah diperlihatkan sebelumnya. Namun, di sini kita dihadapkan pada persoalan baru, yakni munculnya oposisi antara “sunyi” dan “suara”: aku mendengar suara dari padang-padang seberang, agamemnon. Si aku bukan lagi mendengar sunyi yang datang, bukan sekadar angin lalu yang tak perlu diindahkan, melainkan sudah harus memperhitungkan suara yang mengimbau pelahan (dan) menderap dalam dada. Penegasan ini semakin menajamkan citraan akan kebenaran-kebenaran yang berkelebatan di padang terbuka, di keluasan cakrawala. Lalu, dari pergulatan metafisik yang mengandaikan bertemunya banyak kebenaran dari banyak sisi itu, pada akhirnya ia menemukan kesadaran eksistensial dan harus mengakui keterbatasannya: selalu selalu selalu saja, agamemnon/ membuatku tahu bahwa aku tak tahu apa-apa. Ada kebingungan, ada keraguan, ada pertanyaan besar yang terus menyelimuti ruang metafisiknya. Namun, menjadi pertanyaan selanjutnya, sunyi dan suara macam apakah yang dibayangkan aku-lirik dalam kaitannya dengan hakikat kebenaran itu? Sekali lagi, sampai di sini kita kembali terbentur oleh serangkaian tanda tanya. Karena itu, pembacaan secara hermeneutik ini mesti harus terus dijelajahi lebih jauh dengan melacak kemungkinan-kemungkinan hubungan intertekstualnya. Sebab, bila proses pembacaan ini terhenti pada tataran tekstualnya semata berarti kita telah mereduksi bias-bias semiotiknya sebagai dunia yang mungkin. Jadi, mengikuti kerangka kerja Riffaterre, pembacaan hermeneutik ini harus dilanjutkan sampai ke tataran intertekstualitasnya di mana kemunculan matriks dimungkinkan; kemungkinan yang akan mengarahkan pembacaan semiotik ini menuju pada penemuan makna integral puisi.



5. Hubungan Intertekstual

Kita tahu, dalam kajian semiotiknya, Riffaterre sangat menekankan hubungan intertekstual antara sebuah teks puisi dengan teks(-teks) lain yang secara implisit mengandaikan adanya pertautan gagasan. Kita juga tahu bahwa konsep intertekstualitas itu akan menentukan teks tertentu yang secara semiosis dapat dipandang sebagai paragram atau hipogram. Dalam konteks ini, ada dua kata kunci yang “pasti” akan segera mengarahkan cara pandang kita terhadap kemungkinan intertekstualnya, yakni munculnya nama “Agamemnon” dan “Iphegenia”. Dua nama tersebut merupakan tokoh anak-beranak yang sudah demikian populer dalam khazanah intelektual Barat, khasnya mitologi Yunani, sebagaimana juga ketokohan Sysiphus dalam banyak karya sastra dan filsafat Barat. Jadi, di sini hanya ada satu kemungkinan teks rujukan sebagai hipogramnya: mitologi Yunani, khususnya pada bagian “Perang Troya”.



Alkisah, ketika angkatan perang Yunani telah siap bertolak menuju Troya di bawah komando Agamemnon selaku panglima perangnya, ternyata angin yang diharapkan berembus meniup layar perahu mereka tak kunjung datang. Berhari-hari mereka menunggu dengan gelisah, tetapi angin itu tak juga datang berembus. Rencana penyerangan itu nyaris gagal. Lalu dipanggillah Calchas, seorang dukun sakti angkatan perang Yunani, untuk dimintai nasihatnya dalam upaya mencari tahu penyebab semua itu. Menurut ramalan sang dukun, angin tak akan datang berembus sebelum Iphigenia (putri Agamemnon sendiri) dikurbankan untuk para dewa. Usaha lain telah dicobajalankan, tetapi semua sia-sia. Akhirnya, Agamemnon terpaksa mengambil jalan pintas lantaran desakan kawan-kawan seperjuangannya, suatu keputusan yang sangat berat: mengurbankan anak gadisnya sendiri. Iphigenia dipanggil dengan alasan akan dikawinkan dengan Achiles, putra dari pasangan Peleus dan Tetis. Achiles adalah pemuda gagah berani yang bertubuh kebal karena pada masa bayinya pernah dicelupkan sang ibu ke sungai Stiks dan diramalkan akan menjadi pahlawan pembawa kemenangan bagi pasukan Yunani dalam melawan Troya. Karena rasa gembiranya mendengar janji tersebut, tanpa rasa curiga Iphegenia pun segera datang memenuhi panggilan ayahnya. Namun, ternyata ia tidak dibawa ke tempat perkawinan, tetapi justu diseret ke tempat persembahan kurban di mana pendeta sudah bersiap-siap untuk melaksanakan tugasnya. Begitu upacara ritual akan segera dimulai, tiba-tiba Dewi Diana muncul dan secepat kilat merenggut tubuh anak gadis Agamemnon itu dengan diselubungi awan untuk kemudian menghilang kembali. Sebagai gantinya, Dewi Diana meninggalkan seekor kijang untuk dijadikan kurban, sedangkan Iphegenia diselamatkan ke Taurus di mana ia kelak menjadi salah seorang pendeta di kuil Dewi Diana. Adapun pemberian kurban tetap dilaksanakan dengan seekor kijang sebagai tumbalnya. Sesaat setelah upacara ritual itu selesai, angin segera datang berembus sebagai tanda perkenan para dewa. Ringkas cerita, pasukan perang Yunani berangkat dan kota Troya pun dapat ditaklukkan.[9]



Berdasarkan cerita dari salah satu episode mitologi Yunani di atas, tidak bisa tidak, pemikiran dan imaji kita pasti akan tertuju pada kisah dramatis tokoh Agamemnon yang terpaksa harus memilih jalan pintas dengan cara mengurbankan putrinya sendiri, demi tuntutan perjuangan dan tanggung jawabnya sebagai panglima perang pasukan Yunani. Peristiwa inilah yang oleh penyair (penulis sajak bertajuk ”Elegi Buat Agamemnon” ini) digambarkan, berdasarkan pengetahuan intertekstualnya: terbaca pengembaraan hidupmu yang kemilau, agamemnon/ memanggil angin mengurbankan iphegenia. Ungkapan “kemilau” sudah tentu dapat dirujukkan pada status sosial Agamemnon yang menduduki jabatan terhormat sebagai seorang panglima perang. Sebagai pucuk pimpinan dalam pasukan perang Yunani, ia harus berani mengambil keputusan-keputusan strategis secara cepat dan tepat. Keputusan beratnya untuk menjadikan putrinya sendiri sebagai tumbal sudah tentu pula tak bisa lepas dari alam pikiran Yunani klasik yang percaya pada ramalan klenis, mitos-mitos, dan kekuasaan para dewa. Jadi, keputusan itu sesunguhnya didasarkan pada penghayatan religius yang tinggi dalam konsep manusia Promethian, selaku homo-religiousus (untuk mengacu pada konsep Mercia Eliade). Keputusan yang dipilih Agamemnon tentu bukan sekadar dilantarankan oleh tuntutan untuk mempertahankan harga diri, melainkan untuk menjunjung suatu kebenaran yang diyakininya. Lalu, oleh penyair, kebenaran itu kembali dipertanyakan: kebenaran mutlakkah yang membuatmu terpukau, agamemnon/ membuatmu lupa menoleh keluasan cakrawala?





Dalam konteks sajak ini, aku-lirik tampak meragukan keputusan yang diambil oleh Agamemnon, terutama setelah memahami ada banyak “kebenaran” dari sekian banyak kebenaran yang lain. Penemuannya atas makna “kebenaran relatif” itu sudah tentu melalui perenungan filosofis yang intens, melalui penjelajahan intertekstual dari sekian banyak literatur sebagai gagasan bandingan. Melalui perbandingan yang demikianlah kita dapat melihat hubungan antara ungkapan “sunyi” (pada larik pertama) yang kemudian dioposisikan dengan “suara” (pada larik kesembilan). Namun, ungkapan oposisonal itu pada hakikatnya merupakan unifikasi dari suatu gagasan, yakni sebuah gambaran tentang pergulatan pemikiran metafisik yang sunyi sekaligus penuh suara. Jadi, aku mendengar suara dari padang-padang seberang pada dasarnya hanya merupakan penegasan lebih tinggi dari larik aku mendengar sunyi datang. Namun, jelas pula bahwa penegasan itu bukan sekadar pelengkap dengan fungsi semiotik yang sama; metafor “sunyi” pada akhirnya mesti dikembalikan pada pandangan historisnya tentang sikap dan keputusan Agamemnon, sementara “suara” merepresentasikan berbagai konsep dan pemikiran dari alam filsafat kontemporer. Kebenaran mitologis dipertanyakan, berbagai pandangan filosofis yang menawarkan kebenaran-kebenaran baru datang membongkarnya, lalu aku-lirik merasa terjebak dalam ketidakmampuannya mengurai hakikat kebenaran dengan sempurna. Oleh karena itu, sunyi datang (yang) menanam kesangsian dan tanya dalam dada (itu) selalu tiba menjelang rumusan kebenaran sempurna.

Selanjutnya, kebenaran mutlak macam apakah yang hendak diperjuangkan Agamemnon? Pertanyaan ontologis ini sungguh-sungguh tak mampu dijawab oleh si aku lantaran ia telah mendengar “suara yang lain”, suara dari padang-padang seberang itulah. Aku-lirik memang seperti menuding dengan sinis: membuatmu lupa menoleh keluasan cakrawala.



Diksi “keluasan cakrawala” menyaran pada pengertian begitu banyak bertaburannya konsep dan gagasan dalam dunia pemikiran yang sangat luas, tak berbatas, seluas cakrawala intelektual yang mungkin dijangkau oleh manusia. Dalam kondisi yang dialektis semacam itu, setelah lelah bergulat dalam dunia pemikiran yang tak terimbangi, aku-lirik akhirnya terperangkap dalam keterbatasannya sendiri. Sebab, suara dari padang-padang seberang (itu terus) mengimbau pelahan (dan) menderap dalam dada (-nya). Di sini, bukan cuma Agamemnon yang “terpaksa dan harus” membuat keputusan, melainkan juga si aku-lirik yang telah menyadari batas-batas eksistensialnya: membuatku tahu bahwa aku tak tahu apa-apa.





Sebagaimana ditegaskan Riffaterre, dalam rangkaian kajian semiotik, pembacaan terhadap sebuah puisi melalui pelacakan intertekstual dengan mengambil teks tertentu sebagai hipogramnya akan membentuk satu kesatuan makna. Kesatuan makna itu akan mengerucut dalam bentuk “matriks” (matrix). Suatu matriks bisa berupa sebuah kata atau satu kalimat yang kehadirannya tidak selalu teraktualisasikan di dalam teks puisi bersangkutan.[10] Namun, dalam kasus sajak ini, ternyata matriks itu justru dihadirkan sebagai antitesis dari seluruh larik sebelumnya. Oleh karena matriks itu diaktualisasikan secara langsung dalam teks puisi, maka kehadirannya sekaligus berfungsi sebagai “model”. Demikianlah, larik penutup sajak yang merepresentasikan sikap kearifan aku-lirik itu sekaligus merupakan model dan matriks, yaitu jiwa dari keseluruhan makna puisi: membuatku tahu bahwa aku tak tahu apa-apa.



6. Refleksi Filosofis

Dengan melandaskan diri pada rumusan Goenawan Mohamad bahwa puisi adalah suasana hati, ide yang belum persis terumuskan, Noor Aini Cahya Khairani pernah mengemukakan suatu tawaran pemikiran dalam sebuah esainya, “Puisi sebagai Karya Filsafat”.[11] Jadi, oleh Khairani, sebuah karya puisi (sebagai salah satu genre sastra kreatif) dapat dipandang sebagai (disejajarkan dengan) karya filsafat. Kendati jalan pikiran ini terasa tidak begitu lempang untuk menuju suatu simpulan universal, tetapi pada titik tertentu ada juga terasa kebenaran di dalamnya ketika kita coba menelusuri berita-berita pikiran yang tersembunyi di balik larik-larik sajak “Elegi Buat Agamemnon” karya Y.S. Agus Suseno tadi. Sebagai suatu tawaran, tentu saja kita berhak untuk menolak maupun bersetuju dengan jalan pikiran tersebut. Namun, dalam rangka pembicaraan ini, paling tidak kita dapat menemukan sintesisnya bahwa sebuah puisi mungkin mengandung bias-bias filosofis, terutama jika proses kreatif penciptaannya memang didasari oleh konsep filsafat tertentu. Sebab, bukan hal yang asing lagi apabila banyak filsuf menjadikan karya sastra sebagai media penyampai pesan dalam rangka mengungkapkan berbagai rumusan atau diktum-diktum filsafat mereka. Namun, hal ini juga bukan berarti bahwa kita akan secara otomatis bersetuju pada anggapan yang cenderung mengidentikkan puisi dengan filsafat atau puisi sebagai karya filsafat itu. Sebuah puisi, bagaimanapun, pada awalnya memang dimaksudkan sebagai ekspresi estetis, sebagai karya seni, tanpa mengelak dari adanya kemungkinan bias-bias filosofis yang ditawarkannya. Dalam konteks semacam inilah pembicaraan selanjutnya akan diarahkan.



Penggunaan istilah “refleksi flosofis” pada dasarnya tidak lepas dari kerangka semiotik yang dijadikan titik tolak pembahasan ini. Secara khusus, istilah tersebut mengandaikan kemungkinan terdapatnya mediasi semiosis yang coba menyelami makna terdalam sebuah puisi, suatu pencarian tiada akhir. Filsafat ditandai oleh pemikiran sistematis, kritis, dan radikal.[12] Jadi, berdasarkan pembacaan hermeneutik di atas, memasuki sajak “Elegi Buat Agamemnon” dari pintu filsafat bukanlah suatu kemustahilan. Sebab, sajak karya Y.S. Agus Suseno ini secara jelas menempatkan mitologi Yunani sebagai landasan konseptual dalam proses kreatif penciptannya, sementara mitologi Yunani banyak dieksplorasi dan dimanfaatkan sebagai dasar pemikiran dalam literatur kefilsafatan, terutama filsafat Barat modern.



Agus, melalui sejumlah puisinya, tampaknya memang begitu terpukau dengan arus pemikiran yang banyak ditawarkan dalam filsafat Barat. Sajak “Elegi Buat Agamemnon” merupakan salah satu upaya internalisasi diri dari sekian banyak pemikiran kefilsafatan itu, kemudian menjadi semacam pengakuan “ketakberdayaan”-nya setelah bergulat dalam dialektika pemikiran tersebut. Dari bait pertama hingga bait terakhir sajak tersebut sangat terasa bahwa persoalan yang mengemuka selalu berputar-putar pada masalah “pencarian makna kebenaran”. Pernyataan-pernyataan ontologis yang sekaligus menjadi pemicu munculnya pertanyaan-pertanyaan epistemologis tentang kebenaran itu telah mengantarkannya ke dalam suatu kondisi dialektis, total confusion, bahkan nyaris terjebak dalam jalan labirin. Kondisi semacam inilah yang membuatnya harus bertanya: kebenaran mutlakkah yang membuatmu terpukau, agamemnon/ membuatmu lupa menoleh keluasan cakrawala? Sebab, kebenaran itu sendiri memang datangnya seperti “sunyi” dan sekaligus bisa jadi merupakan “suara” yang bising. Kebenaran filosofis senantiasa dipertanyakan, selalu menantang bagi pergulatan intelektual, dan tak pernah mencapai satu rumusan kebenaran yang sempurna.



Kebenaran, bagaimanapun nisbinya, memang merupakan persoalan ontologis yang seringkali menyeret orang ke dalam suatu dialektika tak berkesudahan. Dalam pandangan materialistis, makna kebenaran selalu tertumpu pada dunia benda yang inderawi: kini dan di sini. Sebaliknya, di mata kaum idealis, kebenaran itu justru adanya di balik dunia benda: hakikat dari yang tampak secara inderawi. Sementara, bagi kaum rasionalis, kebenaran hanya ada dalam dunia pemikiran. Seperti kata Rene Descartes, ”Cagito ergo sum.” Lalu, bagaimanakah pandangan aku-lirik sendiri terhadap hakikat kebenaran ini? Tampaknya, ia memahami kebenaran bukan sesuatu yang bermakna monistik, melainkan bersifat plural. Baginya, kesementaraan telah menawarkan banyak kebenaran: keluasan cakrawala atau suara dari padang-padang seberang. Namun, pemahaman dialektisnya yang demikian justru membuatnya terjebak dalam suasana chaos, tanpa tahu pada suatu pilihan yang pasti. Bahkan, kebenaran teologis pun bisa jadi akan dipertanyakan; bisa jadi selalu menanam kesangsian dan tanya dalam dada. Sebab, kebenaran demi kebenaran yang datang dari berbagai alur pemikiran filsafat dan sekaligus diterimanya sebagai pilihan-pilihan yang sama kualitasnya senantiasa mengundang “tamasya” intelektual, sama-sama memiliki daya pukau: mengimbau pelahan menderap dalam dada. Lalu, aku-lirik pada akhirnya harus menyudahi keliaran pemikirannya itu lantaran keterbatasan diri, mungkin karena keletihan akibat penjelajahan intelektualnya pula, dengan suatu pengakuan eksistensial yang sangat mendasar: membuatku tahu bahwa aku tak tahu ap-apa —satu sikap kerendahhatian filosofis yang pernah ditunjukkan pula oleh Socrates berabad-abad silam.



Dalam pemikiran kefilsafatan, mengakui kebodohan tidak identik dengan “kebodohan” itu sendiri. Seorang yang berpikir filosofis, selain tengadah ke bintang-bintang juga perlu membongkar tempatnya berpijak secara fundamental. “Yang aku tahu bahwa aku tak tahu apa-apa,” demikian simpul Socrates. Sikap semacam inilah yang dimaksud sebagai salah satu ciri pemikiran kefilsafatan, yakni berpikir secara radikal (radix = akar) hingga menghunjam ke akar segala persoalan.[13] Jadi, dengan meminjam statemen dari filsuf besar Yunani klasik itu dalam larik penutup sajak ini, aku-lirik tampaknya telah sampai pada pengakuan eksistensialnya setelah melampaui pergulatan metafisik dan penjelajahan intelektualnya tentang makna kebenaran yang tak kunjung terumuskan secara sempurna. Kendati pernyataan itu bernada skeptis, tetapi secara filosofis sikap demikian sesungguhnya juga merupakan suatu pilihan; sama dengan orang memilih untuk diam ketika ia harus bicara atau memilih untuk tidak ikut memilih dalam suatu pemilihan umum, misalnya.



Pada sisi lain, ada terasa nada optimisme di balik sikap kerendahhatian tersebut. Ketika aku-lirik harus berhadapan dengan “kebenaran” yang ditawarkan Agamemnon, saat itu pula ia merasa terkungkung dalam suasana yang sungguh-sungguh absurd. Dinding-dinding absurditas itu terbangun dari kepingan-kepingan emas kebenaran yang lain, yang datang dari padang-padang seberang, yang selalu mengimbau pelahan dari keluasan cakrawala, dan yang sama kemilaunya dengan pengembaraan hidup Agamemnon. Menarik untuk dicermati, ternyata dalam pergulatan absuaditas itu sang aku-lirik tidak sampai pada kesimpulan perlunya melakukan “bunuh diri secara filosofis”.[14] Bahkan, kendati optimisme telah terpasifkan, di sini tak tampak sedikit pun gejala psikologis yang bercorak Sartrean semacam Naussee alias rasa mual pada diri sendiri. Dari sinilah kita dapat menemukan sebuah titik balik lagi: keberanian filosofis! Kontras dari kekalahan sebelum berperang, sebelum aku-lirik mencapai tahap kejenuhan yang memuakkan, keberanian itu adalah kesediaan membongkar ego atau kesombongan intelektual. Tampaknya, pada titik balik ini suara Socrates kembali terdengar nyaring, “Gnothi seauton!”



7. Penutup

Sampai di sini tak ada terlihat cacat kata, seolah bopeng-bopeng estetis disembunyikan sedemikian rupa dari mata orang lain, karena melalui tulisan singkat ini saya memang tidak berpretensi untuk memosisikan diri sebagai kritikus yang haus mencari kelemahan puisi maupun penyairnya. Bukan lantaran sajak yang saya bicarakan ini lepas sama sekali dari cacat-celanya, melainkan karena sejak mula saya memang telah menyengajakan diri dan seluruh kapasitas pengetahuan saya hanya sebagai “titian bambu” untuk sekadar berupaya mengantarkan pembaca lain ke arah penemuan makna terdalam sajak “Elegi Buat Agamemnon” ini beserta kemungkinan bias-bias semiotiknya. Paling tidak, kehadiran tulisan ini diharapkan dapat merangsang pemikiran kreatif dari para peminat sastra lainnya guna menemukan kemungkinan-kemungkinan pembacaan puisi ini dengan perspektif yang berbeda. Sebab, konon sebuah puisi (juga karya sastra lainnya) dapat dimasuki dari banyak pintu oleh karena sifatnya yang multitafsir; bahwa setiap kata memiliki banyak kemungkinan.



Dari sekian banyak pintu itu, khusus untuk sajak Agus yang satu ini, ancangan semiotik versi Riffaterre tampaknya merupakan pintu masuk yang paling tepat dalam upaya merebut makna terdalamnya. Andai saja ada orang lain yang sedia mencobakan kembali teori ini secara holistik, pencarian secara lebih intens terhadap keseluruhan sajak yang pernah ditulis oleh penyair yang sama, besar kemungkinan ia akan menemukan kesatuan makna yang menjadi landasan estetik kepenyairan seorang Y.S. Agus Suseno. Sayang sekali, sejauh ini pendekatan semiotik seringkali diterapkan secara parsial oleh karena berbagai alasan teknis-praktis. Atau, dengan kata-kata yang terdengar lebih gagah, ada desakan untuk melakukan terobosan kreatif dengan menulis ulasan terhadap karya-karya sastra tertentu tanpa harus dibebani pemikiran-pemikiran teoretis. Itulah, kata mereka, kritik sastra kreatif.



Daftar Pustaka

* Camus, Albert. 1999. Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas. Terj. Apsanti D. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

* Faruk. 1996. “Aku dalam Semiotika Riffaterre, Semiotika Riffaterre dalam Aku”. Humaniora, Edisi III.

* Hassan, Fuad. 1996. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

* Khairani, Noor Aini Cahya. 1990. “Puisi sebagai Karya Filsafat”. Horison, No. 6 Thn. XXIV, Edisi Juni.

* Pradopo, Rachmat Djoko. 2001. “Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik,” dalam Jabrohim (Ed.), Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widia.

* Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press.

* Silitonga-Djojohadikusomo, Sukartini. 1984. Mitologi Yunani. Jakarta: Djambatan.

* Suriasumantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

* Suseno, Y.S. Agus. 1989. “Elegi Buat Agamemnon” dalam Pembacaan dan Diskusi Puisi Y.S. Agus Suseno. Banjarmasin: Taman Budaya Propinsi Kalimantan Selatan.

* Tamba, Arie MP. 1996. “Melalui Membaca Sitti Nurbaya dan Ragam Wacana Hujan.” dalam Dewan Kesenian Jakarta. Mimbar Penyair Abad 21. Jakarta: Balai Pustaka.



* Sastrawan, Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Program Pascasarjana Unlam Banjarmasin, dan Staf Pengajar pada Prodi PBSID STKIP PGRI Banjarmasin.



CATATAN KAKI :

[1] Forum pembacaan dan diskusi puisi yang diselenggarakan oleh Busur Sastra Balambika (bekerja sama dengan Himpunan Pencinta Seni Indonesia dan Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan) ini menampilkan Micky Hidayat dan Noor Aini Cahya Khairani (sebagai pembahas utama), Ajamuddin Tifani (sebagai pembanding), dan Drs. Jarkasi (sebagai moderator).



[2] Bandingkan dengan pernyataan Subagio Sastrowardojo (1989) via Arie MP Tamba, “Melalui Membaca Sitti Nurbaya dan Ragam Wacana Hujan,” dalam antologi Mimbar Penyair Abad 21 (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 424.



[3] Michael Riffaterre, Semiotics of Poetry (Bloomington and London: Indiana University Press, 1978), hlm. 1—2



[4] Bandingkan dengan Rachmat Djoko Pradopo, “Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik” dalam Jabrohim (Ed.), Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widia, 2001), hlm. 75—81.



[5] Riffaterre, op. cit., hlm. 11—13. Lihat juga Faruk, “Aku dalam Semiotika Riffaterre, Semiotika Riffaterre dalam Aku” dalam Humaniora III/1996, hlm. 25—26.



[6] Riffaterre, ibid, hlm. 3—5.



[7] Dikutip seutuhnya dari Y.S. Agus Suseno, Pembacaan dan Diskusi Puisi Y.S. Agus Suseno (Banjarmasin; Taman Budaya Propinsi Kalimantan Selatan, 1989), hlm. 11.



[8] Bandingkan dengan Faruk, op. cit, hlm. 29; Riffaterre, op. cit, hlm. 23—24.



[9] Diringkaskan dari buku Sukartini Silitonga-Djojohadikusomo, Mitologi Yunani (Jakarta: Djambatan, 1984), hlm. 120—133.



[10] Lihat kembali Riffaterre, op. cit., hlm. 13.



[11] Baca esai Noor Aini Cahya Khairani, “Puisi sebagai Karya Filsafat” (Horison, No. 6 Thn. XXIV, Edisi Juni 1990), hlm. 637—640.



[12] Bandingkan, misalnya, dengan Fuad Hassan, Pengantar Filsafat Barat (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1996), hlm. 9.



[13] Lihat, misalnya, Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 20.



[14] Tentang konsep “absurditas” dan “bunuh diri secara filosofis” secara khusus mengacu pada Albert Camus, Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas, Terj. Apsanti D. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999).



CATATAN PUBLIKAS I:

Esai ini pernah dimuat dalam WIDYAPARWA (Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan) Vol. 38 No. 1, Juni 2010 (Balai Bahasa Yogyakarta).

Selasa, 04 Oktober 2011

Jendela Haiku Heru Emka : Dalam Rimbun Pesona Basho 2

Oleh : Heru Emka :


Di tahun 1983, setelah gubuknya terbakar dan ibunya meninggal dunia, Basho memutuskan untuk hidup di jalan sebagai penyair kelana. Sejak usia 40n tahun (1684) dia mengembara dari satu desa ke desa lainnya, hidup dari jasa mengajarkan penulisan haiku di tempat di mana saja dia singgah.

Reputasi Basho sebagai penyair haiku kian kemilau setelah dia menjadi murid pujangga kerajaan Kitamura Kigin dan menerima beberapa ‘kiat rahasia’ menulis haiku, sehingga dia menjadi salah satu tokoh dalam ‘kelompok sastrawan’ Nihonbashi, Pada 1678, dia bahkan diundang untuk menuliskan haiku bagi Shogun. Dan Basho pun menuliskan haiku seperti ini:

kabitan mo / tsukubawasekeri / kimi ga haru
( orang Belanda / berlutut kepadanya / musim semi di bawah kuasanya )
- André von Kugland. “ Matsuo Basho. The Complete Haiku “

Sejak 1680 dia hidup sepenuhnya sebagai guru haiku bagi ke 20 putera bangsawan yang menjadi muridnya. Mereka pula yang menerbitkan antologi bersama Tōsei-montei Dokugin-Nijukasen (The Best Poems of Tōsei's Twenty Disciples ), Basho melakukan langkah sensasionalnya yang pertama, saat di tengah gigil musim dingin, dia diam-diam menyeberangi sungai menuju Fukagawa. Para muridnya lantas membangunkan sebuah gubuk sederhana untk Basho, dan menanam sebuah pohon pisang di halamannya, yang pada waktu itu merupakan tanaman taman yang eksotik dan tak terdapat di seluruh Jepang. Basho begitu menyukai pisang, hingga dia menggunakan nama baru; Basho, yang berarti pohon pisang.

Sebenarnya, di sisi lain dari keberhasilannya menjadi penyair haiku, Basho merasa tak puas dan kesepian. Dia kian larut dalam meditasi Zen, tak dianggap tak meredakan kegalauan batinnya. Di musim dingin 1682, gubuk yang dibangun para muridnya terbakar. Tak lama kemudian, di awal tahun 1683, ibunya meninggal dunia. Dia lantas melakukan perjalanan menuju Yamura untuk mengunjungi seorang sahabatnya. Di musim dingin berikutmnya, para muridnya kembali membangtunkan gubuk byang kedua untuk Basho di Edo, namun niat penyair ini untuk hidup mengembara sudah bulat.

Setahun kemudian, seorang muridnya; Takarai Kikaku, menerbitkan kumpulan puisi Basho beserta beberapa penyair lain, yang diberi judul Minashiguri. Akhir tahun itu pula, Basho mulai melangkahkan kaki meninggalkan Edo, dan bermulalah salah satu dari empat kembara utamanya sebagai penyair kelana.

Melakukan pengembaraan seorang diri di Jepang pada Era Pertengahan adalah sebuah perjalanan penuh bahaya, karena pada masa itu amat banyak gerombolan perampok atau penjahat jalanan yang merajalela di sepanjang jalur perjalanan ke luar kota . karena itu banyak pihak di kalangan murid dan simpatisan Basho yang mencemaskan bila penyair ini segera tewas terbunuh oleh perampok atau mengalami kesengsaraan di tengah jalan. Namun Basho berpikir sederhana, “ Apa yang bisa dirampok dari seorang penyair seperti aku, yang hanya punya baju pendeta dan kata-kata.” Dan nyatanya perjalanan kembara itu terus berlanjut, dari satu tempat ke tempat lainnya. Basho malah banyak mendapat sahabat dan pengalaman baru, dan amat menikmati semua hal yang ditemukan dalam perjalanan walau kadang menimbulkan tantangan dan kesulitan.

Dan hal yang terpenting bagi Bashyo adalah dia bisa menceburkan dari secara langsung pada obyek haikunya, di tengah alam terbuka, seperti yang dituliskan dalam haikunya ini :
uma wo sae / nagamuru yuki no / ashita kana
( seekor kuda / tertangkap pandanganku / di pagi bersalju )
André von Kugland. “ Matsuo Basho. The Complete Haiku “

Dengan tekun, Basho meneruskan kembara dari Edo ke Gunung Fuji, dilanjutkan menuju Ueno hingga Kyoto. Selama itu, dia bersua dengan beberapa penyair, yang ternyata mengaku sebagai muridnya dan memohon petujuk tentang penulisan haiku kepaada Basho. Dan Basho berkata pada mereka untuk mengabaikan penulisan haiku gaya Edo dan menemukanb gayanya sendiri. Dengan rendah hati Basho berkata bahwa banyak baris dalam buku haikunya Shriveled Chestnuts, ‘tak layak didiskusikan’.

Di musim panas 1685, Basho kembali ke Edo, dan menggunakan sebagian besar hari-harinya untuk menulis haiku tentang perjalanan dan komentarnya akan kehidupannya sendiri, seperti yang tercermin dalam haiku ini :
toshi kurenu / kasa kite waraji / hakinagara
( tahun t’lah lewat / bayang kembara di kepalaku / sandal jerami di kakiku ( André von Kugland. “ Matsuo Basho. The Complete Haiku “)

Sepulangnya Basho ke Edo, bisa dibilang dia dengan riang menikmati kembali hidupnya dengan mengajarkan penulisan haiku di gubuk yang dibangun para murid untuknya. Walau diam-diam dia mulai merancang perjalanan kembaranya yang berikutnya. Haiku yang ditulis oleh Basho selama perjalanan kembara ini diterbitkan dengan judul Nozarashi kikō ( Account of Exposure to the Fields ). Pada masa-masa inilah, ( awal 1686 ) Basho menuliskan ‘haiku katak’nya yang legendaris itu :
furu ike ya / kawazu tobikomu / mizu no oto
( paya tua / katak terjun / plung )

Jangankan di jaman sekarang, di masa itu haiku Basho ini8 amatlah nyeleneh dan menggemaskan, sehingga langsung meledak dan menimbulkan kegemparan sastra. Penulis biografi Basho, Makoto Euda, menggambarkan para pernyair ternama Edo langsung berkumpul di gubuk Basho untuk menggelar kontes haikai no renga dengan subyek katak, untuk menghormati ‘haiku katak’ Basho yang fenomenal ini. ( sebagaimana dikisahkan Euda dalamThe Master Haiku Poet, Matsuo Bashō. Tokyo: Kodansha International,1992, halaman 138 )

Yang membuat saya sejak dulu menyenangi figur Bashō tak saja kesederhanaan dan kebersahajaan hidupnya, namun juga sikapnya yang rendah hati, pantang berputus asa, gampang berbagi dan cuek dengan segala macam materi dan status sosial. Dengan kemashurannya, dia dengan mudah menjadi penyair istana, yang tak saja memiliki status tinggi, namun juga lebih menjamin kehidupannya sehari-hari. Namun Basho menolak ‘hidup dalam sangkar’ dan memilih mengembara sambil ‘mengamen’ membacakan haiku, untuk memenuhi hidupnya .

Itulah sebabnya di tahun 1687, dia meninggalkan Edo, mengembara untuk ‘menandang bulan sepuas hati’ hingga setahun kemudian, saat dia kembali mengunjngi Ueno untuk ikut merasakan perayaan Tahun Baru Bulan. Bagi penyair kembara ini, sama berharga bila kita berbagi tawa atau berbagi air mata. Dia meniikmati hidup dengan riang, seperti kanak-kanak abadi, seperti tertulis dalam haikunya yang satu ini :

iza saraba / yukimi ni korobu / tokoromade
( marilah kini / menikmati salju…hingga / terpeleset jatuh )
André von Kugland. “ Matsuo Basho. The Complete Haiku “

Sahabatku, perkenankan aku menunda dulu kisah hidup Basho, yang akan kulanjutkan lagi pada kesempatan berikutnya. Aku – sebagai orang yang menggantungkan hidup dari kemampuan menulis – harus menulis naskah yang lain. Oke ?


Heru Emka, penyair dan peminat kajian budaya. Tinggal di Semarang –

- Dalam sebuah obrolan hangat di sebuah warung pinggir jalan di depan kampus Fakultas Sastra Universitas diponegoro9 yang lama ( Jalan Imam Barjo) beberapa kawan mengeluhkan tren pemnulisan puisi di media massa terkemuka, , yang ‘dikuasai ‘ oleh tradisi penulisan yang rumit’, ‘bercanggih-canggih dalam kata’ dan sebagainya.

Kupikir aku harus mengajak kawan-kawan untuk memulai gaya penulisan puisi yang sederhana dan bermakna, yang bisa bermula pada pola haiku. Maka aku pun mulai menggerakkan haiku di dunia maya, sebagai sarana pembelajaran praktis penulisan puisi bagi pemula, di samping sebagai upaya untuk menemukan variasi bagi penulisan puisi kita. Niatku disambut hangat, dan gerakan penulisan haiku tak saja merebak di Facebook Dan Twitter, hnamun juga berbuah menjadi komunitas haiku Danau Angsa, dengabn menerbitkan antologi haiku yang pertama di Indonesia ( Danau Angsa, Gramedia Pustaka Utama, 2011) yang memuat 500 haiku para penyair anggota komunitas haiku Danau Angsa. Bukunya tersedia di semua toko buku Gramedia,di seluruh Indonesia.

Sumber kutipan: Komunitas Danau Angsa

Senin, 03 Oktober 2011

JENDELA HAIKU HERU EMKA: DALAM RIMBUN PESONA BASHO (1)

Oleh : Heru Emka

Siapapun, yang mengenal haiku Jepang, pasti juga akan mengenal Basho, sebuah nama yang dianaggap identik dengan haiku itu sendiri. Penyair / pendeta yang terlahir ( di tahun 1644, di kawasan Ueno, propinsi Iga ) dengan nama Matsuo Kinsaku ini memang menjadi ikon sastra Jepang, tak ubahnya nama Walt Whitman bagi sastra Amerika, atau Chairil Anwar bagi sastra Indonesia.

Ayahnya, seorang samurai rendahan, sebenarnya berharap agar Basho memiliki karir militer yang cemerlang, dan sejak awal mendaftarkan Basho sebagai prajurit. Namun Basho tak pernah meraih peluang emas untuk naik pangkat, karena dia lebih senang bekerja sebagai juru masak di dapur. Makoto Ueda, yang menuulis kisah hidup Basho panjang lebar, ( dalam The Master Haiku Poet, Matsuo Bashō. Kodansha International, 1982 ) menyebutkan bahwa menjadi koki memang merupakan pilihan Basho secara diam-diam, karena sifatnya yang cinta damai, di samping juga dia terpengaruh oleh ajaran dalam kitab Zen, yang dikenalnya sejak muda, karena dia menaruh minat pada kesusasteraan.

Untungnya, sejak bocah, Basho mengabdi pada Tōdō Yoshitada, bangsawan yang lebih menyukai kesusasteraan daripada berperang. Yoshitada ini pula yang membuat Bashō menyukai apa yang disebut sebagai haikai no renga, yakni semacam gabungan puisi dari beberapa penyair. Kalimat pembukanya dimulainya dengan sebuah syair dalam 5,7,5 mora (suku kata ) yang kemudian dikenal sebagai hokku (kemudian disebut haiku, saat ditulis sebagai karya tersendiri ). Nah, hokku ala Tōdō Yoshitada ini kemudian disambung oleh penyair lainnya. Saat menulis puisi bersama Yoshitada, Basho memakai nama samaran Sobo.

Di tahun 1682 Basho untuk pertama kali mempublikasikan puisinya sebagai seorang penyair, dua tahun kemudianhokku karyanya diterbitkan dalam sebuah antologi bersama, dan tahun berikutnya, Basho dan Yoshitada Basho dan Yoshitada menerbitkan kumpulan seratus renku yang mereka tulis bersama para sahabat. Kematian Yoshitada yang mendadak di tahun 1666 membuatb Basho bisa membebas diri dari pekerjaannya sebagai pelayan, walau dia harus melepaskan status sosialnya sebagai seorang samurai rendahan. Namun Basho sudah bertekat untuk menjalani babak baru dalam hidupnya sebagai penyair pengembara.



Nyaris jadi homo
Tentang kehidupan Basho pada periode ini, beberapa penulis biografinya memberikan gambaran yang berbeda, karena memang tak ada kisah hidupnya yang tercatat pada masa ‘deru campur debu’ ini. Namun sempat pecah isu bahwa dia menjalin hubungan cinta terlarang dengan pendeta Shinto ( khusus perempuan ) yang bernama Jutei, walau kemdian terbukti bila semua ini hanyalah gosip semata, karena pada dasarnya Basho kurang begitu berminat terhadap perempuan. Konfirmasi Basho sendiri tentang hal ini tak begitu jelas. “ Pernah suatu waktu aku mendambakan punya posisi khusus di pemerintahan dengan jabatan seumur hidup,” dan di lain ketika dia berkata.” Ada juga suatu masa di mana akub tertarik dengan hubungan cinta sesama lelaki.” ( Pada masa itu hubungan cinta homoseksual wajar merebak di kalangan pendeta Zen, yang sepanjang hidup tinggal di vihara bersama sesama pendeta pria lainnya). Namun kemudian tak ada peristiwa cinta homoseksual yang terjadi, dan Basho tetap hidup sendiri sebagai seorang penyair/ pendeta kelana. Salah satu penyebab pilihan hidup yang diambil ini adalah ‘perjalanan kelana itu memberikan selingan bagi jiuwanya yang resah’, seperti yang dikatakan basho dalam buku biografi yang ditulis Makoto Ueda; The Master Haiku Poet, Matsuo Bashō. halaman 23; "the alternatives battled in my mind and made my life restless".

Bagaimana pun, Basho semakin tekun dan intens menulis haiku, dan buku kumpulan haikunya pun mulai diterbitkan di tahun 1667, 1669, dan 1671. Reputasinya sebagai penyair haiku semakin diakui, hingga di tahun 1672, antologi haiku yang ditulisnya bersama para siswa perguruan sastra Teitoku, yang berjudul Kai Ōi ( Seashell Game ). Antologi inilah y6anag embuat Basho mendapat bea siswa untuk berguru menulis haiku secara khusus kepada seorang sensei haiku terkemuka, yang bernama Kitamura Kigin.

Haiku Basho cepat melejit dan disukai karena bentuk pengu8ngkapannya yang lugas, pengamatannya yang mendalam terhadap alam sekitar, serta pemilihan kata-kata yang jitu. Dia memang dikenal punya pendekatan yang riang terhadapm suasana alam, sadar diri dan penuh apresiasi. Semua haiku Basho ditulis berdasarkan pengamatan dan pengalamannya secara langsung. “ Pergilah ke pohon pinus bila kau ingin belajar tentang pohon pinus, atau ke pohon bambu bila kau ingin belajar tentang bambu. Dalam melakukannya ( mempelajari ) kau harus meninggalkan keasyikanmu sendiri, Sebaliknya kau menceburkan dirimu dalam obyek itu. Makna dalam puisimu akanh terbentuk bila kamu telah melebur dengan obyek itu sebagai sebuah kesatuan – bila kamu sudah mencebur begitu dalam pada obyek untuk mencari sesuatu yang tersembunyi di sana . “

( "Go to the pine if you want to learn about the pine, or to the bamboo if you want to learn about the bamboo. In doing so, you must leave your preoccupation with yourself. Otherwise you impose yourself on the object and do not learn. Your poetry issues of its own accord when you and the object have become one – when you have plunged deep enough into the object to see something like a hidden glimmering there.")

Apa yang diajarkan oleh sesnsei Basho kepada muridnya, ratusan tahun silam, bahkan tetap terasa actual hingga kini. Kita boleh memakainya sebagai pentunjuk penting dalam menulis haiku, bagaimana kita bisa menciptakan puisi yang memikat dari kata yang singkat. Sebuah perasaan dari pengamatan, perenungan dan peresapan perasaan , yang walau pun nampak sepele, namun bernilai.
Tapi….kini sudah menjelang fajar, kawan, aku telah menulis semalaman. Punggungku ingin kubaringkan sejenak di kasur, sambil memikirkan apa yang sebaiknya kulakukan bila pagi baru tiba. Biarkan aku mengasoh sejenak…nanti akan kulanjutkan lagi kisah Bayang Pesona Basho, pada abagian berikutnya, kenapa dia mendapat julukan Basho, yang dalam bahasa Jepang berarti pohon pisang ?....Nantikanlah Jendela Haiku yang berikutnya…..

- Heru Emka, penyair dan peminat kajian budaya. Tinggal di Semarang –
Diunggah atas izin pemiliknya dari akun facebook 'Jendela Haiku Heru Emka'

Minggu, 02 Oktober 2011

SEKITAR KONSEP PENGERTIAN PUISI

Oleh Dimas Arika Mihardja

Hingga kini studi puisi belum berhasil memberikan batasan teks puisi yang secara luas dapat diterima. Mengherankan, tetapi hal ini dapat dimengerti. Mengherankan karena sulit untuk mengharap suatu bidang ilmu dapat menjelaskan bidang ilmunya dengan istilah sedemikian rupa sehingga memperoleh konsensus dalam bidangnya itu. Dapat dimengerti karena tidak pernah ada garis pemisah yang jelas antara teks puisi dan nonpuisi. Garis pemisah ini telah dihapus di masa lalu dan akan terus dihapuskan di masa mendatang. Alasan penghapusan ini disebabkan oleh rumitnya struktur objek penelitian dan evaluasi yang selalu berubah terhadapnya. Juga faktor metode yang digunakan untuk mendefinisikan konsep teks puisi merupakan faktor yang menyebabkan kacaunya konsep.

Jika seseorang mencermati kekacauan ini, agaknya Morris Weitz-(1960)-lah yang benar. Menurutnya, seseorang mencari terlampau lama dan sia-sia untuk batasan objek estetik dan subkategorinya. Menurut Weitz, konsep seni merupakan suatu konsep terbuka yang tidak memungkinkan adanya definisi operasional. Pada sisi lain, mungkin mendefinisikan apa yang oleh Weitz disebut sebagai konsep tertutup, misalnya “tragedi Yunani”. Ciri-ciri umum semua tragedi Yunani yang terkenal mungkin dikumpulkan, untuk selanjutnya sebuah definisi terhadap tragedi Yunani dapat dibuat. Selanjutnya Fokkema menyarankan bahwa “menghindari definisi konsep puisi berarti akhir dari pendekatan yang sistematik terhadap studi puisi” (Fokkema, 1974a:254). Zdenko Skreb melihat suatu definisi baru tentang suatu objek, yakni teks puisi, sebagai tugas yang paling urgen bagi penelitian teori puisi (Skreb, 1973:29).

Definisi-definisi dan hipotesis kerja tentang istilah seperti literature, literary, dan literary text yang dirumuskan beberapa tahun terakhir bercirikan dua aspek yang ada dalam kebanyakan definisi. Di satu pihak kualitas tekstual disebutkan sebagai elemen konstitutif konsep puisi; sementara di pihak lain tekanan diberikan pada nilai-nilai yang oleh pembaca diberikan pada suatu teks. Kualitas-kualitas tekstual yang sering dipertimbangkan secara khusus bersifat kessatraan adalah penyimpangan penggunaan bahasa dan fiksionalitas teks. Jadi, Austin Warren dan Rene Wellek yakin bahwa ciri pembeda puisi dapat dijumpai dalam “pemakaian khusus yang dibuat terhadap bahasa”’ mereka menekankan ciri konotatif bahasa puisi dan hakikat fiksional puisi (Wellek dan Warren, 1949:22—23).

Objek studi puisi yang berorientasi pada semiotik tidak harus berupa teks puisi seperti yang dianggap sebagai bagian dari proses komunikasi atau dalam istilah Wienold ‘pemrosesan teks’. Pendeknya, bidang penelaah-an ilmu puisi diterima sebagai proses total tentang komunikasi kepuisian, komunikasi puisi dianggap subsistem dari sistem komprehensif komunikasi verbal dalam masyarakat (Schmidt, 1976:242). Schmidt secara meyakinkan membagi proses global komunikasi puisi menjadi empat komponen, yaitu produksi teks, teks, transmisi teks, dan resepsi teks. Perbedaan-perbedaanya dapat dijelaskan sebagai berikut.

Aktivitas produser, pengarang: sebagai contoh tentang jenis ini adalah penelitian terhadap varian tekstual yang mungkin disebutkan. Ini memungkin-kan suatu insight ke dalam aktivitas pengarang yang akan mengarah pada produksi teks. Kegiatan interpretatif langsung dipusatkan pada suatu teks. Transmisi teks: di antara hal-hal lain, sosiologi puisi mempelajari cara ketika teks didistribusikan melalui perantaraan editor, penerbit, toko buku, dan sebagainya, dan akhirnya mencapai para pembacanya. Kegiatan penerima, pembaca: Rezeptionaesthetik (estetika resepsi) merupakan suatu sasaran muta-khir yang berkenaan dengan studi reaksi-reaksi pembaca terhadap teks puisi.

Lotman memberikan konsep teks puisi sebagai sebuah arti “netral” (tidak khusus linguistik). Hal itu dicirikan oleh tiga hal. Sebuah teks berciri eksplisit: sebuah teks diungkapkan dengan sarana tanda-tanda dan itu membedakannya dengan struktur ekstra tekstual yang tidak diungkapkan. Teks juga terbatas: sebuah teks mempunyai awal dan akhir karena berbeda dengan semua struktur lain yang tidak memiliki ciri “terbatas”. Terakhir, sebuah teks adalah terstruktur: sebuah teks tidak mempunyai susunan arbitrer antara dua batasnya. Sebuah teks mempunyai organisasi internal yang membuatnya menjadi sebuah keseluruhan yang terstruktur pada level sintagmatik. Yang diistilahkan Lotman sebagai “teks” seperti istilahnya tentang “bahasa”, merupakan istilah teknis, tidak bersangkutan dengan arti umum, misalnya sejumlah kata-kata tertulis dalam bahasa Inggris. Sebagai misal, lukisan, film, atau sebuah soneta juga disebut teks.

Satu masalah penting adalah dalam hal apakah teks estetis berbeda dengan teks nonestetis. Dengan referensi Formalisme Rusia dan Strukturalisme Praha, akan diusulkan hipotesis kerja: sebuah teks estetis adalah seperangkat tanda yang eksplisit, terbatas, dan terstruktur, serta fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca. Dalam definisi ini fungsi estetik yang ditujukan pada sebuah teks oleh pembaca bersifat decisive terutama berkaitan dengan perbedaan antara teks estetis dan teks nonestetis. Dari sudut pandang semiotik, dengan demikian, harus terdapat indikasi di dalam teks atau dalam situasi komunikasi untuk memperkuat judgement penerima (pembaca).

Analog dengan penjelasan tentang teks estetis di atas, definisi kerja tentang teks puisi adalah: sebuah teks puisi adalah seperangkat tanda-tanda verbal yang eksplisit, terbatas, dan terstruktur, serta fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca. Dalam definisi ini, “pembaca” disebutkan; jelas bahwa hal itu merupakan suatu generalisasi yang selanjutnya harus dibuat spesifik. Apa yang menyebabkan pembaca menyebut-nyebut fungsi estetis suatu teks? Sebuah teks puisi akan berisi sejumlah stimulus yang mempunyai efek estetis bagi penerima dan dengan demikian menyebabkan teks memiliki fungsi estetik bagi pembaca. Misalnya, mungkin rima dan penyimpangan pemakaian bahasa memiliki efek estetis terhadap pembaca sehingga dia akan menetapkan fungsi estetis ada pada teks itu. Fungsi estetis menunjukkan bahwa dalam situasi komunikasi minat si pembaca pertama-tama terarahkan pada teks sebagai sebuah keseluruhan tandaa-tanda verbal yang tersusun. Dalam kasus ini, cara ketika teks distrukturkan bersaing kuat dengan isi yang disampaikan.

Akhirnya, marilah kita ingat definisi kerja tentang konsep “teks puisi” sebagai seperangkat tanda-tanda verbal yang eksplisit, terbatas, dan terstruktur; dan fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca. Definisi bergantung pada keputusan pembaca dan dengan demikian, hal itu memerlukan suatu penilaian terhadap responsnya.