Kamis, 07 Juni 2012

SEJUMPUT MARHAMAH

: illustrasi dari puisi Kisah Sila dan Turahmi di Rumah Makrifat
karya, Yessika Susastra,Jambi.
Oleh: Moh Syahrier Daeng

Suatu hari Rasulullah SAW bersabda di antara para sahabatnya :
" Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada sejumlah orang yang bukan Nabi- nabi dan tidak pula syuhada, tetapi sangat disenangi para Nabi-nabi dan syuhada lantaran kedudukan istimewa yang diberikan Allah kepada mereka ".

Para sahabat bertanya : " Ceriterakan kepada kami, siapa mereka itu ? ".
Rasulullah menjawab : " Mereka adalah satu golongan yang dengan rahmat Allah saling mencintai, padahal antara mereka tidak ada ikatan darah, dan tidak pula dipertalikan oleh harta dengan saling memberi di antara mereka. Demi Allah, wajah- wajah mereka, cahaya mereka berada dalam cahaya. Mereka tidak takut atau khawatir ketika orang-orang lain pada ketakutan, mereka tidak berduka cita ketika orang-orang lain pada berduka cita " (HR.Abu Daud).

Perjalanan kita kali ini ke taman bunga yang pagarnya cinta yang senantiasa dipupuk kesetiaan yang harumnya merebak bersama arah angin, melintasi ruang, menyilang waktu yang dilembabkan oleh gerimis subuh sebelum kita merentang sayap, terbang bersama burung-burung meninggalkan sarangnya dan kita pasrahkan sekeping napas ini kepada tentu menentu, hingga yang tersisa hanya secarik riwayat bagi mereka yang menyulam kenangan.

Sungguh, saya masih membayangkan puisi " Kisah Sila dan Turahmi di Rumah Makrifat " yang dipajang oleh penulisnya dua pekan yang lalu dan baru sekarang bisa kukisahkan sedikit makna, lantaran begitu luasnya ruang yang akan dimasuki :

di beranda dada, sila duduk bersila
dan turahmi tidak lagi sendiri, sebab terasa ada sayap-sayap kehangatan
di luas sajadah motif kembang, pintu ka'bah
kubah dan lampu gantung

Bagi saya, cukup satu bait saja dari puisi ini sudah terlalu luas untuk diselami. Tidak ada keberanian saya untuk mengusik puisi yang gaya bahasanya melenggang seperti anak dara yang sedang kasmaran, yang kerangkanya tersusun rapi berkat asuhan dari arsitektur puisi, esei dan keluh-kesah, yang alurnya meliuk laksana Sungai Batanghari yang airnya tenang di tengah, deras di tepi. O puti, betapa engkau telah melahirkan puisi-puisi.

Puisi ini telah mengusung tema sangat besar, yaitu " MARHAMAH " (kasih sayang). Ketika marhamah ini diserahkan kepada bumi dan langit, mereka tidak sanggup memikulnya. Diserahkan lagi kepada segenap makhluk, pun mereka tidak mampu mengangkat beban. Tetapi manusia berjanji dan menyatakan kesanggupannya, maka sejak itu, Allah menjadikan cinta sebagai jalan sillaturrahmi (rentang tali kasih sayang).

Kata " marhamah " hanya satu kali disebut dalam Al Qur'an : WATAWASAO BIL MARHAMAH ( Al Balad :17), artinya : berpesan-pesanlah pada kasih sayang. Pokok marhamah kemudian berkembang menjadi beberapa cabang, di antaranya adalah sillaturrahmi. Seterusnya kata sillaturrahmi menjadi simbol rahmatan lil alamin. Saya sebut simbol, karena hanya sedit orang yang memahami makna sillaturrahmi dan lebih sedikit lagi yang mampu mengamalkannya, kecuali mereka yang mendapat petunjuk dan hidayah dari Allah SWT. Begitulah mutiara yang sedikit menjadi mahal nilainya.

-------------------
Puisi ini dibuka dengan sepotong kalimat : " di beranda dada , ........ "
Apa hubungannya dada dengan marhamah ? Salah satu jalan untuk mencapai taqwa melalui marhamah yang terminalnya di rongga dada, tersembunyi di lubuk yang paling ceruk. Tidak ada yang tahu kedudukannya kecuali kita sendiri serta Yang Maha Melihat. Maka ketika berkhutbah, Rasulullah bersabda : " Taqwa itu di sini ", sambil menunjuk dadanya. Dengan demikian, marhamah juga terletak di dada, bukan di lembaran, tidak juga di ucapan yang manis-manis jambu. Bukan di keramaian pesta dan upacara pamer lupa diri, kesombongan, merasa lebih dari yang lainnya, merasa... merasa , entahlah !

Ada 3 komponen dalam bangunan sillaturrahmi, yaitu :
MARHAMAH : getaran belas kasihan yang mendorong kesediaan memberi maaf
dan mengulurkan tangan kepada orang lain.
MAWADAH : kecendrungan hati mencintai, menyayangi orang lain
MU'ATHAFAH : kesediaan hati mundur untuk memberi dan berbagi kesenangan
kepada orang lain.

Oleh sebab itu dalam Surah Al Balad disebut adanya " Aqabah " (jalan susah) untuk mencapai marhamah : " Tahukah kamu jalan susah itu ? " ( 12), yaitu :
Mencapai dan memberikan kemerdekaan (13)
Memberi makan ketika kelaparan (14)
Menyantuni keluarga anak yatim (15)
Menyantuni fakir miskin (16)

Pada akhirnya apa yang kita cintai ada dalam kandungan diri kita sendiri, yaitu di antara jepitan tulang-tulang rusuk dan yang paling dekat ke urat leher yang tanpa kita sadari. Di situlah muatan yang sesungguhnya : " Tidak memuat bumi Ku dan langit-langit Ku, tetapi hati hamba Ku yang mukmin dapat memuatku (Hadis Kudsi).

Izinkan saya tutup kisah dengan doa cinta Rasullullah SAW : " Ya Allah, berikan rezeki kepadaku cinta kepada Mu dan cinta kepada orang-orang yang mencintai Mu. Cinta kepada apa yang mendekatkan aku kepada Mu dan cinta kepada Mu itu lebih kucintai dari pada air dingin " . ALLAHUMMA ANTA MAKSUDIN WARIDHAKA MATLUBI.

Rabu, 06 Juni 2012

RUMAH KATA KITA, PUISI BERGERAK (TAK TERSERAK) DI PESTA PERAK

Catatan bersama: Dimas Arika Mihardja dan Yessika Susastra
Pengantar:

Ada semacam tradisi yang diam-diam menjadi agenda BPSM, yakni puisi bergerak (tak berserak) bertebaran di sepanjang lapak. Menyambut dan merayakan pesta perak perkawinan Dimas Arika Mihardsja dan Yessika Susastra pada 10 Juni, mulai bertaburan bunga hati sebagai dedikasi. Mari kita nikmati, kita hikmati, dan kita apresiasi puisi-puisi dedikasi untuk pesta perak pernikahan DAM dan YS. Sajian kali ini terbagi menjadi (1) Medali Perak di antara Rindu Terserak catatan kelahiran sebuah puisi perkawinan Dimas Arika Mihardja dan Yessika Susastra), (2) Pengakuan Yessika Susastra dalam “Rumah Kata Kita” dan interelasi dengannya, (3) Puisi Dedikasi dari Sahabat BPSM, dan (4) Puisi dari Seberang Pulau.

(1) MEDALI PERAK DI ANTARA RINDU TERSERAK
(Catatan Kelahiran sebuah puisi hasil perkawinan Dimas Arika Mihardja & Yessika Susastra)

DUDUK DI BERANDA RUMAH CINTA saat senja,  Yessika Susastra menyandarkan kedpalanya ke bahu. Kata Yessika, nyaris berdesah, “Mas....”, begitu lirih suaranya, tetapi nafasnya begitu tegas melafazkan sesuatu yang dirindukan. Mata Yessika menatap sebuah medali perak sebagai penanda prestasi anak kedua meraih pemenang kedua lomba menyanyi tingkat propinsi .

Arlojii di pergelangan tangan masih bertik-tok beraturan.  Kataku, “kenapa memandangi medali perak itu?” Yessikia tak menjawab, melainkan melangkah mengambil laptop lalu mulai menulis sebuah judul 24 KARAT NIKAH ILALANG SAAT BERJALAN KE BARAT. Kebiasaan Yessika yang kuhafal, selalu menulis judul puisi yang panjang, yang lalu ingin diurai dalam satu tubuh puisi. Aku segera memahami apa yang diinginkan dan dirindukan oleh Yessika, kali ini Ia mengajak menulis puisi kolaborasi. Setelah menulis judul panjang itu lalu kutulis [Kolaborasi Yessika Susastra dan Dimas Arika Mihardja] di bawah judul dan menulis bait pertama. Bait pertama yang kutulis itu seperti ini:


senyummu 24 karat, dinda, mengambang di muka pintu
saat geriap sore meronce bunga belimbing
di halaman rumahmu, dan burung-burung kecil
lincah saling berkejaran

Dengan bait itu saya hendak mengatakan bahwa sejak mula bertemu, senyum Yessika Susastra mampu membiusku, saat pertama bersua 25 tahun lalu di sebuah desa Sidodadi di Metro, Lampung Tengah. Sebuah perjumpaan yang mengesankan. Saat itu, aku sengaja bertamu setelah kedua orang tua di Jogja memberi tahu dan berpesan agar aku mampir ke tempat “saudara” (tetangga) yang kini bermukim di Metro Lampung Tengah. Sebagai tamu, saat itu aku duduk di teras rumahnya sebelum senja menjadi lengkap, alias sore. Di depan rumah Yessika, tempaat aku bertamu ada pohon belimbing, burung-burung kecil yang bercanda membangun sarang.

Saat santai di teras rumah sebagai tamu, aku melihat dua gadis (Yessika Susastra dan kawannya) bercanda sepulang sekolah di sebuah SMA Muhammadiyah di Metro, Lampung Tengah. Aku terpikat oleh senyum yang rekah, dan kian terpikat pada senyum itu setelah tahu, itu milik Yessika yang hari itu pertama kali kukenal. Bait yang kutulis itu alih-alih menyumbulkan kenangan lama saat bersua pertamaa kali yang menumbuhkan rasa simpati dana getar-getar aneh—jatuh hati mungkin begitulah istilahnya. Setelah bait 1 selesai kutulis, laptop kuserahkan pada Yessika, sementara kutinggalkan Yessika menulis dan merampungkan bait lanjutannya, lantaran pada bait 1 aku memasang pertanyaan/pernyataan, maka selanjutnya Yessika Susastra menulis bait 2 berikut ini:

begitulah kanda, aku pun melihat semut hitam berbaris
di atas bibirmu; manakah aku melupakannya?
dalam pikiranku saat itu, semut aja berbaris
mungkin tutur katamu begitu manis


Setelah menghabiskan sebatang 234  Super Premium, aku kembali mendekati Yessika Susastra dan membaca bait 2 yang dirampungkannya. Aku senyam-senyum sendiri saat Yessika mulai mengusili kumisku. Ah, rupanya ada juga kumis yang manis yua? Hehehehehehe  lalu aku menulis sebuah larik untuk bait 3, disusul baris Yessika, dan kami berdua sepakat mengunci puisi bersubjudul 24 Karat itu dengan bait 3 seperti ini:

kau dan aku lalu duduk di teras
memandang luas rumpun bambu dan semak perdu
seluas itulah dada cinta kita

Lalu Yessika kembali menulis subjusul puisi [NIKAH ILALANG] yang diikuti baris bertama dan kedua, lalu aku melanjutkan baris yang ditulisnya jadinya seperti ini:

[NIKAH ILALANG]

ilalang tak pernah melupa sembahyang
tumbuh di taman depan rumah
tengadah di belakang dan samping rumah amanah
telah kuterima akad nikahmu saat langit warna beludru
dengan mas kawin senyum ketulusan
dan janji seia sekata
selembar sajadah
dan desah pasrah

Untuk subjudul [NIKAH ILALANG] kami sepakat untuk mengisinya satu bait saja. Kenapa? Bait (bahasa Arab) bermakna rumah. Kami sepakat membangun rumah (ibadah) dengan mahligai perkaewinan dalam satu bait saja. Ya, kami sepakat membubuhkan nuansa dan muatan religius di dalam sartu bait ini. Religiusitas itulah yang kami sepakati untuk mewadahi puisi yang dimaksudkan sebagai kado ulang tahun perkawinan perak (25 tahun, pada 10 Juni tahun ini). 

Lalu, sebagai penanda bahwa kami telah berjalan ke barat, memasuki senja dan menetapkan arah kiblat, pada subjudul terakhir dengan jemari seakan menari Yessika menuliskan judul [BERJALAN KE BARAT] dan aku sebagai lelaki mengindentifikasi diri sebagai matahari dan menulis satu bait setelah judul yang ditulis oleh Yessika, sehingga terbacalah puisi itu seperti ini:

[SAAT BERJALAN KE BARAT]

kini matahari telah condong ke barat
semburat bianglala mewarna
di dada kita, dinda

ini telaga kita, kanda
enyahkan jelaga

ya

2012

Kata “ya” di larik terakhir selain sebentuk ungkapan persetujuan, alih-alih aku ingin mengatakan bahwa kami berdua di ruang sholat sedang gandrung membaca Yassin, tetapi untuk kepentingan puitik hanya saya tulis “ya” saja. Begitulah riwayat kelahairan puisi hasil perkawinan sepanjang siang hingga sore. Intinya, saat itu kami berdua kembali pacaran di beranda rumah cinta, sembari mengenang genangan kenangan masa lalu. Kolaborasi ini sengaja kami pilih untuk merayakan perasan perasaan cinta yang setiap saat menetes dan meruah di dalam rumah. Ya, Yessika adalah sosok yang penuh cinta.  Tak hanya mencintai suami dan anak-anak, orang tua dan saudara, termasuk tetangga, melainkan cintanya meruah pada sejumlah ayam yang dipelihara, kepada kucing-kucing yang dibuang orang lain lalu dirawaat di rumah dengan kasih sayang, dan cintanya pun dibadi pada ikan-ikan di kolam depan rumah atau ikan-ikan di aquarium, tak pula lupa selalu menyirami Gelombang Cinta—sebuah bunga berdaun lebar dan bergelombang.



(2) Pengakuan Yessika Susastra dan interelasi dengannya:
RUMAH KATA KITA

Entah ada dorongan dari mana, tiba-tinba aku diusik oleh frasa "rumah kata kita" sembari membayangkan pesta aperkaeinan perak 10 Juni ini. Ya, saya lega bisa memasuki "rumah kata kita" bersama mas DAM. Mungkin, ya, mungkin saat mas DAM terlibat kepanitiaan di pesta pernikahan tetangga, saat menyaksikan mempelai bersanding, lalu mengirim sms berisi puisi ini:

PUISI KEDUA, SAAT BERSAMA, MEMBISIKKAN CINTA

/1/ PUISI KEDUA

ma, ini puisi kedua yang kulayangkan
lewat pesan singkat, saat jemariku menari ekstase
sendiri. aku kangen dengan sahabat dan tak ingin curhat
lewat puisi, ma

ma, maafkan, di pesta pernikahan
aku banyak bersua kawan lama, sahabat dan mantan paacar
salaam dan senyumnya masih hangat, ma
tetapi percayalah pesta akan berakhir
dan aku kembali masuk ke dalam pelukanmu
seorang, ma

maafkan aku, di hadapanmu
aku ialah pintu terbuka; begitu sederhana
dan tak ada yang bersama rahasia

/2/ SAAT BERSAMA

andai kau lihat sepasang mempelai yang bersanding itu, ma
ingatanku kembali terkenang manis senyummu
memandangku penuh dan tersipu saat menatap
kumis tipis

benar ma, mempelai itu serupa rama dan shinta
cerah bergairah, tersenyum merekah

ma, aku merasakan kembali muda
memandang kembang mayang dan janur kuning
masih kuingat bunga tebu di bibirmu saat itu
saat kaupandangi kumis tipis di terang cahaya

/3/ MEMBISIKKAN CINTA

ma, pejaamkan mata
lalu kenanglah masa-masa lalu
saat kau dan aku bersanding: merinding
dan menggigil oleh cinta!

ditulis 03/06/2012
+semoga berkenan dan memberikan kehangatan bagi persababatan sejati.

Membaca puisi mas DAM yang dikirimkan melalui sms ini, saya lalu terusik oleh kelompok kata "rumah kata kita", dan saya ingin menuliskannya sebagai puisi, entah seperti apa hasilnya, yang penting saya berusaha jujur membahasakan rasa:

RUMAH KATA KITA

rumah kata kita, kanda
seperti rumah chairil anwar: unggun sajak
segalanya tampak dari luar; tak ada yang bernama rahasia
sebab semua ada yang menjaga, ya Dia yang Maha Melihat
aih, aku kembali menggeliat, teringat saat kaubisikkan kata puisi
di sidodadi, yang di halamannya tumbuh pohon belimbing
bersegi lima

ya, rukun iman ada lima, kanda
pancasila juga lima; maka ingin kuungkap pancasetia
1. hanya setia pada geliat ayat-ayat
2. bersetia pada kekuatan kata cinta
3. menunggu degup rindu bersama
4. saling asah-asih-asuh menuju muara
5. saling silang untuk melengkapi perkara

rumah kata kita, kanda
ada 25 pintu dan jendela terbuka
seperti meajid bertiang dan berpilar
angin leluasa menyapa dana menyapu
pandang tak jemu

2012
+ jika puisi ini memuisi dan memuisi, kanda, bukukanlah dalam kitab smarandana, tentu bersama puisi kisah-kasih kita lainnya.


(3) PUISI DEDIKASI DARI SAHABAT BPSM:
Windu Mandela:


BUAH JAMBU
dam dan yessika

di depan rumah ada pohon jambu yang ditanam
dua puluh lima tahun silam. disiram setiap pagi
dari sumur belakang rumah. buahnya disimpan
dalam kulkas biar segar.

ketika duduk di beranda rumah cinta, ada
gadis manis dengan senyum kecil. membawa
sekeranjang buah jambu dan berkata. "bolehkah
kubawa sebagai bekal di jakarta".

Juni
2012
Yessika Susastra:
SAJAK MENGHITUNG HARI, MEWARNAI HATI

di dinding dada, sebuah tasbih putih tak letih
menguntai nama, menguar harum bunga
yang rekah di luas sajadah; kuciumi wajah
mengulum berkaah terindah, sebab demi masa
masih tujuh hari lagi peristiwa itu terulang:
kau dan aku saling pandang, berikrar dan bersetia

sebagai merpati putih, sekali berjanji
sehidup semati menyematkan amanat dan wasiat
leluhur: hormatilah pasanganmu seperti kauhormati
nafas dan lafaz bagi kekasih

tujuh hari lagi, memasuki hari minggu
ada rindu rasa candu, menggebu selalu
hingga ingin kusandarkan kesadaran dan kesetiaan
hanya pada geriap tangan-tangan senyap
menyergap sepotong harap: kesetiaan
pada janji bersama menuju muara dan menara
menunjuk bintang di langit dan berdekap
dalam bayang bulan keemasan

04/06/2012
+ sebiji puisi kutanam di laman di pelaminan pesta perak

Ning Menning:

Seandainya bisa
: pak Dimas Arika Mihardja & ibu Yessika Susastra

seandainya bisa
kurangkai kata indah
dalam puisi penuh makna
kan kupersembahkan setulus jiwa

seandainya bisa
kulukis figura cinta
kan kuhadiahkan
berbungkus kado kesungguhan

seandainya bisa
kukirim bunga
kan kutitip salam santun
dengan senyum anggun
di tiap kelopaknya

seandainya bisa
ya, seandainya bisa
namun aku tak bisa
hanya do'a senantiasa tercurah
semoga bahagia
dan langgeng selamanya
selalu dalam ridho-Nya
sampai terpisah raga
amiin!

Cirebon, 04 Juni 2012

Saya terharu dan terinspirasi dari kemesraan pak DAM dan bu Yessika menuju hari pernikahan perak, semoga berkenan. Terimakasih.



Imron Tohari:
BAHASA JIWA

: Dimas Arika Mihardja & Yesika Susastra
(25 tahun seperjalanan dalam cinta kasih)


Telah sering kudengar tentang bahasa jiwa
Tapi sesering itu pula tak juga terpahami
Sampai aku mengenalmu
Lalu menjadikanmu kekasih

Jika, aku;engkau
Tlah memutuskan saling membaca hati
Meniadakan ketidaktulusan
Maka,tidaklah penting suatu pertanyaan tentang
Berapa lama engkau denganku seperjalanan

Ohai engkau yang telah menjadi kekasih
Kian mendekatlah kemari, ke aku
Biar kuterbangkan segala ketakutan,walau
Mesti kuberikan jantungku dari dalam dada
Untukmu. Ikhlas terbakar hingga kering pasir
Di dalam tungku asmara

(lifespirit, 6 Mei 2012)

Ning Bening Hati:

DI TANGGA KE DUAPULUH LIMA


Tanpa keluh
Tanpa gaduh

Tautkan jemari
Ayunkan kaki

Tanpa keluh
Tanpa gaduh

Kita seiring
Senyum dan kerling

Dalam ada
Dalam tiada

Kita
selamanya
ada

4 Juni 2012

Dimas Arika Mihardja:


SURAT SENJA KEPADA JINGGA
:Yessika Susastra

senja menulis surat jingga di dada
serupa kaligrafi terbingkai kayu jati
"lihatlah, pelangi di matamu dinda
mengerjap serupa sayap-sayap doa
di keluasan angkasa rinduku"

telah bersanding sejoli, merpati tua
yang senantiasa mengeja ufuk teduh
di beranda rumah cinta, mewarnai cakrawala
pandang tak jemu, serupa senyum ranum
mengabadikan rona nafas doa

senja dan bianglala di luas cakrawala
menulis puisi di getar nadi, mengalir
dan mencair ke hulu sungai: "basuh
dan basahi telapak tangan doa, adinda
biar bersemi dan berseri ruang di luas dada!"

04/06/2012
"jelang menjemput dan menyebut nama bunga di permadani cinta"


(4) PUISI DARI SEBERANG PULAU

SEPASANG ANGSA PUTIH
Rosmiaty Shaari (Melaka)
(Selamat Ulang Tahun Perkahwinan buat sepasang Angsa Putih dari Jambi - Prof DAM dan Yessika)

sepasang angsa putih
mengilir senja di Jambi 
mereka bercerita tentang cinta -

kekasih,
masihkah kau ingat  mahar kita?
selangit lilak kita bercanda
serentak kita juga bersuara
wajahmu tunduk menyergap silu tak kutahu
namuh desah nafasmu menderu - aku kekasihmu
dan kita pun tersipu malu

kakanda,
larik mahar asmara itu masih ada,
di dalam satu degup dua jiwa
ia  tetap mekar menebar bau cinta
meski gerak musim menggamit gelombang
tak merubah asal kita

jika begitu, kekasihku
paut sayapku untuk beberapa waktu lagi
seusai, kita pasti bertemu di kolam rindu
sungguh, aku menunggumu di situ

aduhai, kakanda
kuturut kata meski gelombang bercanda gila
atau desir menolak bahtera kita
kembang sayapku menadah kembang cintamu
ayuh, kita mengilir lagi di kolam seroja....


1o/06/2011
melaka

DIORAMA SEPASANAG MERPATI PUTIH
Djazlam Zainal (Melaka)

apa yang sedang diingini
oleh sepasang merpati
di tengah onggokan awan
di tengah padang datar

putih benang tipis
mengikat betis
merpati enggan lepas
biar deru angin deras

bening mata memancar
kelintar anak-anak berkejaran
seakan tari siang ini
berlarutan ke dada malam


8 rejab 1432/ 10 juni 2011


BALADA CINTA DIMAS DAN YESSIKA
Moh. Ghufron Cholid (Madura)

Yessika, duapuluh empat tahun
Kau permata menakjubkan
Karunia Tuhan
Yang tak bisa kutafsirkan

Dimas, terimakasih
Sebab kau masih sajadah
Menuntun ke jalan Allah
Hingga riuh tak lagi singgah

Yessika, duapuluh empat tahun
Kau menjadi sangkarku
Hingga burung kesetianku
Tak singgah di dahan-dahan nafsu

Dimas, menjadi sangkarmu
Adalah bagian restu
Yang harus kumaknao tiap waktu
Biar hatiku tak menjelma batu

Yessika, duapuluh empat tahun
Kita selaksa emas duaempat karat
Kita semakin dekat 
Dalam tiap doa yang memikat

Dimas, inilah hidup
Yang saling memberi sempurna
Takkan bermakna
Jika kita tak saling berbagi karya

Yessika, kata-katamu selaksa cahaya
Terangi gulita
Kamar masa
Yang kini mulai hampa

Dimas, aku hanya hamba
Kau pun hamba
Tak ada yang sempurna
Selain pencipta

Yessika, tak sia-sia
Gugur daun usia
Dari ranting hidup kita
Sebab selalu memberi kita makna fana

Dimas, tak ada cipta Allah yang sia-sia
Semua memiliki tanda dan makna
Hanya saja
Kita yang dangkal ilmunya

Yessika, duapuluh empat tahun
Kita tanda kebersamaan
Semoga tak terpisahkan
Ruh cinta kita, walau tanah menjadi kamar sementara perjumpaan kita

Dimas, dari tanah akan kembali ke tanah
Begitu pun kita
Pemeran yang dipercaya
Mementaskan segala drama, namun tak pernah tahu maut mendekap mesra

Yessika, duapuluh empat tahun
Adalah pengembaraan cinta yang cukup dewasa
Membangun megah cinta
Bersama usaha dan doa bergelora 

Dimas, demikian risalah cinta
Yang menjadi karunia
Yang harus kita tafsirkan secara dewasa
Dalam tiap debar peristiwa

Yessika, duapuluh empat tahun
Akhirnya segala sejarah tercatatat anggun
Dalam balada cinta
Anugerah Tuhan yang penuh pesona

Kamar Hati, 10 Juni 2011

KADO PERCINTAAN
Djazlam Zainal (Melaka)

seperti gembala
aku melihat percintaan
dua ekor angsa putih
sedang berkasih

melilit mereka
antara kedua lehernya
seperti tidak mau melepaskan
waktu asingnya

dua ekor angsa putih
saling berdakapan
hingga puisiku ini
kuyup kebasahan


9 rejab 1432/ 11 juni 2011

Muhammad Rois Rinaldi (Banten):

SEPASANG ANGSA PERAK

sepasang angsa perak saling tatap
sesekali saling mentertawakan kerut wajah
lantas seloka dan gurindam dilanggamkan
meruangi wangi beranda rumah cinta
iringi tari ritmis seirama zikir di bibir jiwa

sepasang angsa perak di julang angkasa
antara arakarakan awan hitam juga gelegar
petir yang menyambar lembarlembar kabar
menyisir misteri jelaga kata dan bahasa

sayapsayapnya terus melaju lurus
menembus pintupintu cuaca dan hari
sungguh telah merangkak senja
di lengkung jingga bermotif bunga
denyar kedebar langit begitu mencinta
segala rasa ruah di dada, detak detik : doa

Cilegon, 4/6/2012

Dedet Setiadi

LUKISAN  YANG TAK ABSTRAK

Sepasang  insan bergerak menaiki tangga langit
berjubah perak

Tanpa awan.  Semata gapura bintang
dan arak-arakan kirab
ke sana – ke dalam ruang yang tak retak

Angin di sekitar mengirim duyunan kibar
nikah akbar

Sepasang  pengantin batin, bersanding di  pelaminan waktu
dihias bokor jiwa --  cinta yang bukan sekadar kata

Magelang,  Juni 2012

Kupu-Kupu Putih
(Perkawinan Perak Dimas Arika Mihardja & Yessika Susastra)

By:SSH

di reranting pelangi senja
sepasang kupu-kupu bersayap perak

saling mengepakkan sayapnya
tak lelah tak kalah
meski langit sering gundah
dicecapnya sari nectar bebungaan
sebagai sari pati hidupnya
tak mau sedikitpun terpisah
di tangkai tangkai melambai
rindu membelai
di ranum embun

kupu-kupu putih
bercahaya dan mencahaya
di taman mayapada
terbuka bagi siapa saja mengecap Nektar Nya
rumah madu batinnya
dalam peram madu
memberi kekuatan

teduh dan penuh alir alur singgah
dari taman bunga warna rupa
tak lelah memberi madu manis kata
mengental di rasa puisi
bahasa kita

Kupu-kupu bersayap perak
teruslah mengepak
sayap sayap di langit penuh
Cahaya puisiMu

Sragen, 4 Juni 2012

Erde Adha (Bengkulu):

SENJA DI BATANGHARI
: Dimas Arika Mihardja dan Yessika Susastra

sunset terlihat begitu indah saat senja di tanggo rajo
pedagang asongan serupa pinutur nan menghibur
dan kusapa sepasang kekasih: hendak ke mana?
"menghampir tiang seribu," gegas mereka
membalas sapa
nun, entah pipit entah gereja berbaris di pelangi segaris ...

batanghari tak lelah menampung ruah sampah
deras arusnya sajak perjalanan, tempat luka berdenyut
dan racun hanyut sampai ujung tanjung jabung
berubah wujud merupa aksara nan sujud

senja di tanggo rajo, kunang-kunang memendam malu
kilau sepasang kekasih menerang remang
batanghari bersaksi: hulu ditentang, hanyut jua ke hilir
bersama sajak-sajak rindu

Bengkulu, 5 Juni 2012

** didedikasikan untuk kawin perak DAM & Yess (sepasang kekasih puisi dari Jambi)

Chuppy Afiani (Bekasi):

HARMONI
: pak Dimas & Bunda Yessika Susastra


lagu ini masih sama
bernada indah
mengalunkan rindu biru
mengalirkan kasih,selalu membuat haru
melodi mengayun serasi

meski hujan badai laut hantam perahu janji
pasang surut rasa ditiup cuaca
selalu tepis
karena langkah semangat DAM dalam genggam hangat Yessika

dan lagu tetap mengalun
diantara dua jiwa
dalam harmoni bahagia
ini lagu cinta DAM dan Yessika
di dua puluh lima tahun bersama

(mengucapkan selamat ulang tahun perkawinan perak,semoga abadi didalam rasa dan kebersamaan)

Soka merah,5062012

Kanjeng Senopati (Yogyakarta):
TIGARATUS REKAH MELATI
: abah Dimas dan Bunda Yessika


Kelopak melati tak henti menari. Gemulai kaki menjejak demi sajak-sajak bijak, geliatkan aroma hasrat ternikmat pada setapak padang benderang, dengan bermandi kilau cahaya sebagai penyucisuci hati dari tuba-tuba masa yang jalang meracuni


Tigaratus kuncup melati merekah. Mengalung setiap detak hendak, merupa pijar saat terlantar di belantara tak nalar. Membuah renung di relung paling palung agar setapak cinta semakin bersinar

Kuntum melati terus mengerling dengan mata paling bening, menjamu sepasang hati bersanding dengan sesaji wangi

Lirih Hati, 052012

Luluk Andrayani (Hong Kong):

DOA MAWAR UNTUK DUAPULUH LIMA MEDALI PERAK
: DAM & YESS


DOA MAWAR
terpekur mengeja rekah di pelataran
langit. basuh debu sisa kelana dunia
mimpi malam tadi. debar lesap di gemuruh
dada bertabrakan. berpacuan.
bergandengan mencari asih. timang
kepekaan asah dalam binar saling
asuh

embun dan ilalang subuh ini berpelukanO ucap
salam. gelar sajadah berjamaah aminkan
panjatan doa dari sudut-sudut taman. sejuk
merasuk. wangi berpendaran bersama kilau
mentari

UNTUK DUAPULUH LIMA
ya, tiba-tiba lembaran senja menggulung
hari. catat perjalanan sepasang musafir
kata di tualang ini.

duapuluh lima tahun
duapuluh lima warna
duapuluh lima palang
duapuluh lima ngarai
duapuluh lima pal
duapuluh lima pergantian musim

dada bidang seluas padang, tak jemu
merajut benang kata usang
dari debu
angin
air
api
logam
menjadi kain kehidupan. menyatu
menyelimuti dingin. demi persembahan
cinta sejati MEDALI PERAK

LA, 05 Juni 2012
¤ semoga berbahagia selalu Abah Dimas dan Bunda Yess, hanya sebuah bingkisan kecil dariku. :) salam sayang dan santunku

Muhammad Rinaldy (Palembang):
KERTAS
: untuk Abah Dimas & Bunda Yessika


kertas itu merah
berlintasan dengan waktu
memuji serta berhalwat sedentang,
'tuk esok. tiap tengadah cumbui impi
lahirkan pukau paling riuh; 'jemput tangkai yang kian luruh'

ternyata hujan masih saja hingar
padahal jutaan pukau telah dititipkan pada yang berhak
selalu saja ada jerit miris
di langkah-langkah hangat, walau tatap melambai sejuk

di hadap altar lalu
jiwa-jiwa itu saling mengadu rindu
yang terharmoni dua pilar ranum jelita
ini 'tualang rekah dan terang
di kebersamaan, menghitung langkah. dan sampai di beranda rumah paling rindang, muasal alkisah tercumbui lagi tercukupi

(hehe, selamat ulang tahun perkawinan perak. semoga abadi di rasa dan kebersamaan, berselalu. Amin!)

Palembang, 05062012

Salju Pink (Jakarta):

Mitsaqan-galidza
(Dimas Arika Mihardja-Yessika Susastra)

oleh janji, seluruh hidup termahar.
hingga terikhlasnya lahir bathin.
kita
.
lebih dari makna
perak.

south-batavia, Juni 2012

Yusti Aprilina (Bengkulu):

SEPASANG PUISI


Sepasang puisi terbang tinggi
dari babad tanah jawa
melenggang, dan hinggap di ranting tanah jambi
meretas asa, menikmati rona senja
bersama: DAM dan YESSIKA
menjalin rajutan indah dalam aksara penuh makna
abadi dalam DAMai
dan salam YESSika

Selamat Ulang tahun perak pak Dimas dan Ibu Yessika.

AM, 5 Juni 2012

Moh Syahrier Daeng (Bintan):

LAKI-LAKI SENJA
: Dimas Arika Mihardja- Yessika Susastra


Seorang laki-laki senja menghitung dua puluh lima waktu
sejak disumpah menjadi ayah dan menjadi abah di sebuah
rumah puisi yang dibangunnya dari perasan keringat dinginnya

Di sampingya, seorang wanita sore menyulam kesetiaan
serentang tali kasih sayang, mengukir bunga-bunga cinta
yang tidak goyang oleh prahara dan puisi-puisi dijadikannya
pelengkap doa', sebelum hajat ditutup kelam menenggelam

Aminkan harap mereka agar terpatri di luh mahfus
dan menjadi saksi tentang telaga yang mata airnya
mengaliri lembah-lembah, sungai-sungai juga selokan
dan ke segenap pena yang tintanya tidak terputus
Maka kata-kata adalah awal dan penutup hikayat. Amin

Nimas Ayu (Depok):
LUKISAN TAKDIR
:Abah Dimas Arika-yessika susastra

putaran demi putaran bumi tertempuh sudah.tinta menggores kisah indah,penuh harmoni dalam memori.suka nestapa entah dihitungan keberapa dengan kasih tulus dirobek waktu.namun semua ada dimasa siasia,saatnya hidup harus berjalan,dan romansa cinta mengukir indah didinding hati damai tercipta,menghapus lara panjang menghimpit lelah.beriring mesra melaju dengan bahtera dilautan putih.janji saling mendekap dua hati,untuk saling setia mematri dikokoh jiwa.lengkung pelangi bahkan hitam putih menyatu nuansa warna penuh makna

NA,2012

doaku menyertaimu abah dan bunda,mohon maaf kalau terlambat.
Bintan, 2012


Azie Nasrullah (Bandung):

ABAH RENDAH HATI TINGGI BUDI
: Abah Dimas Arika Mihardja dan Bunda Yessika Susastra


dengan kata-kata kita basah lidah

dengan rasa-rasa kita kaya anugerah
dalam dekapmu anak ini merasa betah
hangat pelukmu dirasa semua yang mencintamu

pernah kau marah
lalu padam seketika
sering kau bercanda
hingga bahak bercampur
di hati gelisah nan gundah

cintamu sungguh lebih dari luar biasa
tertanam tajam ranum berbuah
tertancap mantap kupetik tiap saat

tahun-tahun memadu kasih
menyulam cerita berbenang kisah
banyak jarum sudah patah
hangat hasilnya kujadikan jubah

kupanen pula padat biji padi
semakin rendah semakin berisi
kenyang kumakan isi ilmumu
tak dapat kupanjat tinggi budimu

Bandung, 05 Juni 2012

Eni Meinar Gito (Bengkulu):


Kuhantarkan Kembang Kopi Memutih di Pesta Perakmu
Kepada Dimas Arika Mihardja dan Yessika Susastra


Sedikit tersipu senyum dikulum,ini bukan melati mewangi.
Sehamparan kembang kopi memutih.
Sehasrat rasa,
ingin kuhantarkan padamu berdua.
Apakah rasa yang sama saat embun belum sempurna sirna,
saat pucuk-pucuk kopi menghijau bauran putih merimbun bermekaran?

Ini juga putih.
Ini juga wangi.
Ini bukan melati.

Ini rasaku malu-malu kuhantarkan sedari pagi.
Ini mauku setelah kembang berbuah ranum.
Temani kita bercerita di beranda senja 'sruput' harumnya.
Secangkir dua cangkirpun tak apa,
selagi rasa merangkai kata,apakah kau suka?

Lembah Rafflesia Bengkulu.
06.06.2012

Zup Dompas Bin Usman (Riau):
Makrifat Abjad
: dimas arika mihardja & yessika susastra


seperempat abad memahat
abjad abjad menggeliat
bersejingkat dan melesat
mengarung lorong meminang kesunyian
bermastautin di batin jadi pengantin
beranak pinak di semak samun benak

senja kuncupkan sayapnya
sekejap lagi gelap menyergap
aku bergumam engkau mendesis
nyanyian dam dam ritmis yes yes
menapak anak tangga makrifat
anak anak kita kuat dan sehat
lihatlah mereka serupa kita
namun bukan milik kita
jiwa terbelah bersatu sudah
jangan salah jangan marah
jika kata telah habis menangislah
karena air mata bukanlah dosa

ohai! mempelai yang tersadai di belai
pengantin yang bermastautin di batin
sejuta mata tersandera di penjara terbuka
terkurung gumam nyanyiam dam dam
terkepung desis ritmis tarian yes yes
yang meminjam kesunyian
yang merenjis tempias
hujan tengah malam
menggeliat hayat
makrifat abjad

Niadoda, 06 Juni 2012
Zup Dompas bin Usman

Alfiah Mahfuz (Jakarta):

SATU BAIT CINTA
: Bapak Dimas Arika Mihardja dan Ibu Yessika Susastra


sebuah amanah tiba. ketika
rerumput padang
yang bertelut sembahyang
itu adalah ilalang
pulang. berteman sajadah
terdengar ikrar setia.
dari subuh hingga petang
datang. qasidah memijah desah,
"dadamu ada padaku.
dua raga satu rindu. dalam nama Dia"

______________________________6.6.12

*terinspirasi dari puisi Nikah Ilalang.
delapan puluh tujuh suku kata dalam satu bait ini sebagai persembahan kecil pernikahan perak. barakah selamanya untuk Pak DAM dan Ibu Yessika. aamiin.

TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI

(Sebuah Renungan Puisi Dimas Arika Mihardja)
Oleh Hamberan Syahbana

     Pada saat  saya membaca Antologi Puisi Karya Penyair Nusantara SENJA DI BATAS KATA Beranda Rumah Cinta 52th Dimas Arika Mihardja (DAM) ini, saya bukan saja menikmati puisi 66 Penyair Nusantara, tetapi juga secara khusus saya sangat menikmati puisi DAM yang disajikan sebagai sajian penutup. Yang lebih mengejutkan saya ternyata puisi-puisi tsb dibuat secara khusus dengan kemasan Three in one. Saya sebut three in one karena dalam setiap satu judul puisi terdiri atas 3 subjudul. Misalnya puisi yang berjudul PUISI UNTUK KEKASIH SEBAGAI NARASI KELAHIRAN. Puisi ini walaupun hanya satu judul tetapi batang-tubuhnya terdiri dari 3 subbagian di bawah 3 subjudul. Subjudul yang pertama adalah PUISI UNTUK KEKASIH, yang ke dua SEBAGAI NARASI dan subjudul yang ke tiga adalah KELAHIRAN
     Sajian Penutup buku antologi ini bersisi 18 buah puisi DAM yang semua judulnya ditulis dengan huruf kapital. Ke 18 puisi tsb. adalah

1. PUISI UNTUK KEKASIH SEBAGAI NARASI KELAHIRAN
2. USAI PESTA ENGKAU MASIH BERDOA DI KEGELAPAN
3. 24 KARAT NIKAH ILALANG SAAT BERJALAN KE BARAT
4. TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI,
5. PERSIAPAN ISRA’ MI’RAJ DI BAITURRAHIM
6. MENDULANG EMAS DI BATANGHARI MEMANEN CEMAS,
7. TRILOGI SAJAK DAM TENTANG BERANGKAT
8. DANCING SOULS FOR YESSIKA
9. PUISI YANG MINTA DITULIS-LISANKAN SENDIRI SAAT SEPI MENYILETI
10. MORATORIUM DI MURAL KOTA BIARLAH BUNGA MEKAR
11. MENUNGGU KELAHIRAN LUKISAN YANG KE SEKIAN
12. DI TEPI MUSI SAAT MUSIM DURIAN MEMANDANG REMBULAN
13. DARI KOTA KE KATA MELUKIS WARNA DI TAMAN
14. NYANYIAN PENGEMBARA DI STASIUN KOTA JELANG SENJA
15. MENANTI KERETA DI STASIUN PENGHABISAN
16. SEPASANG ANGSA DI BAWAH POHON ANGSANA SAAT MENGURAI CINTA,
17. DI PERON TANPA NEON MERINDU BAYANGMU
18. SAJAK YANG MENGAJAK MELACAK JEJAK KEMBARA,

      Ketika saya menikmati sambil menelisik dan mencermati secara saksama ke 18 puisi tsb. saya pun tertegun. Ada sebuah puisi yang menarik dan begitu menyentuh jiwa saya, menggugah sekaligus membuat semakin dalam rasa hormat saya terhadap Mas DAM. Puisi tsb. adalah puisi ke 4 yang berjudul TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI [TKMPDM] Mengapa? Karena aku beranggapan bahwa puisi ini adalah sifat dan sikap kerendah-hatian DAM dalam menyalurkan bakat dan minat penulis-penulis puisi plus membinanya dengan semboyan 3A-nya bagi penulis-penulis yang menapaki dunia perpuisian melalui dunia maya. Dalam hal ini sosok yang biasa saya sebut Mas DAM ini, dia menempatkan dirinya hanya sebagai Tukang Kebun di Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM) yang dirintisnya sejak seperempat abad yang lalu. Kini BPSM telah berkembang menjadi sebuah taman bunga, kebun bunga yang indah semerbak mewangi. Yang di dalamnya tumbuh subur berbagai jenis bunga yang bernama puisi. Yang mengingatkanku pada lirik-lirik dalam sebuah lagu:

Lihat kebunku, penuh dengan bunga
Ada yang merah dan dan yang putih
Setiap hari kusiram senua
Mawar melati semuanya indah

      Kini di BPSM ini bukan hanya penyair yang ada di tanah air tetapi juga yang ada nun jauh di luar sana. Dari penyair pemula yang baru menetas sampai penyair yang sudah jadi. Dari yang baru belajar sampai yang sudah tingkatan Empu. Dari yang empiris otodidak sampai yang akademis. Kini di sini tergabung para penyair, apresiator, motivator, penikmat, penyuka, pembimbing, penyelia, essais dan kritikus dalam dunia perpuisian. Anggota BPSM ini benar-benar lintas usia, lintas profesi dan bahkan lintas negara. 
      Ibarat sebuah kebun di BPSM ini sejatinya dialah Sang Pemilik kebun. Di BPSM ini dialah pemiliknya, dialah direktur utama. Tetapi dengan segala ketulusan dan kerendahan hatinya di sini ia hanya menyatakan dirinya sebagai ’Tukang kebun yang menanam puisi di atas mimpi’.
***

TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI

[TUKANG KEBUN]

haruskah mengenal bahasa cangkul, saat bulan sabit
memotong kumis dalam bayang remang
menanam biji matahari dalam asuhan angin
dan musim pancaroba

mencangkul hari
merawat serangan serangga
dan gulma

tukang kebun itu pun ngungun
sebab hasil panen penuh ulat bulu
cantik di kulit, busuk di daging

[MENANAM PUISI]

di bayang matahari pagi
biji-biji puisi ditanam, ditancapkan
berbaris dalam untaian bait
menjeritkan lapar

sebiji puisi tumbuh
diasuh angin utara

selarik baris duka
menyapa-nyapa

[DI ATAS MIMPI]

tukang kebun ngungun sendiri
biji puisi yang ditanam semalaman
layu menjelang subuh

sebiji mimpi tersesat
di arus deras

saat bangun
engkau masih ngungun
memandang lahan begitu kerontang

2012
***

      Puisi TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI ini tampil dengan tipografi konvensional yang dikemas dalam tatanan three in one. Sebuah puisi yang batang tubuhnya terdiri 3 subgagasan atau subjudul yang seluruh lariknya berjumlah 26. Subjudul yang pertama adalah TUKANG KEBUN terdiri dari 10 larik dalam bait 1 bait 2 dan bait 3. Subjudul yang ke dua adalah MENANAM PUISI terdiri dari 8 larik dalam bait 4, bait 5 dan bait 6. Dan subjudul yang ke tiga adalah DI ATAS MIMPI yang terdiri dari 8 larik dalam bait 7, bait 8 dan bait 9.
      Sebagai penyuka dan penikmat puisi yang bukan kritikus, tentu aku sangat menikmati puisi ini. Ibarat seporsi makanan, maka puisi ini adalah sajian yang enak dipandang mata, sedap aromanya, gurih renyahnya dan lezat rasanya. Ini kurasakan ketika kubaca, baik dalam silent reading, maupun reading aloud, lebih-lebih lagi dalam poetry reading, semuanya menyentuh dan menggugah hatiku. Mengapa? Karena dimasak dengan menggunakan bahan dan bumbu pilihan yang lengkap dan proporsional.
      Sebagai penikmat puisi, aku merasakan betapa nikmatnya puisi ini. Seporsi puisi yang lezat. Lezat judulnya, lezat diksi dan ungkapan-ungkapannya, lezat bunyi, rima dan ritmenya, lezat imaji dan majasnya, dan lezat pula tema, amanat dan pesan moralnya. Memang awalnya sebagai penyuka rima dalam sebuah puisi, aku merasa kecewa. Karena sepintas lalu dalam puisi ini tidak ada rima. Sepintas lalu Mas DAM ini tidak peduli dan tidak terpengaruh dengan kekuatan rima. Tentu bukan rima yang kaku dan dipaksakan, tetapi rima yang tepat saji dan proposional. Bukankah kehadiran rima dalam sebuah puisi juga bisa membentuk dan meningkatkan irama musikalitas sebuah puisi? Bukankah irama dan musikalitas dalam puisi itu turut memperkaya dan memperindah sebuah puisi? Rima dan ritme yang dikemas dengan manis tepat saji dan proporsional, tentu akan menambah daya tarik bagi pembaca, plus sama dahsyat dan menariknya dengan kekuatan imaji dan majas. Perlu diingat bahwa daya tarik itu adalah gerbang utama untuk membaca dan menghayati serta  mencermati sebuah puisi.
      Setelah kubaca berulang kali lalu kucermati dan kuhayati sedalam-dalamnya, ternyata bagiku rima itu nampak jelas dalam puisi ini. Meski tidak semuanya di akhir larik. Kalau tidak di akhir larik [rima akhir] tentulah adanya di awal larik [rima awal] atau bisa juga berada di tengah-tengah larik [rima tengah]. Bahkan ada yang tersembunyi di dalam untaian sebuah larik dalam bentuk asonansi dan aliterasi. Memang begitulah adanya, belakangan ini sebagian penulis jarang menggunakan rima akhir dalam sebuah puisi, tetapi secara cerdas menggunakannya bervariasi. Demikian pula dengan puisi TKMPDM karya DAM ini. Untuk itu marilah kita cermati penggalan puisi ini dalam subjudul yang pertama berikut ini. 

TUKANG KEBUN

haruskah mengenal bahasa cangkul, saat bulan sabit
memotong kumis dalam bayang remang
menanam biji matahari dalam asuhan angin
dan musim pancaroba

mencangkul hari
merawat serangan serangga
dan gulma

tukang kebun itu pun ngungun
sebab hasil panen penuh ulat bulu
cantik di kulit, busuk di daging

     Membaca judulnya tentu kita mengira penggalan puisi ini akan membicarakan tentang tukang kebun dan hal-hal yang berkaitan dengan kebun itu sendiri. Ternyata tidak. Sebab dalam kehidupan nyata sehari-hari, pasti kita tidak akan menemui tukang kebun yang menanam biji matahari dalam asuhan angin. Demikian pula dengan tukang kebun yang mencangkul hari, Mana ada tukang kebun yang seperti itu. Berarti tukang kebun di sini bukan  arti yang sebenarnya, tetapi tukang kebun dalam arti kiasan.
      Karena bait 1, 2 dan bait 3 ini dibawah subjudul TUKANG KEBUN maka diksi dan ungkapan yang disajikan pun berkaitan dengan kebun. Hal ini ditandai dengan ungkapan cangkul, menanam biji, mencangkul, serangga dan gulma, hasil panen dan klausa hasil panen penuh ulat bulu. Bagi pembaca yang menyukai diksi dan ungkapan yang puitis, bait-bait ini juga diperindah dan diperkuat dengan ungkapan-ungkapan yang puitis. Hal ini ditandai dengan ungkapan-ungkapan mengenal bahasa cangkul saat bulan sabit, bayang remang, menanam biji matahari dalam asuhan angin, mencangkul hati, cantik di kulit, busuk di daging.
      Penggalan puisi ini diawali dengan majas retoris, yaitu salah satu majas penegasan yang menegaskan sesuatu dengan menggunakan ungkapan pertanyaan yang jawabannya sudah diketahui. Hal ini ditandai dengan untaian larik pembuka haruskah mengenal bahasa cangkul, sasat bulan sabit. Klausa mengenal bahasa cangkul mengingatkan kita pada klausa mencangkul tanah yang maksudnya menggemburkan tanah sebelum bibit ditanam. Frasa bahasa cangkul di sini maksudnya adalah pengetahuan pola dan tehnik mencangkul untuk menggemburkan tanah garapan. Dalam konteks puisi ini klausa mengenal bahasa cangkul maknanya adalah mengetahui pola dan tekhnik dalam upaya menggalakkan apresiasi dan sosialisasi puisi di masayarakat. Sedangkan frasa bulan sabit mengingatkan kita pada masa atau waktu di awal-awal bulan. Dalam konteks puisi ini maknanya adalah agar tindakan menggalakkan apresiasi dan sosialisasi puisi itu dilaksanakan secara dini, yakni melalui dunia pendidikan.
      Berikutnya ada ungkapan memotong kumis dalam bayang remang. Klausa memotong kumis secara denotatif maknanya adalah menata wajah menjadi lebih bersih dan tanpan, menarik dan berwibawa. Secara konotatif maknanya adalah mengupayakan ketertarikan masyarakat terhadap dunia puisi. Sedangkan dalam bayang remang maknanya adalah masa abu-abu, di mana kehadiran puisi di tengah masyarakat tidak begitu nampak terlihat. Dengan kata lain keberadaan puisi di tengah-tengah masyarakat pembaca antara ada dan tiada, terhalang oleh bacaan lain yang lebih menarik perhatian bagi pembaca. Sungguh ironis sekali.
      Berikutnya ada majas hiperbola salah satu majas penegasan yang untuk menegaskan sesuatu menggunakan ungkapan yang berlebihan. Hal ini ditandai dengan ungkapan menanam biji matahari dalam asuhan angin. Matahari adalah sumber cahaya dan sumber energi. Ungkapan menanam biji matahari maknanya adalah menyiapkan generasi penulis puisi yang mampu menciptakan puisi yang memuisi, puisi yang mampu memberi cahaya dalam kegelapan dan puisi yang mampu menjadi inspirasi dalam kehidupan. Sedangkan ungkapan dalam asuhan angin maknanya adalah dalam keadaan terombang ambing terbawa angin pancaroba yang turut menghambat upaya mempersiapkan generasi penyair yang memuisi. Inilah yang membuat si tukang kebun menjadi ngungun dalam upaya mempersiapkan, membina dan merawat bibit penyair secara bersama-sama di BPSM dengan moto saling asah asuh dan asih.

      Di bait 2 ada ungkapan mencangkul hari, merawat serangga dan gulma. Klausa mencangkul hari maknanya adalah memanfaatkan waktu secara optimal. Di bengkel ini, atau di kebun ini tak ada waktu yang terbuang percuma. Dengan jumlah anggotanya yang membeludak, maka tiap detik selalu bermunculan tulisan tulisan berupa puisi, apresiasi, essei, kritik dan diskusi sastra minggguan. Berikutnya ada ungkapan merawat serangan serangga dan gulma. Dalam konteks ini maksudnya adalah merawat dan menjaga tanaman bunga-bunga dari hama yang menyerangnya. Frasa serangan serangga maknanya adalah gangguan yang datang dari luar, sedangkan gulma adalah gangguan yang datang dari dalam sesama anggota sendiri. Keduanya perlu dihandle sesuai dengan cara dan porsinya masing-masing. Bisa diajak bicara baik-baik secara persuasif, diberi saran dan anjuran yang mencerahkan. Yang tidak bisa diajak bicara tentu akan hilang sendirinya mencari lapak lain yang lebih sesuai dengan  visi dan misinya masing-masing dalam upaya mematangkan kekaryaannya. Secara khusus makna konotatif dari mencangkul hari, merawat serangan serangga dan gulma adalah tak ada waktu yang terbuang percuma, setiap waktu selalu siap melayani mengayomi dan membina dan sharing berbagi pengalaman sesama anggita bengkel. Kalau bukan oleh si tukang kebun sendiri tentulah ada anggota lainnya yang memfungsikan diri sebagai pengganti si tukang kebun.
      Sepintas lalu pada penggalan puisi ini nampaknya memang tidak terdapat rima. Tetapi setelah dicermati dengan saksama ternyata di bait 1 ada rima awal yang ada di awal larik. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi [me] di awal larik pada kata memotong di larik 2 yang bersajak dengan kata menanam di larik 3.  Di sini juga ada rima tengah yang ditanda dengan mengulangan kata [dalam] secara utuh pada klausa dalam bayang remang yang bersajak dengan klausa dalam asuhan angin. Di sini juga ada pengulangan bunyi sengau [ng] dalam larik 2 pada kata bayang yang bersajak dengan kata remang.
       Di bait 2 juga ada rima awal yang ditandai dengan pengulangan bunyi [me] pada kata
mencangkul di larik 4 yang bersajak dengan kata merawat di larik 5. Di sini juga ada pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata merawat, serangan dan kata serangga. Berikutnya di sini juga ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada kata serangga di larik 5 dan kata gulma di larik 7. 
      Penggalan pusi ini ditutup dengan ungkapan tukang kebun itu pun ngungun sebab hasil panen penuh ulat bulu cantik di kulit, busuk di daging. Di larik 8 ada rima asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] pada kata tukang yang bersajak dengan kata kebun, itu, pun dan kata ngungun. Pengulangan-pengulangan tsb selain membentuk rima juga membentuk ritme atau irama yang terasa nikmatnya ketika puisi ini dibaca.
      Frasa hasil panen penuh ulat bulu cantik di kulit busuk di daging di sini adalah produksi puisi yang matang di luar kosong di dalam, indah dalam permainan kata tapi gelap bahkan busuk dalam tema dan amanat pesan moralnya. Bagi puisi yang belum matang tentu masih memerlukan revisi dan penyuntingan. Bukan berarti puisi yang sudah ada ini tidak ada yang baik. Memang banyak yang sudah baik, bahkan ada juga yang layak tayang. Tetapi banyak juga yang masih memerlukan perawatan, bahkan ada yang harus dimatikan dan dimusnahkan atau dibakar. Puisi-puisi yang memerlukan perawatan akan dirawat dengan baik dengan cara penyiraman, pemupukan dan pemeliharaan melalui revisi dan reparasi. Sedangkan puisi yang cantik di kulit dan busuk di daging, adalah puisi yang indah pada tatanan kata tetapi tema dan pesan moralnya bisa menyesatkan bagi yang tak mampu menghadapinya. Karena di samping berisi ungkapan yang memancing birahi, juga bisa menginspirasi dan menyeret kepada hal-hal negatif yang tak diinginkan. 
      Sepintas lalu penggalan puisi ini memperlihatkan sikap pesimistis, karena penyajian ungkapan yang ditata dalam imaji auditif dan imaji visual memperlihatkan kegalauan dan kecemasan. Membaca penggalan puisi kita seakan benar-benar mendengar dan melihat tukang kebun itu mengeluh dengan tampang yang galau. Padahal tidak demikian adanya. Ungkapan yang ada di sini boleh dikata sebagai kegalauan hati tukang kebun dalam menyikapi keberadaan kebun yang dirawatnya. Justru kegalauan inilah yang menjadi motivasi penggugah dan pemicu serta pembakar semangat untuk lebih bersemangat lagi. Dan tentunya masih tetap dalam koridor asah-asuh-asih.    

***
MENANAM PUISI

di bayang matahari pagi
biji-biji puisi ditanam, ditancapkan
berbaris dalam untaian bait
menjeritkan lapar

sebiji puisi tumbuh
diasuh angin utara

selarik baris duka
menyapa-nyapa

      Penggalan puisi di bawah subjudul MENANAM PUISI ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang berkaitan dengan tanam-menanam. Hal ini ditandai dengan kata biji-biji, ditanam, ditancapkan, sebiji dan kata tumbuh. Larik-larik puisi ini juga diperindah dan diperkuat dengan diksi dan ungkapan puitis. Hal ini ditandai dengan di bayang matahari pagi, biji-biji puisi, ditanam ditancap berbaris dalam untaian bait, sebiji puisi tumbuh, diasuh angin utara dan ungkapan selarik baris duka menyapa-nyapa.
      Marilah kita nikmati keindahan larik-lariknya yang begitu puitis ini. Di bayang matahari pagi, biji-biji puisi ditanam, ditancapkan berbaris dalam untaian bait, menjeritkan lapar. Frasa matahari pagi adalah sebagai sumber energi. Dalam konteks penciptaan puisi ungkapan ini maknanya adalah energi atau motivasi awal dalam mencipta sebuah puisi. Sedangkan ungkapan biji-biji puisi maknanya adalah diksi dan ungkapan puitis yang digunakan sebagai bahan dasar membuat sebuah puisi. Berikutnya klausa ditanam, ditancapkan dalam untaian bait maksudnya ditata menjadi larik-larik puisi, yang kemudian ditata lagi menjadi satu dalam beberapa bait. Sedangkan ungkapan menjeritkan lapar maknanya adalah puisi yang diciptakan itu mengungkapkan perasaan cemas dan khawatir yang dikiaskan dengan kata lapar.
      Bait-bait ini sepenuhnya dibangun dengan ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal dan konsonan di semua larik-lariknya. Diawali dengan ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi [di] pada kata di bayang, ditanam, ditancapkaan dan pada kata diasuh. Marilah kita baca dan kita rasakan betapa indahnya irama yang mengalun pada bunyi vokal [i] yang terdengar berulang-ulang pada kata di bayang, matahari pagi, biji-biji puisi, ditanam, ditancapkan, berbaris dalam untaian bait, menjeritkan, sebiji puisi tumbuh, diasuh angin, dan frasa selarik baris.
      Puisi ini diperindah dengan pengulangan bunyi konsonan [b] ada kata biji-biji di awal larik 12 yang bersajak dengan kata berbaris-baris di awal larik 13 yang membentuk rima awal. Di sini  juga ada pengulangan bunyi konsonan [d] pada kata ditanam dan kata ditancapkan sama-sama di larik 12. Pengulangan bunyi konsonan [d] membentuk rima di awal baris. Berikutnya, seandainya bait 5 disatukan dengan bait 6 kita dapat melihat rima awal terbentuk dari pengulangan bunyi [se] pada kata sebiji di larik 15 yang bersajak dengan kata selarik di larik 17. Kemudian di larik 16, 17 dan 18 ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada kata utara, duka dan pada kata menyapa-nyapa.
      Bait-bait ini juga diperindah dengan majas personifikasi yang ditandai dengan ungkapan untaian bait menjeritkan lapar, sebiji puisi tumbuh diasuh angin utara, selarik  baris duka menyapa-menyapa. Bukan itu saja, ternyata bait ini juga menyajikan imaji visual yang begitu puitis. Tentu saja ini bukan visual secara kesat mata, tetapi nampak begitu puitis secara surealis. Di mana pembaca seakan benar-benar melihat seseorang sedang menanam biji-biji puisi. Ia menancapkannya berbaris-baris dalam untaian bait, sembari menjerit merintih menahan rasa lapar. Dan puisi itupun tumbuh diasuh angin utara. Telah tercipta selarik puisi duka menyapa-nyapa.
***

 DI ATAS MIMPI

tukang kebun ngungun sendiri
biji puisi yang ditanam semalaman
layu menjelang subuh

sebiji mimpi tersesat
di arus deras

saat bangun
engkau masih ngungun
memandang lahan begitu kerontang

      Penggalan puisi ini berada di bawah subjudul DI ATAS MIMPI. Kata mimpi mengingatkan kita pada kata mimpi buruk dan kata impian. Mimpi buruk maksudnya adalah sesuatu yang mencemaskan, mengkhawatirkan bahkan menakutkan. Sedangkan kata impian maksudnya adalah semacam obsesi yaitu sesuatu yang diinginkan. Setelah kita cermati apa yang diungkapkan di sini lebih mendekati kepada mimpi buruk yang mencemaskan dan mengkhawatirkan. Hal ini dapat dilihat ada ungkapan yang digunakan, yaitu tukang kebun ngungun sendiri, biji puisi yang ditanam semalaman layu menjelang subuh, sebiji tersesat di arus deras, saat bangun engkau masih ngungun memandang lahan begitu kerontang.
      Bait-bait puisi di atas dibangun dengan rima yang ada dalam satu baris. Di larik 19 ada rima yang terbentuk dari pengulangan bunyi [un] dan bunyi [ngun] pada kata kebun yang bersajak dengan kata ngungun. Di larik 20 ada rima yang terbentuk dari pengungalan bunyi konsonan [m] pada kata ditanam dan semalaman. Berikutnya di larik 22 ada rima yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [e] dan konsonan [s] pada kata sebiji yang bersajak dengan kata tersesat. Berikutnya dsi larik 23 ada rima yang terbentuk dari pengulangan bunyi konsonan [s] dan [r] pada kata arus yang bersajak dengan kata deras. Selanjutnya ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi [ngun] pada kata bangun di larik 24 yang bersajak dengan kata ngungun di larik 25. Dan terakhir di larik 26 ada rima yang terbentuk dari pengulangan bunyi sengau [ang] pada kata memandang yang bersajak dengan kata kerontang.
      Sama dengan bait-bait terdahulu, di sini juga ada imaji visual dalam bentuk surealis. Terbayang seakan jelas terlihat di pelupuk mata, seorang tukang kebun ngungun sendiri melihat biji puisi yang ditanam semalaman ternyata layu menjelang subuh. Bahkan ada sebiji puisi yang larut di arus deras. Jelas dalam pangan surealis kita melihat pada saat tukang kebun itu bangun dari tidurnya, ia masih ngungun memandang lahan yang begitu kerontang.
      Ungkapan biji puisi yang ditanam semalaman, layu menjelang subuh maknanya adalah puisi yang telah diciptakan berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan itu, ternyata gagal sebelum dipublikasikan. Tidak ada media yang mau memuat puisi itu. Dan yang telah selesai menjadi draft buku antologi, ternyata tak ada penerbit yang mau menerbitkannya. Atau mungkin juga ketika draft antologi itu diterbitkaan secara mandiri,   ketika dipublikasikan tidak mendapat aresiasi dari masyarakat. Dengan kata lain tidak mampu menarik minat, tidak mampu menggugah pembaca. Karena mungkin karena tak ada dukungan dan tak ada apresiasi dari masyarakat luas, selain dari sesama komunitas penulis dan segelintir penyuka dan pemerhati puisi.
      Berikutnya ada ungkapan sebiji mimpi tersesat di arus deras maknanya adalah satu dua di antaranya ada yang terjerumus ke dalam puisi yang tak diinginkan, yakni secara sengaja atau tak sengaja, ternyata mengikuti jiwa dan keinginan kemunitas arus deras. Ungkapan  komunitas arus deras di sini maksudnya adalah para penggemar dan penyuka fornografi, pornoaksi dan lain-lain sejenisnya.
      Akhirnya puisi ini ditutup dengan ungkapan saat bangun, engkau masih ngungun memandang lahan begitu kerontang. Ungkapan lahan begitu kerontang mengingatkan kita pada sebidang tanah garapan yang kering kerontang, di mana berbagai jenis tanaman tak bisa tumbuh di sana. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan lahan begitu kerontang adalah apresiasi masyarakat terhadap puisi yang begitu menyedihkan. Dengan kata lain tingkat apresiasi masyarakat terhadap puisi sangatlah rendah. Maka puisi yang sudah tercipta pada umumnya tak akan mendapat tempat di hati masyarakat, kecuali di hati sesama penyairt dan segelintir penyuka dan pemerhati puisi.

***

      Puisi three in one Dimas Arika Mihardja ini berjudul TUKANG KEBUN MENANAM PUISI DI ATAS MIMPI. Puisi ini mengungkapkan tentang kegalauan, kecemasan dan kekhawatiran seorang tukang kebun atas apa yang telah terjadi di kebun puisinya. Karena hasil panen dari kebun puisi yang dipelihara dan dirawatnya ternyata tidak memuaskan. Tukang kebun itu pun ngungun sebab hasil panennya penuh ulat bulu. Cantik di kulit, busuk di daging. Biji puisi yang ditanamnya semalaman itu, ternyata telah layu saat menjelang subuh. Rupanya semua itu adalah mimpi buruk yang tersesat di arus deras. Saat bangun, tukang kebun itu masih ngungun memandang lahan yang begitu kerontang.
     Pada tataran mikro, tukang kebun di sini adalah pemilik BPSM itu sendiri. Sedangkan pada tataran makro tukang kebun itu bisa siapa saja, yang tengah bergulat menanam puisi di lahan apresiasi yang masih kerontang. Yaitu para penyair yang sedang berjuang menulis puisi yang memuisi, penyair yang menciptakan puisi yang mampu memberi cahaya dalam kegelapan dan penyair yang menciptakan puisi yang mampu menginspirasi dalam kehidupan di lahan apresiasi yang masih gersang klering kerontang. Ia adalah para penulis puisi yang masih termangu di tengah apresiasi masyarakat yang masih rendah.
      Semuanya itu adalah mimpi buruk dalam dunia perpusian. Pertanyaannya adalah: Apakah kita harus menyerah kepada keadaan? Jawabannya tentu adalah ”tidak!”. Kita boleh menerima kenyataan itu, tetapi tidak boleh menyerah. Di balik ungkapan yang tersurat ada keinginan yang tersirat. Di dalam puisi ini tersirat sebuah tekad untuk tetap berjuang, dalam keadaan bagaimanapun kita tetap menulis. Kita tetap berjuang melalui jalur puisi. Itulah amanat dan pesan moral yang tersirat dalam puisi ini.

Banjarmasin, Awal Juni 2012