Kamis, 23 Juni 2011

HARUSKAH MENULIS HAIKU SESUAI DENGAN ASLINYA?

Catatan Heru Emka

“ Kenapa haiku yang ditulis mas Heru tidak seperti aslinya ? Bukankah haiku Jepang terdiri ndari tiga baris, dengan jumlah suku kata 5, 7, 5 ? Kenapa haiku mas Heru ada yang 4 baris,dan jumlah suku katanya juga tak sama ?,” tanya Nila via inbox di FB-ku.


Kenapa kita tak perlu menulis haiku pedrsis secara aslinya ? Jawabnya bukan saja (kita yang berbahasa Indonesia ) tak mungkin menulis haiku seperti aslinya ( karena struktur dan gramatika bahasa yang kita gunakan tidak sama ) namun juga kenapa kita harus mengikatkan diri, bila situasi dan kondisi ( saat kita menulis haiku ) amat berbeda dengan era dan tradisi penulisan haiku tradisional di Jepang sana.

Haiku, yang dalam bahasa Jepangnya berarti ‘ syair ringan’ ini secara luas memang dipahami sebagai sajak pendek yang terdiri dari tiga baris, dengan isian yang setiap barisnya terdiri dari 5, 7, 5 suku kata. Namun definisi seperti ini tergolong definisi haiku yang paling populer, yakni setelah berkembang dengan bentuk haiku berbahasa Inggris di AS misalnya. Haiku tradisional di Jepang sendiri diitulis dalam huruf Kanji, dalam satu baris tegak lurus memanjang. Dalam hitungan 17 mora ( semacam suku kata dalam bahasa Jepang ). Walau begitu apa yang disebut sebagai mora ini tak mutlak sama dengan suku kata dalam bahasa Inggris atau suku kata dalam bahasa Indonesia, karena struktur gramatika asa yang berbeda.

Penjelasan lainnya bisa begini. Jumlah baris dan jumlah suku kata yang terdapat pada haiku Jepang adalah persoalan bentuk. Sedangkan kata-kata kalimat di dalamnya adalah persoalan isi. Tradisi penulisan haiku di kalangan para pendeta Zen di Jepang berkaitan erat dengan musim sebagai referensi, karena itu sebagian besar haiku yang mereka tulis pun bertemakan alam, seperti haiku Basho ini :



tako tsubo ya
hakanaki yume wo
natsu no tsuki

Diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi :

The octopus' fleeting dream
in the trap
the summer moon

Saya alihkan ke bahasa Indonesia-kan menjadi :

( gurita melintas mimpi
dalam perangkap
bulan musim semi )

atau haiku yang ditulis oleh Kobayashi Issa yang seperti ini :

katatsumuri
soro soro nobore
fuji no yama

Diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi :

O snail,
Climb Mt. Fuji,
But slowly, slowly!

Saya terjemahkan ke bahasa Indonesia-kan menjadi :

( wahai siput
yang mendaki Gunung Fuji,
setapak demi setapak )

Juga haiku yang ditulis oleh penyair haiku klasik lainnya, Saigyo, yang sepert ini :

qtsuki no yuku
yama ni kokoro wo
wokuri irete
yami naru …

Diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi :

My mind I send
with the moon
that goes beyond the mountain…

Saya aliihkan ke dalam bahasa Indonesia-kan menjadi :

kukirimkan anganku
bersama sang bulan
/ melintas seberang gunung…


Penulis haiku yang pendeta Zen ini, sesuai kebiasaan tradisi penulisan mereka, menggunakan apa yang disebut sebagai “ saijiki” istilah yang mengacu pada wacana penanggalan musim, itulah sebabnya haiku juga disebut sebagai ‘syair musim’, di mana setiap kalimat mencerminkan alam di musim tertentu. Kalimat pendek seperti ‘daun gugur’ dengan jelas berkaitan dengan musim gugur. Dan di dalam tradisi penulisan haiku, kata “ kigo “ atau musim, juga mencerminkan karakter tertentu, misalnya ‘ angina dingin musim gugur’, jelas melambangkan ‘kesepian’, atau awal datannya musim dingin yang membekukan, pertanda keprihatinan, dan sebagainya…


Beda Bahasa, Bergeser Maknanya

Bila secara sederhana kita hitung suku katanya saja, kata ‘sayonara’ jelas tak sama dengan ‘selamat tinggal’, maka tak mungkin kita menulis haiku persis dengan pola bahasa Jepang. Yang orang Jepang sendiri punya gambaran yang berbeda ketika mengalih bahasakan Haiku Katak-nya Basho ke dalam bahasa Inggris. Ini contohnya : Haiku Katak Basho, aslinya begini :


Furu ike ya
kawazu tobikomu
mizu no oto


Nobuyuki Yuasa menterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi :


Breaking the silence
Of an ancient pond,
A frog jumped into water —
A deep resonance.


Sedangkan Hiroko Odagiri menterjemahkan haiku yang sama, berubah menjadi :

The old pond is still
a frog leaps right into it
splashing the water

Karena itulah saya melihat mereka yang belajar menulis haiku, dan terpaku pada aturan kaku gramatika haiku Jepang, hanya menghasilkan baris kalimat baku yang kaku , dan kehilangan momen puitik yang justru harus ditangkap dan diekspresikan secara minimalis dalam kalimat singkat, pada dan memikat. Inilah intinya : momen puitik yangv harus diungkapkan….bukan aturan kaku tentang jumlah baris, hitungan suku kata, dan sebagainya,…Tradisi penulisan pendeta Zen juga terbentuk wacana alam lingkungannya, di biara Budha di pedesaan, pegunungan dan sebagainya. Sedang kita ada di jaman modern, di tengah perkotaan, di mana masalah menangkap ‘keheningan’ menjadi persoalan yang lebih menantang. Situasinya amat berbeda, dan hasilnya pun tak mungkin sama.

Bagaimana pendapat anda ?

-Heru Emka, penyair dan peminat kajian budaya. Editor antologi haiku Danau Angsa -

1 komentar: