Senin, 03 Oktober 2011

JENDELA HAIKU HERU EMKA: DALAM RIMBUN PESONA BASHO (1)

Oleh : Heru Emka

Siapapun, yang mengenal haiku Jepang, pasti juga akan mengenal Basho, sebuah nama yang dianaggap identik dengan haiku itu sendiri. Penyair / pendeta yang terlahir ( di tahun 1644, di kawasan Ueno, propinsi Iga ) dengan nama Matsuo Kinsaku ini memang menjadi ikon sastra Jepang, tak ubahnya nama Walt Whitman bagi sastra Amerika, atau Chairil Anwar bagi sastra Indonesia.

Ayahnya, seorang samurai rendahan, sebenarnya berharap agar Basho memiliki karir militer yang cemerlang, dan sejak awal mendaftarkan Basho sebagai prajurit. Namun Basho tak pernah meraih peluang emas untuk naik pangkat, karena dia lebih senang bekerja sebagai juru masak di dapur. Makoto Ueda, yang menuulis kisah hidup Basho panjang lebar, ( dalam The Master Haiku Poet, Matsuo Bashō. Kodansha International, 1982 ) menyebutkan bahwa menjadi koki memang merupakan pilihan Basho secara diam-diam, karena sifatnya yang cinta damai, di samping juga dia terpengaruh oleh ajaran dalam kitab Zen, yang dikenalnya sejak muda, karena dia menaruh minat pada kesusasteraan.

Untungnya, sejak bocah, Basho mengabdi pada Tōdō Yoshitada, bangsawan yang lebih menyukai kesusasteraan daripada berperang. Yoshitada ini pula yang membuat Bashō menyukai apa yang disebut sebagai haikai no renga, yakni semacam gabungan puisi dari beberapa penyair. Kalimat pembukanya dimulainya dengan sebuah syair dalam 5,7,5 mora (suku kata ) yang kemudian dikenal sebagai hokku (kemudian disebut haiku, saat ditulis sebagai karya tersendiri ). Nah, hokku ala Tōdō Yoshitada ini kemudian disambung oleh penyair lainnya. Saat menulis puisi bersama Yoshitada, Basho memakai nama samaran Sobo.

Di tahun 1682 Basho untuk pertama kali mempublikasikan puisinya sebagai seorang penyair, dua tahun kemudianhokku karyanya diterbitkan dalam sebuah antologi bersama, dan tahun berikutnya, Basho dan Yoshitada Basho dan Yoshitada menerbitkan kumpulan seratus renku yang mereka tulis bersama para sahabat. Kematian Yoshitada yang mendadak di tahun 1666 membuatb Basho bisa membebas diri dari pekerjaannya sebagai pelayan, walau dia harus melepaskan status sosialnya sebagai seorang samurai rendahan. Namun Basho sudah bertekat untuk menjalani babak baru dalam hidupnya sebagai penyair pengembara.



Nyaris jadi homo
Tentang kehidupan Basho pada periode ini, beberapa penulis biografinya memberikan gambaran yang berbeda, karena memang tak ada kisah hidupnya yang tercatat pada masa ‘deru campur debu’ ini. Namun sempat pecah isu bahwa dia menjalin hubungan cinta terlarang dengan pendeta Shinto ( khusus perempuan ) yang bernama Jutei, walau kemdian terbukti bila semua ini hanyalah gosip semata, karena pada dasarnya Basho kurang begitu berminat terhadap perempuan. Konfirmasi Basho sendiri tentang hal ini tak begitu jelas. “ Pernah suatu waktu aku mendambakan punya posisi khusus di pemerintahan dengan jabatan seumur hidup,” dan di lain ketika dia berkata.” Ada juga suatu masa di mana akub tertarik dengan hubungan cinta sesama lelaki.” ( Pada masa itu hubungan cinta homoseksual wajar merebak di kalangan pendeta Zen, yang sepanjang hidup tinggal di vihara bersama sesama pendeta pria lainnya). Namun kemudian tak ada peristiwa cinta homoseksual yang terjadi, dan Basho tetap hidup sendiri sebagai seorang penyair/ pendeta kelana. Salah satu penyebab pilihan hidup yang diambil ini adalah ‘perjalanan kelana itu memberikan selingan bagi jiuwanya yang resah’, seperti yang dikatakan basho dalam buku biografi yang ditulis Makoto Ueda; The Master Haiku Poet, Matsuo Bashō. halaman 23; "the alternatives battled in my mind and made my life restless".

Bagaimana pun, Basho semakin tekun dan intens menulis haiku, dan buku kumpulan haikunya pun mulai diterbitkan di tahun 1667, 1669, dan 1671. Reputasinya sebagai penyair haiku semakin diakui, hingga di tahun 1672, antologi haiku yang ditulisnya bersama para siswa perguruan sastra Teitoku, yang berjudul Kai Ōi ( Seashell Game ). Antologi inilah y6anag embuat Basho mendapat bea siswa untuk berguru menulis haiku secara khusus kepada seorang sensei haiku terkemuka, yang bernama Kitamura Kigin.

Haiku Basho cepat melejit dan disukai karena bentuk pengu8ngkapannya yang lugas, pengamatannya yang mendalam terhadap alam sekitar, serta pemilihan kata-kata yang jitu. Dia memang dikenal punya pendekatan yang riang terhadapm suasana alam, sadar diri dan penuh apresiasi. Semua haiku Basho ditulis berdasarkan pengamatan dan pengalamannya secara langsung. “ Pergilah ke pohon pinus bila kau ingin belajar tentang pohon pinus, atau ke pohon bambu bila kau ingin belajar tentang bambu. Dalam melakukannya ( mempelajari ) kau harus meninggalkan keasyikanmu sendiri, Sebaliknya kau menceburkan dirimu dalam obyek itu. Makna dalam puisimu akanh terbentuk bila kamu telah melebur dengan obyek itu sebagai sebuah kesatuan – bila kamu sudah mencebur begitu dalam pada obyek untuk mencari sesuatu yang tersembunyi di sana . “

( "Go to the pine if you want to learn about the pine, or to the bamboo if you want to learn about the bamboo. In doing so, you must leave your preoccupation with yourself. Otherwise you impose yourself on the object and do not learn. Your poetry issues of its own accord when you and the object have become one – when you have plunged deep enough into the object to see something like a hidden glimmering there.")

Apa yang diajarkan oleh sesnsei Basho kepada muridnya, ratusan tahun silam, bahkan tetap terasa actual hingga kini. Kita boleh memakainya sebagai pentunjuk penting dalam menulis haiku, bagaimana kita bisa menciptakan puisi yang memikat dari kata yang singkat. Sebuah perasaan dari pengamatan, perenungan dan peresapan perasaan , yang walau pun nampak sepele, namun bernilai.
Tapi….kini sudah menjelang fajar, kawan, aku telah menulis semalaman. Punggungku ingin kubaringkan sejenak di kasur, sambil memikirkan apa yang sebaiknya kulakukan bila pagi baru tiba. Biarkan aku mengasoh sejenak…nanti akan kulanjutkan lagi kisah Bayang Pesona Basho, pada abagian berikutnya, kenapa dia mendapat julukan Basho, yang dalam bahasa Jepang berarti pohon pisang ?....Nantikanlah Jendela Haiku yang berikutnya…..

- Heru Emka, penyair dan peminat kajian budaya. Tinggal di Semarang –
Diunggah atas izin pemiliknya dari akun facebook 'Jendela Haiku Heru Emka'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar