Senin, 05 September 2011

SEKILAS TENTANG PERTIKAIAN PEMIKIRAN TUNGGAL

Oleh Erry Amanda


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
catatan kecil (non ilmiah) ini awalnya adalah sebuak apresiasi atas catatan MONOLOG Dimas Arika Mihardja. Semoga bisa ada sedikit manfaat dari tulisan sederhana ini.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ada yang lama berdesakan dan untuk di wilayah urban saya di negeri asing, sudah sering saya teriakkan dengan lantang. Ini juga salah satu dari sekian pertikaian tunggal yang juga berdesakan cukup lama, yakni riuhnya para pemerhati yang menyoal seluruh cakupan mesin hidup dalam diri manusia secara parsial, dibelah-belah menjadi agent-agent, preparat-preparat yang sama sekali tidak utuh. Masing-masing bagian (seolah) memiliki kekuatan dan keutamaan yang berbeda dan bertingkat-tingkat. Potongan sederhananya adalah: logika dan rasional (seakan) memiliki kekuatan ungkap realitas atau kebenaran purna, sementara agent yang lain, seni, sebuah misal, spiritualisma, misal yang lain, ia masuk pada wilayah imaji dan absurd, bahkan ilusif. Lebih bersandar pada olah rasa bukan kerja pikir.

Pernaha saya ajukan sebuah pertanyaan sederhana.
Adakah hasil pemikiran dari olah pikir adalah benar-benar murni dihasilkan oleh ruang pikir (mind) itu sendiri dan sama sekali bebas dari pengaruh rasa atau perasaan? Merdeka dari ruang hayali? Benarkah LOGIKA murni kebenaran substansial tanpa dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan rasa yang bersifat konsesnsi? Wilayah logika masih belum merdeka sebelum melibatkan ruang banding, rasionalisma. Lantas parameter apa yang dipergunakan untuk menentukan validitas rasio? Bisa diferifikasi? Bisa diformulasikan (didalilkan) dan dipublisir, diderivasi, direproduksi (bukan sekadar mengambang dalam bentuk empiris saja)? Lantas apa pendorong utama lahirnya hipotesa dan premis-premisnya? Logika apa yang mendorong Newton bertanya soal apel jatuh dan tidak melayang? Saat itu saya yakin, Newton tidak bicara soal logika. Logikanya saat itu secara umum adalah ‘suatu benda di ketinggian yang lepas dari kaitannya tentu akan jatuh’. Saat itu manusia belum punya logika soal ruang fakum, masa dan densitas – apalagi magnet bumi.

Bagaimana pula lahirnya suatu realitas hukum (etika) yang lahir sama sekali sangat tidak dipengaruhi oleh data-data empiris, perilaku sosial dan sejenisnya. Sebut saja kebenaran wilayah ini adalah hukum kebenaran idealis dan bukan korespondensif. Lantas jenis kebenaran ini lahir dari wilayah mana? Pikiran (mindset), pola pikir atau sikap rasa yang diakselerasikan dalam kesepakatan normative (budaya)?

Pertanyaan lainnya, mengapa daerah kajian realitas yang bermuara pada logika bisa melahirkan sisi pemikiran realitas yang bersilang, post (berbagai khasanah pemikiran)?

Hidup, sejauh yang saya fahami adalah suatu reaksi kesadaran yangh bersifat differencial static, bergerak dalam suatu perubahan dan tidak bersifat pengulangan, return point, yang bertahap dalam proses linier, namun lebih bersifat holistis.

Dimensi itulah yang sebenarnya melahirkan berbagai derap dinamika dan dialektika maknawi humanis dan tata ruang keberadaan dalam berbagai bentuk perubahan di dalamnya. Ia tidak bersifat lebih dari ruang satu dengan yang lainnya, kecuali autopoesis. Sekecil apa pun suatu agent, sesungguhnya memiliki keterkaitan yang cukup besar dari agent yang lain (yang nampak lebih memiliki tingkat lebih tinggi). Sebutir partikel di dalam atom yang tak bermasa, partikel tersebut juga memiliki daya yang tak kurang dari sebongkah nuklir, sebuah misal.

Dari sisi ini sesungguhnya catatan sederhana dalam SEJENAK BINCANG. Saya selalu sangat menghargai apa pun yang dilakukan oleh siapa pun dan wilayah apa pun, bahkan saya juga bisa mengapresiasi pekerjaan penjahat, misalnya. Sebab dari sana saya bisa belajar banyak soal perilaku simpang dari moral sosial. Saya juga merasa tak menjadi kecil oleh plototan preman, karena – hakikatnya, saya pun bisa jahat untuk ukuran preman.

Lintasan perenungan yang melahirkan chip-chip memori kehidupan dari semua disiplin adalah merpakan kepustakaan kemanusiaan yang selalu memberi (semacam) dorongan dan magnet bagi siapa pun untuk lebih mampu meraba dari semua bentuk kehidupan, meski sangat mungkin, tidak akan pernah usai dan tuntas.

Mengejar matahari adalah risiko tanggungjawab mengemban kehidupan dan hidup itu sendiri. Ini salah satu kesadaran normative pada diri seorang Dimas Arika Mihardja dalam mengemban amanah di salah satu halaman kehidupan ini. Kondisi ini persis ada di larik akhir pada catatan SEKADAR BINCANG.

Saya sangat bahagia bisa bincang panjang di ujung tujuan kali ini. Menyisir seluruh kesadaran untuk berbagi, sepahit apa pun yang terbagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar