Minggu, 24 Maret 2013

MANIFESTO: PROSES KREATIF PENCIPTAAN PUISI

Oleh: Dimas Arika Mihardja

SAJAK ATAU PUISI ialah gelegak riak jiwa, kesan-kesan perseptual, rekaman rangsang puitik yang tumbuh memutik di antara kelopak bunga kata. Sajak selalu bergerak serupa riak menjadi ombak lalu bergulung serupa gelombang rasa dengan irama nada sebagai hasil olah pikir, dzikir, dan menafsirkan hidup dan kehidupan. Sajak yang kutulis kadang serupa kaca jerning begitu bening hingga kita dengan mudah bercermin melihat aneka bayang wajah sendiri, orang lain, semesta, dan bisa jadi wajah Tuhan yang secara mimesis tampil dalam aneka rupa. Sajak serupa ini kunamakan sebagai sajak "Sederhana untukmu": kutulis sebuah sajak sederhana untukmu dan untuk-Mu. Sebuah sajak mengelopak di dada, kupersembahkan untukmu dan untuk-Mu. Inilah sajakku, suara sukma yang terpadu melagukan nama-nama mesra menyentuh kalbu".

Sebuah sajak, dalam konteks tertentu serupa dengan hidangan yang siap untuk disantap:"Santaplah sajakku. Anggurnya mewangi. Santaplah buah yang terhidang penuh dengan kecintaan, sebab di sana ada desah sederhana untuk keselamatan perhelatan". Penggubah sajak, dalam kaitan ini serupa koki yang meracik hidangan buat persembahan. Sajak yang hakikatnya sebuah masakan itu lalu terhidang untuk keselamatan perhelatan. Ya, perhelatan,sebab hiup ini senyatanya merupakan serangkaian ritual peribadatan yang disebut perhelatan. Hidangan berupa sajak yang tersaji memang harus dinikmati dengan kegairahan tersendiri: Santaplah sajakku, anggurnya mewangi. Santaplah buah yang terhidang penuh gairah, sebab di sana ada desah sederhana untukmu. Tugas penggubah sajak telah selesai begitu telah menyajikan puisi di atas meja hidangan.
Selama menekuni karir di bidang penulisan kreatif puisi, saya menemu sebuah konsepsi estetis bahwa puisi itu merupakan saksi yang sexy. Bagi saya, puisi semata-mata berfungsi sebagai saksi. Saksi yang sexy. Sexy? Ya, keseksian menurut pertimbangan nalar saya bukan semata-mata tampil dalam bentuk atau sosok fisikal semata, dan yang terutama ialah keseksian secara batiniah. Nah, "apa pula keseksian yang bersifat batiniah ini?", mungkin Anda bertanya? Baiklah, saya akan berusaha memperkenalkan konsep ini: puisi sebagai saksi yang sexy.
Menurut pertimbangan saya, berdasarkan sedikit pengalaman selama ini, puisi hadir sebagai saksi. Melalui puisi yang diciptakan oleh penyair, siapa pun penyair itu, puisi yang dihadirkannya pertama-tama merupakan pengalaman pribadi, sosial, atau religius terhadap apa yang terjadi di sekeliling yang bersifat kontekstual. Puisi yang hakikatnya merupakan pengalaman yang paling berkesan bagi penyairnya itu, langsung atau tidak langsung memberikan kesaksian atas berbagai fenomena yang secara kontekstual terjadi pada masanya.

Sebagai kesaksian, puisi mengabadikan peristiwa (suasana, fenomena, berita batin, sikap, visi dan misi) yang paling berkesan, yang realisasinya dapat berupa potret hitam putih, gambar beraneka warna, atau lukisan yang terpapar menurut berbagai aliran melalui pilihan kata yang mewakili aneka pencerapan dan perenungan penyairnya. Puisi dengan demikian berfungsi sebagai saksi mata batin penyairnya. Dalam konteks ini, puisi yang sexy ialah puisi yang mampu mengusung spiritualitas, rohaniah, dan batiniah di mata batin penyair dan pembaca puisi.

Selain sebagai saksi puisi ternyata dalam menjalankan fungsinya berpenampilan sexy. Sexy di sini hendaklah diperluas perspektifnya. Keseksian puisi tidak semata-mata tampil melalui tipografi (tata wajah), diksi (pilihan kata) yang diperindah, melangit, di awang-awang, abstrak, dan seterusnya. Puisi tampil sexy bukan semata-mata pada keindahan bahasanya, meskipun keindahan bahasa menjadi ciri pribadi puisi yang sexy, keseksian puisi juga tampil melalui keindahan makna (perenungan, refleksi, nilai, guna, dan manfaatnya). Pemakaian bentuk bahasa yang indah memang sebagai wadah penyampaian makna yang juga indah. Keseksian puisi hadir melalui keindahan bahasa dan keelokan makna bagi kehidupan manusia. Puisi yang sexy, dengan demikian merupakan puisi yang memiliki harmonisasi, intensifikasi, dan korespondensi antara bahasa dan pendaran maknanya.

Puisi yang sexy mempersyaratkan adanya media ekspresi (bahasa) yang indah dan substansi isi (makna) yang juga indah. Keelokan bahasa yang membungkus makna yang bernilai tentu akan mempercantik sosok puisi. Namun, demikian harus buru-buru ditambahkan bahwa fenomena keindahan bahasa dan makna sebagai penanda keseksian puisi ini realisasinya dapat beraneka ragam. Keseksian puisi, sesuai dengan evolusi selera pembaca, terentang antara sosok puisi yang diafan (mudah dipahami) hingga sosok puisi yang prismatis (banyak memendarkan makna seperti prisma). Memang ada sosok puisi yang tergolong hermetis (gelap) yang susah dipahami oleh pembaca. Puisi yang gelap, yang susah dipahami oleh pembaca menurut saya tidaklah termasuk pada puisi yang seksi sebab di sana terdapaat kebuntuan komunikasi. Puisi yang seksi adalah puisi yang "komunikatif" (komunikatif dalam tanda petik).

Puisi hakikatnya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi protes, puisi kamar, atau puisi auditorium semuanya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi demo, yakni puisi yang memuat protes berupa unjuk rasa secara jelas memberikan kesaksian terhadapfenomena zaman. Puisi kamar, yakni puisi yang cocok dibaca seorang diri di dalam kamar, yang biasanya berisi perenungan penyairnya, hakikatnya juga memberikan kesaksian atas berbagai hal baik secara personal, sosial, atau dalam konteks religiusitas penyairnya. Demikian pula puisi yang bersorak auditorium, yakni puisi yang cocok dibacakan di hadapan audiens di auditorium (panggung) juga berisi kesaksian penyair terhadap gejolak zaman.

Demikian, salam budaya.
DIMAS ARIKA MIHARDJA

MENELISIK PUISI SEBAGAI SAKSI YANG SEXY

Oleh: Sandi S.

DAM itu sexy
“ DAM itu seksi !“ saya pikir ungkapan itu yang dilewatkan oleh Puja Sutrisna pada prolog SKETSA SAJAK DAM. Tak ada yang salah kok pada prakata itu, hanya saja Puja mesti “ bercinta lebih dalam “ dengan DAM (puisinya). Agar seterusnya ia tak canggung memanggilnya sebagai penyair seksi.
Kenapa? Mari simak “ kredo “ DAM pada bukunya berjudul sajak emas.

Selain sebagai saksi, puisi ternyata dalam menjalankan fungsinya (mampu) berpenampilan sexy. Sexy di sini hendaklah diperluas perspektifnya. Ke-sexy-an puisi tidak semata-0mata tampil melalui tipografi (tata wajah), diksi (pilihan kata) yang diperindah, melangit, di awang-awang, abstrak, dan seterusnya. Puisi tampil sexy bukan semata-mata pada keindahan bahasanya, meskipun bahasa menjadi ciri pribadi puisi yang sexy, keseksian juga melalui keindahan makna (perenungan, refleksi, nilai, guna, dan manfaatnya).

( SAJAK EMAS. 200 puisi sexy DAM, 2010)

Kaitannya dengan gagasan Puja Sutrisna mengenai angkatan ‘Millennium’, DAM (panjangnya Dimas Arika Mihardja) sejatinya tak pernah menuntut bahwa dirinya (puisi) ‘ kudu ’ disematkan sebagai inisiator lahirnya pembabakan angkatan ‘millennium’ seperti yang dipaparkan oleh Puja di muka buku tersebut. Rasionalisasi Puja memang logis, yang menyebut kalau di dunia kesusastraan Indonesia perlu disepakati sebuah armada sastra bernama millenium. Logis sebabnya DAM hingga kini masih produktif mengalirkan karya (puisinya) dan patut diketengahkan. Tapi perihal kesepakatan, apakah seorang Puja mampu bertanggung jawab dan ‘mengijabkabulkan’ DAM yang seksi itu? Jawabannya kita simpan saja terlebih dahulu.

Gagasan serupa juga pernah dihaturkan oleh tokoh-tokoh penggali sastra semacam Arief Budiman dengan ‘ sastra kontekstualnya’ dan Korrie Layyun Rampan dengan ‘angkatan 2000’nya. Namun perihal kesepakatan seperti yang saya paparkan sebelumnya. Toh, mereka juga mengalami kesulitan untuk ‘diakui’. Sastra kontekstual yang diusung oleh Arief Budiman selanjutnya melahirnkan polemik alias perdebatan antar tokoh, yang dewasa ini pendapat-pendapat mereka sudah dicetak dan dibukukan berkali-kali. Sama halnya dengan ‘angkatan 2000’nya Korrie yang sulit mendapatkan tempat, biarpun sudah membukukan pelbagai karya sastra yang tebalnya melebihi daun pintu.

Sependapat dengan apa yang disampaikan Puja, setiap angkatan butuh juru bicara. Ada Hamzah Fansuri dengan ‘pujangga lama’, Nur Sutan Iskandar dengan ‘ balai pustaka’nya, STA (Sutan Takdir Alisjahbana) bersama ‘pujangga baru’, Chairil Anwar dengan ‘angkatan gelanggang/45’nya seterusnya hingga kepada Korrie layun Rampan yang merintis ‘angkatan 2000’nya. Tapi DAM tetaplah DAM, yang akan menjadi ‘dam’ yang ‘mengirigasi’ kesegaran puisinya yang seksi. Biarlah puisinya mengalir dan mengair-i kesusastraan(baca: puisi) Indonesia supaya tetap hidup, berbunga dan mekar serta harum mewangi sepanjang hari. Saya lebih suka DAM yang sexy ketimbang mesti gelisah, memapah dan menengadah lalu bicara“ mau dimasukkan ke angkatan mana DAM? “

Ke-sexy-an DAM  secara personal juga dapat dilihat pada pengantar bukunya:
“ Saya amat tahu diri bahwa dunia perbukuan di bidang puisi lebih bersifat ‘proyek rugi’ secara finansial, tetapi ‘ proyek besar’ bagi kemanusiaan “.
(sajak emas 200 puisi sexy DAM:1)
“ lho, kenapa ?” sebab DAM itu sexy. Titik!

 

Dari saksi menuju seksi
Baik, untuk menopang lebih kokoh lagi perihal ‘saksi dan seksi’ tersebut mari kita santap terlebih dahulu puisi DAM yang satu ini.

PADA TIRAI YANG MELAMBAI

pada tirai yang melambai
terasa ada badai. lalu mayatmayat terkulai
pucat pasi. tiada suara
tawa atau canda. disini semua fana semata
hanya seremoni belaka: doadoa sederhana
mengangkasa

pada tirai yang melambai
ada yang tergadai, seperti pantai landai
tempat riak dan ombak berontak
atau saling bantai, tak hentihenti mencumbui
karang,teripang, juga segala bayang

pada tirai yang melambai
kuuntai tragedi-demi-tragedi
yang tak kunjung usai

( Sajak Emas, 200 puisi sexy, 2010 hal 24)


Puisi ini menjadi saksi atas pemikiran bijak DAM mengenai hidup dan kehidupan. Selanjutnya DAM merangsang pembaca untuk selalu ‘mikir’ dan menggali potensi yang bakal didapat dari puisi ini. Mencermati nilai kehidupan sebetulnya sudah tampak pada larik-larik awal. Misal /pada tirai yang melambai/, /terasa ada badai/. /lalu mayatmayat terkulai/, /pucat pasi. tiada suara/. Penggunaan kata /melambai/ kemudian mendapat sahutan /badai/ adalah sebuah ‘lirik’ kehidupan yang sejatinya adalah hal yang serupa pasang-surut, naik-turun, maju-mundurnya hidup dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu DAM punya visi perenungan pada puisi ini, lebih-lebih ia mengupas tentang maut yang menjadi tandingan kehidupan.

Perihal maut pun terang-terangan disinggung DAM pada larik /lalu mayatmayat terkulai/, /pucat pasi. tiada suara/. Jelas betul keinginan DAM yang mengajak pembaca agar mau ‘mikir’ kalau /tawa atau canda/. /disini semua fana semata/. Bukanlah hal yang paradoksial kalau seorang DAM mengangkat perihal maut pada puisinya. Sebab hal demikian membawa kewibawaan pengarangnya terhadap sesuatu hal yang real dan konkret sekaligus memawasdirikan pembaca untuk tetap ‘mikir’ bahwasanya /disini semua fana/ tak ada yang abadi.

Selanjutnya, kata seksi bagi kebanyakan orang senantiasa representatif terhadap penampilan, wajah, body, pinggang, tangan, betis, dan sebagainya. Tetapi menurut hemat saya tidak demikian. Bolehlah kita pinjam kata ‘wajah’ dan ‘penampilan’ yang memang sedikit banyak ada kaitannya dengan puisi. DAM yang pada puisi ini ambil peran merias ‘wajah’ puisinya untuk tampil ‘seksi’, dirasa berhasil. Ada tiga ramuan mendasar yang menurut pemahaman saya telah menjadikan puisinya tampil ‘seksi’. Adalah diksi, imaji, dan bunyi.

Pertama, yakni diksi.  Diksi adalah pilihan kata (KBBI:2008). Dalam karya sastra khususnya puisi, diksi adalah pondasi utama lahirnya sebuah puisi. Puisi yang berani tampil dan patut diperbincangkan tentu punya pembendaharaan diksi yang baik pula. Tanpa memperhitungkan hal demikian, puisi nantinya malah kabur/buram dan terkesan asal jadi. Sistem maupun formula diksi agar sistematis dan logis pun perlu ditakar, supaya dapat menghindari ketaksaan. Namun sehubungan dengan kreatifitas yang makin berkembang, hal demikian dapat dimaklumi kepesatannya. Berdirinya sebuah larik itu ditopang oleh jajaran ‘direksi’ diksi. Hingganya larik-larik itu membentuk tembok-tembok bait yang selanjutnya disebut puisi. 

Saya tentu tak akan mengupas keseluruhan diksi pada puisi ini. Sudah barang tentu penyair sekaliber DAM punya serimbun kata dan tinggal dipetik saban kali diciptanya sebuah puisi. Saya hanya mengupasnya secara umum. Pada kata /tirai/ yang lazimnya bisa diasosiasikan terhadap sesuatu yang berumbai-umbai, lentur dan terombang-ambing, serta mudah tertiup angin. Maka dari itu DAM menyandingkannya dengan kata /melambai/. Tentu agak ‘aneh’ jika membacanya menjadi /tirai yang terombang-ambing/ atau /tirai yang lentur/. Sebab dari segi estetisnya tentu larik yang begitu tak layak mendapatkan ‘ponten’.

Kedua, imaji. Imaji atau pencitraan ialah pengungkapan perasaan sensoris penyair ke dalam kata dan ungkapan sehingga terjelma gambaran suasana yang sebih konkrit (Djojo Suroto, 2005:20-21). Sedang menurut kamus sastra (2006:65), citraan atau imaji adalah daya bayang yang dihasilkan dari pengolahan kata-kata secara sungguh-sungguh untuk memberikan kesan indah pada suatu puisi.

Pradopo dalam Hasanudin (2002:117) membagi imaji/citraan ke dalam enam bagian, ada penglihatan, pendengaran, penciuman, rasaan, rabaan, dan gerak. Setelah diklasifikasikan maka didapatlah tiga macam citraan yang dapat diadaptasikan kepada puisi /pada tirai yang melambai/ ini, yakni penglihatan, pendengaran, dan rabaan.

Untuk citraan penglihatan ada pada larik /pada tirai yang melambai/. Sementara citra pendengaran didukung oleh adanya larik /tawa atau canda/. /disini semua fana semata/, /hanya seremoni belaka: doadoa sederhana/. Terakhir, citra rabaan yang terdapat pada larik /terasa ada badai/ dan /tak henti-henti mencumbui/.

DAM sendiri pada puisi ini beberapa kali mengusung semiotika. Seperti pada kata /pantai/, /riak/, /ombak/. Pantai adalah tempat yang kental dengan filosofi hidup. Di pantai ada riak, ada ombak, ada ketenangan dan keriuhan, ada pasang dan juga surut, ada siang, ada malam, ada timbul dan tenggelam. Itulah pantai yang disajikan DAM, mengajak kita untuk selalu ‘mikir’ tentang hari yang bernama kelak.

Ketiga adalah bunyi. Bunyi kalau menurut penelusuran google adalah kompresi mekanikal atau gelombang longitudinal yang merambat melalui medium. Sedang menurut KBBI bunyi adalah sesuatu yang dapat didengar atau ditangkap telinga; atau nama lainnya nada. Saya pikir pengertian pertama itu amat pelik, maka saya jatuhkan pilihan kepada pengertian kedua yang ada kaitannya dengan nada. Bunyi atau nada yang unik akan mudah tersimpan di dalam memori manusia. Seperti kolaborai vokal-konsonan, konsonan-vokal, atau vokal-vokal. Tetapi tidak untuk konsonan-konsonan. Sebab hal demikian tentu tak melahirkan bunyi.

Pada puisi ini DAM menunjukkan kemahirannya mengolah diksi menjadi bunyi vokal-vokal. Vokal berakhiran i-i, a-a, atau ak-ak menjadikan larik tersebut ringan didengar. Sebab dilihat dari segi historisnya, masyarakat Indonesia sudah sejak lama menyukai bunyi-bunyi demikian. Misal pada bunyi puisi lama seperti pada pantun yang bersajak ab-ab, mantra, gurindam, seloko, dan sebagainya.

Bunyi i-i dapat dijumpai pada larik  /pada tirai yang melambai/, /terasa ada badai. lalu mayatmayat terkulai/, /pada tirai yang melambai/, /kuuntai tragedi-demi-tragedi/, /yang tak kunjung usai/. Sedang bunyi a-a ada pada /pucat pasi. tiada suara/, /tawa atau canda. disini semua fana semata/, /hanya seremoni belaka: doadoa sederhana/, /mengangkasa/. Terakhir bunyi ak-ak pada /tempat riak dan ombak berontak/.

Baik, saya pikir beberapa pemaparan sederhana tersebut sudah merepresentasikan di mana letak ke-sexy-an DAM sebetulnya. Terima kasih, salam sexy!


Jambi, 13 Maret 2013

Jumat, 22 Maret 2013

MENELISIK KEUNIKAN PUISI DIMAS ARIKA MIHARDJA

Oleh: Tuti Mardianti

Puisi merupakan karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai wujud imajinasi penulisnya. Puisi berisi ungkapan perasaan penyair dimana bahasanya mengandung rima, irama, dan kiasan. Setiap penyair memiliki keunikan tersendiri. Meskipun demikian, orang tidak akan memahami sebuah puisi secara sepenuhnya tanpa menyadari bahwa puisi itu karya seni sastra yang unik. Begitu pula dengan DAM yang memiliki alasan untuk segala keunikan yang diciptakannya.

Keunikan puisi DAM dapat dilihat dari segi tata kata yang digunakannya, dimana puisi-puisinya sarat akan makna estetik. Dalam esai yang ditulis oleh DAM yang berjudul “Puisi Sebagai Cermin Besar Peradaban”, DAM mengungkapkan bahwa teks puisi memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai masalah kehidupan. Berbagai masalah kehidupan yang menjadi bahan renungan, hayatan, pemikiran sastrawan diekspresikan secara unik dan menarik. Keunikan dan daya tarik wacana puisi tersebut realisasinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi sastrawan selaku kreator. Penyair yang kreatif akan dapat menghasilkan wacana puisi yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri.

Sebagai contoh, DAM menuangkan kemampuannya dalam sebuah puisi yang berjudul “Pasar Angso Duo” :

Pasar Angso Duo
 
harga cabe naik
harga diri turun
turun naik sampan
merapat di tanggo rajo

Agustus, 2010

Pada puisi tersebut dapat dilihat bahwa DAM mengungkapkan perasaannya dengan kata yang cermat. Seperti pada pemilihan judul puisi “Pasar Angso Duo”, untuk menyatakan tentang transaksi sosial politik yang terjadi di Jambi DAM menggunakan ikon Provinsi Jambi sebagai judul puisinya. “harga cabe naik”, dan “turun naik sampan” menggambarkan tentang tawar-menawar yang terjadi dalam memperebutkan kursi kekuasaan, dan “merapat di tanggo rajo” menggambarkan tujuan dari tawar-menawar politik yaitu kursi kekuasaan.

Keunikan lain dari puisi DAM yaitu rima yang digunakannya. Bunyi dalam puisi adalah hal penting untuk menggambarkan suasana dalam puisi. Dalam puisi, bunyi bersifat estetik, yang merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya (Pradopo, 2010:22). Misalnya dapat dilihat pada puisi DAM yang berjudul “Puisi Tragedi” :

Puisi Tragedi
 
bidadari kecil itu berdesah:
“sayapku patah sebelah, ayah”

langit menghitam basah
resah pun buncah

kudengar keluh kesah:
“sebelah sayapku patah lagi, ayah”
hujan tumpah

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2010

            Pada puisi tersebut, DAM menggunakan rima rangkai, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik, seperti yang terdapat pada kata “berdesah”, “patah”, “sebelah”,  “ayah”, “basah”, “resah”, “buncah”, “kesah”, “tumpah”. DAM menyusun bunyi konsonan dan vokal sedemikian rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu yang menyebabkan puisi tersebut mengalir ke perasaan dan membangkitkan imaji-imaji pembaca.
            Keunikan puisi DAM terlihat juga pada penggabungan kata ulang. DAM menggabungkan dua kata hingga menjadi satu kata yang memberikan efek penyangatan seperti yang terdapat pada puisi yang berjudul “Kwatrin: Sebelum Berangkat” berikut ini.

Kwatrin Sebelum Berangkat
 
suraisurai kuda merah-putih hati memantas diri
sebelum matahari memanaskan api pembakaran
jemari tak letih menarinari menunjuk ke langit
yang mengabadikan cinta dan segala prahara

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Mengawali Mei 2010

            Dalam puisi-puisinya, DAM juga banyak mempergunakan kata dasar tanpa dibentuk dengan awalan atau akhiran. Di samping untuk mendapatkan irama, hal ini juga untuk mendapatkan ekspresi yang penuh karena kepadatannya. Misalnya pada puisi “Jambi, Tanah Pilih” berikut ini.

Jambi Tanah Pilih
 
telah kupilih tanah amanah
tempat benih
panen buah

Agustus, 2010
            Pada puisi di atas, DAM menghilangkan imbuhan pada kata “berbenih” hingga menjadi “benih” dan pada kata “memanen” hingga menjadi “panen”. Penghilangan imbuhan tersebut dilakukan oleh DAM untuk mendapatkan pemadatan puisi.
            Di samping keunikan yang telah dijelaskan sebelumnya, DAM juga melakukan pengulangan kata pada puisi-puisinya. Tak ragu-ragu DAM menulis ulang judul puisi pada larik awal bait puisinya tanpa mengurangi kepuitisan puisi tersebut. Hal ini dapat dilihat pada puisi berikut.

Cinta, Selamanya


cinta, selamanya
hanya bisa disebut
dibalut kabut

cinta, selamanya
berbunga nirwana
tapi juga bertangkai neraka

cinta, selamanya
seperti udara memberi nafas
gelora yang mengombak di dada

cinta, selamanya
hanya memberi dan tak meminta
sesiapa yang memberi akan menikmati
sesiapa yang hanya mendamba akan menderita

cinta, selamanya
terasa menyiksa
lukanya seluas samudera
nikmatnya menembus angkasa

cinta, selamanya
tak pernah bertanya
tak pernah tersesat di rimba gelap


cinta, selamanya
menyelam di kedalaman rasa
cinta

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi, 2010

Pada dasarnya tidak ada satu orang pun yang sama persis. Begitu pula dengan DAM, puisi-puisinya tetap memiliki keunikan tersendiri. Kedalaman makna puisi DAM dapat dirasakan bagi siapapun yang membaca karyanya. Dalam bahasa puisinya yang cerdas tetap tercermin imaji-imaji yang tajam.


Jambi,    Maret 2013

MELANGKAH BERSAMA KARYA DIMAS ARIKA MIHARDJA

Oleh: Novita Sari

Judul ini saya buat karena menyangkut dengan pengalaman pribadi saya bersama karya sastra yang pernah di buat oleh DAM. Karya-karya DAM telah menjadi guru dalam langkahku mengenal sastra. Awalnya saya hanya mengenal karya sastra seperti puisi, sebelum kenal dengan DAM dan karya-karyanya, saya banyak membuat karya sastra seperti puisi, namun puisi yang saya buat tidak seindah puisi yang saya buat setelah mengenal DAM dan karya-karyanya.


Apakah yang menarik dari puisi ? puisi selalu menawarkan daya tarik berupa tawaran dunia fantasi yang diolah berdasarkan diksi, imajinasi, dan kontemplasi serta tersaji sebagai teks yang menjadi “tanda-tanda zaman”. Setiap puisi tentu terdapat diksi, yakni pilihan data yang dilakukan oleh penyair. Penyair “setengah mati” mempertaruhkan diri dalam memilih kata yang secara tepatdapat mengabdikan pengalaman dan perasaannya kedalam teks puisi.

Pengertian puisi menurut Waluyo (1995:23)  mengatakan “puisi merupakan bentuk kesusasteraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya. Pengulangan kata tersebut menghasilkan rima, irama atau ritme.” Sedangkan Menurut Tarigan (1984:4), kata puisi berasal dari bahasa Yunani ”poeisis” yang berarti penyair. Sedangkan dalam bahasa Inggris, puisi disebut dengan istilah “poem” yang berarti syair atau sajak. Arti ini lama-kelamaan dipersempit ruang lingkupnya menjadi ”hasil sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kata-kata kiasan”.

Puisi-puisi yang di buat oleh Dimas Arika Mihardja termasuk puisi liris inilah beberapa puisi DAM yang memiliki berbagai tema seperti tema personal, sosial dan religius, puisi ini saya kaji berdasarkan analisis, interpretasi, dan  evaluasi:


Contoh puisi personal

 AKU MEMANGGIL NAMAMU IBU
(Dimas Arika Mihardja)

setiap debur rindu, aku memanggil namamu dengan gigil bahasa kalbu : ibu
bagai mana bisa aku bagai mana bisa aku mengubur wajah cerah penuh gairah mencinta ? ibu,
jika riak menjadi ombak dan ombak menggelombangkan rasa sayang
ku panggil sepenuh sepenuh gigil hanya namamu. Saat sampan dan perahu melaju
di tengah cuaca tak menentu engkaulah bandar, tempat nyaman bagai sampan
bersandar sebab di matamu ada mercusuar berbinar


jalan terjal berliku adalah lekuk tubuh ibu yang mengajarkan kesabaran
rindang pohon di sepanjang tulang mengingatkan hangat dekap di dadamu
deru lalu lintas jalanan, ramburambu dan simpang
lampu adalah nasihat yang selalu mengobarkan semangat berjihad

aku memanggil namamu ibu
sebab waktu tak lelah mengasuh dan membasuh peluh
aku memanggul namamu ibu
sebab segala lagu sebab segala lugu mengombak dibibirmu
aku selalu memanggil dan memanggul namamu :
ibu !


Bengkel puisi swadaya mandiri, Jambi 17 mei 2010



Dari judul puisi diatas yang berjudul “AKU MEMANGGIL NAMAMU IBU “ menurut saya dari judul puisi ini pengarang menggambarkan sosok seorang ibu yang memiliki peranan penting terhadap anaknya. Pada baris pertama puisi ini yaitu “ setiap debur rindu, aku memanggil namamu dengan gigil bahasa kalbu : Ibu ! “ menurut saya pengarang menggambarkan sosok ibu yang merupakan orang yang paling berarti dalam hidup kita, karena ibulah yang melahirkan kita kedunia dan menjadikan kita ada didunia ini.

Pada baris kedua puisi ini yaitu “ bagaimana bisa aku mengubur wajah cerah penuh gairah mencinta ? Ibu, jika riak menjadi ombak dan ombak menggelorakan rasa sayang kupanggil sepenuh gigil hanya namamu “, menurut saya pengarang menggambarkan sosok seorang ibu adalah tempat dimana kita mengungkapkan keluh-kesah yang dirasakan serta tempat dimana kita mencurahkan segenap rasa yang ada dalam jiwa, ibu juga dapat dijadikan teman, sahabat untuk kita.

Pada bait terakhir puisi ini yaitu “ aku memanggil namamu Ibu, sebab waktu tak lelah mengasuh dan membasuh peluh, aku memanggul namamu ibu, sebab segala lagu mengombak di bibirmu, aku selalu memanggil dan memanggul namamu : ibu ! “ menurut saya pengarang menggambarkan bahwa sosok seorang ibu itu selalu ada direlung hati anaknya, ibulah yang telah berkorban banyak demi merawat, mendidik, dan membesarkan kita dengan penuh kasih sayang dan pengorbanan, nama ibu dan pengorbanannya akan selalu dikenang oleh anaknya sampai akhir hayatnya dialah ibu yang paling ia sayang.


Di nilai secara interpretasinya puisi diatas berjudul “ Aku Memanggil Namamu Ibu “dari judulnya ada dugaan bahwa puisi ini bertemakan puisi sosial, dan ada dugaan juga bahwa puisi ini tergolong prismatis, dari judul puisi ini dapat kita gambarkan bahwa seorang ibu sangat berperan penting terhadap anak-anaknya. Karena pengarang lebih dominan menggunakan kata konotatif. Seperti pada bait kedua “ rindang pohon di sepanjang tulang mengingatkan hangat dekap didadamu “, dari kata tersebut dapat menimbulkan  berbagai arti dan makna yang tersirat disana karena kata itu menggunakan ungkapan tidak langsung atau kiasan.

Puisi ini juga mempunyai banyak keindahan kata yang digunakan pengarang dalam menulis puisi ini, seperti puisi yang ada dibait ketiga yaitu “aku memanggul namamu ibu sebab segala lagu mengombak dibibirmu aku selalu memanggil dan memanggul namamu: ibu ! “ disini pengarang banyak menggunakan kata konotatif, sehingga membuat puisi ini tidak langsung bisa dipahami pembaca apabila pembaca hanya sekedar atau sekilas saja membacanya.

Puisi ini mempunyai makna yang sangat dalam, karena dalam puisi ini pengarang menggambarkan betapa berartinya perjuangan seorang ibu terhadap anaknya, yang telah memberikan kasih sayang, membesarkan, mengandung, melahirkan, serta merawat dengan penuh pengorbanan.

Dari analisis dan interpretasi diatas dapat disimpulkan bahwa puisi yang berjudul “ aku memanggil namamu ibu “ ini termasuk kedalam puisi yang bertemakan personal, kemudian puisi ini juga tergolong prismatis karena pengarangnya lebih dominan menggunakan kata berkonotatif, ini dapat dilihat pada bait kedua puisi ini yaitu “ rindang pohon di sepanjang tulang mengingatkan hangat dekap didadamu “, dari kata tersebut dapat menimbulkan berbagai arti dan makna yang tersirat karena kata itu menggunakan ungkapan tidak langsung atau kiasan.

Puisi ini menggambarkan sosok ibu yang merupakan seseorang yang paling berarti dalam hidup anaknya, karena ibulah yang melahirkan anaknya kedunia dan menjadikan anaknya ada didunia ini, dan sosok seorang ibu adalah tempat dimana kita mengungkapkan keluh-kesah yang dirasakan serta tempat dimana kita mencurahkan segenap rasa yang ada dalam jiwa, ibu juga dapat dijadikan teman, sahabat untuk kita.

 
contoh puisi yang bertemakan sosial

CANDI MUARO JAMBI 
(Dimas Arika Mihardja)

batu bata tersusun
kata dan doa tertimbun
ilalang bergoyang
pendatang manyun


agustus, 2010



Dari judul puisi diatas yaitu “ CANDI MUARO JAMBI “ menurut saya pengarang mengambil judul ini untuk menggambarkan keadaan candi yang berada didaerah muaro Jambi. Pada baris pertama puisi ini yaitu “ batu bata tersusun “ menurut saya dari kata ini pengarang menggambarkan bentuk candi muaro Jambi yang tersusun dari batu bata.

Pada baris kedua puisi ini yaitu “ kata dan doa tertimbun “ menurut saya dari kata ini pengarang menggambarkan bahwa telah musnahnya ucapan-ucapan dan harapan-harapan indah dari para pendatang yang berkunjung kecandi itu.

Pada baris ketiga puisi ini yaitu “ ilalang bergoyang “ menurut saya dari kata ini
pengarang menggambarkan keadaan atau situasi yang ada disekitar candi muaro Jambi yang dikelilingi atau dipenuhi rumput ilalang yang tumbuh tinggi dan bergoyang ditiup angin sehingga mengesankan keadaan candi itu tidak bersih dan jarang dirawat.

Pada baris keempat puisi ini yaitu “ pendatang pun manyun “ menurut saya  dari kata ini pengarang menggambarkan ekspresi para pengunjung yang datang dicandi muaro Jambi itu. Ekspresi para pengunjung ini ditujukan pada masyarakat disana yang tidak mempedulikan kebersihan dan keindahan candi tersebut, yang mana candi tersebut adalah salah satu kekayaan dan peninggalan bersejarah yang diwariskan kepada masyarakat muaro Jambi.

Di nilai dari interpretasinya puisi diatas berjudul “ CANDI MUARO JAMBI “  dari judul tersebut ada dugaan bahwa puisi ini bertema sosial, dan ada dugaan bahwa puisi ini tergolong prismatis. Karena pengarang menggunakan kata konotatif dalam isi puisinya.

Puisi ini menggambarkan keadaan candi muaro jambi yang dapat dilihat dari judulnya terlebih dahulu. Kemudian menurut analisis diatas, isi puisi ini menggambarkan bentuk candi yang tersusun dari batu bata, yang kemudian menggambarkan bahwa telah musnahnya ucapan-ucapan dan harapan-harapan indah dari para pendatang yang berkunjung kecandi itu.


Pada baris selanjutnya puisi ini menggambarkan suasana atau keadaan yang ada dicandi itu, ditumbuhi dengan rumput ilalang yang tinggi sehingga bergoyang-goyang ketika diterpa angin atau ditiup angin, ini membuat keadaan candi menjadi menjadi tidak indah. Kemudian pada baris terakhir puisi ini menggambarkan ekspresi para pengunjung yang datang kecandi itu, dengan penuh kekecewaan terhadap masyarakat disana yang tidak pernah merawat dan menjaga keindahan candi itu.

 Dari analisis dan interpretasi diatas dapat disimpulkan bahwa puisi yang berjudul “ CANDI MUARO JAMBI “ ini bertemakan sosial dan puisi ini juga dapat di golongkan kedalam puisi prismatis karena pengarang menggunakan kata konotatif yang dapat dilihat dari puisi ini dibaris kedua yaitu “ kata dan doa tertimbun “.

Puisi ini juga menggambarkan keadaan candi muaro jambi yang kurang diperhatikan keindahannya dan kebersihannya oleh masyarakat dan pemerintahannya. Sehingga membuat para pengunjung yang datang kesana dengan niat menikmati keindahan alam dan melihat peninggalan bersejarah yang berada didaerah muaro Jambi itu kecewa dan tidak semangat lagi untuk menikmati keindahan itu.

 
Contoh puisi yang bertemakan religius


DZIKIR
(Dimas Arika Mihardja)
kueja makna kata-Nya
penuh damba

siasia sembunyikan
air mata

duka dihadapan-Nya
maha sempurna

1993


Dari judul puisi diatas yaitu “ DZIKIR “ menurut saya pengarang mengambil judul ini untuk menggambarkan seseorang yang sedang melapaskan pujian-pujian terhadap Allah lewat lantunan ayat-ayat suciNya.

Pada baris pertama puisi ini yaitu “ kueja makna kataNya penuh damba “, menurut saya pengarang disini menggambarkan bahwa seseorang itu sedang membaca ayat-ayat suci seperti al-qur’an dan pujian-pujian yang ditujukan kepada Allah.

Pada baris kedua puisi ini yaitu kata “ penuh damba ”, menurut saya pengarang menggambarkan puisi iniuntuk mengungkapkan perasaan yang penuh kerinduan kepada Allah.

Pada baris ketiga puisi ini yaitu “siasia sembunyikan air mata”, menurut saya disini pengarang menggambarkan bahwa tidak ada gunanya kita menahan air mata atas kesalahan dan dosa yang telah diperbuat, karena penyesalan selalu datang belakangan.

Pada baris keempat puisi ini yaitu “duka di hadapan-nya” menurut saya pengarang menggambarkan sosok seseorang yang menyesali segala salah dan dosanya yang selama ini dilakukannya kepada Allah.

Pada baris ke lima puisi ini yaitu “maha sempurna” disini pengarang menggambarkan bahwa Allahlah yang maha segalanya, dan suatu kesempurnaan itu hanya milik milik Allah semesta.

Dinilai dari interpretasinya puisi diatas berjudul “ DZIKIR “ dari judul puisi diatas ada dugaan bahwa puisi tersebut bertemakan religius yang bersifat keagamaan, kemudian puisi ini juga diduga tergolong diafan karena pada setiap baris yang ada didalam puisi tersebut dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca.

Puisi ini menggambarkan seseorang yang sedang membaca aya-ayat suci al-quran dan berdzikir memuji nama Allahnya untuk memohon ampunan atas segala perbuatan yang dilakukannya terhadap Allah, karena dia menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah semata, dalam dzikirnya dia tak kuasa menahan air mata, karena sedih yang dia rasa sangat dalam.

Dari analisis dan interpretasi diatas dapat disimpulkan bahwa puisi yang berjudul “ DZIKIR “ ini bertemakan religius karena dari judul saja sudah terarah keunsur keagamaan, dan juga puisi ini tergolong diafan karena puisi ini apabila dibaca oleh seseorang maka akan mudah mereka mengartikan maksud dari isi puisi ini.

Puisi yang berjudul “ DZIKIR “ ini menggambarkan tentang seseorang yang sedang menyesali perbuatannya,serta kesalahannya kepada Allah dan ingin memohon ampun dari Allah, dengan cara berdzikir dan membaca ayat-ayat suci Al-qur’an, sehingga dia tak kuasa untuk menahan air matanya, dia menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah semata.


Jambi, 22 maret 2013

MISTAR KEHIDUPAN SEBUAH KONTEMPLASI

Oleh: Riani Riswati

Puisi dilihat dari segi bangunan bentuknya pada umumnya merupakan pemakaian atau penggunaan bahasa intensif yang memiliki makna yang mendalam yang telah dimanipulasi sehingga memiliki pengaruh kuat dalam menggerakkan emosi pembaca yang memunculkan gaya penuturan dan daya lukisnya. Karena puisi merupakan karangan yang terikat oleh baris dan bait, oleh rima dan irama.
Bahasa dalam puisi cenderung kepada makna konotatif. Ini adalah ciri yang sangat dominan dalam puisi. Hampir tidak ada puisi yang tidak memanfaatkan konotasi bahasa karena memang inilah alamiahnya puisi. Ketidaklangsungan ucapan adalah darah daging sebuah puisi, ketidaklangsungan itu, menurut Riffeterre (1978 : 1-2) yang disebabkan oleh penggantian arti, penyimpangan arti, atau penciptaan arti. Penggantian arti dapat berbentuk majas atau bahasa kiasan. Penyimpangan arti terjadi pada ambiguitas, dan penciptaan arti terjadi pada pemanfaatan tipografi ( ilmu cetak ; seni percetakan) tertentu. Oleh sebab itu banyak ditemukan di dalam puisi, apa yang sering disebut dengan bahasa kiasan, kegandaan arti dengan corak yang beraneka ragam. Penggantian arti. Di dalam wacana puisi, pada umumnya kata-kata kiasan menngantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978 ; 2 ). Dalam pengantian arti ini suatu kata ( Kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain.
            Proses pembuatan karya sastra (Puisi) yang dapat menghasilkan sebuah puisi nan indah, bukanlah hal yang mudah, pengarang berusaha keras dan mati-matian memilah-pilih bahasa ataupun kata-kata yang indah, namun yang tidak bombastis ataupun lari dari tema awal. Untuk menghasilkan sebuah puisi yang telah pantas untuk di apresiasi merupakan bentuk dari wujud kontemplatasi yang panjang. Puisi itu adalah bentuk dunia fantasi yang berdasarkan diksi, imajinasi dan kontemplasi yang dicoba oleh penulis agar pesan yang ingin ia sampaikan, ditangkap oleh pendengar melalui tulisan-tulisannya.
Menciptakan ataupun memahami sebuah puisi dibutuhkan daya imajinasi yang luas, pembaca tidak hanya dapat memahami sebuah puisi dengan menjadikan satu titik terang. Puisi itu luas, puisi dapat difahami atapun diapresiasikan berbeda-beda bagi setiap membaca, apalagi bila puisi yang diciptakan merupakan puisi yan prismatis, puisi yang remang-remang, maka membaca ataupun pendengar dapat menafsirkan sebuah puisi kearah mana saja.
Berikut ini contoh puisi yang tergolong puisi prismatis yang berjudul MISTAR KEHIDUPAN Oleh: D. Kemalawati. D. Kemalawati lahir di Meolaboh, Aceh Barat 2 April 1965. Salah seorang pendiri Lapena (Lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan) Aceh. Bekerja sebagai guru matematika di sekolah Menengah Kejuruan (SMKN 2) Banda Aceh, salah seorang pengurus Dewan Kesenian Banda Aceh. Puisinya dihimpun dalam antologi tunggal “Surat Dari Negeri Tak Bertuan” (Lapena, 2006). Puisi-puisi lainnya dimuat di beberapa antologi bersama, Novel perdananya “Seulusoh” diterbitkan Lapena 2007. Dan menerima Anugerah Sastra dari Pemerintah Aceh, 2007.
Mistar Kehidupan
           
Embun pagi bening tatapmu, saudaraku
Serupa telaga aku pun menimba
Kubasuh kering ruh ku dengan sejuk airmu
Mengalir ke sukma riak-riak cahaya
Melancar doa-doa
           
Adalah mistar kehidupan
Denga bilangan bulat positif negatif
Penambahan dan pengurangan
Pengalian dan pembagian
Kita pun kembali ketitik nol
Pada daya yang diam
Tenggelam untuk kembali kepermukaan

Hari ini mistar itu mengingatkanmu, saudaraku
Tentang penambahan itu
Tentang pengurangan yang tak pernah kita ketahui sisanya
Seperti juga sisa bening embun
Di pucuk daun pagi ini

Bening embun pagi ini, saudaraku
Membekas di mistar itu
Mistar kehidupanmu
Di neraca yang berimbang

Meulaboh, 3 juli 2011
           
Puisi “Mistar Kehidupan” karya D. Kemalawati merupakan puisi yang indah, sengaja ia ciptakan untuk hadiah ulang tahun saudaranya, saudara yang ia katakan sebagai Saudara Jiwanya DAM. Pada puisi Mistar kehidupan Oleh D. Kemalawati, apakah dapat kita katakan bahwa “Mistar” Dalam makna yang lugas atau kias? Bila dapat kita telitik sedikit “Mistar” disini merupakan ukuran atas penambahan usia seseorang. D. Kemalawati sendiri mendapatkan inspirasinya dari penambahan usia saudaranya.

Dalam Puisi “MISTAR KEHIDUPAN” bait ke-2:
Adalah mistar kehidupan
            Denga bilangan bulat positif negatif
            Penambahan dan pengurangan
            Pengalian dan pembagian
            Kita pun kembali ketitik nol
            Pada daya yang diam
            Tenggelam untuk kembali kepermukaan

Dalam artian secara umum yakni sesuatu bilangan angka-angka. Sebenarnya adalah sebuah Metafora dalam arti yang lain, yakni sebuah penambahan umur dari bilangan bulat positif negatif, yang pada akhirnya kembali pulang (Meninggal) dan dibangkitkan kembali pada permukaan.
Disini kita akan bicarakan Bagaimana caranya menemukan makna yang sebenarnya dalam puisi diatas ?
Pertama: kita bisa mengutip bagian puisi untuk memperkuat argumentasi, pilihlah kata atau kalimat atau bait dalam puisi yang benar-benar memperkuat apa yang sedang kita bicarakan. Kalau ada pesan penyair yang tertangkap oleh pembaca, maka unsur puisi yang berisi pesan penyair itulah yang dikutip.
Kalau ada metafor yang digunakan penyair untuk menyampaikan pesan itu, maka kutiplah metafor itu. Begitu pula dengan aforisma-aforisma yang digunakan oleh penyair; maka yang dikutip adalah aforisma (kata-kata yang subtil, yang memiliki makna yang dalam) itu.
Kedua: dengan melihat unsur yang paling dominan dalam puisi, sehingga dapat menemukan topik yang akan dikomentari. Kalau puisi itu tidak ada judulnya, mungkin akan sulit puisi itu akan bicara tentang apa. Tapi, biasanya, judul puisi itu sangat membantu pembaca untuk menikmati dan memahami puisi itu. Judul puisi merupakan pintu gerbang untuk mencari dan menemukan makna puisi. Selain itu, pembaca juga berhak memberi makna puisi itu. Ingat, bahwa dalam teori postkolonialisme, tidak ada pembacaan yang netral. Penyair mengungkapkan fakta sesuai dengan perspektif dia. Pembaca pun bisa menafsir puisi itu dari perspektif pembaca. Misalnya, kalau penyairnya laki-laki, maka pembaca harus curiga apakah diksi atau kata-kata yang digunakannya itu mengukuhkan budaya patriarki atau meruntuhkannya. Biasanya, yang nadanya melecehkan perempuan, maka dapat dikatakan bahwa penyairnya memang mengukuhkan budaya patriarki. Dan, pembaca (perempuan) yang menggunakan teori postcolonial maupun teori feminisme berhak untuk mengkritiknya.
(http://bengkelpuisi dimasarikamihardja.blog.spot.com)
Judul puisi D. Kemalawati “Mistar Kehidupan” merupakan bentuk metafor dari usia manusia, atau penambahan usia. Perhatikan bait pada puisi berikut:
Hari ini mistar itu mengingatkanmu, saudaraku
Tentang penambahan itu
Tentang pengurangan yang tak pernah kita ketahui sisanya
Seperti juga sisa bening embun
Di pucuk daun pagi ini

Bening embun pagi ini, saudaraku
Membekas di mistar itu
Mistar kehidupanmu
Di neraca yang berimbang

Hari ini adalah hari ulang tahun Sahabat jiwa D. Kemalawati (DAM yang ke 52th), ia mencoba mengatakan bahwa DAM harus ingat tentang penambahan umur dan tentang pengurangan yang tak di ketahui oleh siapapun. Seperti setiap harinya kebaikan yang tertanam hari ini akan membekas pada “Mistar” Mistar kehidupan di neraca yang berimbang.
Junus (1981 ; 11 ) menyatakan:

“Sukar untuk memikirkan adanya proses berpikir tanpa mengunakan bahasa. Dan tak mungkin suatu pemikiran akan merupakan sesuatu yang kristal, yang terdiri atas bagian-bagian yang dapat dipisah-pisahkan. Karena itu, kekuatan suatu pikiran terletak pada kekauatan perumusannya, dan ini dirumuskan melalui struktur bahasa yang selalu bersifat linear yang berurutan”
Puisi tidak lahir dalam situasi kosong, tidak lepas dari sejarah. Artinya, sebelum sebuah puisi diciptakan, sudah ada puisi lain yang mendahuluinya. Penyair tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyimpangi konvensi yang sudah ada. Sebagai salah satu gendre karya sastra, puisi selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980 ; 2)

Jambi 21 maret’ 2013

ESTETIKA PENAMPILAN PUISI DAM

Oleh: Retno Daksina Argarini

Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berarti penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Menurut (KBBI, 2008: - ) Puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan bait dan larik. Puisi merupakan karya sastra yang memiliki nilai-nilai estetika. Estetika sangat penting keberadaanya dalam puisi, karena pada hakikatnya karya sastra merupakan karya imajinatif yang menggunakan bahasa sebagai media dan memiliki nilai estetik yang dominan.

Menurut DAM : Puisi selalu menawarkan daya tarik berupa tawaran dunia fantasi yang diolah berdasarkan diksi, imajinasi dan kontemplasi serta tersaji sebagai teks yang menjadi “tanda-tanda zaman”. Selain itu pada penyair selalu selektif dalam memilih kata. Karena jika pada saat penyair membuat puisi secara sembarang memasukkan kata-kata yang tidak pas atau tidak sesui maka puisi itu tidak akan jadi bagus dan indah, maka dari itu pada saat membuat puisi harus selektif dalam pemilihan kata-katanya. Selain itu bahasa yang digunakan juga harus sesuai agar tidak rancu pada saat dibaca.

Puisi karya-karya DAM tidak diragukan lagi, DAM merupakan salah satu nama yang pantas disebut sebagai tokoh dalam dunia kesusastraan Indonesia. Ada beberapa puisi DAM yang membutuhkan pemahaman yang penuh, jika ingin mengetahui apa maksud dari puisi yang disampaikanya . Begitu halnya dengan saya, masih sering kesulitan untuk mengerti apa maksud dari puisi itu, walaupun kata-kata yang digunakan biasa didengar, hingga dibaca berkali-kali, itu pun masih agak binggung. Namun dipermudah dengan adanya penjelasan dari puisi itu, jadi saya bisa paham apa maksud dari puisi itu.

Esai berjudul Puisi Sebagai Cermin Besar Peradapan karya DAM  pada bagian : Penampilan puisi dapat amat beragam, seperti halnya penampilan dan perilaku seseorang yang juga beragam. Ada seseorang yang berpenampilan perlente, cantik, modis dan mengikuti tren masa kini lengkap dengan assesoris dan make up dan bahasa yang glamor. Sebaliknya, ada seseorang yang suka penampilan sederhana, tidak neko-neko, tidak banyak ulah,lembut tutur katanya, sopan, beradab, dan menjunjung tinggi norma-norma. Apakah puisi harus modis dan mengikuti tren masa kini? Apakah di balik kesederhanaan puisi tidak ditemukan sesuatu yang istimewa?

Menurut saya puisi tidak harus modis, karena yang terpenting dalam puisi adalah isi puisinya, namun jangan lupakan unsur keindahan dan penampilan puisi itu sendiri. Menurut saya dibalik kesederhanaan puisi bisa saja ditemukan sesuatu yang istimewa, walaupun penampilan sederhana namun isinya indah. Namun penampilan juga harus diperhatikan agar dapat menarik perhatian pembaca. Jadi keindahan (estetika) penampilan puisi juga harus diperhatikan juga selain isi puisi.

Berikut puisi karya DAM  yang berjudul Tarian  Jemari di Beranda Cinta,

Tarian Jemari di Beranda Cinta

saat aku mencium kembali kelebatan bayangmu
malam ini kembali aku membuka album yang menyimpan genang
kenangan
seperti museum mengabadikan ayat-ayat tentang musim senyummu begitu ranum

di beranda rumah cinta, saat itu, tarian jemari
melukis dinding hati dengan kaligrafi
usai mengaji, kemabli kita kaji warna cinta
bahasa mawardan debar yang mendebur

persis dihalaman muka di kaca jendela memantul cahaya
sebuah pesona menyergap dan meresap
lalu kata-kata yang merapap di dinding kutangkap
dan kutangkap sebagai isyarat

sanggar kreasi, 03/02/2012

Puisi di atas menggambarkan seseorang yang sedang berdoa atau berzikir dengan mengagungkan nama-nama Allah yang Maha Kuasa, “di beranda rumah cinta, saat itu, tarian jemari/ melukiskan dinding hati dengan kaligrafi”. Puisi tersebut banyak mengunakan bahasa kias dan mengunakan simbol. Hal itu yang membuat puisi tersebut memiliki estetika. Seperti yang dikatakan DAM dalam esai yang berjudul Puisi Sebagi Cermin Besar Peradaban : Puisi-puisi yang baik akan selalu menunjukkan corak yang menampilkan intersifikasi, korespodensi, dan musikalitas yang sederhana namun mampu menarik perhatian pembaca.

Puisi yang berjudul Tarian Jemari di Beranda Rumah Cinta memiliki tiga hal tersebut, walaupun tampak sederhana namun memiliki nilai estetika yang istimewa, sehingga dapat menarik perhatian para pembacanya. Korespodensi merupakan upaya penyair menjalin gagasan satu kesatuan, seperti “ayat-ayat “dan “kaligrafi” memiliki arti yang sama. Musikalitas merupakan upaya penyair mempermanis, memperkuat dan menonjolkan efek puitik kepada kepada hasil penyair, seperti “usai mengaji, kembali kita kaji warna cinta/ bahasa mawar dan debar yang mendebur” yang memiliki arti setelah mengaji kita mengkaji bahasa mawar (ayat yang indah). Intersifikasi merupakan upaya penyair memperdalam intensitas penuturan dengan berbagai cara pemaparan bahasa, seperti pada puisi  yang diawali dengan si penyair sedang membayangkan sesuatu, kemudian berzikir dengan mengagungkan nama-nama Allah dan setelah mengaji mencoba mengkaji ayat-ayat. Setelah mengkaji ayat-ayat hingga debar yang mendebur  si penyair merasakan  sesuatu (cahaya sebagai lambang Yang Maha Esa)  yang membuatnya terpesona  dan menyerap kata-kata  yang ada di hati yang ia tangkap sebagia suatu isyarat.

Selanjutnya puisi yang ke dua berjudul Beranda Jingga, Cinta Yessika karya DAM dalam bukunya 3 DI HATI.

BERANDA JINGGA, CINTA YESSIKA

senja merapat di beranda dada, mengabarkan
dan mengibarkan cinta semata. kembali kueja
sejumlah nama dalam lembarlembar isyatar-mu
saat matahari merendah dan mencium belahan bukit
saat rembulan keemasan mempercantik malam

beranda ini selalu terbuka. angin yang ingin
leluasa memilah dan memilih sajak paling tuak
di rak yang tersusun dari serpihan rindu
mengabadikan bayangmu

sebuah kacamata baca tergeletak di paha
usia menemu sepatah kata cinta dalam kamus hidup
sepatah kata yang lalu beranakpinak menjadi sajak
sajak yang mengajuk dan mengajak mengeja hidup
penuh degup mencinta

bengkel puisi swadaya mandiri, 2010

Puisi ini menurut saya juga memiliki keindahan yang sama dengan puisi yang pertama hingga dapat menarik perhatian pembacanya. Secara fisik puisi ini terdapat menggunakan bahasa kias dan simbol, seperti “saat matahari merendah mencium belahan bukit” dan pada kata “senja” bisa jadi disimbolkan usia sudah tua. Puisi ini memiliki unsur keindahan selain bahasa kias dan simbol, tetapi cara penyair menuliskanya atau pemilihan kata-katanya. Jika salah satu kata pada puisi itu diganti dengan kata lain yang kurang tepat, maka penampilan puisi itu akan berkurang keindahanya.

Puisi yang indah tidak harus menggunakan kata-kata yang sulit atau agak asing di telinga atau menggunakan istilah, bisa membuat pembacanya tidak mengerti apa maksud dari puisi tersebut dan menjadi malas melanjutkanya membaca karena tidak mengerti. Jadi gunakan bahasa yang mudah dipahami dan sederhana namun indah isi.  Dan jangan lupa penampilan juga harus diperhatikan agar dapat menarik perhatian pembaca.


Demikian, wassalam.

Jambi, Maret 2013

Kamis, 21 Maret 2013

"PILKADA DAN PILKOPLO" SALAH SATU CONTOH CERMIN PERADABAN

Oleh: Suparti

Senantiasa hidup bermasyarakat dalam sebuah lingkungan merupakan suatu hal yang lumrah dan memang harus dalam menjalani hidup di muka bumi. Dengan adanya bermasyarakat, maka terjadilah pergaulan antar manusia dalam bermacam-macam budaya yang ada. Dari bermasyarakat pula dapat diketahui bagaimana budaya atau peradaban yang ada pada suatu tempat dalam suatu daerah/wilayah.

Suatu peradaban banyak sekali termuat dalam media massa terutama media cetak atau media tulis. kita dapat menemukannya di koran, majalah, tabloit, ataupun buku, dapat berupa artikel, cerpen, puisi, dan sebagainya.

Berbicara tentang puisi memang tak akan pernah ada habisnya. Mengapa demikian? Karena pemahaman/pengkajian puisi tidak hanya sebatas kata-katanya atau kalimat-kalimatnya. Unsur-unsur yang dikaji dalam sebuah puisi adalah tema, rasa, nada, amanat, diksi (pilihan kata), imajinasi, dan gaya bahasa yang digunakan. Dari puisi pula dapat kita ketahui peristiwa apa saja yang tercantum di dalamnya.

Menurut pendapat saya, puisi adalah wakil dari perasaan seseorang yang ditujukan pada orang lain dan biasanya disampaikan melalui bahasa tulis. Menurut ahli, William Wordsworth menjelaskan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, memperoleh asalnya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian. H.B. Jassin menjelaskan bahwa puisi adalah pengucapan dengan perasaan yang didalamnya mengandung pikiran-pikiran dan tanggapan-tanggapan.

Pemuisi biasanya menggunakan bahasa atau kata yang sedikit namun mempunyai arti yang banyak. Misalnya, frase “beranda rumah cinta” mengarah ke sebuah gambaran tempat cinta yaitu hati (Reparasi dan Apresiasi ala Bengkel Puisi Swadaya Mandiri : 33). Frase “beranda rumah cinta” bisa saja berarti beranda rumah yang dicinta atau grup beranda rumah cinta (tempat puisi berkumpul dan bergumul) bagi yang mengetahui atau bisa saja memiliki arti yang lain.

Puisi sebagai cermin peradaban? Menurut saya, iya (setuju dengan pendapat/esai Dimas Arika Mihardja). Karena puisi selalu menggambarkan atau menerangkan tentang peristiwa atau unsur-unsur kehidupan masyarakat. Menurut saya, puisi berkembang searah dengan perkembangan zaman. Dan ini menunjukkan bahwa puisi terus mengalir dalam kehidupan masyarakat.

Puisi mewakili perasaan sastrawan juga dapat mewakili perasaan masyarakat luas, sebagaimana dijelaskan oleh Dimas Arika Mihardja :
Teks puisi memliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai masalah kehidupan. Berbagai masalah kehidupan, baik berupa peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sesuatu yang dialami oleh sastrawan, masalah sejarah-sosial-politik-ekonomi-budaya, maupun berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, hayatan, pemikiran sastrawan diekspresikan secara unik dan menarik (Reparasi dan Apresiasi ala Bengkel Puisi Swadaya Mandiri : 18).

Untuk menjelaskan bahwa puisi sebagai cermin peradaban, mari kita pahami tentang peristiwa yang terjadi dalam puisi Pilkada dan Pilkoplo karya Dimas Arika Mihardja yang ditulisnya dalam buku Sajak Emas:

PILKADA DAN PIL KOPLO


“Pilkada, pemilihan kepala daerah”, katamu
Senja itu. asap mengepul di cerobong mulutmulut berdebu
Tas plastik dan selembar uang limapuluhribuan berhamburan
Mencari alamat rakyat. Suarasuara di panggung terbuka hanya berjanji
Untuk diingkari. Suara mereka adalah lagu dangdut
Bergoyang di tengah lapang dengan loudspeaker
Memecahkan kesunyian
Meresahkan binatang peliharaan

“pil koplo, adalah obat mujarab ketika rakyat muntah”, jelasmu
Di pasarpasar sembari berteriak “hayo siapa jauh mendekat.
Siapa dekat merapat. Siapa rapat kian terdekap”
Di mata penjual obat, semuanya nomor Satu
pil koplo yang di oplos dari berbagai macam obat
hanyalah racun yang membuat kepala puyeng

pilkada dan pil koplo, keduanya racun!

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010


Puisi yang berjudul Pilkada dan Pilkoplo di atas terdiri dari 3 bait, dan masing-masing bait menerangkan begian-bagian yang berbeda namun saling berkaitan. Dalam puisi tersebut, penulis menggunakan kata kias sebagai penekanan atas tujuan akan pentingnya hal yang ia sampaikan melalui tulisan puisinya.

Bait pertama, menjelaskan tentang pilkada dan hal-hal yang sering terjadi di kalangan masyarakat. Diterangkan bahwa setelah terbenamnya matahari, maka mereka (tim sukses pilkada) mendatangi rumah rakyat satu persatu. Mereka memberikan sekantong plastik bahan makanan atau selembar kain dan uang lima puluh ribuan kepada setiap satu kepala keluarga, meminta satu, dua, bahkan tiga suara sekaligus bergantung berapa jumlah anggota keluarga yang ada pada satu kepala keluarga tersebut.

Pada bait pertama juga terlihat jelas tentang mereka yang melakukan kampanye di beberapa tempat, yang bertujuan menarik, memicu, dan merayu perhatian dan minat rakyat. Kampanye yang dilakukan penuh dengan janji dan iming-iming. Kalau saya ibaratkan, janji yang manisnya melebihi madu dan iming-iming yang tingginya terkira. Janji dan iming-iming disebar, disemai, ditanam di setiap rumah warga. Janji penuh semangat sEtiap kali kampanye. Namun setelah terpilih, janji janji dan iming-iming itu dicabut, dikumpulkan, dan disimpan dalam keranjang sampah. Janji tinggal janji, tiada terbukti dan hanya memenderitakan rakyat.

Bait kedua, menjelaskan tentang obat yang sangat ampuh, obat yang bisa membuat orang lupa diri bahkan mati jika tidak bisa menahan diri untuk menghindari. Selayaknya pilkada, pilkoplo pun dijual bebas pasar-pasar bahkan di lingkungan masyarakat lainnya. Penjual pilkoplo pun sama dengan calon dalam pilkada (menjual suara). Tak tahu apapun bahan/zat yang dimasukkan ke dalam pilkoplo, tetap saja mereka menjualnya dengan bebas sehingga berakibat fatal bagi yang mengkonsumsi.

Bait ketiga, hanya ada satu baris. Pernah saya baca di media internet 'Biasanya satu bait puisi terdiri dari empat baris. Namun ada juga puisi yang satu baitnya berisi lebih dari empat baris'. Namun karena satu kalimat ini bagian dari sebuah puisi, tetap saja saya sebut sebagai bait. Pada bait ketiga ini menjelaskan tentang persamaan antara pilkada dan pilkoplo yaitu sama-sama membuat rakyat resah dan gelisah serta menderita karena mereka (pilkada dan pilkoplo) adalah racun.

Puisi yang berisi tentang pilkada dan pilkoplo di atas, menjelaskan tentang masalah kemanusiaan yang banyak bahkan sering terjadi di kalangan masyarakat. Dalam pilkada sering terjadi ketidakjujuran yang menyebabkan hal-hal negatif _ paling sering terjadi adalah korupsi. Sedangkan pilkoplo adalah salah satu jenis narkoba yang sangat meresahkan masyarakat. Puisi tersebut adalah salah satu contoh bahwa puisi adalah cermin peradaban, dan masih banyak lagi cermin peradaban dari puisi lainnya.

Jambi, 22 maret 2013

MEMAHAMI BAHASA FIGURATIF PUISI DIMAS ARIKA MIHARDJA

Oleh: Samsinar

Puisi merupakan pernyataan dari keadaan serta kualitas hidup manusia. Puisi juga merupakan  suatu pengalaman,baik pengalaman pribadi, sosial masyarakat, religius dan terutama suatu pengalaman yang terjadi di sekeliling penulis. Puisi merupakan suatu genre sastra yang paling banyak menggunakan kata kias, Puisi juga merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Dan tentu saja pengalaman yang paling berkesan bagi sang penulis, baik secara langsung maupun tak langsung yang dialaminya. Puisi digali dari kehidupan. Jadi, antara hidup dan puisi tidak ada jarak pemisah, hidup adalah manifestasi puitis.    

Dalam menulis puisi,seharusnya penulis mampu memberi suatu figuratif atau perlambangan. Puisi tersebut diungkapkan melalui perlambangan agar puisi tersebut terasa jauh lebih indah. Keindahan bahasa tentu saja menjadi ciri khas suatu puisi. Jika bahasa yang digunakan dalam puisi tersebut indah, maka timbullah makna puisi yang indah.  Perlambangan dalam sebuah puisi hendaknya harus sesuai dengan apa yang ingin dilambangkan. Misalkan ketika ingin melambangkan suasana marah maka figuratif atau lambang yang dapat digunakan seperti kata api. Puisi mengekspresikan pemikiran yang membangkit akan perasaan, yang merangsang imajinasi pancaindra dalam susunan panca indra. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan member kesan. Puis itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan. Segala ulangan susunan baris sajak yang nampak di baris lain dengan tujuan menambah kebagusan sajak, itulah yang dimaksud dengan korespondensi      (Slametmuljana, 1956: 113).

Qasidah cinta semata
(I)
kulidahkan bahasa sajadah
bagi sang guru batinku

(II)
Aku datang mendekap mesjid
Menguntai wirid

(III)
Sajadah basah
Airmata semata

(IV)
Kupadamkan api benci di hati
Kupadamkan

(V)
Kupahamkan api sufi di hati
Kupahamkan

(VI)
Kusahamkan iman di hati
Kusahamkan

(VII)    
Kumakamkan dendam di hati
Kumakamkan

(VIII)
Rebana bertalu-talu menghalau risau
Rebana berdentam-dentam menikam dendam

(IX)
Engkau sungguh maha pualam
Tak pernah diam
Sungaiputri, 1993

Qasidah merupakan Istilah yang berasal dari kata qasada yang salah satu bentuk infinitifnya ialah qasid atau qasidah dan berarti “dimaksudkan”, “disengaja”, dan ‘ditujukan kepada sesuatu’.
“qasidah cinta semata” pada puisi ini seseorang bermaksud menyatakan isi hatinya.

(I)
kulidahkan bahasa sajadah
bagi sang guru batinku

figuratif atau perlambangan pada bait pertama baris pertama ini terdapat pilihan diksi “kulidahkan bahasa sajadah” yang memberikan lambang bahwa  penyair berbicara dengan bahasa khusus yaitu berupa doa. Perlambangan pada kalimat  “bagi sang guru batinku” ini menggambarkan doa yang dipanjatkan tersebut tertuju kepada tuhan.

(II)
Aku datang mendekap mesjid
Menguntai wirid

Figuratif atau perlambangan pada bait kedua baris pertama ini terdapat pilihan “mendekap mesjid” pada kalimat “aku datang mendekap mesjid” yang menunjukkan lambang bahwa penyair berdiam di mesjid untuk menguntai atau membaca wirid.

(III)
Sajadah basah
Airmata semata

Perlambangan pada bait ketiga ini menunjukkan bahwa penyair berdoa hingga menyebabkan  sajadah telah basah yang dikarenakan airmata.


(IV)
Kupadamkan api benci di hati
Kupadamkan

figuratif atau perlambangan pada bait keempat ini terdapat pilihan diksi ”kupadamkan api benci” yang melambangkan “menghilangkan rasa benci” di hati.

 (V)
Kupahamkan api sufi di hati
Kupahamkan

Perlambangan pada bait ini terdapat diksi “kupahamkan api sufi di hati” yang menunjukkan bahwa penyair mencoba untuk mengerti tentang isi hatinya.

(VI)
Kusahamkan iman di hati
Kusahamkan

perlambangan pada bait ini terdapat diksi “kusahamkan iman di hati” yang menunjukkan suatu lambang bahwa penyair menyimpan iman kepercayaan di hatinya.

(VII)    
Kumakamkan dendam di hati
Kumakamkan

Perlambangan pada bait ini terdapat diksi “kumakamkan” menunjukkan atau melambangkan “membuang atau menghilangkan”, jadi maksud dari “kumakamkan dendam di hati” yaitu “menghilangkan rasa dendam di hati”.

 (VIII)
Rebana bertalu-talu menghalau risau
Rebana berdentam-dentam menikam dendam

Perlambangan pada bait ke delapan baris pertama ini terdapat diksi “Rebana bertalu-talu menghalau risau” melambangkan seolah-olah ada perasaan yang menggebu-gebu untuk mengusir rasa kerisauan sang penyair. Pada baris ke dua terdapat diksi “Rebana berdentam-dentam menikam dendam” melambangkan perasaan yang menggebu-gebu untuk menghilangkan rasa dendam.

(IX)
Engkau sungguh maha pualam
Tak pernah diam

Bait puisi yang terakhir ini menunjukkan bahwa penyair menganggap tuhan maha pualam yang tak pernah diam untuk menyaksikan umatnya.
Perlambangan atau imajinatif pada suatu puisi sangat diperlukan agar puisi tersebut terasa lebih indah.



Jambi, 21 maret 2013

Rabu, 20 Maret 2013

MEMAHAMI "WAJAH IBU" DIMAS ARIKA MIHARDJA

Oleh : WINDA SARI (RRA1B11056)

Puisi bagi saya merupakan ungkapan isi hati dari hasil renungan yang sedang dirasakan dan di iringi dengan pemilihan kata – kata yang indah. “Puisi sesungguhnya bukan sekedar eksperesi kreatif yang menyampaikan suara hati “(Taufik Ismail : 2006) ekspreasi kreatif itu tidak hanya mampu mengekspresikan melalui sebuah renungan, kata – kata saja tetapi harus kita ekspresikan melalui sebuah tulisan.

“Puisi ialah Ekspresi pemikiran yang membangkitkan imajinasi panca indera dalam suasana yang berirama, "( Rahmat Joko Pradopo ). Nilai makna sebuah puisi mampu menumbuhkan rasa ingin tahu terhadap nilai – nilai yang ada dalam puisi tersebut seperti dalam puisi di bawah ini :

Wajah Ibu

Pepohonan rindang daun adalah engkau, ibu
Tak lelah mengairi dan mengalirkan embun di musim kemarau
Engkaulah, wajah yang bukan sekedar wajah
Semata tengadah pada bulan merah jambu
Sebisa pasrah pada buaian rindu

Telaga warna adalah wajahmu, ibu
Meronda kenangan menyulam riak
Dan ombak kasih sayang , engkau ngalir
Dalam nadi menjadi energi mewarnai pelangi

Dangau persinggahan adalah juga wajahmu, ibu
Sebuah tikar kesabaran tergelar
Di altar persembahan

Ibu ialah laut biru
Di laut hatiku


Bengkel puisi swadaya mandiri, jambi 2010

Apakah yang menarik dari puisi Dimas Arika Mihardja diatas ? Puisi selalu mempunyai makna tersendiri, terkadang seseorang membuat sebuah puisi terinspirasi dari karya orang lain. Ada juga yang terinspirasi dari idenya sendiri. Setiap puisi pasti memiliki pemilihan kata –kata yang indah , mampu menjadi ciri khas dari puisi itu sendiri Reevers (  Dalam Herman). ( Waluyo 1995 : 22 ) menyatakan bahwa “puisi merupakan jenis karya sastra yang bersifat imajinatif. Penulis tidak bisa asal – asal memilih kata, dan berimajinasi apabila sebuah puisi pemilihan kata –katanya tidak tepat, maka makna puisi tidak memiliki kesinambungan antara kata yang satu dengan yang lain. Apabila pemilihan kata tidak tepat, maka puisi tersebut tidak memiliki makna dan pembaca akan tidak mengerti dengan makna puisi yang akan di sampaikan terkesan gelap.

Puisi yang di tulis oleh Dimas Arika Mihardja bertajuk “Wajah Ibu, Sajak Emas” ini hadir bermakna kias, sehingga sulit di mengerti. apabila hanya dibaca sekilas saja tidak adanya penghayatan dari pembaca maka pembaca tidak dapat menangkap makna yang tersirat dalam puisi tersebut.

Teks puisi di bentuk dan diciptakan oleh penyair tampaknya berdasarkan ungkapan perasaan kagum oleh sosok seorang ibu yang di tulis melalui sebuah karya tulis puisi yang sejalan dengan perasaan penyair kagum dengan sosok ibunya yang selalu ada buat anak- anaknya. Artinya keseluruhan ungkapan kekaguman seorang anaknya terhadap ibunya merupakan perasaan yang wajar bagi seorang anak. Bagi seorang anak harus patuh kepada kedua orang tuanya itu merupakan kewajiban seorang anak khususnya patuh terhadap ibunya seperti teks dalam puisi ini. Sosok seorang ibu yang selalu menjadi tempat berlindung buat anaknya di ibaratkan dalam larik “Pepohonan rindang daun adalah engkau, ibu”. “Tak lelah mengairi dan mengalirkan embun di musim kemarau, “Engkaulah wajah bukan sekedar wajah”, “semata tengadah pada bulan merah jambu, sebisa pasrah pada buian rindu” bait ini secara padat utuh menggunakan kata kias. Dimana sosok seorang ibu tak pernah sirna untuk selalu ada buat anaknya maupun dalam suka dan duka. Ibu senantiasa selalu ada memberikan yang terbaik buat anaknya. Sosok seorang ibu bukanlah sosok  yang biasa saja. Tetapi sosok seorang ibu adalah sosok yang luar biasa buat anak-anaknya. Pada “bulan” inilah seorang anak mengungkapkan kerinduan kepada sosok seorang ibu yang selalu menemani perjalanan hidup, memberi nasehat yang tidak akan pernah henti. Bentuk ulang kata “ibu” agaknya menjadi kunci penting sebagai pangkal tolak pemahaman dan penafsiran. Bahwa puisi dimas arika mihardja berdimensi perasaan pribadi ( personal ). Bentuk kekaguman sosok seorang ibu itulah sebabnya “wajah ibu” pada judul puisi dapat dimaknai sebagai sosok ibu dengan menggambarkan “Pepohanan rindang”.

Kita baca dan cermati bait 2 puisi karya Dimas Arika Mihardja dibawah ini:

Telaga warna adalah wajahmu, ibu
Merenda kenangan menyulam riak
Dan ombak kasih sayang, engkau ngalir
Dalam nadi menjadi energi mewarnai pelangi

Kata personalisasi terungkap secara nyata dan jelas pada lirik puisi bait ke 2 ini melalui “Telaga warna adalah wajahmu, ibu “ sebagai lambang sosok seorang ibu diibaratkan. “kenangan indah bersamamu ibu, serta begitu banyak bentuk kasih sayang seorang ibu kepada anaknya selalu mengalir di setiap perjalanan hidup anaknya menjadi sebuah inspirasi dalam kehidupan. Dalam bait ini muncul kata “ibu” lagi yang mendalam bahwa puisi ini mengkaji sosok seorang ibu yang menjadi energi kehidupan yang mewarnai hidup.

Secara fisik bait teks  puisi ini terungkap melalui bahasa yang penuh dengan symbol, bahasa kias ini menunjukkan agar kata- kata dalam puisi terlihat indah dan memiliki keunikan dari sebuah symbol tersendiri. Kekaguman sosok seorang ibu di ibaratkan pepohonan rindang dan telaga warna, ombak kasih sayang, dengan persinggahan sebuah tikar kesabaran dan yang terakhir pada kata “ibu” ialah laut biru diluas hatiku”.  Ada gaya retorik penyampaian dalam bait kedua ini penyair mengatakan “ sebuah tikar kesabaran tergolong ini menunjukkan bukti kesabaran hati seorang di persembahkan untuk anak- anaknya. Larik “ ibu ialah laut biru” terpapar begitu jelas sosok seorang ibu begitu luas di hati seorang anak seluas laut biru”. Antara bait 1, bait 2, bait 3, bait 4, dan bait 5 mempunyai kesinambungan kata- kata sehingga puisi Dimas Arika Mihardja ini memiliki korespondensi sehingga antara intensifikasi, korespondensi pada puisi ini mampu menarik perhatian pembacanya.

Dari makna puisi yang dapat saya tangkap dari puisi Dimas Arika Mihardja yang berjudul “wajah ibu” membuat saya terinsipirasi dari struktur kata –kata yang ada di dalam puisi tersebut. Selain itu yang bagi saya menarik untuk memahami puisi ini adalah keunikan mengungkapkan bentuk dari perasaan kagum terhadap sosok seorang ibu. Puisi ini memiliki kesan tersendiri buat saya karena selain puisi ini tergolong personalitas. Puisi ini juga mampu membawa pembaca kearah positif bahawa sosok seorang ibu begitu mulia buat anaknya. Dari sebuah pengorbanan ibu melahirkan samapi membesarkan anak- anaknya dengan penuh kasih sayang yang tulus. Jadi wajar kalau ada pepatah mengatakan “surga di telapak kaki ibu”. Semoga dengan hadirnya sebuah puisi dari Dimas Arika Mihardja ini dapat membawa manfaat bagi pembaca untuk menghargai sosok seorang ibu. Puisi ini memberikan kesan dan persaan personalitas ke dalam bahasa kias, namun mampu memikat hati pembaca.


Jambi, 11 Maret 2013

Senin, 11 Maret 2013

MEMBACA MANKA DAN STILISTIKA ANTOLOGI "SKETSA SAJAK" DIMAS ARIKA MIHARDJA

Oleh: Arie Permana Putra

Dalam dunia sastra tentunya kita mengenal apa itu puisi. Puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan bait dan larik (KBBI, 2008:-). Dalam pengertian lain seperti yang diungkapkan oleh Edwin Arlington Robinson (Cole, 1931:25) menyebutkan “poetry has two outstanding characteristic. One is that it is, after all, undefineable, the other is that it is eventually unmistakable”. Puisi dikatakan memiliki karakter yang tidak dapat didefenisikan atau justru ketika didefenisikan maka pemaknaan itu tidak ada yang salah.

Pradopo (2002:7) juga menyimpulkan bahwa “puisi memiliki unsur-unsur emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca indera, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan dan perasaan pengarang semua hal tersebut terungkap dalam media bahasa”. Jadi ada semacam pemaknaan yang memerlukan pendekatan melalui sistem tanda yang lebih di kenal dengan semiotika, karena menurut Pradopo (1991:278) menyatakan lagi bahwa “karya sastra merupakan sistem tanda”

Saya sebagai orang yang masih belum mengerti benar dunia perpuisian disini berupaya untuk mengutarakan pendapat dan pemikiran saya. Sebenarnya  bidang dan kegemaran saya adalah menulis lagu yang juga mengadopsi teknik dan cara penulisan puisi, dimana dalam menulis sebuah lirik lagu juga mamakai media bahasa yang bentuknya sama persis dengan puisi, yakni bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta penyusunan bait dan larik. Semi (1988:106) mengatakan “lirik adalah puisi yang pendek yang mengekspresikan emosi”. Dari pernyataan ini dapat dilihat kesaamaan antara lirik lagu dan puisi.  Hanya saja dalam pembuatan lirik lagu harus benar-benar memperhatikan harmonisasi huruf vokal di akhir tiap-tiap bait, bahasa yang ditulis juga bahasa dengan metafora yang sederhana dan tidak serumit puisi.

Dalam dunia perpuisian nama Dimas Arika Mihardja memang tidak diragukan lagi, beliau juga termasuk kedalam sastrawan angkatan 2000 (Milenium), setiap tahunnya (saat ulang tahun) sesuai dengan informasi yang saya dapat, Dimas Arika Mihardja atau disingkat DAM sering menerbitkan antologi puisinya, baik yang tunggal maupun kompilasi atau bercampur dengan puisi dari penyair lain. Puisi-puisi DAM memang memiliki stilistika yang berbeda dari penyair lainnya, dari segi keindahan bunyi (eufoni) puisi-puisi DAM cukup menarik, ini dapat dilihat di setiap akhir larik bait puisi DAM yang jika dibaca akan menimbulakan efek harmonisasi bunyi. Bunyi memang memegang peranan penting dalam keindahan suatu puisi demi untuk mempermudah menentukan makna dan kepuitisannya. Eufoni adalah keserasian dari percampuran bunyi sehingga menghasilkan bunyi yang harmonis. Wellek (1993:197) mengatakan “kualitas bunyi ini merupakan unsur yang di manipulasi dan dimanfaatkan oleh pengarang agar dapat menggambarkan perasaan indah”.

Pemilihan bahasa kiasan yang beragam dan sedikit nakal membuat keunikan tersendiri dalam puisi-puisi DAM. Saya juga menemukan beberapa bahasa kiasan yang menjadi mayoritas yakni kata “senja”, “basah”, “sajak”, “beranda”, “rumah” dan lain-lain. Pemilihan bahasa kiasan ini semakin memperkuat pengalaman menulis puisi DAM yang luar biasa dan sudah di bilang sangat mapan. Hanya saja bagi orang yang belum mengerti betul tentang puisi akan sangat kesulitan memahami makna dari bahasa kiasan di dalam pusi-puisi DAM. Karena di setiap bait puisi banyak di temukan kata-kata benda, penunjuk waktu dan lain-lain yang tentunya mempunyai makna tersendiri dan akan menimbulkan penafsiran yang berbeda dari pembacanya. Butuh konsentrasi dan penjiwaan yang tinggi agar bisa mengerti apa makna yang ditulis dalam puisi tersebut. Ditambah lagi dengan bait nya yang panjang, butuh kejelian dan ketelitian agar dapat memahami bagian demi bagian dari bait-bait puisi tersebut. menurut William J. Grace dalam Sayuti (1985:14)  “watak puisi lebih mengutamakan intuisi, imajinasi dan sintesa dibanding denga prosa yang lebih mengutamakan pikiran, kontruksi dan analisis”. Jadi wajar jika butuh perhatian khusus agar bisa memahami puisi lebih mendalam.

Dari segi tematik puisi-puisi DAM banyak membahas tentang kehidupan sosial, religius, sejarah budaya daerah dan kasih sayang (cinta). Seperti yang terdapat dalam puisi berjudul “Sajak 11 September” puisi ini membahas tentang tragedi kemanusian yang terjadi atas pengeboman gedung WTC, entah siapa yang salah dalam kejadian itu tentunya masih menjadi tanda tanya besar bagi saya dan mungkin peristiwa itu juga menjadi kegelisahan tersendiri bagi DAM.

Menanggapi esai yang ditulis oleh Puja Sutrisna “Mengembarai Sketsa Sajak DAM: Bercinta Dengan Tuhan?” di bagian tertentu saya setuju, dimana fenomena munculnya polemik yang diprakarsai Emha Ainun Nadjib dkk. Membuat gagasan “angkatan independen” atau “angkatan kontekstual” menjadi pembeda dengan angkatan sebelumnya baik itu masa imperium Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bahcri. Tapi di bagian pernyataan “kerinduan akan mitos kejayaan nama besar sastrawan sebelumnya, kecuali menjadi stagnasi penyair juga hanya akan melahirkan penyair-penyair bebek (membebek idolanya)” saya agak kurang setuju dengan pendapat ini karena setiap penyair-penyair baru pasti membutuhkan rekreasi atau semacam pengaruh (inspirasi) dari penyair yang sudah mapan sampai pada titik tertentu ia akan menemukan gaya menulis puisinya sendiri. Dalam dunia sastra ini lazim terjadi dan bukan tabu lagi, tapi tentunya dengan etika tertentu. Seperti halnya belajar, tentunya kita butuh guru dan petunjuk sebelum kita benar-benar menguasai ilmu tersebut. Jika penyair baru tersbut benar-benar serius dan konsisten menekuni dunia perpuisian seperti yang dilakukan DAM bukan tidak mungkin dia akan menemukan gaya menulis puisi sendiri tanpa harus mebebek idolanya, dan semua memang butuh proses dan pengalaman.

Mengenai media yang digunakan dalam menyebarluaskan karya-karya sastra berbentuk puisi, langkah yang dilakukan DAM sudah sangat tepat dan “up to date” , facebook sangat dikenal di seluruh dunia dan telah menghubungkan banyak orang di semua belahan dunia, jadi dengan mudah kita bisa memposting karya-karya sastra berbentuk puisi tersebut untuk mendapat respon dan penilaian dari orang lain, baik yang berkompeten atau sekedar iseng. Dengan kemajuan teknologi ini pastinya ada dampak positif dan negatif nya. Tapi apapun itu jika dilakukan atas dasar demi kemajuan sastra tidak ada salahnya, tujuan kita adalah menggunakan teknologi tersebut untuk mempermudah berbagi karya sastra puisi dengan banyak kalangan, baik yang masih awam maupun yang memang berkecimpung di dunia kesusastraan Indonesia.

Telanaipura Jambi

9 Maret 2013

Jumat, 01 Maret 2013

"MEDITADI RINDU" MICKY HIDAYAT


Oleh: Dimas Arika Mihardja


Pengenalan Awal, Ikhwal “Meditasi Rindu”

Buku ”Meditasi Rindu” (Tahura Media, 2008) merangkum 108 sajak pilihan yang ditulis antara tahun 1980 sampai 2008 menunjukkan dedikasi seorang Micky Hidayat memilih dunia penyair sebagai pilihan. Micky Hidayat telah merambah dunia bahasa lengkap dengan maknanya sebagai wawasan estetik dalam berkarya. Buku ”Meditasi Rindu” mewakili kubu penyair yang menjunjung tinggi harmoni, keteraturan, disiplin yang ketat, dan percaya atas kekuatan bahasa sebagai pengungkap makna yang dapat menyegarkan sukma.

Dalam konteks ini dapat dikemukakan bahwa pada awal mula segala seni sastra adalah religius. Itulah sebabnya mengapa para estetikus abad-abad lampau telah mencoba menerangkan apakah seni itu. Seni, sambil memperhitungkan adanya berbagai trend, dalam keadaannya yang murni, lazim ditanggapi sebagai kekayaan rohaniah manusia yang memberikan satu pesona, satu pengalaman tak sehari-hari, sesuatu yang transendental, yang dalam bahasa Plato merupakan bayangan Keindahan Sejati, yang oleh Bergson maupun Iqbal ditanggapi kurang lebih sebagai ilham Ilahiat yang bahkan layak diperbandingkan dengan ilham kerasulan.

Walhasil, seni itu sesuatu yang luhur. Kenapa? Sebab watak  seni sastra menuntut kejujuran (hanya melahirkan yang memang hidup dalam jiwa), menuntut simpati kemanusiaan (berbicara dari hati ke hati secara jujur dan bukan dari ideologi ke ideologi), dan yang mengungkapkan haru (bukan “kepedihan”). Dengan demikian, seni susastra memang bergerak pada “arus bawah” hidup dan memunculkan ke permukaan undangan ke arah kedalaman. Arus bawah ini dikenal dengan istilah religiusitas (bukan beragama). Haru itu sendiri, memang agaknya tak lain dari rasa hening yang aneh (yang sering tak disadari) yang menyebabkan orang tersentak dan menyebut: “Allah”. Dalam religiusitas, terdapat nilai ibadah.

Seni puisi di satu pihak harus mampu mengajak seseorang beriman, mengagungkan Allah, dan di pihak lain ia harus mampu mengasimilasi sifat-sifat Allah pada diri manusia seperti cinta kasih, penyayang dan lain sebagainya yang mampu membawa kedamaian bagi umat manusia. Hal ini tidak berarti penyair berkarya untuk menyaingi Allah, tetapi ia berkarya untuk menyesuaikan diri secara lebih baik dengan tata ciptaan-Nya. Secara maknawi, karya puisi tidak dimaksudkan menambah jumlah pemeluk, melainkan memperdalam serta mempermudah hubungan manusia dengan Allah, terlepas dari segala penyakit hipokrisi.

Komunikasi antara manusia-penyair dengan Allah realisasinya bisa meluas, bisa pula menyempit perspektifnya. Secara luas, bentuk komunikasi antara manusia-penyair dengan Allah teraktualisasi dalam bentuk kekaguman manusia-penyair akan berbagai bentuk ciptaan Allah (Allah adalah Maha Kreator yang mampu menciptakan alam semesta beserta isinya). Manusia-penyair, dalam konteks ini hanyalah peniru secara mimesis. Dari tangan manusia-penyair lalu lahir berbagai karya yang secara mimesis tidak dimaksudkan menandingi kreativitas Allah, melainkan sebagai semacam perpanjangan tangan. Hitung-hitung manusia-penyair bertindak sebagai kafilah di bumi yang dengan suntuk mengangungkan berbagai Keindahan Ciptaan Allah.

Selain itu, manusia-penyair ternyata juga merupakan makhluk individu dan makhluk sosial dalam pranata sosiologis. Secara individual, manusia-penyair memiliki atensi pada masalah-masalah personal sebagai pangkal tolak konsepsi estetis dalam setiap berkarya. Dalam perspektif individual pula, manusia-penyair selalu dirundung kegelisahan untuk berdekatan dengan Sang Khalik. Lantaran Sang Khalik sifatnya serba “Maha”, secara personal manusia terkadang serupa debu di “terompah-Nya”. Manusia lantas merasa kecil, kotor, dan silau oleh Cahaya Maha Cahaya. Manusia secara personal juga terkadang penasaran untuk menyibak rahasia ciptaan-Nya: alam semesta beserta isinya acapkali membuat manusia “terluka” oleh berbagai penyebab. Selain itu,secara watak personal manusia ialah memiliki rasa ingin tahu segalanya, termasuk rahasia-Nya.

Secara sosial, manusia-penyair langsung atau tidak langsung terlibat dalam kancah persoalan sosial kemasyarakatan. Itulah latar belakang kenapa hampir setiap manusia-penyair selalu tertarik memperbincangkan dan mengusung persoalan personal dan persoalan sosial ke dalam puisi yang diciptakannya. Terminologi Islami untuk mengangkat dan dekat dengan persoalan sosial itu, habluminnanas, menjadi proyek penulisan yang tidak pernah habis dijadikan entry penulisan puisi. dalam perspektif ini manusia-penyair lantas berhubungan dengan aneka persoalan manusia di dunia: keadilan-ketidakadilan, keburukan-kebaikan, kemiskinan-kekayaan, material-spiritual, jasmani-rohaniah, dan oposisi binner lainnya dalam konfrontasi tiada henti.


Pengenalan Lanjut, Menikmati Rindu

Rindu, barangkali merupakan fenomena manusiawi. Rasa rindu, secara manusiawi merupakan gejolak rasa manusiawi yang tumbuh sebagai manifestasi hubungan antara manusia dengan manusia lain, hubungan antara manusia dengan “kekasih”nya, dan hubungan antara manusia dan “sesuatu” yang didambakannya. Manifestasi rindu antara manusia dengan manusia aalain itu termanifestasi sebagai dampak adanya rasa perhatian, dukungan, kasih sayang, cinta, kepercayaan, pengertian, kebahagiaan, kekuatan, doa, semangata, inspirasi, sumber energi dan kreativiats kepenyairan. Micky Hidayat lahir dari keluarga penyair. Ayahandanya, Hijaz Yamani dipandangnya sebagai “hamparan sajadah kebijaksanaan yang menerangi semesta rindu” (iii). “Sajak Untukmu” yang mengawali bagian “Aku Ingin Menjadi Penyair Yang” (Sajak-sajak 1980—1983) merupakan “sapa pembuka”:

bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku
adalah rinduku yang mengharap kehadiranmu

bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku
adalah kesepianku ingin selalu bersamamu

bila sepi jadi pisau menikam dan melukaiku
adalah ketidakberdayaanku di hadapanmu

bila lukaku meneteskan darah di batu
adalah kekerasan hatiku mencintaimu

bila ternyata kau tak mencintaiku
aku tetap menulis sajak-sajak untukmu

(“Sajak Untukmu”, halaman 2)


Sajak sapa pembuka ini tentu saja merujuk pada engkau personal (sahabat, kekasih, keluarga, ayah-bunda, dan bisa jadi Allah) dan sekaligus menyapa pembaca buku ini. Micky Hidayat ingin mengatakan kepada semuanya bahwa ia “Ingin Menjadi Penyair Yang” (hal. 10). Puisi ini tentu saja berkorespondensi dengan “Sajak Untukmu”, sebab bagi Micky “aku tetap menulis sajak-sajak untukmu” – apa pun yang terjadi, sajak dijadikan media pemgungkap rindu. Apa pun yang terjadi, bagi Micky Hidayat acap memasang kata-kata kunci di hampir seluruh sajaknya: rindu, sepi, luka dan cinta. Secara eksplisit, Micky menulis selengkapnya seperti ini:

aku ingin jadi penyair yang
setia mencintai bunga
tak peduli wangi yang disemburkannya
hanya meracuni taman angan-anganku

aku ingin jadi penyair yang
memeluk mesra keindahan bulan
tak peduli tanganku yang hampa
hanya mampu menggapai batas udara

aku ingin jadi penyair yang
senantiasa menunjukkan ketegaran
seperti matahari yang terus tengadah
tak pernah mengeluhkan lelah

aku ingin menjadi penyair yang
kuasa mengarungi keluasan laut tiada tara
tak peduli kedahsyatan badai dan ombaknya
menenggelamkanku ke dalam dasarnya

aku ingin jadi penyair yang
hidup seperti burung-burung
bebas terbang ke mana suka
bebas melesat ke segenap penjuru cakrawala
bebas mengarungi bentangan bumi
bebas hinggap ke dahan-dahan pohonan
sambil terus berkicau
dan bernyanyi sepanjang musim

aku ingin jadi penyair yang
menulis puisi tak sekedar bermain kata-kata
tapi untuk menyegarkan sukma

(“Aku Ingin Jadi Penyair Yang”, halaman 10—11).                                

Penyair kelahiran Banjarmasin 4 Mei 1959 ini melakukan meditasi melalui sajak-sajak berkecenderungan lirik sebagai aktualisasi dan mediasi religiusitasnya memasuki dunia sakral. Pernyataan ini dengan ringkas termuat dalam ”Komentar para Sahabat” di halaman 175, penulis menyatakan bahwa ”sajak-sajak Micky Hidayat terkesan kuat dan memikat. Kuat lantaran pilihan tematiknya digali dari sumber yang tak pernah kering: kreativitas dan kontemplasi. Sajak-sajaknya memikat lantaran dieksplorasi dengan pola ungkap yang menawan. Alhasil, sajak-sajak Micky Hidayat kental dan kenyal disantap: gurih, sedap, dan nikmat. Dari tangan kreatif Micky Hidayat terdedah puisi yang puitis, dan berkecenderungan sufistik, imajis, metaforis, platonis, atau metafisis. Micky telah menemukan ’tanah pilih’ dalam kesusastraan Indonesia”.

Micky Hidayat tampak intensitasnya sebagai penyair pada masa 1980-an. Dekade ini menggambarkan kesan kuat adanya kecenderungan sajak-sajak sufistik dan Micky Hidayat merupakan salah satu eksponen yang berhasil menggubah sajak-sajak jenis ini. Sajak-sajak bercorak sufistik ini tampaknya juga menjadi pilihan dua penyair yang dikagumi oleh Micky Hidayat, yakni ayahnya sendiri (Hijaz Yamani, almarhum) dan Ajamuddin Tifani (almarhum). Bentuk kekaguman Micky Hidayat kepada almarhum Hijaz Yamani dapat dilacak pada judul sajak yang sekaligus dijadikan judul bukunya, yakni ”Meditasi Rindu”.

Bagi Micky Hidayat, ”meditasi rindu” lebih didasari semangat atau spirit ruhaniah, batiniah, atau spiritual dalam konteks hubungan antara ”kawula—Gusti”. Dalam hubungan antara manusia (”m” kecil) dan Sang Maha Pencipta, penyair Micky Hidayat selaku manusia selalu berusaha memposisikan dirinya sebagai makhluk yang haus akan misteri Sang Maha Pencipta sembari diam-diam berusaha kreatif melakukan penciptaan sembari mengagungkan dengan rasa kagum. Wawasan estetik sajak-sajak yang digubah oleh Micky Hidayat bertolak dari konsepsi pada umumnya yang mengutamakan adanya balance, symetri, dan unity. Wawasan estetik demikian ini lebih menonjolkan keseimbangan, keselarasan, dan kepaduan subjek—objek, subjek—subjek, dan subjek—segala misteri.

Dengan wawasan estetik demikian itu menjadikan sajak-sajak gubahan Micky Hidayat tampil tertib, teratur, dan didukung pemanfaatan bahasa sebagai wahana ungkap sesuatu yang bermakna. Bahasa dimanfaatkan untuk mengungkapkan makna seperti diekspresikan pada baris-baris terakhir sajak ”Aku Ingin Jadi Penyair Yang” berikut: aku ingin jadi penyair yang/menulis puisi tak sekadar bermain kata-kata/tapi untuk menyegarkan sukma. Ungkapan ini jelas, bahwa dunia sajak diabdikan kepada upaya ”menyegarkan sukma”. Jadi, bidang garapan sajak-sajak Micky Hidayat bersandar pada tema spiritual, batiniah, atau ruhaniah. Di sinilah kekuatan sajak-sajak Micky Hidayat: sajak-sajaknya yang berkecenderungan sufistik terasa lebih mengesankan ketimbang sajak-sajak sosialnya.

Melalui ”Meditasi Rindu” Micky Hidayat telah meriwayatkan secara relatif lengkap perjalanan batinnya sebagai penyair yang membahasakan ruhani. Seorang Micky Hidayat telah menemukan ”tanah pilih” yakni dunia kreatif penciptaan puisi yang bertolak dari wawasan estetik bahwa berkarya adalah untuk ”menyegarkan sukma”. Puisi yang menyegarkan sukma harus dibangun berdasarkan keselarasan, keseimbangan, dan kesatuan antara gagasan dan bahasa sebagai pengucapan. Bahasa merupakan mediasi penyampaian makna, sebab Micky Hidayat ”ingin jadi penyair yang tak sekadar bermain kata-kata”.


Komposisi Buku “Meditasi Rindu”, Menyigi Substansi

Buku “Meditasi Rindu” terpapar dalam lima bagian. Bagian 1 “Aku Ingin Jadi Penyair Yang” menghimpun sajak-sajak yang ditulis antara tahun 1980—1983, yakni: “Sajak Untukmu”, “Tangkap Aku, Kekasihku”, “Fantasi Malam’, “Bicara Pada Batu”, “Mabuk Aku”, “Sungai Martapura”, “Bayangan”, “Interlude (1)’, “Aku Ingin Jadi Penyair Yang”, “Ada Yang Memisah Kita”, “Belati”, “Angin”, “Batas”,  “Lelah”, “Ektase Puisi, 1”, “Interlude 2”, “Kemerdekaan Gelatik”, “Mata Pisau”, ‘Masuklaah, Pintu Masih Terbuka”, “Di Kaki Malam”, “Lagu Lapar”, “Sajak Petualang”, “The Power of Love (1)”, “The Power of Love (2)”, “Cerita tentang Musim”, “Interlude (3), “Yang Bernama”, “Ektase Puisi, 2”, “Pelayaran”, dan “Muhammad”. Sajak-sajak dalam bagian ini, seperti dirujuk oleh tajuk-tajuk puisi secara substansial mengungkapkan persoalan personal dan sosial yang dibingkai benang : rindu, luka, sedih, dan cinta. Sajak-sajak ini merupakan pengendapaan pemikiran Micky terkait kegelisahannya dalam merindu—yang dengan itu ia ingin menyapa dan mempersembahakan sajak-sajaknya itu kepada pembaca (baik pembaca awam, pembaca apresiatif, maupun pembaca kritis).

Bagian kedua diberi tajuk “Sajak Cinta: Interlude” yang merangkum sajak-sajak yang ditulis antara kurun 1984—1988). Bagian ini merangkum 30 sajak yang didominasi sajak-sajak sosial seperti: "Lanskap Kota", "Terminal", "Seperti Laut", "Pergi", "Ziarah", "Perjalanan", "Sehabis Percakapan" , "Malam Jakarta",  "Berkali-kali Aku Mabuk", "Instrumentalia Jakarta",  "Tubuhmu yang Terpahat di Batu Dasar Kali", "Diskotek Tanamur", "Persenggamaan Matahari dan Bulan", "Sajak Perpisahan", "Lukisan Bapak", "Fantasia Gunung Tangkuban Perahu', "Memo Jakarta", dan "Membaca Sajak Afrizal Malna". Meski sajak-sajak ini bersetting dunia luar dalam konteks sosial, hal yang menonjol, persoalan dunia luar itu menyatu dalam pengendapan kontemplasi Micky Hidayat.  Seperti telah dikemukakan, sajak-sajak sosial Micky Hidayat ibarat “lebah tanpa sengat”, aspek kritis dan kritiknya pada dunia luar kurang bergigi, sebab telah dipadupadan dengan refleksi personal penyairnya.

Bagian ketiga diberi tajuk “Aku Berguru pada Sajak”, merangjum 15 sajak yang dirtuis pada kurun 1989—1995. Dalam bagian ini secara eksplisit Micky Hidayat seakan-akan berteriak lantang untuk menyatakan ketidaksanggupannya menghadapi dunia luar yang mengepung. Persoalan sosial dirasakannya nsebagai “penjara” bagi individualitas penyair. Kita baca sebuah sajaknya selengkapnya:

Aku Tak Sanggup Lagi

Aku tak sanggup lagi memandang dunia
dengan segala warnanya
Sebab langit telah membutakan mataku
dan matahari yang terus memburu kematianku

Aku tak sangup lagi mendengar segala doa
dan pekik-tangis duka
Sebab awan hitam telah menyumbat telingaku
Begitu pun hujan yang tak henti-henti
mengguyur tubuhku

1989

Apa yang menarik dari puisi bertitimangsa 1989 ini? Jika pada sajak-sajak Micky sebelumnya ada kecenderungan menulis dengan tipografi huruf kecil di awal larik, pada sajak ini mulai digunakannya huruf kapital di awal larik. Apakah ini menunjukkan proses kreatif yang menunjukkan progres kepenyairannya atau hanya kebetulan saja? Hal ini tentu saja menarik untuk ditelisik secara khusus, apakah peneraaan huruf kapital sebagai upaya memperjelas pengungkapan atau hanyalah mood sesaat?

Bagian empat buku diberi tajuk “Meditasi Rindu” yanag merangkum 14 sajak bertitimanagsa antara 1996—2001. Bisa jadi, bagian ini diandalkan oleh penyair dan editor buku, sebab bagian ini dijadikan judul utama antologi. Ternyata, dalam bagian ini ada sebuah sajak yang relatif panjang—lebih panjang jika dibandingkan kecenderungan sajak-sajak Micky Hidayat bertajuk “Meditasi Rindu”. Sajak panjang ini didedikasikan kepada ayahandanya yang juga penyair, yakni Hijaz Yamani. Tampaknya, Hijaz Yamani—meskipun telah almarhum—bagi Micky Hidayat mewariskan sajak-sajak yang selalu dibacanya. Ia membaca sajak sebagai jejak dan warisan yang tak pernah selesai dibaca, bahkan Micky Hidayat terang-terangan menyatakan “belajar dari sajak”.

Buku “Meditasi Rindu” ditutup bagian kelima, yakni “Telah Kuhapus Kata-kata” yang menghimpun 19 sajak yang bertitimangsa 2002—2008. Tajuk bagiaan ini agaknya diambil dari sebuah judul sajak sama, yakni “Telah Kuhapus Kata-kata” yang selengkapnya saya kutipkan sebagai penutup tulisan ini:

Telah Kuhapus Kata-kata*)

telah kuhapus kata-kata yang pernah kutuliskan
sebab tak ada lagi yang bisa kutawarkan
selain kesunyian dan kecemasan
atau kekosongan dan kekecewaan
hingga langit yang kutasbihkan
pecah berkeping dan jatuh di lautan

telah kuhapus kata-kata yang pernah kuucapkan
sebab laut jiwaku tak kuasa menterjemahkan
rahasia angin, badai, dan gelombang
sebab perahu jiwaku yang retak makin gamang
putar haluan atau meneruskan saja pelayaran

telah kuhapus kata-kata
dan biarlah segalanya kulupakan
sebelum matahari, bulan, dan bintang-bintang
tak lagi memancarkan sinarnya
pada diriku yang tiada

2007

*) 100 Puisi Indonesia Terbaik—Anugerah Sastra Pena Kencana (Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008).


Puisi ini ntak pelak lagi sebagai pamungkas dari seranagkaian prosesi sajak-sajak yang dimuat dalam buku ini. Hal yang menarik, sajak ini tampaknya berkorespondensi dengan sebuah sajak di halaman 170 bertajuk Sajak Tak Berisi yang ditulis tahun 2008. Sajak Tak Berisi benar-benar tak berisi, sebab hanya ditampilkan judul “Sajak Tak Berisi’ dan angka tahun 2008. Apakah ini sebentuk skeptisisme, nihilisme, atau justru frustrasi? Salam budaya!

Jambi, Februari 2013

Rujukan

Hidayat, Micky. 2008. Meditasi Rindu. Banjarmasin: Tahura Media.