/1/
Chory Marbawi (1985—2012) serupa Chairil
Anwar, keduanya mati muda. Kedua penyair ini mewariskan harta paling
berharga ialah sejumlah sajak yang bisa diselamatkan. Jika penyelamat
Chairil Anwar ialah HB Jassin, Chory Marbawi diselamatkan oleh E.M.
Yogiswara dan Sean Popo Hardi (Teater AiR, Jambi Indonesia). Satu saat
Chairil sebagai penyair digelisahkan oleh rasa “dikutuksumpahi erros”,
digelisahkan oleh “penerimaan” segala yang kan tiba (Nisan, buat Nenekda
tercinta), merasa sunyi dan bersendiri (Senja di Pelabihan Kecil, buat
Sri Ajati), khusuk dan berkecamuk di gelanggang berperang (di Mesjid),
lalu melukis “Kawanku dan Aku”, digelisahkan dan ingin menjadi sosok
“Beta Patti Rajawane, yang dijaga datu-datu, Cuma satu”, menyeru lantang
berselempang semangat yang tak bisa mati (Diponegoro) atau gegap
gempita menyeru untuk “menjaga Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahril
(Kerawang Bekasi). Begitu juga Chory Marbawi, yang dalam imajinasi saya
mirip dengan sosok Chairil Anwar yang dalam helaan nafasnya terhirup
puisi, saat bicara keluar puisi, saat tidur bermimpi dalam puisi. Saya
mengenal baik Chory Marbawi,baik dalam urusan akademik (pembimbing
skripsinya) maupun mendampinginya berproses kreatif menulis puisi dan
sedikit berkenalan dengan teater di kampus.
Penggalan
puisi yang saya nukilkan di awal kertas kerja ini bertitimangsa 26
September 2012 sebelum beberapa hari kemudian—2 oktober 2012, Chory
Marbawi memasuki kehidupan abadi. Ia mewariskan cinta di dunia kata-kata
yang membangun makna kehidupannya. Kini, kita yang masih berdegup
nafasnya kembali menghirup makna cinta yang diwariskan ke dalam
kata-kata. Jika ada penyair muda yang selalu hidup dan menghirup udara
kegelisahan dan keresahan ialah Chory Marbawi . Kegelisahan kreatif dan
tenaga penciptaan anak muda ini mengangumkan. Tiada hari tanpa puisi.
Sebagai penyair, kreator, dan pencari kebenaran (dan kepuasan batin)
akan selalu dilanda oleh kegelisahan eksistensial . Eksistensi manusia
memang ada di tengah kepungan realitas. Manusia yang mampu survive di
tengah kepungan masalah ialah manusia yang eksis. Chory Marbawi, yang
selama ini memiliki prototipe sebagai manusia gelisah seperti Chairil
Anwar yang sepanjang hidupnya juga gelisah dan digelisahkan oleh
eksistensi, lalu melalui puisi-puisi dan ekspresi seni lainnya mampu
berdiri di atas kaki sendiri (tercatat Chory pernah mendukung pementasan
sebagai aktor maupun sutradara, tercatat juga sebagai jawara pembaca
puisi yang baik dengan menyabet juara 3 lomba baca puisi Internasional
di Taman Ismail Marzuki, dan lomba baca puisi tingkat provinsi, dan di
forum Pekan Seni Mahasiswa Nasional).
Kegelisahan
eksistensial itu terekam dengan baik pada sajak-sajak warisan Chory
Marbawi (yang pada 02 Oktober 2012 meninggalkan kita secara tragis saat
menunaikan tugas keguruannya, semoga jasa dan amal baiknya diterima
Allah Swt). Seperti Chairil Anwar juga, Chory Marbawi meninggal pada
usia 27 tahun, sebuah usia produktif dalam penciptaan puisi. Ya, Chairil
dan Chory sama-sama produktif, sering menulis puisi dan menyimpannya
dalam dokumen pribadi. Anehnya, kedua penyair ini suka sekali denghan
diksi ‘malam”,“darah’, ‘resah’ di dalam sejumlah puisinya. Anehnya lagi
(sebenarnya bukanlah keanehan, mungkin sebagai bagian dari kesalehan)
jika di dalam sebagian besar puisi kedua penyair ini bertebaran
tema-tema tentang maut, kematian, seakan-akan keduanya memang telah
membaca isyarat tentang hal itu. Dalam buku “Aku Bawakan Cinta Buatmu”
(BukuPop, 2013) terhimpun 60 sajak, dan ada 14 sajak bertajuk “Sektsa
Malam”-- mulai dari "Skesta malam I sampai dengan “Sketsa Malam XIV”.
Oleh karena kertas kerja ini merupakan catatan sederhana, maka saya beri
tajuk “Membaca Sketsa-sketsa malam, sajak-sajak “Maut” Chory Marbawi".
/2/
Pada ‘Sketsa Malam I”, Chory Marbawi telah bicara mengenai ‘keabadian’: Bulan
redup awan hitam berkelebat/ bintangjatuh di kedalaman kelam angin
diam/ daun-daun berguguran/debu-debu berlariandi wajah yang mulai
asing// (bintang bulan tenggelam/keabadian). Puisi ini bicara soal keabadian, kematian, atau maut. Hal itu ditunjukkan melalui pilihan kata ‘bintang jatuh di kedalaman angin diam”, “bintang bulan tenggelam”, dan “keabadian”.
Puisi ini melukiskan sketsa tentang ajal yang dibaca oleh Chory sebagai
isyarat, seperti Chairil Anwar yang juga membaca isyarat “cemara
menderai sampai jauh/terasa hari menjadi malam/ ada dahan pada tingkap
merapuh/dipukul angin yang terpendam/ di Karet, di karet (daerahku
y.a.d.) terasa juga deru angin”. Kegelisahan eksisitensial yang
didukung kepekaan perasaan yang dimilikipenyair, seakan memiliki indera
keenam—bisa membaca isyarat kematiannya sendiri. Pada 14 Juli 2007,
seorang Chory Marbawi telah membaca isyarat tentang bayang maut itu.
Isyarat tentang bayang maut itu juga hadir pada puisi “Sktetsa Malam II” dalam pilihan diksi “Langit
perlahan-lahan runtuh/ bulan tafakurdi atas ranjang yang kita sulam
bersama angin//tarian waktu sebentar lagi mematahkan sayap duka/yang
berkejaran bersama angin// “Kita takkan sempat menghitung desah/”.
Bayang maut itu serupa warna antara hitam dan putih, abu-abu: “Mencatat agenda tanpa warna,/lampu-lampu pecah cahaya kesucian makin beruban” (“Sketsa Malam III).
Ini imaji yang luar biasa. Melihat kelebat bayang-bayang maut itu
digambarkan ‘lampu-lampu pecah cahaya kesucian makin beruban’. Warna
hitam sebagai bayanagan noda dan dosa, dan warna putih sebagai
representasi kesucian semakin menua, samar, kelam, dan tampak abu-abu
serupa uban, sehingga terasa “nafas menaksir liukan wewangian tinggalkan jejak”. Saat nafas terakhir berhembus, tinggallah warisan wewangian berupa jejak sajak! Lalu pada puisi “Sketsa Malam IV”, Chory berdialog dengan “Pa” (Allah): “Pa,
aku ingin mencium wewangian bunga dari matamu”/ di antara gerimis
angin, engkau membedah jantung/mematahkan sayap-sayap yang kemarin sore
kuhadiahkan buat bunga/...”Wewangian bunga itu telah ditelan waktu,
anakku”. Puisi ini juga beraroma maut yang diungkapkan dnegan bahasa bunga. Irama dan aroma maut ini pada puisi “Sketsa Malam V”dipertegas pada larik ini: dalam hitungan detik kau membeku.
Pengenalan Chory pada dunia teater yang mementingkan membangun klimaks,
membuat ia semakin digelisahkan oleh tema maut, seperti dengan jelas
diungkapkan pada puisi ‘sketsa Malam VI’ berikut ini:
tak sempat angin itu merapat kedahan-dahan
sebab kebekuan sayapnya memasuki kedalaman kelam
membawa keringat resah mengunjungi rumah dingin
“Kemana kaki harus berpijak? Biarkan aku menyulamkeringat jalanan
agar waktu tak jatuh dan terbenam ke dalam tanah”
malam tak lagi menunggu, dalam dingin aku membukabibir
“Kau telah melempar bangkai dalam dadaku”
....
(“Sketsa Malam VI)
Tema maut, tanda-tanda kematian masih mewarnai puisi Chory marbawi. Pada puisi “Sketsa Malam VII”, Chory menulis:
“Pa, kenapa bunga di taman itu mati?
aku masih inginmengejar wewangiannya”
....
“Nak, bunga itu telah mati malam ini,
Kau takkan mampu mengejarnya, berbaringlah di tanahaasalmu”
Pada ‘Sketsa Malam VIII pun Chory masih menulis tgema tentang maut itu: Di atas ranjang, kau seperti aku menggigil/ bunga-bunga yang bertebaran itu layu bersama detak nadi Yang terlahir dari kesucian/....aku menggigil, kelampun berdarah”. Tema maut dengan tegasdan tandas dituangkan dalam puisi “SketsaMalam X’: di jalanan, di antara gerimis seorang anak/terbujur kaku membatu”. Soal kematian itu, terus saja menggelisahkan mata batin Chory Marbawy sehingga pada puisi “Sketsa Malam XI” ia menulis: “haruskah
aku menunggu datangnya/kematian menjemputku? ...Malam terus berdarah,
lirannya/menusuk nyanyian surga yang kubawa dari/pelaminan satu arah” dan pada puisi “Sketsa Malam XII” secara implisit Chory menulis: kelam menggumpal, dedaunan terbungkus/ dalam gelombang bisu. Terakhir, pada sajak “Sketsa Malam XIV” Chory marbawi memungkasi refleksi tentang kematian dalam larik-larik seperti ini:
Malam, badai mengunyah
keringat yangbertahun menyapa
(gelombang kematian sebentar lagi membantai)
Seketika angin luruh di ketika dedaunan
dingin menutupaliran darah
(gagak irtu terlalu jauh memasuki perjalanan)
Malam, badai mengamuk menghantam
keringat, melumat butir-butirnya di jalanan
Kematian nurani mendekat.
(Teater AiR jambi—indonesia, 2007-2008)
/3/
Pada
awalmula segala seni sastra (teristimewa puisi) adalah religius.
Kepekaan Chory marbawi menangkap sinyal-sinyal, isyarat kematian,
termasuk dimensi religiusitas. Hal ini terkait dengan asumsi yang telah
lama tumbuh di kalangan para estetikusabad-abad lampau yang mencoba
menerangkan apakah seni (puisi) itu. Seni, sambilmemperhitungkan adanya
berbagai trend, dalam keadaannya yang murni,lazim ditanggapi
sebagai kekayaan rohaniah manusia yang memberikan satu pesona,satu
pengalaman tak sehari-hari, sesuatu yang transendental, yang dalam
bahasaPlato merupakan bayangan Keindahan Sejati, yang oleh Bergson
maupun Iqbal ditanggapi kurang lebih sebagai ilham Ilahiat yang bahkan
layak diperbandingkandengan ilham kerasulan. Walhasil, seni puisi
itu sesuatu yang luhur. Kenapa? Sebabwatak seni sastra menuntut
kejujuran(hanya melahirkan yang memang hidup dalam jiwa), menuntut
simpati kemanusiaan(berbicara dari hati ke hati secara jujur dan bukan
dari ideologi ke ideologi),dan yang mengungkapkan haru (bukan
“kepedihan”). Dengan demikian, seni susastramemang bergerak pada “arus
bawah” hidup dan memunculkan ke permukaan undanganke arah kedalaman.
Arus bawah ini dikenal dengan istilah religiusitas (bukanberagama). Haru
itu sendiri, memang agaknya tak lain dari rasa hening yang aneh(yang
sering tak disadari) yang menyebabkan orang tersentak dan
menyebut:“Allah”. Dalam religiusitas, terdapat nilai ibadah.
Seni
puisi di satu pihak harus mampu mengajak seseorangberiman, mengagungkan
Allah, dan di pihak lain ia harus mampu mengasimilasisifat-sifat Allah
pada diri manusia seperti cinta kasih, penyayang dan lainsebagainya yang
mampu membawa kedamaian bagi umat manusia. Hal ini tidakberarti penyair
berkarya untuk menyaingi Allah, tetapi ia berkarya untukmenyesuaikan
diri secara lebih baik dengan tata ciptaan-Nya. Secara maknawi,karya
puisi tidak dimaksudkan menambah jumlah pemeluk, melainkan
memperdalamserta mempermudah hubungan manusia dengan Allah, dan Chory
Marbawi melalui puisi-puisi "mautnya" telah menyadarkan kita bahwa pada
hakikatnya "sang maut" itu sesungguhnya senantiasa mengintai keberadaan
kita. pemahaman dan penghayatan intensif tentang "maut" di dalam
puisi-puisi Chory Marbawi menunjukkan kepada kita tentang bagaimana
"cara berkomunikasi dengan Sang Maha Pencipta.
Komunikasi
antara manusia-penyair (Chory Marbawi) dengan Allahrealisasinya bisa
meluas, bisa pula menyempit perspektifnya. Secara luas,bentuk komunikasi
antara manusia-penyair (Chory Marbawi) dengan Allah teraktualisasi
dalambentuk kekaguman manusia-penyair akan berbagai bentuk ciptaan Allah
(Allahadalah Maha Kreator yang mampu menciptakan alam semesta beserta
isinya). Manusia-penyair,dalam konteks ini hanyalah peniru secara
mimesis. Dari tangan manusia-penyairlalu lahir berbagai karya yang
secara mimesis tidak dimaksudkan menandingikreativitas Allah, melainkan
sebagai semacam perpanjangan tangan. Hitung-hitungmanusia-penyair
bertindak sebagai kafilah di bumi yang dengan suntukmengangungkan
berbagai Keindahan Ciptaan Allah. Hal ini dapat kita hikmati dengan
suntuk saaat membaca puisi-puisi warisan Chory Marbawi yang dirangkum
dalam buku "Aku Bawakan Cinta Buatmu" (BukuPop, 2013, memuat 60 puisi
terseleksi). Chory telah pergi membawa dan menuju Cinta-Nya, dan
mewariskan cinta dalam wujud puisi yang selayaknya diapresiasi, diteliti
untuk skripsi atau tesis oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia.
Selain itu, Chory Marbawi ternyata juga
merupakanmakhluk individu dan makhluk sosial dalam pranata sosiologis.
Secaraindividual, Chory Marbawi memiliki atensi pada masalah-masalah
personalsebagai pangkal tolak konsepsi estetis dalam setiap berkarya
(baik puisi, monolog, maupun garapan teater). Dalam perspektifindividual
pula, Chory Marbawi selalu dirundung kegelisahan untuk berdekatandengan
Sang Khalik, sampai-sampai ia menulis "Sketsa Malam" sampai 14 seri.
Lantaran Sang Khalik sifatnya serba “Maha”, secara personalmanusia
terkadang serupa debu di “terompah-Nya”. Manusia lantas merasa
kecil,kotor, dan silau oleh Cahaya Maha Cahaya. Manusia secara personal
jugaterkadang penasaran untuk menyibak rahasia ciptaan-Nya: alam semesta
besertaisinya acapkali membuat manusia “terluka” oleh berbagai
penyebab. Selainitu, secara watak personal manusia ialah memiliki rasa
ingin tahu segalanya,termasuk menguak rahasia kematian dan rahasia-Nya.
Secara
sosial, Chory Marbawi langsung atau tidaklangsung terlibat dalam kancah
persoalan sosial kemasyarakatan. Itulah latar belakangkenapa Chory
Marbawi selalu tertarik memperbincangkan danmengusung persoalan personal
dan persoalan sosial ke dalam puisi yangdiciptakannya, maupun garapan
lakon teater (yang saya ingat bertajuk "Jangan Menangis Indonesia" karya
Putu Wijaya yang dipentaskan di Taman Budaya Jambi).
Terminologi
Islami untuk mengangkat dan dekat dengan persoalansosial itu,
habluminnanas, menjadi proyek penulisan yang tidak pernah habisdijadikan
entry penulisan puisi dan garapan teater. Dalam perspektif ini
manusia-penyair lantasberhubungan dengan aneka persoalan manusia di
dunia: keadilan-ketidakadilan,keburukan-kebaikan, kemiskinan-kekayaan,
material-spiritual, jasmani-rohaniah,dan oposisi binner lainnya dalam
konfrontasi tiada henti.
Chory Marbawi
melalui serangkaian puisi bertitel ‘Sketsa Malam i s.d. XIV" telah
mengaduk-aduk pikiran sebagai manifestasi kegelisahan eksistensial.
Tampaknya penyair yang baik memiliki indera keenam, yang secara intuitif
dapat membaca isyarat sebagai "tanda-tanda' yang akan tiba. Chory
Marbawi memilikiki ketajaman intuisi, dan kemurnian nurani, sehingga
seperti Chairil Anwar maupun penyair Kriapur atau Subagio Sastrowardoyo
menuliskan puisi-puisi yang bertema “variasi tentang kematian, maut”.
Sebagai penyair, Chory Marbawi telah berhasil dengan sukses, sesukses
membaca dan memaknai kematian sebagai sesuatu keniscayaan. Saya dan
sahabat-sahabat penyair Jambi sepantasnya “iri” dengan kepergiannya
menghadap Ilahi. Kini, kami yang masih bernyawa masih terus digelisahkan
oleh sesuatu yang tak abadi, sedangkan Chory Marbawi telah memanen
sukses mengunduh hasil karyanya di hadapan Sang Khalik.
Selamat jalan Chory Marbawi, puisi-puisimu, warisan kata cintamu akan terus hidup abadi di dada kami.
Jambi, 5 April 2013