Selasa, 13 September 2011

APA ADA DENGAN YESSIKA, SEBUAH PRAKATA

Esai Djazlam Zainal (Malaysia)

Yessika Susastra suatu nama manis yang agak lama terpancar di layar komputer. Kemanisan nama berarengan kemanisan mukanya sering tersodor pula dengan kemanisan puisi-puisinya. Lalu, apa ada dengan Yessika|sebuah prakata adalah keinginan menyelam ke dasar rasa dan fikiran penyair perempuan pemastautin Jambi ini. Beliau sangat prolifik sebagai penulis. Puisi-puisinya sering mencabar fikiran. Barangkali puisi ini membuka cabaran minda pembaca. Menara Kembar di Dadaku : tragedi 11 september ( Jambi, 11 September 2011 )

kepada pesawatmu telah menghentam menara kembar
di dadaku, semua khatam: luluh berantakan
katakan, apakah masih ada yang menyambut ke atas
selain sikapmu yang keras!

menara kembar di dadaku berdenyut
saat kusebut wajah maaf, rayuan sebagai kabut
hingga mengundang jihad dengan langkah kaki
derap seluas dadaku

menara kembar di dalamnya penuh susu
tetapi kau teteskan air tuba di atasnya

( Menara Kembar di Dadaku )

Apabila penyair mencantumkan perkataan Menara Kembar di Dadaku tentu mempunyai signafiken yang beda daripada Menara Kembar, di dadaku. Jelas menara kembar di dadaku memberi pengertian payudara sedangkan menara kembar, di dadaku, tentu ingatan pahit peristiwa 11 September 2001. Penyair sebenar ingin bermain dengan lelucon dan keseriusan. Topik 11 September adalah suatu topik serius, tetapi penyair mahu melihatnya sebagai sepele. Penyair menerapkan teknik Ernest Playful : kesungguhan main-main yang tidak sekadar play of the mind.

Sastra bertulis berlainan dari karya lisan. Ia wujud di kertas ( atau dalam konteks sekarang di skrin komputer ) dan berbicara dari halaman ke halaman, mempunyai sifat-sifatnya yang tertentu. Ini sudah tentu memerlukan pengamatan penyair yang serius. Unsur lisan misalnya keluar dari mulut seorang penyanyi, pengajar atau penglipurlara. Sedangkan sastra tulisan memerlukan bacaan dari lihatan mata serta pusat penumpuan pada visual. Sebab itu bila kita membaca Menara Kembar di Dadaku, harus dibaca dengan sambungan atau pemenggalan. Begitu juga lapisan makna yang berlapis-lapis. " Menara kembar di dalamnya penuh susu " Makna literalnya mungkin payudara yang penuh dengan air susu. Makna sampingannya barangkali menara berkembar yang punya kemanisan di dalamnya seabad berdirinya bangunan tersebut. Yessika bermain dengan makna. Namun puisi-puisi sedemikian bukannya kegemaran Yessika. Kerana hanya pada saat tertentu sahaja, Yessika bermain dengan kata-kata.

Dalam saat yang lain, Yessika lebih berfilsafat. Lihatlah Yessika menulis dalam Sarenade Rumah Embun.

doa netes dari ujung daun, nguap jadi embun
serupa suara yang menelusup di gelap malam
lalu mengkristal dalam pendar cahaya pudar

kuusap dan kusapu linang air bening yang netes
di sudut retina saat rindu jadi candu
dan deru mukul-mukul dada
aku masih bersimpul
lepuh, tak bisa melenguh
keluh di bawah geriap atap rumahmu
yang teduh

Begitu juga dengan Dari Beranda ke Beranda.

serupa beranda, beranda dadaku selalu terbuka
melepas berpasang-pasang merpati di angkasa

sebuah taman bunga terawat sempurna
burung dan kupu-kupu enggan terluka
selalu bermanja dan bermanja di kelopak bunga

serupa samodera, di kedalamannya
aneka arus meriak dan mengombak
saling desah menuju permukaan
mengembang di dada bidang puisi

dari beranda ke beranda
telapak tanganku mengusap dada
mengelus-ngelus doa dan cinta

Pendekar dan perintis yang paling genial dari sekularisasi dalam arti yang sihat di Barat, kita tahu adalah para filsuf dan seniman Yunani. Kebudayaan Yunani berkembang dari Inggeris sampai India setelah Yunani diduduki legiun-legiun Romawi, setelah bangsa yang dijajah ini ternyata menjadi guru-guru bangsa militer dan politik yang menjajah. Akhirnya semua itu sampai juga ke batas-batas kebudayaan kita dalam bentuknya yang tersendiri. Maka kelihatan filsuf ini dalam karya-karya Melayu termasuk dalam puisi-puisi Yessika. Lihatlah bagaimana Yessika menulis, doa netes dari ujung daun, nguap jadi embun/ serupa suara yang menelusup di gelap malam/ lalu mengkristal dalam pendar cahaya pudar. Bahasa ini bukan bahasa pertuturan biasa melainkan satu sarana tentang bagaimana melihat sesuatu di balik pengertian yang lain.

Di sebalik kebebasan pengarang modern dalam pola estatik pertentangan ada batasnya pula. Sebab, mahu tidak mahu, dia beroperasi dalam sebuah sistem konversi, yang memang ingin dan malahan berhasil didobraknya tetapi dalam hal pendobrakan konvensi yang seradikal mungkin konvensi itu masih tetap ada, sebagai semacam arus bawah dalam perebutan sistem konvensi baru yang tersarat dalam karya itu. Sebab itu kita masih dapat melihat kisi-kisi Melayu dan Islam dalam puisi-puisi modern ini.

Sementara Dari Pintu ke Pintu Mencarimu, Yessika menulis;

Dari Pintu

lewat nganga luka
aku mencarimu, wahai pemilik kasih
yang tak pernah pilih kasih
pemilik sayang yang tiada terbilang

jalan menyediakan banyak pilihan
pohon dan ilalang
rama-rama dan bunga

telah kutetapkan sebuah pintu
surga atau neraka
alamat terakhir

Ke Pintu

di muka pintu yang dijaga ketat malaikat
aku bersijingkat menuju surga
tetapi tangan malaikat mengikatku
pada pagar kawat berduri

bahawa hidup ialah menghirup nafas
melafazkan nama-nama harum bunga

ke pintu yang dijaga waktu
aku termangu menahan gejolak rindu

Mencarimu

melalui pintu masjid, mushala dan surau
kupapah rasa rindu dan galau
seperti musim kemarau yang panjang
aku mengelinjang mencarimu

engkau ternyata tidak pernah jauh
dari pintu hatiku, doa-doa malamku
gelodak waktu menabur debu
dan aku mengabu di bawah rahim

Tiga buah puisi yang dirangkum menjadi satu jodol. Sangat religiositas sifatnya. Mengingat saya kepada mistika sufi Rabi'a al-Adawiyya dalam rintihan doanya. O my God, the best of The gifts within my heart is the hope of Thee and the sweetest word upon my topngue is Thy praise, and the hours which I love best are those in which I meet with Thee.. O my Lord, my plaint to Thee is that I am but a strangers in Thy country, and lonely among Thy worshippers.. Sesungguhnya, kata-kata yang baik sama ada puisi atau doa adalah kemujarapan kepada Tuhannya. Dan ini saya temui dalam puisi-puisi Yessika Susastra.

Daftar Pustaka

A. Teeuw, Membaca Dan Menilai Sastera, Kuala Lumpur, 1992

Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, Jakarta, 1982


Yessika sering mendobrak dengan puisi-puisi luar biasa..

Rabu, 07 September 2011

EPILOG: PENDARAN DAN PENGENDAPAN NILAI-NILAI "CINTA" DALAM TEKS PUISI KARYA RAMA PRABU

Oleh: Dimas Arika Mihardja

….jantungku dari patahan biola
dan suaraku denting pesona para pencinta
simphoni pengukur ruah mantra dari sebuah orchestra ….

(“Mantra Bosanova”)

Penggalan larik puisi karya Rama Prabu bertajuk “Mantra Bosanova” ini tampaknya mewakili keseluruhan esensi estetis dan sekaligus tematis puisi-puisi yang terangkum dalam buku ini. Rama Prabu melakuka reinterpretasi maha karya Ramayana lalu merentangpanjangan jalan “cinta” hingga ke masa kini. Topik puisi yang digubah oleh Rama Prabu dapat diklasifikasikan dalam lima kategori berikut (1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan. Rama Prabu sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indonesia menaruh perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.

Persoalan-persoalan edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius itu pada gilirannya merupakan manifestasi dari kristalisasi nilai-nilai yang dijadikan penuntun, pemandu, pedoman, pengendali, rujukan, tolok ukur ucapan, tindakan, dan perilaku penyair sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Lebih lanjut, nilai-nilai itu bagi penyair berfungsi mendasari, merangsang, mendinamiskan, mendorong, menggerakkan, dan mengarahkan tindakan penyair dalam berkarya sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Hasil dari itu semua adalah dibuahkannya puisi yang mendedahkan nilai-nilai edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.

Nilai-nilai ini secara samar dan tersirat meruak di dalam puisi-puisi karya Rama Prabu yang dimuat dalam buku ini. Realisasi pengendapan dan pendaran nilai-nilai “cinta” yang universal itu ditelisik dan ditelusuri oleh penyair seperti membaca peta perjalanan agung kisah Ramayana (yang klasik dan antik) ke kehidupan masa kini yang eksotis dan estetis di mata penyair. Banyak nama yang turut membesarkan dan mengasuh “cinta” sebagai referensi penyair, seperti Empu Walmiki, Pablo Neruda, Rumi hingga nama-nama karib penyair seperti Tulus Wijanarko, Suprabo Anggo, Heru Marwata, Lisa Febriyanti, Saut Situmorang, Iin Yunawinarti (istri penyair), Lintang Ayu Sastraningrum, Landung Simatupang, Arsyad Indradi, Mariska Lubis, Dimas Arika Mihardja, D Kemalawati, Kurniawan Junaedhie, dan sahabat hati lainnya yang turut meronai “wajah cinta” karya-karya Rama Prabu. Tata pergaulan antarpenyair, baik melalui interteks, maupun interaksi turut mematangkan puisi-puisi Rama Prabu. Nilai-nilai “cinta” dalam pengertian luas merujuk pada adanya simpati dan empati penyair Rama Prabu terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.

Semua nilai-nilai itu oleh Rama Prabu dikemas sebagai upaya penyampaian keindahan dan kebenaran melalui teks puisi. Nilai-nlai ini dijadikan prioritas bagi penyair dalam berkarya, meskipun jauh di lubuk hati penyair mungkin tidak dimaksudkan sebagai “petani yang sengaja menanam tanaman nilai-nilai”. Terkait dengan ini dapat dikemukakan bahwa setiap penyair, termasuk Rama Prabu, dalam menciptakan puisi selalu berorientasi pada penyampaian nilai-nilai ini. Penyampaian nilai-nilai ini realisasinya berupa usaha maksimal penyair dalam menata bahasa dalam bingkai konvensi sastra dan konvensi budaya untuk mewadahi gagasan yang akan disampaikan melalui teks puisi. Salah satu cara ungkap yang digunakan oleh Rama Prabu dalam penulisan kreatif puisi-puisinya ialah dengan cara “bilang begini, maksudnya begitu” atau meminjam ungkapan Riffaterre dalam Semiotic of Poetry (1978) “Says of thing and means another”.

Dalam konteks pendaran dan pengendapan nilai-nilai ini pembaca dapat menikmati puisi-puisi Rama Prabu yang secara umum dapat dicirikan sebagai puisi-puisi (1) remang-remang tetapi menawan, (2) puisi-puisi yang sarat dengan pemikiran filsafati, (3) puisi-puisi yang lincah mengolah kata-kata, (4) puisi-puisi yang sarat pemikiran kejawen, (5) puisi-puisi yang sederhana tetapi kuat dalam penyampaian pesan, dan (6) puisi-puisi yang mengolah ragam bahasa Jawa di beberapa puisinya (dalam beberapa puisinya, Rama Prabu membubuhkan notes yang saya anggap sebagai “catatan hati” yang identik dengan catatan kaki untuk karya ilmiah; selain itu, Rama prabu juga menggunakan referensi silang saat menulis puisi bagi seseorang).

Teks puisi yang diciptakan oleh penyair Rama Prabu secara umum memiliki ciri ketidaklangsungan pengungkapan yang menurut Riffatere (1978) timbul akibat adanya penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; terdapat juga penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. Karakteristik ketidaklangsungan teks puisi tersebut dirangkum dalam paparan berikut ini.

Pertama, penggantian arti. Di dalam teks puisi-puisi yang diciptakan oleh penyair Rama Prabu pada umumnya kata-kata kiasan difungsikan untuk menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain. Kedua, penyimpangan arti. Penyimpangan arti terjadi apabila di dalam puisi ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Di dalam puisi yang digubah oleh Rama Prabu kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Di dalam teks puisi yang ditulis oleh Rama Prabu juga terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir, sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan.

Ketiga, penciptaan arti. Menurut Riffaterre (1978:2) penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam teks puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme.

Teks puisi termasuk ke dalam jenis teks transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Teks puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena teks puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun teks puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, teks puisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa teks puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, teks puisi merupakan teks khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.

Teks puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam teks puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam teks puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi. Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari teks itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara. Teks itu sendiri dapat menyajikan fakta mengenai jenis kelaminnya, usia, wajah, dan pekerjaannya. Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu.

Hakikat epilog ialah penyampaian “pemandangan akhir” dari keseluruhan corak puisi-puisi yang termuat di dalam sebuah buku. Prolog ini kiranya telah memberikan gambaran bagaimana seorang Rama Prabu “mengudar gagasan” dan “mengendapkannya” di dalam teks puisi. Upaya pengudaran gagasan, yang lalu ditindaklanjuti dengan pengendapan gagasan itu dikemas dengan karakteristik utama sebuah puisi yang pada prinsipnya: “Says of thing and means another”, bilang begini maksudnya begitu. Dengan prinsip ini, Rama Prabu berhasil mengungkapkan topik puisi yang diklasifikasikan dalam lima kategori: (1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan. Secara ringkas dapat dikemukakan untuk mengakhiri epilog ini bahwa Rama Prabu sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indonesia menaruh perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.

Puisi-puisi karya Rama Prabu yang termuat di dalam buku Ramayana, Jalan Cinta dapat dipandang sebagai sebuah upaya memaknai “cinta” (cinta dalam tanda kutip). Realisasi “cinta” penyair telah dicurahkan melalui teks-teks puisi yang memang sebaiknya dibaca, dimaknai, dan dihayati sendiri oleh pembaca. Di akhir pembacaan dan pemaknaan, pembaca akan berseru “o, begitu panjang dan berliku jalan cinta itu; sebuah jalan kehidupan yang harus ditelusuri oleh siapa pun yang ingin sebenar-benrnya hidup”. Begitulah, sebuah epilog yang sejatinya merupakan rangkuman hasil pembacaan telah didedahkan secara ringkas. Ya, sebuah epilog memang harus ringkas agar tidak terkesan nyinyir dan menggurui. Demikian, salam sastra.

Jambi, September 2011

Senin, 05 September 2011

SEKILAS TENTANG PERTIKAIAN PEMIKIRAN TUNGGAL

Oleh Erry Amanda


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
catatan kecil (non ilmiah) ini awalnya adalah sebuak apresiasi atas catatan MONOLOG Dimas Arika Mihardja. Semoga bisa ada sedikit manfaat dari tulisan sederhana ini.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ada yang lama berdesakan dan untuk di wilayah urban saya di negeri asing, sudah sering saya teriakkan dengan lantang. Ini juga salah satu dari sekian pertikaian tunggal yang juga berdesakan cukup lama, yakni riuhnya para pemerhati yang menyoal seluruh cakupan mesin hidup dalam diri manusia secara parsial, dibelah-belah menjadi agent-agent, preparat-preparat yang sama sekali tidak utuh. Masing-masing bagian (seolah) memiliki kekuatan dan keutamaan yang berbeda dan bertingkat-tingkat. Potongan sederhananya adalah: logika dan rasional (seakan) memiliki kekuatan ungkap realitas atau kebenaran purna, sementara agent yang lain, seni, sebuah misal, spiritualisma, misal yang lain, ia masuk pada wilayah imaji dan absurd, bahkan ilusif. Lebih bersandar pada olah rasa bukan kerja pikir.

Pernaha saya ajukan sebuah pertanyaan sederhana.
Adakah hasil pemikiran dari olah pikir adalah benar-benar murni dihasilkan oleh ruang pikir (mind) itu sendiri dan sama sekali bebas dari pengaruh rasa atau perasaan? Merdeka dari ruang hayali? Benarkah LOGIKA murni kebenaran substansial tanpa dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan rasa yang bersifat konsesnsi? Wilayah logika masih belum merdeka sebelum melibatkan ruang banding, rasionalisma. Lantas parameter apa yang dipergunakan untuk menentukan validitas rasio? Bisa diferifikasi? Bisa diformulasikan (didalilkan) dan dipublisir, diderivasi, direproduksi (bukan sekadar mengambang dalam bentuk empiris saja)? Lantas apa pendorong utama lahirnya hipotesa dan premis-premisnya? Logika apa yang mendorong Newton bertanya soal apel jatuh dan tidak melayang? Saat itu saya yakin, Newton tidak bicara soal logika. Logikanya saat itu secara umum adalah ‘suatu benda di ketinggian yang lepas dari kaitannya tentu akan jatuh’. Saat itu manusia belum punya logika soal ruang fakum, masa dan densitas – apalagi magnet bumi.

Bagaimana pula lahirnya suatu realitas hukum (etika) yang lahir sama sekali sangat tidak dipengaruhi oleh data-data empiris, perilaku sosial dan sejenisnya. Sebut saja kebenaran wilayah ini adalah hukum kebenaran idealis dan bukan korespondensif. Lantas jenis kebenaran ini lahir dari wilayah mana? Pikiran (mindset), pola pikir atau sikap rasa yang diakselerasikan dalam kesepakatan normative (budaya)?

Pertanyaan lainnya, mengapa daerah kajian realitas yang bermuara pada logika bisa melahirkan sisi pemikiran realitas yang bersilang, post (berbagai khasanah pemikiran)?

Hidup, sejauh yang saya fahami adalah suatu reaksi kesadaran yangh bersifat differencial static, bergerak dalam suatu perubahan dan tidak bersifat pengulangan, return point, yang bertahap dalam proses linier, namun lebih bersifat holistis.

Dimensi itulah yang sebenarnya melahirkan berbagai derap dinamika dan dialektika maknawi humanis dan tata ruang keberadaan dalam berbagai bentuk perubahan di dalamnya. Ia tidak bersifat lebih dari ruang satu dengan yang lainnya, kecuali autopoesis. Sekecil apa pun suatu agent, sesungguhnya memiliki keterkaitan yang cukup besar dari agent yang lain (yang nampak lebih memiliki tingkat lebih tinggi). Sebutir partikel di dalam atom yang tak bermasa, partikel tersebut juga memiliki daya yang tak kurang dari sebongkah nuklir, sebuah misal.

Dari sisi ini sesungguhnya catatan sederhana dalam SEJENAK BINCANG. Saya selalu sangat menghargai apa pun yang dilakukan oleh siapa pun dan wilayah apa pun, bahkan saya juga bisa mengapresiasi pekerjaan penjahat, misalnya. Sebab dari sana saya bisa belajar banyak soal perilaku simpang dari moral sosial. Saya juga merasa tak menjadi kecil oleh plototan preman, karena – hakikatnya, saya pun bisa jahat untuk ukuran preman.

Lintasan perenungan yang melahirkan chip-chip memori kehidupan dari semua disiplin adalah merpakan kepustakaan kemanusiaan yang selalu memberi (semacam) dorongan dan magnet bagi siapa pun untuk lebih mampu meraba dari semua bentuk kehidupan, meski sangat mungkin, tidak akan pernah usai dan tuntas.

Mengejar matahari adalah risiko tanggungjawab mengemban kehidupan dan hidup itu sendiri. Ini salah satu kesadaran normative pada diri seorang Dimas Arika Mihardja dalam mengemban amanah di salah satu halaman kehidupan ini. Kondisi ini persis ada di larik akhir pada catatan SEKADAR BINCANG.

Saya sangat bahagia bisa bincang panjang di ujung tujuan kali ini. Menyisir seluruh kesadaran untuk berbagi, sepahit apa pun yang terbagi.