Selasa, 04 Oktober 2011

Jendela Haiku Heru Emka : Dalam Rimbun Pesona Basho 2

Oleh : Heru Emka :


Di tahun 1983, setelah gubuknya terbakar dan ibunya meninggal dunia, Basho memutuskan untuk hidup di jalan sebagai penyair kelana. Sejak usia 40n tahun (1684) dia mengembara dari satu desa ke desa lainnya, hidup dari jasa mengajarkan penulisan haiku di tempat di mana saja dia singgah.

Reputasi Basho sebagai penyair haiku kian kemilau setelah dia menjadi murid pujangga kerajaan Kitamura Kigin dan menerima beberapa ‘kiat rahasia’ menulis haiku, sehingga dia menjadi salah satu tokoh dalam ‘kelompok sastrawan’ Nihonbashi, Pada 1678, dia bahkan diundang untuk menuliskan haiku bagi Shogun. Dan Basho pun menuliskan haiku seperti ini:

kabitan mo / tsukubawasekeri / kimi ga haru
( orang Belanda / berlutut kepadanya / musim semi di bawah kuasanya )
- André von Kugland. “ Matsuo Basho. The Complete Haiku “

Sejak 1680 dia hidup sepenuhnya sebagai guru haiku bagi ke 20 putera bangsawan yang menjadi muridnya. Mereka pula yang menerbitkan antologi bersama Tōsei-montei Dokugin-Nijukasen (The Best Poems of Tōsei's Twenty Disciples ), Basho melakukan langkah sensasionalnya yang pertama, saat di tengah gigil musim dingin, dia diam-diam menyeberangi sungai menuju Fukagawa. Para muridnya lantas membangunkan sebuah gubuk sederhana untk Basho, dan menanam sebuah pohon pisang di halamannya, yang pada waktu itu merupakan tanaman taman yang eksotik dan tak terdapat di seluruh Jepang. Basho begitu menyukai pisang, hingga dia menggunakan nama baru; Basho, yang berarti pohon pisang.

Sebenarnya, di sisi lain dari keberhasilannya menjadi penyair haiku, Basho merasa tak puas dan kesepian. Dia kian larut dalam meditasi Zen, tak dianggap tak meredakan kegalauan batinnya. Di musim dingin 1682, gubuk yang dibangun para muridnya terbakar. Tak lama kemudian, di awal tahun 1683, ibunya meninggal dunia. Dia lantas melakukan perjalanan menuju Yamura untuk mengunjungi seorang sahabatnya. Di musim dingin berikutmnya, para muridnya kembali membangtunkan gubuk byang kedua untuk Basho di Edo, namun niat penyair ini untuk hidup mengembara sudah bulat.

Setahun kemudian, seorang muridnya; Takarai Kikaku, menerbitkan kumpulan puisi Basho beserta beberapa penyair lain, yang diberi judul Minashiguri. Akhir tahun itu pula, Basho mulai melangkahkan kaki meninggalkan Edo, dan bermulalah salah satu dari empat kembara utamanya sebagai penyair kelana.

Melakukan pengembaraan seorang diri di Jepang pada Era Pertengahan adalah sebuah perjalanan penuh bahaya, karena pada masa itu amat banyak gerombolan perampok atau penjahat jalanan yang merajalela di sepanjang jalur perjalanan ke luar kota . karena itu banyak pihak di kalangan murid dan simpatisan Basho yang mencemaskan bila penyair ini segera tewas terbunuh oleh perampok atau mengalami kesengsaraan di tengah jalan. Namun Basho berpikir sederhana, “ Apa yang bisa dirampok dari seorang penyair seperti aku, yang hanya punya baju pendeta dan kata-kata.” Dan nyatanya perjalanan kembara itu terus berlanjut, dari satu tempat ke tempat lainnya. Basho malah banyak mendapat sahabat dan pengalaman baru, dan amat menikmati semua hal yang ditemukan dalam perjalanan walau kadang menimbulkan tantangan dan kesulitan.

Dan hal yang terpenting bagi Bashyo adalah dia bisa menceburkan dari secara langsung pada obyek haikunya, di tengah alam terbuka, seperti yang dituliskan dalam haikunya ini :
uma wo sae / nagamuru yuki no / ashita kana
( seekor kuda / tertangkap pandanganku / di pagi bersalju )
André von Kugland. “ Matsuo Basho. The Complete Haiku “

Dengan tekun, Basho meneruskan kembara dari Edo ke Gunung Fuji, dilanjutkan menuju Ueno hingga Kyoto. Selama itu, dia bersua dengan beberapa penyair, yang ternyata mengaku sebagai muridnya dan memohon petujuk tentang penulisan haiku kepaada Basho. Dan Basho berkata pada mereka untuk mengabaikan penulisan haiku gaya Edo dan menemukanb gayanya sendiri. Dengan rendah hati Basho berkata bahwa banyak baris dalam buku haikunya Shriveled Chestnuts, ‘tak layak didiskusikan’.

Di musim panas 1685, Basho kembali ke Edo, dan menggunakan sebagian besar hari-harinya untuk menulis haiku tentang perjalanan dan komentarnya akan kehidupannya sendiri, seperti yang tercermin dalam haiku ini :
toshi kurenu / kasa kite waraji / hakinagara
( tahun t’lah lewat / bayang kembara di kepalaku / sandal jerami di kakiku ( André von Kugland. “ Matsuo Basho. The Complete Haiku “)

Sepulangnya Basho ke Edo, bisa dibilang dia dengan riang menikmati kembali hidupnya dengan mengajarkan penulisan haiku di gubuk yang dibangun para murid untuknya. Walau diam-diam dia mulai merancang perjalanan kembaranya yang berikutnya. Haiku yang ditulis oleh Basho selama perjalanan kembara ini diterbitkan dengan judul Nozarashi kikō ( Account of Exposure to the Fields ). Pada masa-masa inilah, ( awal 1686 ) Basho menuliskan ‘haiku katak’nya yang legendaris itu :
furu ike ya / kawazu tobikomu / mizu no oto
( paya tua / katak terjun / plung )

Jangankan di jaman sekarang, di masa itu haiku Basho ini8 amatlah nyeleneh dan menggemaskan, sehingga langsung meledak dan menimbulkan kegemparan sastra. Penulis biografi Basho, Makoto Euda, menggambarkan para pernyair ternama Edo langsung berkumpul di gubuk Basho untuk menggelar kontes haikai no renga dengan subyek katak, untuk menghormati ‘haiku katak’ Basho yang fenomenal ini. ( sebagaimana dikisahkan Euda dalamThe Master Haiku Poet, Matsuo Bashō. Tokyo: Kodansha International,1992, halaman 138 )

Yang membuat saya sejak dulu menyenangi figur Bashō tak saja kesederhanaan dan kebersahajaan hidupnya, namun juga sikapnya yang rendah hati, pantang berputus asa, gampang berbagi dan cuek dengan segala macam materi dan status sosial. Dengan kemashurannya, dia dengan mudah menjadi penyair istana, yang tak saja memiliki status tinggi, namun juga lebih menjamin kehidupannya sehari-hari. Namun Basho menolak ‘hidup dalam sangkar’ dan memilih mengembara sambil ‘mengamen’ membacakan haiku, untuk memenuhi hidupnya .

Itulah sebabnya di tahun 1687, dia meninggalkan Edo, mengembara untuk ‘menandang bulan sepuas hati’ hingga setahun kemudian, saat dia kembali mengunjngi Ueno untuk ikut merasakan perayaan Tahun Baru Bulan. Bagi penyair kembara ini, sama berharga bila kita berbagi tawa atau berbagi air mata. Dia meniikmati hidup dengan riang, seperti kanak-kanak abadi, seperti tertulis dalam haikunya yang satu ini :

iza saraba / yukimi ni korobu / tokoromade
( marilah kini / menikmati salju…hingga / terpeleset jatuh )
André von Kugland. “ Matsuo Basho. The Complete Haiku “

Sahabatku, perkenankan aku menunda dulu kisah hidup Basho, yang akan kulanjutkan lagi pada kesempatan berikutnya. Aku – sebagai orang yang menggantungkan hidup dari kemampuan menulis – harus menulis naskah yang lain. Oke ?


Heru Emka, penyair dan peminat kajian budaya. Tinggal di Semarang –

- Dalam sebuah obrolan hangat di sebuah warung pinggir jalan di depan kampus Fakultas Sastra Universitas diponegoro9 yang lama ( Jalan Imam Barjo) beberapa kawan mengeluhkan tren pemnulisan puisi di media massa terkemuka, , yang ‘dikuasai ‘ oleh tradisi penulisan yang rumit’, ‘bercanggih-canggih dalam kata’ dan sebagainya.

Kupikir aku harus mengajak kawan-kawan untuk memulai gaya penulisan puisi yang sederhana dan bermakna, yang bisa bermula pada pola haiku. Maka aku pun mulai menggerakkan haiku di dunia maya, sebagai sarana pembelajaran praktis penulisan puisi bagi pemula, di samping sebagai upaya untuk menemukan variasi bagi penulisan puisi kita. Niatku disambut hangat, dan gerakan penulisan haiku tak saja merebak di Facebook Dan Twitter, hnamun juga berbuah menjadi komunitas haiku Danau Angsa, dengabn menerbitkan antologi haiku yang pertama di Indonesia ( Danau Angsa, Gramedia Pustaka Utama, 2011) yang memuat 500 haiku para penyair anggota komunitas haiku Danau Angsa. Bukunya tersedia di semua toko buku Gramedia,di seluruh Indonesia.

Sumber kutipan: Komunitas Danau Angsa

1 komentar:

  1. Selamat malam.. salam kenal saya dyah ayu, mahasiswi unpad jurusan sastra jepang. Saya sangat tertarik dengan tulisan anda. Apalagi menyangkut matsuo basho. Karena saya sedang mengerjakan skripsi dengan bahasan tentang salah satu haiku perjalanan matsu basho.
    Kalau boleh saya ingin membahas tentang haiku matsuo basho yg berjudul nozarashi kiko. Di dalam skripsi saya, membahas tentang sisi konsep sabi yg terdapat dalam haiku yg dibuat matsu basho ini.
    Apakah buku dari Makoto ueda yg berisi biografi tentang matsuo basho ada yang berbahasa inggris? adakah buku itu bisa didapat di indonesia? terima kasih sekali atas apresiasinya..

    BalasHapus