Kajitow El-kayeni
Ancang-ancang
Di dalam filsafat, yakni dalam proses dialektika, sebuah sintesis
muncul ketika ada dua tesis yang berkontradiksi atau berasimilasi. Yang
berkontradiksi biasanya disebut anti-tesis, ia menyangkal, menolak,
berlawanan pada porosnya. Tetapi arti sintesis secara luas merupakan
perpaduan beberapa hal menjadi kesatuan yang selaras. Kata sintesis itu
sendiri berasal dari bahasa Yunani, syn = tambah dan thesis
= posisi. Sebuah integrasi dari beberapa elemen yang menghasilkan
bentuk baru. Dalam hal ini, sintesis yang saya maksud bukan terdiri dari
bertemunya tesis dan antitesis, tapi juga terkandung pemahaman
bertemunya tesis dengan tesis lain yang memang sudah selaras sehingga
keduanya saling melengkapi.
Tidak ada yang benar-benar baru dalam pemikiran. Jika pun ada,
kebaruan itu tidak dalam bentuk mutlak. Seseorang harus mengambil
pertimbangan pemikiran orang lain untuk mengeluarkan pemikirannya. Di
jaman kuno, jaman di mana informasi sangat sulit didapat, mungkin sekali
ada pemikiran yang benar-benar tersendiri. Seseorang menggali sendiri
berdasarkan temuan-temuan yang didapatinya dalam kehidupan. Respon itu
terwujud langsung berkat pemikirannya sendiri. Tetapi saat disiplin ilmu
bercabang sedemikian rupa seperti sekarang ini, sulit sekali untuk
memisahkan pemikiran dalam suatu cabang dari keterkaitan cabang lain.
Sulit sekali memunculkan pemikiran tanpa ada kaitan dengan pemikiran
orang lain. Respon-respon yang ada adalah hubungan kausal dari
pemikiran-pemikiran orang lain. Bukan sebagai sesuatu yang meloncat
begitu saja dari kekosongan atau menemu begitu saja seperti barang yang
tergeletak.
Respon itu pula yang hendak saya munculkan dalam artikel ini. Membaca
semiotika adalah membaca premis-premis yang telah digulirkan oleh
pemikir-pemikir terdahulu. Mulai dari Ferdinand de Sausure yang sezaman
dengan Charles Sanders Peirce, kemudian berlanjut sampai era Roland
Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion, yang
berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan
pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda,
seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda
(Zoest, 1993:1). Michael Riffattere juga mewarnai semiotika dengan
premis-premis yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Dalam hal ini
tesis yang diangkatnya lebih khusus menyoal bahasa yang digunakan dalam
karya sastra. Mengingat sastra memiliki sistem tersendiri dalam
mewujudkan komunikasi. Bahasa menjadi alat dan dibelokkan untuk
mendapatkan pengertian tertentu. Seperti yang telah dijelaskan oleh
Riffattere soal Ketidaklangsungan Ekspresi, ada tiga poin penting yang
membentuk hal itu, yakni:
1. Penggantian Arti (displacing of meaning)
Unsur atau sebab yang menghasilkan ketidak-langsungan ekspresi adalah
penggantian arti. Karena makna primer (denotatif) telah rusak, makna
skunder (konotatif) menggantikan tempatnya. Di sini, dalam premis
Reffattere, makna itu berganti secara untuh vis-a-vis, bukan
berdiri bersama, bukan eksis bersama. Jadi makna awal menurutnya tidak
ada lagi karena telah berganti. Hal ini disebabkan karena metafora dan
metonimia, terkandung juga di dalamnya penggunaan majas lain seperti
personifikasi, sinekdoke, alegori.
2. Penyimpangan atau Perusakan Arti (distorting of meaning)
Dalam pemahaman Riffattere, makna konotasi yang terwujud dalam puisi
adalah hasil dari perusakan arti. Dalam hal ini,makna awal (denotatif)
dirusak untuk menghadirkan pemaknaan baru. Secara definitif makna baru
itu tidak terbentuk secara absolut, dalam artian harus berarti demikian.
Maka bisa jadi, makna yang dihasilkan oleh kerja interpretasi itu
memiliki banyak bentuk. Dan Riffattere memandangnya sebagai perusakan
atau penyimpangan. Meskipun begitu dia tidak menyebut secara definitif
percabangan makna yang dihasilkan. Dia hanya menunjuk ada penyimpangan
di sana, makna awal rusak dan menghasilkan makna baru. Menurut
Riffattere ini dikarenakan tiga hal: ambiguitas, kontradiksi dan
nonsense.
3. Penciptaan Arti (creating of meaning)
Ketidaklangsungan ekspresi juga terbentuk sebab penciptaan arti. Ini
menunjukkan adanya kerja interpretasi, karena makna itu tercipta, bukan
muncul dengan sendirinya. Dalam pemahaman saya, Riffattere memandang
makna skunder dalam puisi sesuai olah subyektifitas pembaca. Makna itu
tidak muncul begitu saja karena kepentingan kalimat, bukan karena
keabsolutan makna yang ada dengan sendirinya. Ia ada karena ia tercipta.
Yang dikatakannya bersebab oleh enjambemen, homologue dan tipografi.
Ketiga unsur pembentuk ketidaklangsungan ekspresi yang digulirkan
oleh Riffattere bukan dalam artian bagian-bagian yang berdiri sendiri,
ia dalam pengertian umum. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang
dipisahkan secara numerik berdasarkan sifat-sifat yang muncul. Seperti
yang disebutkannya, penggantian arti karena disebabkan oleh metafora,
perusakan arti disebabkan oleh ambiguitas, penciptaan arti disebabkan
oleh enjambemen dan tipografi. Dengan kata lain, ketidaklangsungan
ekspresi dalam pemahaman Riffattere adalah terciptanya makna baru
sesudah dirusak dan diganti. Ketidaklangsungan ekspresi merupakan kerja
reaksi berantai. Dalam premis itu tidak sedang menyorot hasil makna yang
tercipta, tapi proses terjadinya makna tersebut secara global.
Riffattere juga tidak membaginya dalam bagian-bagian sesuai aplikasi
logisnya. Dia berasumsi bahwa makna yang dihasilkan dalam puisi
membutuhkan peran interpretator, sistem itu tidak bisa terwujud dengan
sendirinya, secara an sich sistem itu tidak terbentuk sesuai kepentingan kalimat.
Saya tidak menyangkal pengartian ini, saya juga tidak menyangkal
adanya ketidaklangsungan ekpresi bersebab tiga hal ini, karena hasil
akhirnya juga sama. Sedikit kontradiksi dalam pemahaman saya adalah
mengenai proses terciptanya makna tadi. Dalam pemahaman saya, makna yang
tercipta dalam puisi adalah karena kepentingan kalimat (begitu juga
dengan sebagian konotasi formal). Makna itu ada secara an sich
di sana. Peran interpretator hanya dalam kaitan pembukaan selubung.
Makna itu pada dasarnya sudah jadi dan mengeram dalam tubuh penanda.
Kerja interpretasi di sana tinggal mengupasanya dalam sistem-sistem
pemaknaan (telah saya singgung sebagian proses itu dalam sistem
pemaknaan dalam puisi).
Untuk melengkapi tesis tersebut, ada beberapa tesis lain yang hendak
saya gulirkan berdasarkan kecenderungan makna konotasi dalam puisi.
Bukan sebagai antitesis mutlak, karena hasil akhirnya sama, yakni
membelokkan makna dalam puisi. Perbedaan yang ada hanya mengenai proses
terciptanya ketidaklangsungan ekspresi. Premis-premis itu di antaranya:
penggabungan arti (consolidating of meaning), percabangan arti (affiliating of meaning), konkretisasi arti (concreting of meaning), keberlangsungan arti yang terus-menerus (enduring of meaning: continually).
1. Penggabungan Arti (consolidating of meaning)
Makna konotasi tidak lantas berdiri sendiri seperti tesis Roland
Barthes, justru sebenarnya dia mengambil sebagaian sifat dari makna
denotatif. Penggabungan makna ini karena kalimat pembentuk makna
konotatif dalam puisi tetap memiliki jejak-jejak denotatifnya. Dalam
komunikasi formal, makna konotatif memang muncul sebagai “mitos” ala
Barthes. Ia memiliki arti tersendiri sesuai pengalaman sosial-kultural
penuturnya. Konotatif formal terbentuk karena pengiasan yang
berorientasi pada sejarah kebahasaan. Ketika seseorang mengatakan
“kambing hitam” dengan tujuan konotatif, maka kata majemuk kambing hitam
itu dikaitkan dengan sejarah kebahasaannya sewaktu pertama kali
digunakan. Ini studi filologi yang jauh dan melelahkan. Tapi cara itu
secara tepat untuk menyelidiki fungsi-sungsi petanda yang muncul
darinya. Meskipun sebenarnya ada cara lain, penggalian makna konotatif
formal bisa dikembalikan pada sebagian sifat denotatifnya. Hal itu
mempertimbangkan makna denotatif sebagai makna primer. Sebelum manusia
mengenal makna skunder, secara logis ia menggunakan makna primer untuk
berkomunikasi. Kemudian untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti
memperhalus ungkapan, memperoleh gaya tutur berbeda, keperluan retorika,
maka muncullah makna skunder. Ketika manusia mengenal sastra, makna
skunder inilah yang dipakai untuk mencapai nilai rasa yang lebih tinggi
dibanding makna primer.
Kambing hitam, sesuai kesepakatan konotatif adalah sebuah definisi
bagi orang yang dijadikan tersangka atas sebuah kasus meski mungkin
sebenarnya ia tidak bersalah. Dilihat dari segi aplikasi logisnya,
kambing hitam cenderung lebih jarang dibanding kambing putih, hal ini
memungkinkannya untuk berdiri sebagai the other, liyan,
ia adalah sosok khusus yang dibicarakan. Karena kata majemuk, ia juga
mengandung pengertian sebagai konotasi dari warna hitam yang sering
dijadikan oposit dari simbolisasi warna putih. Lalu kenapa kambing?
Bagaimana jika diganti dengan kuda, yakni kuda hitam? Atau ayam hitam?
Bisa juga kucing hitam? Sampel-sampel seperti itu akan semakin membuat
kajian meruang lebar tanpa hasil spesifik ketika dibandingkan. Tetapi
berdasarkan aplikasi logis, sifat-sifat yang dipakai dalam makna
konotatif mengambil sifat denotatifnya. Jika kambing hitam, maka
pemaknaan dihasilkan oleh sebagian sifat kambing dan warna hitamnya,
bukan sebagai perwujudan konkret, karena ia hanya sebagian sifat. Begitu
juga dengan “kuda hitam,” atau “ayam hitam,” juga “kucing hitam,” hal
ini terkait juga dengan sifat-sifat denotatif sebagai dasar pijakan.
Untuk menghasilkan pengertian secara lengkap tentu ia merujuk pada studi
filologis dan kesepakatan sosial-kulturalnya, dan itu adalah langkah
yang sangat jauh serta melelahkan. Jika ada ribuan sampel dengan ribuan
variasi, maka perujukan ini memakan waktu entah beberapa generasi untuk
sekedar mengambil bukti petanda di dalamnya dari sejarah kebahasaan. Dan
ini membutuhkan proses serta pengamatan lebih lanjut untuk menghadirkan
bukti-bukti empiris kelak.
Yang ingin saya tekankan dalam penggabungan arti di sini adalah
penggunaan makna konotasi pada puisi cenderung terbentuk karena
kepentingan kalimat. Dilihat dari segi struktur ia memiliki bentuk yang
lebih lebar dibanding konotasi formal. Dalam puisi, makna konotatif
hanya satu bagian dari struktur kiasan. Makna konotatif itu terbentuk
karena penggabungan arti dari sebagian sifat denotatifnya. Ia bukan yang
meloncat dari kekosongan, yang ada dengan sendirinya tanpa muasal. Tapi
makna konotatif tercipta karena pembelokan dari makna denotatifnya.
Bekas-bekas pembelokan itu masih ada meski tidak jelas lagi. Dari
situlah ketidaklangsungan ekspresi dimulai.
Makna konotatif tidak tercipta karena kerja aktif interpretasi
(interpretator), tapi ia merupakan hasil peleburan makna. Jika
dirumuskan, makna itu terbentuk dari: denotatif + denotatif = konotatif.
Susunan terkecil berupa kata (dalam kondisi tertentu hanya huruf bahkan
tanda baca) yang memiliki makna asli melebur dengan kata lain yang
bermakna denotatif. Hasil dari peleburan itu adalah makna konotatif
karena dibelokkan oleh kepentingan kalimat. Makna konotatif tidak
mungkin berdiri sendiri. Maka biasanya dalam konotasi formal (di luar
puisi) makna ini terbentuk lebih dari satu kata, minimal ia adalah kata
majemuk, seperti kambing hitam, panjang tangan, kuda hitam, besar mulut,
lapang dada (berdada lapang). Jika kata atau kalimat konotatif
sama-sama bisa digunakan dalam kalimat lain dalam bentuk denotatif, maka
kata atau kalimat itu murni terbentuk karena kepentingan kalimat saja,
ia bukan konotasi solid. Tapi jika kata atau kalimat itu bisa berdiri
sendiri tanpa ada kepentingan kalimat yang membelokkannnya, maka kata
atau kalimat bermakna konotatif itu memang sebagai konotatif yang solid
meskipun ia tetap membutuhkan kepentingan kalimat untuk membelokkannya.
Artinya, ia bisa berdiri sendiri meski agak janggal. Seperti kata bunga
bangsa, bunga bank, bunga-bunga kata, bunga desa. Misalnya ada kalimat,
(1) “Bunga Bank itu disiram setiap hari sehingga terlihat segar
(maksudnya bunga di taman sebuah bank).” Dibanding kalimat, (2) “Bunga
Bank itu terlalu tinggi sehingga mencekik peminjamnya (bunga sebagai
makna konotatif yang berarti tambahan nilai). Contoh pertama terlihat
janggal karena pengaruh makna konotasi lebih kuat, ia konotasi yang
solid. Meskipun begitu ia tetap menghadirkan pengertian sebagai makna
denotatif sesuai kepentingan kalimat.
Di sinilah gambaran dari penggabungan arti itu berawal. Kata secara
individu memiliki arti harafiahnya, namun ketika kata itu bertemu kata
yang lain, yang membuat kata-kata tersebut berbelok pemaknaannya adalah
karena disebabkan kepentingan ide dalam kalimat. Pembelokan makna di
sini tidak lantas berlepas diri dari makna awalnya (secara harafiah)
tapi ia memiliki bekas-bekas perujukan. Dapat dianalogikan, penggabungan
arti di sini seperti kandungan gula dalam secangkir teh. Kita tidak
bisa mengatakan tidak ada gula di dalamnya, meskipun tidak disebutkan
secangkir gula dalam air teh. Gula itu meresap sehingga tidak perlu
disebutkan lagi sebagai secangkir gula dalam air teh. Ia juga tidak bisa
disangkal jika ada di dalam teh tersebut meski dikatakan secangkir teh.
Begitulah makna konotatif itu terbentuk karena peleburan makna
denotatifnya. Makna denotatif itu terlarut di dalamnya sehingga tidak
terlihat secara konkret. Ia ada di dalamnya dan menjadi titik tolak
pembelokan arti.
2. Percabangan Arti (affiliating of meaning)
Riffattere memang menyebut dalam penyimpangan arti (distorting of meaning)
mengenai ambiguitas yang menghasilkan makna ganda (polyinterpretable).
Tetapi di sana tidak menyebutkan secara terperinci bagimana ambiguitas
itu menghasilkan makna ganda. Topik pembicaraan Riffattere mengarah pada
penyimpangan arti, bukan khusus pada percabangan arti yang saya maksud.
Makna ganda yang dimaksudkan Riffattere adalah hasil penyimpangan dari
makna seharusnya secara definitif. Di sini, percabangan arti adalah
hasil kolektif dari penyimpangan yang dimaksud Riffattere tersebut.
Dalam bentuk lain, makna konotasi dalam puisi memunculkan lebih dari
satu pengertian. Hal ini terjadi ketika subyek yang dikiaskan tidak
dalam bentuk solid. Artinya, makna konotatif yang dihasilkan tidak
benar-benar merujuk pada subyek tersebut. Karena posisi subyek yang
dikiaskan tidak sejajar dengan subyek pengiasnya. Maka kerja kias yang
dihasilkan bercabang pula sesuai subyek yang dikehendaki. Dalam hal ini
pemaknaan secara menyeluruh akan bergantung pada ide pokok atau jalur
yang ditempuh dalam pemaknaan tersebut. Jika dalam puisi ada kalimat
konotatif yang tidak mengarah pada subyek yang jelas, maka di sanalah
percabangan arti itu. Makna dari suatu kalimat terbelah sesuai jalur
yang dikehendaki dalam pemaknaan karena berkaitan dengan subyek-subyek
berbeda.
Ada jenis kata yang secara definitif memang mengandung beberapa
pengertian sekaligus. Kata seperti ini secara alami melahirkan makna
ganda. Misalnya kata “bisa,” dalam satu pengertian ia berarti “mampu,”
dalam pengertian lain ia berarti “racun.” Tetapi ketika dicermati, kata
itu memiliki arti tertentu dilihat dari kepentingan kalimat. Jika kata
bisa dijadikan kata denda, misalnya ular berbisa atau bisa ular, maka ia
bermakna racun yang dimiliki ular itu. Ketika ia dijadikan kata kerja,
misalnya, “Nabila bisa melukis dengan bagus,” maka bisa di sana berarti
mampu atau dapat. Pada dasarnya, kata yang memiliki makna ganda seperti
ini sebenarnya tidak memiliki makna ketika ia berdiri sendiri sebagai
satu kata tanpa kaitan dengan kata lain. Ia kata yang kosong dari
pengertian karena makna ganda tadi meniadakan satu dengan lainnya ketika
tidak ada kepentingan kalimat. Dalam bahasa praktis, definisi harus
diberikan pada kata dengan makna ganda seperti ini, tapi hal itu tidak
logis jika digunakan dalam komunikasi. Artinya, kata dengan makna ganda
tersebut tidak memberikan fungsi komunikasi yang sempurna saat ia
berdiri sendiri.
Dalam puisi, makna ganda tidak terbentuk secara alami sebagaimana
kata “bisa” tadi. Makna ganda itu muncul karena kepentingan-kepentingan
kalimat yang saling tarik-menarik. Kepentingan kalimat ini bisa terjadi
begitu saja karena ambiguitas seperti kata Riffattere, tetapi dalam
bentuk lain, ia muncul karena pengaruh kepentingan dua subyek yang
berbeda.