Selasa, 13 September 2011

APA ADA DENGAN YESSIKA, SEBUAH PRAKATA

Esai Djazlam Zainal (Malaysia)

Yessika Susastra suatu nama manis yang agak lama terpancar di layar komputer. Kemanisan nama berarengan kemanisan mukanya sering tersodor pula dengan kemanisan puisi-puisinya. Lalu, apa ada dengan Yessika|sebuah prakata adalah keinginan menyelam ke dasar rasa dan fikiran penyair perempuan pemastautin Jambi ini. Beliau sangat prolifik sebagai penulis. Puisi-puisinya sering mencabar fikiran. Barangkali puisi ini membuka cabaran minda pembaca. Menara Kembar di Dadaku : tragedi 11 september ( Jambi, 11 September 2011 )

kepada pesawatmu telah menghentam menara kembar
di dadaku, semua khatam: luluh berantakan
katakan, apakah masih ada yang menyambut ke atas
selain sikapmu yang keras!

menara kembar di dadaku berdenyut
saat kusebut wajah maaf, rayuan sebagai kabut
hingga mengundang jihad dengan langkah kaki
derap seluas dadaku

menara kembar di dalamnya penuh susu
tetapi kau teteskan air tuba di atasnya

( Menara Kembar di Dadaku )

Apabila penyair mencantumkan perkataan Menara Kembar di Dadaku tentu mempunyai signafiken yang beda daripada Menara Kembar, di dadaku. Jelas menara kembar di dadaku memberi pengertian payudara sedangkan menara kembar, di dadaku, tentu ingatan pahit peristiwa 11 September 2001. Penyair sebenar ingin bermain dengan lelucon dan keseriusan. Topik 11 September adalah suatu topik serius, tetapi penyair mahu melihatnya sebagai sepele. Penyair menerapkan teknik Ernest Playful : kesungguhan main-main yang tidak sekadar play of the mind.

Sastra bertulis berlainan dari karya lisan. Ia wujud di kertas ( atau dalam konteks sekarang di skrin komputer ) dan berbicara dari halaman ke halaman, mempunyai sifat-sifatnya yang tertentu. Ini sudah tentu memerlukan pengamatan penyair yang serius. Unsur lisan misalnya keluar dari mulut seorang penyanyi, pengajar atau penglipurlara. Sedangkan sastra tulisan memerlukan bacaan dari lihatan mata serta pusat penumpuan pada visual. Sebab itu bila kita membaca Menara Kembar di Dadaku, harus dibaca dengan sambungan atau pemenggalan. Begitu juga lapisan makna yang berlapis-lapis. " Menara kembar di dalamnya penuh susu " Makna literalnya mungkin payudara yang penuh dengan air susu. Makna sampingannya barangkali menara berkembar yang punya kemanisan di dalamnya seabad berdirinya bangunan tersebut. Yessika bermain dengan makna. Namun puisi-puisi sedemikian bukannya kegemaran Yessika. Kerana hanya pada saat tertentu sahaja, Yessika bermain dengan kata-kata.

Dalam saat yang lain, Yessika lebih berfilsafat. Lihatlah Yessika menulis dalam Sarenade Rumah Embun.

doa netes dari ujung daun, nguap jadi embun
serupa suara yang menelusup di gelap malam
lalu mengkristal dalam pendar cahaya pudar

kuusap dan kusapu linang air bening yang netes
di sudut retina saat rindu jadi candu
dan deru mukul-mukul dada
aku masih bersimpul
lepuh, tak bisa melenguh
keluh di bawah geriap atap rumahmu
yang teduh

Begitu juga dengan Dari Beranda ke Beranda.

serupa beranda, beranda dadaku selalu terbuka
melepas berpasang-pasang merpati di angkasa

sebuah taman bunga terawat sempurna
burung dan kupu-kupu enggan terluka
selalu bermanja dan bermanja di kelopak bunga

serupa samodera, di kedalamannya
aneka arus meriak dan mengombak
saling desah menuju permukaan
mengembang di dada bidang puisi

dari beranda ke beranda
telapak tanganku mengusap dada
mengelus-ngelus doa dan cinta

Pendekar dan perintis yang paling genial dari sekularisasi dalam arti yang sihat di Barat, kita tahu adalah para filsuf dan seniman Yunani. Kebudayaan Yunani berkembang dari Inggeris sampai India setelah Yunani diduduki legiun-legiun Romawi, setelah bangsa yang dijajah ini ternyata menjadi guru-guru bangsa militer dan politik yang menjajah. Akhirnya semua itu sampai juga ke batas-batas kebudayaan kita dalam bentuknya yang tersendiri. Maka kelihatan filsuf ini dalam karya-karya Melayu termasuk dalam puisi-puisi Yessika. Lihatlah bagaimana Yessika menulis, doa netes dari ujung daun, nguap jadi embun/ serupa suara yang menelusup di gelap malam/ lalu mengkristal dalam pendar cahaya pudar. Bahasa ini bukan bahasa pertuturan biasa melainkan satu sarana tentang bagaimana melihat sesuatu di balik pengertian yang lain.

Di sebalik kebebasan pengarang modern dalam pola estatik pertentangan ada batasnya pula. Sebab, mahu tidak mahu, dia beroperasi dalam sebuah sistem konversi, yang memang ingin dan malahan berhasil didobraknya tetapi dalam hal pendobrakan konvensi yang seradikal mungkin konvensi itu masih tetap ada, sebagai semacam arus bawah dalam perebutan sistem konvensi baru yang tersarat dalam karya itu. Sebab itu kita masih dapat melihat kisi-kisi Melayu dan Islam dalam puisi-puisi modern ini.

Sementara Dari Pintu ke Pintu Mencarimu, Yessika menulis;

Dari Pintu

lewat nganga luka
aku mencarimu, wahai pemilik kasih
yang tak pernah pilih kasih
pemilik sayang yang tiada terbilang

jalan menyediakan banyak pilihan
pohon dan ilalang
rama-rama dan bunga

telah kutetapkan sebuah pintu
surga atau neraka
alamat terakhir

Ke Pintu

di muka pintu yang dijaga ketat malaikat
aku bersijingkat menuju surga
tetapi tangan malaikat mengikatku
pada pagar kawat berduri

bahawa hidup ialah menghirup nafas
melafazkan nama-nama harum bunga

ke pintu yang dijaga waktu
aku termangu menahan gejolak rindu

Mencarimu

melalui pintu masjid, mushala dan surau
kupapah rasa rindu dan galau
seperti musim kemarau yang panjang
aku mengelinjang mencarimu

engkau ternyata tidak pernah jauh
dari pintu hatiku, doa-doa malamku
gelodak waktu menabur debu
dan aku mengabu di bawah rahim

Tiga buah puisi yang dirangkum menjadi satu jodol. Sangat religiositas sifatnya. Mengingat saya kepada mistika sufi Rabi'a al-Adawiyya dalam rintihan doanya. O my God, the best of The gifts within my heart is the hope of Thee and the sweetest word upon my topngue is Thy praise, and the hours which I love best are those in which I meet with Thee.. O my Lord, my plaint to Thee is that I am but a strangers in Thy country, and lonely among Thy worshippers.. Sesungguhnya, kata-kata yang baik sama ada puisi atau doa adalah kemujarapan kepada Tuhannya. Dan ini saya temui dalam puisi-puisi Yessika Susastra.

Daftar Pustaka

A. Teeuw, Membaca Dan Menilai Sastera, Kuala Lumpur, 1992

Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, Jakarta, 1982


Yessika sering mendobrak dengan puisi-puisi luar biasa..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar