Rabu, 30 Mei 2012

MENGEMBARAI SKETSA SAJAK DAM: BERCINTA DENGAN TUHAN?

*)  Oleh Puja Sutrisna


     KALAU dunia kesusasteraan Indonesia terkini bisa disepakati sebagai angkatan millennium (Puja Sutrisna, Solo Pos, Menggagas Angkatan Milenium: 22 Februari), maka Dimas Arika Mihardja (selanjutnya disingkat DAM)  adalah salah satu nama yang pantas dipajang sebagai  tokoh pembaharu dalam dunia kesusasteraan Indonesia. Pembaharuan ini, setidaknya, ditandai dengan lahirnya corak karya sastra baru (baca: puisi) yang berhasil meloloskan diri dari para pendahulunya.   

      Tak bisa dipungkiri, bahwa sejak tahun 90-an dunia sastra telah kehilangan jejak ketika muncul isu ‘krisis’ sastra. Isu yang terus menerus diproduksi melalui polemic itu kian terpuruk setelah angkatan ‘terbaru’ kehilangan juru bicara. Akibatnya generasi ‘anak-anak yatim’ ini melihat dirinya sendiri sebagai ‘angkatan yang hilang’ dalam periodisasi kesusasteraan Indonesia. Ironisnya, polemic yang berlangsung tidak terjalin secara kontinuitas yang paralel dialektis tetapi justru cenderung berlangsung secara diskontinuitas yang parsial.

     Fenomena munculnya polemic yang diprakarsai Emha Ainun Nadjib, Ariel Haryanto, dan Arief Budiman yang kemudian menelorkan gagasan ‘angkatan independen’ atau ‘angkatan kontekstual’ adalah bukti nyata akan kegelisahan untuk diakui munculnya sebuah ‘angkatan pembaharu’. Isu-isu semacam ini semakin dipertegas lagi dengan sebuah kenyataan bahwa periode sastra Indonesia setelah imperium Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bahcri mengalami penjenuhan lahir batin.

     Tetapi, sesungguhnya tidakah cukup beralasan jika masyarakat sastra hanya merindukan sesuatu yang menggebu-gebu akan munculnya karya sastra yang sifatnya pembaharu seperti angkatan Pujangga Baru hingga angkatan (zaman) Jepang dengan tokohnya Chairil Anwar sebagai pendobrak nilai-nilai estetika sastra. Atau Rendra sebagai penyair dengan gaya pamfletnya, Taufik Ismail dengan puisi dzikir, Kuntowijoyo dengan estetika kejawen (baca: Suluk Awang Awung), Darmanto Yatman dengan puisi ‘campur bawur’, Sutardji Calzoum Bahcri dengan ‘kredo mantra’, Abdul Hadi dengan puisi ‘sufistik’, atau Yudhistira dengan puisi ‘mbelingnya’.

     Kerinduan akan mitos kejayaan nama besar sastrawan sebelumnya, kecuali menjadikan stagnasi penyair juga hanya akan melahirkan penyair-penyair ‘bebek’ (membebek idolanya), penyair gelap (kembali ke tradisi 40-an), atau penyair ‘protes’ yang tidak tahu menyuarakan apa, untuk siapa, dan punya maksud apa.

     Tragedi waktu yang begitu panjang, yang seharusnya setiap tragedy selalu diikuti dengan munculnya sebuah angkatan baru, sementara sampai hari ini belum ada penyair garda yang melahirkan kreatifitas baru sebagai symbol sebuah angkatan, maka seolah-olah masyarakat sastra sedang ‘mengutuk’ generasinya.  Untuk itu kemunculan DAM yang datang ‘diam-diam’ melalui sebuah komunitas cybernet bernama BPSM (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri) dapat dianggap sebagai tonggak sejarah kemunculan periodesasi kesusasteraan Indonesia terkini, angkatan millennium.

     Tidak boleh tidak, agenda substansi dunia kesusasteraan Indonesia di masa kini dan mendatang bukanlah sekedar menjadi tonggak kelahiran sebuah angkatan, tetapi juga harus terus menerus memacu munculnya penyair-penyair garda dengan segala kreatifitas pembaharuannya, dan dari titik inilah sajak-sajak DAM layak dan pantas diperbincangkan.

* * *

     MENGENALI seorang DAM bisa jadi dengan mudah ditemukan melalui puisi-puisinya yang ‘sederhana’, menggelitik dalam lirik-lirik  yang sesekali membanyol terasa lugu dan lucu, tetapi ternyata ‘tidak lucu’. Dengan diksi-diksi yang sangat mudah ditemukan di pasar-pasar, di rumah-rumah, di kebun-kebun, di tempat-tempat sampah, di tangan seorang DAM ternyata bisa menjadi puisi yang ‘hidup’: menghidupkan hati, jiwa, perasaan, cita, dan cinta pembacanya.  

     Dalam sebuah diskusi  gaya ‘cakrukan’ model Jawa bisa disimpulkan bahwa – bisa jadi – DAM adalah ‘puisi hidup’, setiap kata dan bahasa yang meluncur seperti dengan sendirinya menjadi puisi, dan bahkan ketika DAM tidak ingin berpuisi sekalipun. Keunggulan dan kepiawian seorang DAM untuk mengolah setiap bahan ‘makanan’ puisi menjadi ‘hidangan lezat dan nikmat’ ini rupanya telah dikenali dengan baik oleh seorang DAM, itulah sebabnya produktifitasnya dalam menulis puisi teruji dengan bukti terbitnya ‘kumpulan puisi tunggal’ dan telah berlangsung bertahun-tahun.
 Buku kumpulan puisi yang kali ini diterbitkan adalah dalam kerangka Ulang Tahunnya yang ke-53, sebuah usia yang cukup ‘tua’ bagi seseorang yang telah lama malang melintang dalam dunia perpuisian,  sehingga tulisan berikut adalah pengembaraan sketsa sajak-sajak DAM yang (bisa jadi) mulai ‘mencintai’ Tuhan! Diawali dengan sebuah puisi yang berjudul Sketsa-sketsa,  DAM tampaknya sedang berada dalam keadaan bermenung di atas sajadah ‘mengaku’ bahwa dalam usia yang tak lagi muda, ibaratnya  manusia (baca: aku lirik)  adalah ‘boneka’ di tangan Tuhan, sudah saatnya membaca lambang-lambang semesta milik-Nya.

     Buku Puisi DAM kali ini tidak banyak berbeda dengan Buku-buku yang terbit sebelumya, mengumpulkan puisi-puisi yang terserak setiap hari, terdiri dari berbagai hal yang pernah ‘dipikirkan’ penyairnya, sehingga menyerupai ‘potret’ keseharian, jiwa dan  hatinya. Tanpa dibagi menjadi bab-bab sesuai tema, namun diurutkan berdasarkan peristiwa kelahiran puisi itu sendiri, ini seakan-akan menjadi cacatan perjalanan yang dicatat dengan sebuah puisi.  Dan inilah setidaknya, untuk mengenal seorang DAM tidak perlu dengan salaman tetapi cukup baca buku puisinya, karena DAM memang sedang dan selalu berada di sana.

 Dengan 'karya kreatifnya' yang berupa BPSM, puisi-puisi seorang DAM tidak hanya ingin berbahasa dan berbicara puisi dengan diri sendiri, tetapi selalu mencoba dan mencoba untuk berbagi kepada khalayak dan anggota tentang sebuah puisi lengkap dengan pembaharuan-pembaharuan pengucapan, tema, tipologi, estetis, dan ritmis, guna menemukan 'persyaratan' yang lengkap untuk munculnya sebuah angkatan baru, dan kalau Angkatan Balai Pustaka kita mengenal STA, angkatan 45 kita mengenal Chairil Anwar, angkatan Pujangga Baru kita mengenal Amir Hamsah, Angkatan Milenium kita dikenalkan kepada DAM yang terkenal dengan konsep AAA-nya: asah-asih-asuh tanpa 'misuh-misuh', semoga!

*) Penulis adalah Pekerja Sastra dan Kebudayaan, tinggal di Boyolali

Minggu, 27 Mei 2012

MENGUNJUNGI LUBUK KATA DIMAS ARIKA MIHARDJA


Oleh: Husni Hamisi
Para pecinta kata yang budiman,

Jelang tahun baru cina di Makassar, adalah waktu yang dipenuhi deru angin dan hujan yang turun untuk berkisah tak memilih waktu, hujan itu tiba di bumbungan membawa gigil dan mengundang hangat pelukan, kadangpula hujan itu di mata para penyair dimaknai sebagai sebuah keresahan, atau sebuah derai ratapan pada kenangan untuk sebuah harapan yang ingin di genggam kelak padanya, bertolak dari sinilah saya melihat hujan itu tumpah dalam puisi berjudul BUAH SIMALAKAMA ITU…puisi yang lahir dari jemari jiwa penyair DAM, seorang penggiat yang tetap masih malang melintang di dunia pergolakan sastra Indonesia, penggiat sastra yang telah mapan dan mau berbagi, yang bagi saya termasuk salah satu diantara beberapa yang tinggal sedikit saja yang masih kita temui eksis di maya ini (baca; facebook). DAM selain penelur puisi dan esais yang handal, juga dermawan membagi ilmu dengan jurus yang kita kenal; saling asah-asih-asuh itu.

Semenjak dunia sastra dengan mediumnya itu mengalami metamorphosis dan berkembang tak pernah henti, dari koran dan majalah, dari gelanggang pertunjukan panggung pembacaan puisi, ke louncing buku sastra, ke milis ke blog hingga ke facebook, ke acara-acara pertemuan para penyair di nusantara ini, nama DAM tak asing lagi, ia selalu hadir dan ikut mengalir bersama gejolak keresahan perkembangan sastra nusantara, ia boleh menyebutnya dirinya sebagai DAM atau waduk penampung air namun saya lebih senang menyebutnya sebagai salah satu JEMBATAN dari beberapa saja yang tersisa untuk menjembatani antara penggiat sastra generasi lama dan generasi kini, dari para penggiat sastra yang tak lagi berkecimpung di maya dengan kita di maya ini ( apa anda pernah bayangkan saat menulis sebuah catatan puisi di facebook ini, lalu tiba-tiba muncul kakek Sapardi atau paman Goenawan menulis komentar singkat,’ I like your poem mas bro”. Jika itu terjadi, saya yakin anda pasti pingsan seperti saya). DAM ikut hadir dalam perkembangan sastra yang yang menurut sebagian kritikus sastra berjalan di tempat, tidak ada kebaruan lagi - belum ada kemajuan berarti.

Semenjak eforia Afrizal Malna yang muncul dengan kegilaannya, dengan pola menulis dan gaya ucap seperti mengkokang senapan penembak burung itu. Beberapa waktu terakhir ini, khalayak sastra tanah air sedikit terperangah dengan pola Joko Pinurbo yang membawa rasa geli dalam karya-karya dan daya ungkap puisinya, atau buli buli  Nirwan Dewanto, seorang esais filusuf perfeksionis yang tiba-tiba, yang barangkali menerima kutukan di suatu malam untuk jatuh cinta menulis puisi, ada sebagian orang mengatakan kala membaca Nirwan, perasaan seperti di tabrak bus di jalan tol bebas hambatan. Gelap dan hening kemudian meleleh dalam ketidakmengertian yang begitu dalam, mungkin hanya nirwan dan mereka-mereka yang memahami makna-makna falsafat di balik diksi yang ia pilih tetap sumringah seperti menggandeng pinggul gitar Sahrini, pada sebuah mimpi di malam minggu.


Penyair generasi kini dan Para Dedengkot Dunia sastra Indonesia

Saat membaca puisi DAM, yang dialamatkan kepada penyair generasi kini, kepada kawan-kawan dan juga saya. Menurut hematku, DAM menjelma seperti guru shaolin di filem kungfu. Bagi kita yang menyimpan cita-cita menjadi seorang penyair yang mumpuni  di dunia persilatan sastra nusantara, atau minimal menjadi seorang penulis puisi yang berhasil, atau minimal hasil karya puisi kita dapat awet dan tahan lama dari segala cuaca dan waktu, dapat mampu tetap enak dan lezat  dibaca hingga anak cucu atau tujuh turunan kelak, kita di suruhnya berani mengunyah “buah simalakama” di “meja makan” [baca : peta sastra bangsa ini]. Dengan umpan berbahaya, dengan panggilan mesra itu ‘ wahai generasi kini, wahai “cintaku”.  

Buah simalakama itu menurut DAM adalah dalam pencarian pola ucap kita merangkai puisi, dimintanya kita menikmati karya kakek penyihir bertopi pet Sapardi Djoko Damono dalam maha karyanya dukanya abadi kakek ini, selain jago meramu kenangan massa kanak-kanak, juga piawai dalam pola pemenggalan sebuah larik puisi ke larik puisi berikutnya. Ia juga dikenal  pandai “menginteraksikan” benda-benda, hewan-hewan, dan tumbuhan dengan manusia. Jika kembali membaca puisi aku ingin miliknya, selalu mampu menyihir saya untuk “nembak’ kepada semua gadis manis atau tante – tante penjual sayur yang saya temui. Dalam sebuah essai Sapardi yang saya simpan, kakek penyair legendaris ini juga bisa memuntahkan kejengkelan dengan begitu heroiknya, ia katakan *

“ Harus kita akui bahwa sepandai-pandainya pengarang, bisa saja ia melakukan kekeliruan atau kecerobohan dalam cara penyampaian maupun apa yang disampaikan. Ia mempunyai kewajiban untuk memeriksa ulang dan memperbaikinya, dan penerbit yang baik juga berkewajiban untuk membantunya. Naskah yang masuk ke penerbit dan penyelenggara sayembara penulisan menunjukkan bahwa kecerobohan pengarang sangat tinggi kadarnya. Menurut pengalaman saya, praktis tidak pernah ada naskah peserta sayembara penulisan yang seratus persen siap untuk diterbitkan. Karena tidak adanya usaha untuk menyelenggarakan penyuntingan yang sungguh-sungguh, sebenarnya sebagian besar sastra kita adalah sastra yang ceroboh. Kita pernah membaca kritik F. Rahardi, penyair dan redaktur majalah pertanian Trubus, terhadap kecerobohan A. Tohari mengenai berbagai masalah pertanian dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.10 Novel Umar Kayam yang banyak mengandung kosa kata Jawa, Para Priyayi, agak menderita sebab tampaknya si penyunting tidak begitu menguasai penulisan ejaan bahasa Jawa. Dan amat sangat banyak karya sastra kita yang mencerminkan lemahnya penguasaan bahasa; cerita rekaan menjadi bertele-tele dan menjengkelkan, puisi menjadi gelap.

Sastra tidak bisa dilahirkan dengan tergesa-gesa, pengarang tidak bisa sepenuhnya bekerja sendirian. Secara langsung atau tak langsung memerlukan bantuan bidang dan keahlian lain. Sistem kesusastraan kita tampaknya belum sepenuhnya siap menunjang kelahiran sastra di zaman yang serba cepat ini. Bisnis penerbitan mensyaratkan dipercepatnya proses penerbitan dan dilipatgandakannya judul buku baru. Tujuan penerbitan yang mementingkan faktor laba ini segera tampak bertentangan dengan hakikat sastra yang memang tidak bisa dipaksa tergesa-gesa dan ceroboh. Yang sekarang diperlukan adalah suatu sistem penerbitan sastra yang bisa mempertemukan keduanya. Jadi, kita harus menciptakan sistem kepengarangan dan penerbitan yang bisa bekerja sama dengan baik, tanpa harus merugikan perkembangan kesusastraan “.

* Kita dan Sastra Dunia, SDD, Pada acara Temu Mitra Redaksi Mizan Pustaka yang bertema Menjelajah Sastra Terjemahan, yang berlangsung di Bandung, 8 Februari 2003.

Tujuan merangkai  kata dan menabung makna pada Puisi

Kembali kepada DAM, dengan belajar kepada para sesepuh dunia sastra kita, pada nama-nama yang ia sebutkan bagaikan kepingan-kepingan puzzle atau urutan petunjuk, selain Sapardi yang telah saya ungkit sebahagian kelebihan yang harus kita pelajari diatas, adapula GM, Subagyo, SCB dan dewa puisi idaman saya si plontos Afrizal Malna. membaca mereka kata DAM tentu saja mengundang resiko, katanya /apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian /. Dengan banyak menikmati karya mereka tentunya akan mempengaruhi kita dalam merangkai puisi, mereka akan selalu hadir dalam bayang-bayang saat kita menggoreskan sebuah karya milik kita sendiri, di sebahagian penyair ada saja yang belum mampu keluar dari bayang-bayang penyair-penyair besar ini, atau minimal masih tercium “perkawinan hibrida” dalam pola ucap sebuah proses lahirnya sebuah karya puisi mereka, namun ada juga yang yakin, di antara ribuan penggiat sastra dari waktu ke waktu ada saja yang mampu keluar dan menemukan cara ucap sendiri atau kekhasan masing-masing. Menurut esais terkenal Hudan Hidayat pengasuh JSTH “ penyair-penyair besar ini dahulu saat berproses dan menjadi seperti itu, juga banyak belajar dari karya para penyair besar yang di kenal dunia”, apakah dengan pola membaca, menerjemahkan atau so what gitcu loh. Kata DAM disinilah letak masalahnya. namun meski mengandung “masalah” mereka harus tetap dipelajari. “Sebab mereka adalah nama-nama yang memiliki ciri khas yang begitu unik dan telah terbukti keberhasilannya di belantika sastra kita” lanjut Hudan. Disinilah maksud yang tersimpan pada teka-teki titik dalam judul buah simalakama itu menurut saya.    

Di bait kedua puisi karya DAM, kita disuguhi nama-nama yang kental dalam mengusung tema ketuhanan atau kedekatan kepada Tuhan atau yang kuat dalam menukik pada tema-tema rahasia misteri falsafat ketuhanan, ada Amir Hamzah, ahasveros, Takdir, atau raja Ali, mereka nama-nama ini, dalam maha karya mereka  begitu tebal dengan pesan misteri kehidupan. Mungkin barangkali pada semua penyair kelaknya akan bersentuhan dengan tema universal ini, sebab penyair adalah mereka yang di kirim Tuhan dapat memaknai dan membahasakan makna tersembunyi dari sebuah rahasia kata. Sebahagian penggiat sastra yang telah mumpuni percaya, bahwa puisi yang berhasil adalah puisi yang mengandung sebuah nilai amanat ketuhanan di dalamnya, di balik rahasia kata, kita tak dapat membedakan warna baju lagi, semua agama yang hadir di muka bumi ini pada prinsipnya mengajari rahasia cinta kasih, keanekaragaman itu hakekatnya hanya pada luarnya saja, namun pada rahasianya yang tersembunyi, cinta tetaplah cinta yang datang dari Maha Rahman dan Rahim, semua rahasia kata akan berpulang kepada Maha berkata-kata jua.     

Saat memandang rahasia akhir tujuan itu, kita bakal menjelma “intan berkilauan” kata penyair DAM, karya kita bakal abadi dan di kenang selamanya, sebab memiliki keterikatan yang begitu kuat dengan Maha Abadi, Dia yang Maha Mengetahui pintu-pintu ucap dalam misteri kata-kata akan menganugrahkan kita rahasia gemerlap kata-kataNya yang begitu kaya dan tak terduga itu. Di seluruh jagad raya yang belum semua terungkap, banyak matahari yang belum kita temukan, banyak yang belum terbahasakan di dalam rahasia kata-kataNya, oleh mereka yang mengatakan tak ada lagi yang baru di bawah cahaya matahari adalah mereka yang tak mau menerima bahwa jutaan galaksi rahasia kata-kataNya adalah milyaran matahari baru yang belum di kenal manusia yang pernah hidup hingga sekarang ini, disanalah muara semua penyair yang ibarat pengelana itu,yang tak lelah mencari itu, memulangkan seluruh kerinduannya.

Semoga. 


Topi Jerami, 12/01/2012


Jumat, 25 Mei 2012

SINTESIS ATAS TESIS RIFFATERRE: KETIDAKLANGSUNGAN EKSPRESI

Kajitow El-kayeni

 Ancang-ancang

Di dalam filsafat, yakni dalam proses dialektika, sebuah sintesis muncul ketika ada dua tesis yang berkontradiksi atau berasimilasi. Yang berkontradiksi biasanya disebut anti-tesis, ia menyangkal, menolak, berlawanan pada porosnya. Tetapi arti sintesis secara luas merupakan perpaduan beberapa hal menjadi kesatuan yang selaras. Kata sintesis itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, syn = tambah dan thesis = posisi. Sebuah integrasi dari beberapa elemen yang menghasilkan bentuk baru. Dalam hal ini, sintesis yang saya maksud bukan terdiri dari bertemunya tesis dan antitesis, tapi juga terkandung pemahaman bertemunya tesis dengan tesis lain yang memang sudah selaras sehingga keduanya saling melengkapi.

Tidak ada yang benar-benar baru dalam pemikiran. Jika pun ada, kebaruan itu tidak dalam bentuk mutlak. Seseorang harus mengambil pertimbangan pemikiran orang lain untuk mengeluarkan pemikirannya. Di jaman kuno, jaman di mana informasi sangat sulit didapat, mungkin sekali ada pemikiran yang benar-benar tersendiri. Seseorang menggali sendiri berdasarkan temuan-temuan yang didapatinya dalam kehidupan. Respon itu terwujud langsung berkat pemikirannya sendiri. Tetapi saat disiplin ilmu bercabang sedemikian rupa seperti sekarang ini, sulit sekali untuk memisahkan pemikiran dalam suatu cabang dari keterkaitan cabang lain. Sulit sekali memunculkan pemikiran tanpa ada kaitan dengan pemikiran orang lain. Respon-respon yang ada adalah hubungan kausal dari pemikiran-pemikiran orang lain. Bukan sebagai sesuatu yang meloncat begitu saja dari kekosongan atau menemu begitu saja seperti barang yang tergeletak.

Respon itu pula yang hendak saya munculkan dalam artikel ini. Membaca semiotika adalah membaca premis-premis yang telah digulirkan oleh pemikir-pemikir terdahulu. Mulai dari Ferdinand de Sausure yang sezaman dengan Charles Sanders Peirce, kemudian berlanjut sampai era Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1). Michael Riffattere juga mewarnai semiotika dengan premis-premis yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Dalam hal ini tesis yang diangkatnya lebih khusus menyoal bahasa yang digunakan dalam karya sastra. Mengingat sastra memiliki sistem tersendiri dalam mewujudkan komunikasi. Bahasa menjadi alat dan dibelokkan untuk mendapatkan pengertian tertentu. Seperti yang telah dijelaskan oleh Riffattere soal Ketidaklangsungan Ekspresi, ada tiga poin penting yang membentuk hal itu, yakni:

1. Penggantian Arti (displacing of meaning)

Unsur atau sebab yang menghasilkan ketidak-langsungan ekspresi adalah penggantian arti. Karena makna primer (denotatif) telah rusak, makna skunder (konotatif) menggantikan tempatnya. Di sini, dalam premis Reffattere, makna itu berganti secara untuh vis-a-vis, bukan berdiri bersama, bukan eksis bersama. Jadi makna awal menurutnya tidak ada lagi karena telah berganti. Hal ini disebabkan karena metafora dan metonimia, terkandung juga di dalamnya penggunaan majas lain seperti personifikasi, sinekdoke, alegori.

2. Penyimpangan atau Perusakan Arti (distorting of meaning)

Dalam pemahaman Riffattere, makna konotasi yang terwujud dalam puisi adalah  hasil dari perusakan arti. Dalam hal ini,makna awal (denotatif) dirusak untuk menghadirkan pemaknaan baru. Secara definitif makna baru itu tidak terbentuk secara absolut, dalam artian harus berarti demikian. Maka bisa jadi, makna yang dihasilkan oleh kerja interpretasi itu memiliki banyak bentuk. Dan Riffattere memandangnya sebagai perusakan atau penyimpangan. Meskipun begitu dia tidak menyebut secara definitif percabangan makna yang dihasilkan. Dia hanya menunjuk ada penyimpangan di sana, makna awal rusak dan menghasilkan makna baru. Menurut Riffattere ini dikarenakan tiga hal: ambiguitas, kontradiksi dan nonsense.

3. Penciptaan Arti (creating of meaning)

Ketidaklangsungan ekspresi juga terbentuk sebab penciptaan arti. Ini menunjukkan adanya kerja interpretasi, karena makna itu tercipta, bukan muncul dengan sendirinya. Dalam pemahaman saya, Riffattere memandang makna skunder dalam puisi sesuai olah subyektifitas pembaca. Makna itu tidak muncul begitu saja karena kepentingan kalimat, bukan karena keabsolutan makna yang ada dengan sendirinya. Ia ada karena ia tercipta. Yang dikatakannya bersebab oleh enjambemen, homologue dan tipografi.

Ketiga unsur pembentuk ketidaklangsungan ekspresi yang digulirkan oleh Riffattere bukan dalam artian bagian-bagian yang berdiri sendiri, ia dalam pengertian umum. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang dipisahkan secara numerik berdasarkan sifat-sifat yang muncul. Seperti yang disebutkannya, penggantian arti karena disebabkan oleh metafora, perusakan arti disebabkan oleh ambiguitas, penciptaan arti disebabkan oleh enjambemen dan tipografi. Dengan kata lain, ketidaklangsungan ekspresi dalam pemahaman Riffattere adalah terciptanya makna baru sesudah dirusak dan diganti. Ketidaklangsungan ekspresi merupakan kerja reaksi berantai. Dalam premis itu tidak sedang menyorot hasil makna yang tercipta, tapi proses terjadinya makna tersebut secara global. Riffattere juga tidak membaginya dalam bagian-bagian sesuai aplikasi logisnya. Dia berasumsi bahwa makna yang dihasilkan dalam puisi membutuhkan peran interpretator, sistem itu tidak bisa terwujud dengan sendirinya, secara an sich sistem itu tidak terbentuk sesuai kepentingan kalimat.

Saya tidak menyangkal pengartian ini, saya juga tidak menyangkal adanya ketidaklangsungan ekpresi bersebab tiga hal ini, karena hasil akhirnya juga sama. Sedikit kontradiksi dalam pemahaman saya adalah mengenai proses terciptanya makna tadi. Dalam pemahaman saya, makna yang tercipta dalam puisi adalah karena kepentingan kalimat (begitu juga dengan sebagian konotasi formal). Makna itu ada secara an sich di sana. Peran interpretator hanya dalam kaitan pembukaan selubung. Makna itu pada dasarnya sudah jadi dan mengeram dalam tubuh penanda. Kerja interpretasi di sana tinggal mengupasanya dalam sistem-sistem pemaknaan (telah saya singgung sebagian proses itu dalam sistem pemaknaan dalam puisi).

Untuk melengkapi tesis tersebut, ada beberapa tesis lain yang hendak saya gulirkan berdasarkan kecenderungan makna konotasi dalam puisi. Bukan sebagai antitesis mutlak, karena hasil akhirnya sama, yakni membelokkan makna dalam puisi. Perbedaan yang ada hanya mengenai proses terciptanya ketidaklangsungan ekspresi. Premis-premis itu di antaranya: penggabungan arti (consolidating of meaning), percabangan arti (affiliating of meaning), konkretisasi arti (concreting of meaning), keberlangsungan arti yang terus-menerus (enduring of meaning: continually).

1. Penggabungan Arti (consolidating of meaning)

Makna konotasi tidak lantas berdiri sendiri seperti tesis Roland Barthes, justru sebenarnya dia mengambil sebagaian sifat dari makna denotatif. Penggabungan makna ini karena kalimat pembentuk makna konotatif dalam puisi tetap memiliki jejak-jejak denotatifnya. Dalam komunikasi formal, makna konotatif memang muncul sebagai “mitos” ala Barthes. Ia memiliki arti tersendiri sesuai pengalaman sosial-kultural penuturnya. Konotatif formal terbentuk karena pengiasan yang berorientasi pada sejarah kebahasaan. Ketika seseorang mengatakan “kambing hitam” dengan tujuan konotatif, maka kata majemuk kambing hitam itu dikaitkan dengan sejarah kebahasaannya sewaktu pertama kali digunakan. Ini studi filologi yang jauh dan melelahkan. Tapi cara itu secara tepat untuk menyelidiki fungsi-sungsi petanda yang muncul darinya. Meskipun sebenarnya ada cara lain, penggalian makna konotatif formal bisa dikembalikan pada sebagian sifat denotatifnya. Hal itu mempertimbangkan makna denotatif sebagai makna primer. Sebelum manusia mengenal makna skunder, secara logis ia menggunakan makna primer untuk berkomunikasi. Kemudian untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti memperhalus ungkapan, memperoleh gaya tutur berbeda, keperluan retorika, maka muncullah makna skunder. Ketika manusia mengenal sastra, makna skunder inilah yang dipakai untuk mencapai nilai rasa yang lebih tinggi dibanding makna primer.

Kambing hitam, sesuai kesepakatan konotatif adalah sebuah definisi bagi orang yang dijadikan tersangka atas sebuah kasus meski mungkin sebenarnya ia tidak bersalah. Dilihat dari segi aplikasi logisnya, kambing hitam cenderung lebih jarang dibanding kambing putih, hal ini memungkinkannya untuk berdiri sebagai the other, liyan, ia adalah sosok khusus yang dibicarakan. Karena kata majemuk, ia juga mengandung pengertian sebagai konotasi dari warna hitam yang sering dijadikan oposit dari simbolisasi warna putih. Lalu kenapa kambing? Bagaimana jika diganti dengan kuda, yakni kuda hitam? Atau ayam hitam? Bisa juga kucing hitam? Sampel-sampel seperti itu akan semakin membuat kajian meruang lebar tanpa hasil spesifik ketika dibandingkan. Tetapi berdasarkan aplikasi logis, sifat-sifat yang dipakai dalam makna konotatif mengambil sifat denotatifnya. Jika kambing hitam, maka pemaknaan dihasilkan oleh sebagian sifat kambing dan warna hitamnya, bukan sebagai perwujudan konkret, karena ia hanya sebagian sifat. Begitu juga dengan “kuda hitam,” atau “ayam hitam,” juga “kucing hitam,” hal ini terkait juga dengan sifat-sifat denotatif sebagai dasar pijakan. Untuk menghasilkan pengertian secara lengkap tentu ia merujuk pada studi filologis dan kesepakatan sosial-kulturalnya, dan itu adalah langkah yang sangat jauh serta melelahkan. Jika ada ribuan sampel dengan ribuan variasi, maka perujukan ini memakan waktu entah beberapa generasi untuk sekedar mengambil bukti petanda di dalamnya dari sejarah kebahasaan. Dan ini membutuhkan proses serta pengamatan lebih lanjut untuk menghadirkan bukti-bukti empiris kelak.

Yang ingin saya tekankan dalam penggabungan arti di sini adalah penggunaan makna konotasi pada puisi cenderung terbentuk karena kepentingan kalimat. Dilihat dari segi struktur ia memiliki bentuk yang lebih lebar dibanding konotasi formal. Dalam puisi, makna konotatif hanya satu bagian dari struktur kiasan. Makna konotatif itu terbentuk karena penggabungan arti dari sebagian sifat denotatifnya. Ia bukan yang meloncat dari kekosongan, yang ada dengan sendirinya tanpa muasal. Tapi makna konotatif tercipta karena pembelokan dari makna denotatifnya. Bekas-bekas pembelokan itu masih ada meski tidak jelas lagi. Dari situlah ketidaklangsungan ekspresi dimulai.

Makna konotatif tidak tercipta karena kerja aktif interpretasi (interpretator), tapi ia merupakan hasil peleburan makna. Jika dirumuskan, makna itu terbentuk dari: denotatif + denotatif = konotatif. Susunan terkecil berupa kata (dalam kondisi tertentu hanya huruf bahkan tanda baca) yang memiliki makna asli melebur dengan kata lain yang bermakna denotatif. Hasil dari peleburan itu adalah makna konotatif karena dibelokkan oleh kepentingan kalimat. Makna konotatif tidak mungkin berdiri sendiri. Maka biasanya dalam konotasi formal (di luar puisi) makna ini terbentuk lebih dari satu kata, minimal ia adalah kata majemuk, seperti kambing hitam, panjang tangan, kuda hitam, besar mulut, lapang dada (berdada lapang). Jika kata atau kalimat konotatif sama-sama bisa digunakan dalam kalimat lain dalam bentuk denotatif, maka kata atau kalimat itu murni terbentuk karena kepentingan kalimat saja, ia bukan konotasi solid. Tapi jika kata atau kalimat itu bisa berdiri sendiri tanpa ada kepentingan kalimat yang membelokkannnya, maka kata atau kalimat bermakna konotatif itu memang sebagai konotatif yang solid meskipun ia tetap membutuhkan kepentingan kalimat untuk membelokkannya. Artinya, ia bisa berdiri sendiri meski agak janggal. Seperti kata bunga bangsa, bunga bank, bunga-bunga kata, bunga desa. Misalnya ada kalimat, (1) “Bunga Bank itu disiram setiap hari sehingga terlihat segar (maksudnya bunga di taman sebuah bank).” Dibanding kalimat, (2) “Bunga Bank itu terlalu tinggi sehingga mencekik peminjamnya (bunga sebagai makna konotatif yang berarti tambahan nilai). Contoh pertama terlihat janggal karena pengaruh makna konotasi lebih kuat, ia konotasi yang solid. Meskipun begitu ia tetap menghadirkan pengertian sebagai makna denotatif sesuai kepentingan kalimat.

Di sinilah gambaran dari penggabungan arti itu berawal. Kata secara individu memiliki arti harafiahnya, namun ketika kata itu bertemu kata yang lain, yang membuat kata-kata tersebut berbelok pemaknaannya adalah karena disebabkan kepentingan ide dalam kalimat. Pembelokan makna di sini tidak lantas berlepas diri dari makna awalnya (secara harafiah) tapi ia memiliki bekas-bekas perujukan. Dapat dianalogikan, penggabungan arti di sini seperti kandungan gula dalam secangkir teh. Kita tidak bisa mengatakan tidak ada gula di dalamnya, meskipun tidak disebutkan secangkir gula dalam air teh. Gula itu meresap sehingga tidak perlu disebutkan lagi sebagai secangkir gula dalam air teh. Ia juga tidak bisa disangkal jika ada di dalam teh tersebut meski dikatakan secangkir teh. Begitulah makna konotatif itu terbentuk karena peleburan makna denotatifnya. Makna denotatif itu terlarut di dalamnya sehingga tidak terlihat secara konkret. Ia ada di dalamnya dan menjadi titik tolak pembelokan arti.

2. Percabangan Arti (affiliating of meaning)
Riffattere memang menyebut dalam penyimpangan arti (distorting of meaning) mengenai ambiguitas yang menghasilkan makna ganda (polyinterpretable). Tetapi di sana tidak menyebutkan secara terperinci bagimana ambiguitas itu menghasilkan makna ganda. Topik pembicaraan Riffattere mengarah pada penyimpangan arti, bukan khusus pada percabangan arti yang saya maksud. Makna ganda yang dimaksudkan Riffattere adalah hasil penyimpangan dari makna seharusnya secara definitif. Di sini, percabangan arti adalah hasil kolektif dari penyimpangan yang dimaksud Riffattere tersebut. Dalam bentuk lain, makna konotasi dalam puisi memunculkan lebih dari satu pengertian. Hal ini terjadi ketika subyek yang dikiaskan tidak dalam bentuk solid. Artinya, makna konotatif yang dihasilkan tidak benar-benar merujuk pada subyek tersebut. Karena posisi subyek yang dikiaskan tidak sejajar dengan subyek pengiasnya. Maka kerja kias yang dihasilkan bercabang pula sesuai subyek yang dikehendaki. Dalam hal ini pemaknaan secara menyeluruh akan bergantung pada ide pokok atau jalur yang ditempuh dalam pemaknaan tersebut. Jika dalam puisi ada kalimat konotatif yang tidak mengarah pada subyek yang jelas, maka di sanalah percabangan arti itu. Makna dari suatu kalimat terbelah sesuai jalur yang dikehendaki dalam pemaknaan karena berkaitan dengan subyek-subyek berbeda.

Ada jenis kata yang secara definitif memang mengandung beberapa pengertian sekaligus. Kata seperti ini secara alami melahirkan makna ganda. Misalnya kata “bisa,” dalam satu pengertian ia berarti “mampu,” dalam pengertian lain ia berarti “racun.” Tetapi ketika dicermati, kata itu memiliki arti tertentu dilihat dari kepentingan kalimat. Jika kata bisa dijadikan kata denda, misalnya ular berbisa atau bisa ular, maka ia bermakna racun yang dimiliki ular itu. Ketika ia dijadikan kata kerja, misalnya, “Nabila bisa melukis dengan bagus,” maka bisa di sana berarti mampu atau dapat. Pada dasarnya, kata yang memiliki makna ganda seperti ini sebenarnya tidak memiliki makna ketika ia berdiri sendiri sebagai satu kata tanpa kaitan dengan kata lain. Ia kata yang kosong dari pengertian karena makna ganda tadi meniadakan satu dengan lainnya ketika tidak ada kepentingan kalimat. Dalam bahasa praktis, definisi harus diberikan pada kata dengan makna ganda seperti ini, tapi hal itu tidak logis jika digunakan dalam komunikasi. Artinya, kata dengan makna ganda tersebut tidak memberikan fungsi komunikasi yang sempurna saat ia berdiri sendiri.

Dalam puisi, makna ganda tidak terbentuk secara alami sebagaimana kata “bisa” tadi. Makna ganda itu muncul karena kepentingan-kepentingan kalimat yang saling tarik-menarik. Kepentingan kalimat ini bisa terjadi begitu saja karena ambiguitas seperti kata Riffattere, tetapi dalam bentuk lain, ia muncul karena pengaruh kepentingan dua subyek yang berbeda.

Kamis, 03 Mei 2012

SISTEMASI PEMAKNAAN DALAM PUISI

Kajitow El-kayeni

Pendahuluan

Sejak lama kritik sastra hendak mencari jalan yang paling mungkin mendekatkan pada penafsiran yang tepat, jelas dan efesien. Kegiatan kritik sastra yang tercatat pertama kali dilakukan oleh Xenophanes dan Heraclitus yang mengecam Homerus dan Hesiodes (± 500 SM). Hal itu dilakukan karena Homerus dan Hesiodes gemar menceritakan kisah bohong dan tidak senonoh terhadap Dewa-Dewi mereka. Akibatnya Homerus dan Hesiodes dicekal kemudian dilarang mengikuti Olimpiade di Athena. Ini kritik yang mengarah pada penciptanya secara langsung. Kemudian Plato (450 SM) muncul dengan Republic memberikan dasar-dasar orientasi kritik berdasarkan karya. Disusul kemudian oleh banyak pemikiran-pemikiran lain, sehingga akhirnya Post-strukturalisme (1960) memperaktekkan kritik yang mengarah pada pembaca. Dengan dekonstruksi Derrida, mereka membongkar teks kemudian membuat pemaknaan baru atasnya. Saya tidak ingin berpanjang-panjang dalam menyorot perbedaan pandangan strukturalisme dan post-strukturalisme. Yang jelas kedua aliran itu menyumbangkan pemikiran penting dalam hal kebahasaan. Begitu banyak jenis kritik sastra berdasarkan perbedaan sudut pandangnya, terlebih jika itu diambil dari berbagai pendapat kritikus sastra seperti M. H. Abrams, Rene Wellek, Jan van Luxemburg (dkk), Raman Selden, Edward W. Said. Juga termasuk pendapat Rachmat Djoko Pradopo yang membaginya hanya menjadi dua jenis: kritik sastrawan (umum) dan akademik.

Dua jenis kritik seperti yang telah dipisahkan oleh Rachmat Djoko Pradopo itu tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kritik sastrawan cederung bersifat ekspresif, praktis, nyaman untuk dibaca, tetapi terkadang tidak memiliki dasar pijakan yang jelas jika merunut kode bahasa yang ada. Subyektifitas yang terkadang tidak berakar. Sedangkan kritik akademik terlalu panjang dan bertele-tele. Tanda-tanda terkecil diperhitungkan dengan teliti sehingga terkadang lupa pada substansi yang dibicarakan. Dan bentuk seperti ini tidak nyaman untuk dibaca. Tidak logis menurut saya jika memperhitungkan fonem dan jumlah huruf konsonan atau vokal dalam karya sastra hanya demi memunculkan penafsiran. Kemudian teks disulap menjadi sesuatu yang sakral dan terperhitungkan huruf-perhurufnya. Bukankah hasil akhir dari penafsrian adalah menyingkap makna? Teori, metodologi, aplikasi apa pun sah digunakan sejauh itu berkepentingan dengan pemaknaan. Tapi bukan berarti ia harus dengan langkah tidak logis, yang jika tanpa itu bisa dihasilkan pemaknaan yang sama.

Seperti yang telah dimaklumi, bahasa adalah sistem tanda. Premis ini telah lama dilontarkan oleh Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Peirce dan dikembangkan oleh Roland Barthes dalam semiologinya dengan lebih menyorot pada makna konotasi. Kita tahu bahasa bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya, yang bergerak dengan sendirinya, yang berdefinisi dengan sendirinya. Bahasa ada karena ia tuntutan dari komunikasi, ia alat untuk mencapai maksud penggunanya. Maka yang nyata di sini adalah kehendak penggunanya yang menjadi penggerak utama dari kata-kata. Ia memang tidak terwujud dalam bentuk konkret, tapi berkat dirinyalah bahasa ada. Setelah semiotika muncul, tidak ada yang sakral pada teks sastra. Semua yang ada di dalamnya adalah kode bahasa yang sign oriented (terarah ke tanda-tanda), semua bisa ditafsirkan sesuai kode bahasa tersebut.

Di sini saya sedikit berseberangan dengan pemikiran Heidegger (filsuf yang menulis buku monumental Being and Time) soal bahasa, seperti yang dijelaskan oleh F.Budi Hardiman dalam bukunya mengenai pokok pikiran Heidegger, “Bahasa adalah rumah Ada (das Haus des Seins), dan manusia bermukim di dalam bahasa.” Pernyataan itu keliru ketika menimbang bahasa bersifat aksidensi. Eksistensi suatu entitas lebih dulu ada dari esensinya (seperti maksud Sartre), baru kemudian dilakukan pengenalan dari entitas itu. Di sinilah kemunculan bahasa dimulai. Ia bukan substansi mutlak atau sebagai entitas murni, karena peran bahasa untuk memberikan identitas, kemudian untuk menyampaikan maksud penggunanya. Manusia tidak hidup dalam bahasa, tapi bahasa yang hidup dalam diri manusia. Bahasa bukan rumah bagi yang ada, tapi yang ada adalah rumah bagi bahasa. Ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya yang ada. Sebagaimana kita menunjuk nama kuning yang tidak akan ada tanpa wujud warnanya (kuning).

Jalan Simpang Pemaknaan

Ketika bahasa digunakan dalam sistem komunikasi berbeda dari fungsi awalnya, katakanlah sastra, sistem yang dimasuki bahasa ini mengakibatkan jalan simpang pemaknaan. Penafsiran makna terjebak dalam labirin-labirin ambiguitas. Meskipun begitu, tidak ada yang sakral atau transenden di sini saat pembacaan terfokus pada makna, bukan pada sistem-sistem pembentuknya saja, termasuk struktur dasar seperti fonem atau jumlah huruf konsonan dan vokalnya.

Pada awalnya, bahasa bukan sesuatu yang rumit, ia hanya jalan untuk menyampaikan maksud. Tetapi pembagian komponen, pengkelasan bentuk-bentuk yang muncul darinya, membuat kajian bahasa begitu pelik dan seolah berputar-putar. Konvensi yang berusaha ditetapkan tidak kokoh dan terus mengalami perkembangan seiring pergerakan dari bahasa itu sendiri. Hal itu dipersulit dengan munculnya istilah-istilah yang berjejalan. Yang marak berkembangan dalam penafsiran terhadap bahasa dalam sistem khusus ini kemudian hanya intuisi. Kode bahasa yang ada dalam sistem tersebut menghasilkan pemaknaan yang ambigu. Tetapi seseorang harus memilih satu jalur pemaknaan di antara beberapa lainnya, dengan pertimbangan logis berdasarkan kode bahasa.

Menyoal puisi, yang perlu digaris-bawahi adalah prihal petanda yang ada dalam tanda-tanda lingusitik. Pananda dalam bentuk fisiknya juga penting untuk memisahkan kandungan petandanya masing-masing. Hal itu sekaligus untuk mewujudkan korelasi pemaknaan. Tapi persoalan inti yang muncul dalam penafsiran adalah petanda tersebut, ia acap kali memunculkan perbedaan sudut pandang yang besar karena tidak dicermati sistem di dalamnya. Dalam kajian makna metaforikal, saya sudah membahas ruang lingkup petanda ini. Tapi di sini yang hendak saya sorot adalah jalur-jalur pemaknaannya, yakni pemaknaan puisi secara utuh. Banyak orang hanya sekedar memanjakan intuisi, menurut saya begini, menurut saya begitu, tapi tidak menyertakan bukti konkret atasnya. Ini adalah bentuk subyektifitas yang tidak berakar. Penghisapan makna yang hanya didasarkan pada poin tertentu tanpa menimbang kode-kode bahasa yang ada dalam puisi. Dan ini bukan pemaknaan menyeluruh. Di sinilah sistem tanda dilupakan. Yang ada hanya penilaian intuitif tanpa dasar pijakan jelas.

Ulasan puisi kemudian hanya sekedar menjadi media orasi subyektifitas, media penumpahan wawasan penafsirnya, media penjejalan diktum-diktum disiplin ilmu lain. Jalur-jalur petanda dalam sistem tanda tadi diabaikan. Pemaknan menjadi kabur dan menjauh dari substansinya, pokok yang muncul bersebab kode bahasa tidak ditafsirkan. Lalu logika dipersalahkan. Puisi kemudian diagungkan dan dikatakan bukan wilayah logika lagi. Sebagai mahluk berpikir, tindakan seperti ini jelas tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara logis. Bukankah puisi adalah sebuah sistem komunikasi juga? Bukankah bahasa yang digunakan puisi itu adalah sistem tanda juga? Keterlacuran dalam penafsiran puisi sering muncul karena pengaruh intertekstualitas yang berlebihan, penjejalan diktum filsafat yang kebablasan, penyeretan pandangan psikologi yang kejauhan, pengaruh ilusi how to make it strange yang over. Padahal makna yang bersumber dari kode bahasa tadi malah diabaikan, atau hanya sebagian saja yang diambil sebagai rujukan. Yang bayak berjejal di dalamnya adalah, menurut saya begini, menurut saya begitu. Subyektifitas yang tidak memiliki dasar pijakan.

Di zaman postmodernisme yang tengah merayakan perbedaan atau heterogenitas ini tentu hendak membebaskan segala bentuk penafsiran. Penafsiran pada dasarnya adalah olah subyektifitas, siapapun memahami ini. Karena tidak ada yang benar-benar obyektif apalagi mutlak dalam sastra. Tetapi subyektifitas yang berakar tentu berbeda dari bias pemaksaan intuisi. Setelah lahirnya semiotika, kajian struktural, stilistika, tidak ada yang sakral pada puisi, apalagi mewah dalam arti transenden dan tidak tersentuh pemaknaan logis. Semua kandungan dalam puisi adalah bentuk dari sistem tanda, meskipun mungkin dalam satu penanda terkandung beberapa petanda, tapi ia bukan barang hidup yang bergerak dengan sendirinya. Banyaknya petanda yang muncul itu harus dikaitkan dengan jalur pemaknaan yang terbangun dalam puisi. Makna satu tanda adalah pancaran dari satu titik dengan berbagai jalur yang dimilikinya. Di sini, jalur paling logis menggugurkan jalur lain yang tidak terbangun secara utuh.

Ketika dikembalikan pada kehendak awal, karena yang nyata dalam bahasa kehendak penggunanya, hanya ada dua kemungkinan keterlacuran pemaknaan: 1. Penyair tidak mengarah pada maksud yang spesifik, sehingga ambiguitas pemaknaan tidak memiliki jalur yang selesai. Misalnya ia hendak bermaksud begini, tapi tidak menyertakan kode bahasa yang cukup. 2. Penafsir terlalu memanjakan intuisinya dan mengabaikan kode bahasa. Dalam tubuh puisi terkadang ada gen bebas, ia meloncat sehingga tidak sejalur dengan arah pemaknaan yang terbangun. Hal ini dimungkinkan karena ada dua sebab lagi: a) petanda yang terkandung dalam penanda tidak berkorelasi dengan petanda pada tanda lain. b) penafsir tidak memahami jalur pemaknaan dalam puisi karena ada beberapa petanda dalam satu penanda sehingga membelokkan pembacaan. Jika sebuah puisi tidak memiliki cukup kode bahasa yang melengkapi pemaknaan, di sana ada kesalahan pembentukan. Puisi seperti itu sudah bukan dalam struktur bahasa yang diciptakan untuk berkomunikasi. Ia lempung meleleh yang tidak memiliki bentuk jelas sebagai keramik.

Pada dasarnya sistem pemaknaan dalam puisi memiliki bagian yang berkaitan. Ia adalah bangunan makna yang saling menguatkan. Ia adalah jalur utama meski di tengah jalan mungkin ada persimpangan. Penyimpangan ini muncul karena banyaknya referen yang ditunjukkan oleh simbol dalam puisi. Ketika puisi menghadirkan beberapa jalur penyimpangan seperti ini, maka jalur terkuat adalah jalur yang paling logis karena ia didukung oleh kode bahasa terbanyak. Misalnya di awal penafsiran ada beberapa jalur yang cenderung mengarah pada makna tertentu, tapi di tengah jalan ada kode bahasa yang membuatnya berbelok, sehingga jalur itu terputus dan pemaknaan tidak selesai. Jika memang tidak ada jalur pemaknaan lain (yang didukung oleh bangunan pemaknaan), maka puisi seperti itu telah gagal memberikan petunjuk penafsiran atas dirinya. Puisi gelap (hermetis) yang tidak jelas hendak mengarah ke mana. Dalam kondisi semacam ini sebenarnya penafsiran tidak bisa dipaksakan. Karena hal itu hanya akan mengungkap sebagian makna, bukan keseluruhannya. Segala upaya intuitif hanya akan menuju pada aporia (yunani: tidak ada jalan keluar) karena puisi telah meloncat dari jalur pemaknaannya.

Sistem Pemaknaan Logis

Dalam apresiasi terbatas (kritik umum) yang hanya mengungkapkan poin-poin penting, hal itu mungkin masih bisa diterima. Penafsiran singkat seperti itu mempertimbangkan waktu dan keadaan. Meskipun dalam keterbatasan itu tetap ada sistem-sistem pemaknaan walau sederhana. Penafsiran atas puisi harus dibedakan dari komentar singkat, meskipun komentar atas puisi adalah sebagian dari apresiasi meski tidak terbangun sempurna. Puisi memiliki struktur, penafsiran atas puisi—yang paling terbatas sekalipun—harus tetap memperhatikan sistem-sistem pemaknaan. Jika ulasan itu ingin disebut sebagai penafsiran logis. Bagaimanapun, sebuah puisi memang cenderung melahirkan penafsiran yang berbeda. Itu sifat alami yang tidak bisa disatukan dalam pandangan universal. Kemunculan perbedaan tafsiran itu bisa disebabkan oleh banyak hal, tetapi yang menjadi pokok persoalan adalah, jika penafsiran yang ada tidak sesuai jalur pemaknaannya. Jalur yang dibentuk oleh sistem makna berdasarkan bukti-bukti konkret bahasa.

Sistem pemaknaan yang saya maksudkan itu bukan sebagai sistem yang terstruktur step by step, bukan sistem jadi yang bersifat ready for use, tapi ia merupakan unsur-unsur yang berkaitan dalam pemaknaan puisi. Baik dari segi bentuk teks atau yang berkaitan dengan panafsirnya. Dalam prakteknya, unsur-unsur itu tersimpan di berbagai aplikasi kritik sastra yang digunakan. Secara garis besar bisa diwujudkan dengan memperhatikan hal-hal berikut:

1. Proses Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Meminjam istilah Riffattere, pemaknaan terhadap karya sastra biasanya melewati dua tahap pembacaan, heuristik dan hermeneutik. Hasil pembacaan heuristik adalah penafsiran secara kasar berdasarkan makna harafiah dan strategi retoris yang muncul di permukaan. Penafsiran dalam bentuk ini adalah pemaknaan yang mendasar dan apa adanya. Tapi proses ini menjadi kerangka pembacaan yang lebih mendalam, yakni hermeneutik. Ketika puisi dibaca secara detail, jalur-jalur pemaknaan mulai terlihat berdasarkan kode bahasa. Dalam pembacaan hermeneutik inilah penafsiran yang sesungguhnya dilakukan. Meskipun bisa jadi dalam proses pembacaan ini akan muncul kemungkinan-kemungkinan pemaknaan lain. dengan sendirinya penciptaan teks ke dua (penafsiran) akan menempuh satu jalan keluar sebagai penyelesaian.

2. Analisa Struktur Metaforikal

Seperti yang pernah saya bicarakan sebelumnya (pada logika dalam puisi, 1 dan 2), metafor memiliki struktur pembentuk, juga keterkaitan tertentu. Struktur itu (dari segi fisik) adalah, pengias, subyek yang dikiaskan, kerja kias. Ketiga unsur itu harus memiliki keseimbangan bentuk. Misalnya pengiasnya atau subyek yang dikiaskan tidak sebangun, maka akan terjadi kepincangan logika. Seperti sosok maskulin dikiaskan dengan bunga yang identik dengan keindahan dan kelembutan, kecuali penggambaran itu sebagai kata majemuk yang mewakili keumuman, seperti bunga bangsa. Tetapi jika bunga dipaksakan sebagai kiasan dari sosok maskulin, maka antara pengias dan subyek yang dikiaskan tidak memiliki keseimbangan pengimajian. Dari segi intrinsiknya, metafor bertumpu pada, keterkaitan ide dalam metafor itu dengan ide pokok puisi, fungsi metafor tersebut: dalam hal ini yang dibutuhkan adalah fokus perkerjaannya, keselarasan dengan metafor lain.

Sebuah puisi yang gagal membentuk makna metaforikal karena unsur-unsur pembentuknya tidak seimbang cenderung membuat pemaknaan dipaksakan, karena hanya memperturutkan intuisi penafsir dibandingkan kode bahasa yang ada. Hal ini membuat pemaknaan menjadi kabur dan semata menjadi ajang orasi subyektifitas yang tidak berakar. Jika pembacaan terhenti di tengah jalan hanya karena ada satu struktur metaforikal yang gagal, maka pemaknaan akan ditarik keluar berdasarkan kesimpulan dari kode bahasa mayoritas. Analisa yang tepat pada struktur metaforikal ini akan memperjelas jalur pemaknaan. Sebuah metafor adalah sebuah sistem tanda, meski di dalamnya terkandung banyak petanda. Keseimbangan dan kesebangunan dari metafor itu dengan sendirinya akan mengarah pada pemaknaan yang paling kuat berdasarkan kode bahasa.

3. Sinkronisasi Petanda

Jika dalam satu penanda ada beberapa petanda, seperti keumuman metafor, maka perlu disinkronkan petanda itu dengan ide pokok dalam puisi, sehingga muncul satu petanda yang tersinkronisasi. Baru kemudian dihubungkan dengan petanda dalam penanda di tanda lain. Sinkronisasi petanda ini dimaksukan untuk memunculkan kesebangunan wacana. Puisi sesuai sifatnya yang ambigu memang memunculkan beberapa penafsiran, hal ini karena sistem makna metaforikal yang terlepas dari rumah bahasanya menghendaki makna baru. Seperti yang dimaksudkan Riffattere mengenai ketidak-langsungan ekspresi: perusakan arti (distorting of meaning, penggantian arti (displacing of meaning), penciptaan arti (creating of meaning). Dengan sinkronisasi ini penafsiran akan berjalan maksimal, meskipun tidak tertutup kemungkinan, tetap akan ada beberapa penafsiran jika ambiguitas itu tetap terbangun berdasarkan kode bahasa sampai akhir pembacaan puisi. Di sinilah sebenarnya peran intuisi penafsir yang sesungguhnya. Ia bekerja sesudah jalur-jalur pemaknaan menampakkan dirinya. Bukan sejak awal menciptakan jalur sendiri tanpa memperhatikan seluruh kode bahasa.

4. Memilih Jalur Pemaknaan yang Terbentuk Dalam Proses Pembacaan

Selepas sinkronisasi tadi, pembacaan akan dihadapkan pada kemunculan jalur-jalur pemaknaan. Di dalam puisi ada beberapa jalur pemaknaan sesuai dengan petanda yang terbaca di setiap penanda dalam tanda linguistik. Kemungkinan itu muncul karena efek ambiguitas didukung oleh kode bahasa yang sama-sama kuat. Bagaimanapun, pada akhirnya hanya akan ada satu pemaknaan, jalur-jalur tersebut akan tereliminasi oleh jalur pemaknaan terkuat. Jalur pemaknaan terlogis berdasarkan petunjuk yang digelar dalam puisi. Subyektifitas memang mungkin menjadi pilihan di sini, tetapi pilihan itu berdasarkan bukti-bukti konkret bahasa. Bukan pilihan bebas tanpa pertanggung-jawaban logis.

5. Data-data Intertekstualitas yang Mendukung (tapi bukan berlebihan)

Data-data yang mendukung ini adalah selama data-data itu membangun pemaknaan sesuai jalurnya. Jika data yang dimasukkan dari luar kajian terlalu banyak, maka pemaknaan akan melebar dari substansi kebahasaan. Padahal puisi menggunakan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi, bahasa yang digunakan puisi bukan bahasa bercabang dan berbelit-belit. Ia adalah bahasa praktis yang memungkinkan penafsiran terwujud melalui struktur pembentuknya. Sedangkan bahasa adalah sistem tanda. Kepentingan puisi pada bahasa, sejauh itu memungkinkannya memberikan pengertian dalam jalur yang jelas. Bahasa jika diseret dalam kajian berat, misalnya filsafat bahasa, cenderung berputar-putar dan membutuhkan koneksitas yang sangat lebar. Kajian-kajian di dalamnya tidak memiliki kesimpulan yang selesai. Ia bukan konvensi bulat sebagaimana konvensi yang digunakan dalam bahasa praktis. Tapi di dalamnya merupakan kumpulan premis-premis yang terus diuji sepanjang masa. Padahal di sisi lain, bahasa secara praktis telah ada dan disepakati. Koreksi-koreksi di dalam bahasa secara mendalam untuk menghadirkan konvensi baru yang lebih kuat dari sebelumnya. Dan hal itu tentu membutuhkan ruangan lain, bukan dalam proses kritik sastra.

6. Obyektifitas yang Didasarkan Pada Kode Bahasa

Tidak ada pemaknaan yang benar-benar obyektif, tetapi ada perbedaan besar ketika pembacaan atas makna puisi didasarkan pada kode bahasa yang ada. Bukan hanya didasarkan pada intuisi penafsir. Sesuai sifat alaminya, intuisi berjalan sendiri dan tidak selalu seiring dengan jalur pemaknaan. Hakikatnya penafsir bebas berinterpretasi dan tidak harus sama dengan gagasan penyair. Boleh jadi penyair tidak memberikan kode bahasa yang cukup lengkap. Ia hendak menceritakan sesuatu, tapi tidak didukung oleh petunjuk yang ada dalam puisinya. Di sinilah tarik-menarik itu, penyair sebisa mungkin menghadirkan kode bahasa yang membangun penafsiran. Karena puisi tercipta sebagai bentuk komunikasi. Sedangkan penafsir sedapat mungkin mengikuti petunjuk melalui kode bahasa yang diberikan penyair agar tercipta keterkaitan pemaknaan.

Seorang penyair memang tidak harus memahami teori-teori terkait setudi keilmuan. Upaya yang mesti dilakukan penyair adalah sejauh itu berkaitan dengan penciptaan karya. Di sini hal-hal pokok itu terkandung dalam konvensi bahasa, konvensi sastra, dan konvensi budaya. Lebih jauh dari itu merupakan bonus, tapi bukan keharusan yang mesti dikejar dan dikuasai. Puisi dari segi proses penciptaan tidak bisa diukur apalagi dituntun. Ia menyoal pengasahan skill yang berkaitan dengan perasaan penyair. Setiap orang tentu memiliki karakteristik berbeda, begitu juga jalur-jalur penuangan ide ke dalam medium bahasa. Sebaliknya, seorang kritikus tidak harus pandai membuat puisi hanya untuk membongkar dan memahami puisi. Wilayah-wilayah tersebut bisa jadi dikuasai sekaligus oleh seseorang, namun bukan keharusan untuk begitu.

7. Fokus Pada Ide Pokok dan Mengabaikan Kode Bahasa yang Mandul

Seorang penafsir adalah pencipta teks ke dua sesudah puisi ada sebagai teks pertama. Di sini terdapat ikatan yang kuat antara teks pertama dan teks ke dua. Maka sebagaimana puisi diciptakan, seorang penafsir harus memperhatikan ide pokok dalam puisi. Ia bukan hanya topik pembicaraan, tapi ia merupakan sulur-sulur tempat kode bahasa bergelayutan. Puisi selalu membuka ruang-ruang pemaknaan baru, itu adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Tetapi keruangan pemaknaan itu tetap harus berdasar pada kode bahasa yang muncul. Sesuai dengan bentuknya, puisi adalah bangunan sistem tanda. Maka pemaknaan mengikut pada sistem tersebut agar ia membentuk opini yang terbangun, berdasar, dan tidak ngawur.

Kesimpulan


Puisi bukanlah teks sakral yang ada begitu saja atau turun dari langit dengan segala keagungannya. Teks itu semata teks yang merupakan sistem tanda, darinya memancar jalur-jalur pemaknaan. Yang dikatakan agung pada puisi adalah kandungan isinya, maksud penyair yang tersimpan dalam balutan diksi dan gaya bahasa. Nilai itu dilihat dari sugesti yang mengarahkan pembaca pada hal-hal baik untuk mengikutinya. Dengan sendirinya, puisi dan umumnya karya sastra hendak mengangkat harkat kemanusiaan dengan pengajaran moral yang lebih tinggi. Permasalahannya, puisi menggunakan makna metaforikal dalam menyampaikan maksud. Sistem kebahasaan yang dimilikinya mengahdirkan jeda dalam pemahaman. Pembaca tidak menangkap maksud di dalamnya secara langsung, ia terlebih dahulu harus mencari ide pokok (mirip dengan hipogram versi Riffattere) yang tersembunyi dalam dalam kiasan.

Selaras dengan premis Rachmat Djoko Pradopo yang membagi jenis kritik sastra menjadi dua bagian: kritik umum dan akademik, menghadirkan fakta di lapangan yang membuat dua bentuk itu memiliki perbedaan besar dalam penyajian. Kritik umum lebih bersifat praktis dan hendak mengungkap kelebihan-kelebihan karya sastra. Jenis ini langsung masuk ke dalam pembahasan dan membuang kajian-kajian yang dirasa bertele-tele dan tidak perlu. Bentuk ini memang lebih nyaman untuk dibaca, tetapi banyak apresiasi dalam bentuk ini yang cenderung memanjakan subyektifitas dan meninggalkan pijakan dasar pemaknaan. Dalam ruang dan situasi terbatas, poin-poin penting yang diangkat dalam bentuk praktis tersebut memang lebih pas. Namun bukan berarti ia benar-benar berlepas diri dari dasar-dasar penafsiran sesuai kode bahasa yang ada. Pemaknaan yang tidak berakar justru akan membuat jurang perbedaan dalam penafsiran semakin menjauh.

Melihat kecenderungan dalam kritik sastra, yakni menimbang pendekatan yang efesien dan terarah, pemaknaan terhadap karya sastra (khususnya puisi) harus berjalan pada sistem-sistem tertentu. Hal ini bukan untuk memutlakkan, karena memang tidak ada yang mutlak di sana, tapi demi menghasilkan pembacaan terarah sesuai petunjuknya. Bukan interpretasi yang melenceng dari pokok yang dibicarakan. Subyektifitas yang ada kemudian adalah soal pengambilan sudut pandang, tetapi jalur-jalur pemaknaan yang ditempuh sesuai dengan tanda-tanda linguistik yang terbaca. Jalur-jalur itu selalu sama dan tersistemasi. Karena setiap kata dalam puisi membentuk jaringan pemaknaan antar bagian (hubungan paradigmatik), yang kemudian hal itu akan membentuk struktur makna lebih luas (hubungan sintagmatik). Pembacaan yang baik hendaknya melalui atau menggunakan sistem-sistem pemaknaan, di antaranya: proses pembacaan heuristik dan hermeneutik, analisa struktur metaforikal, sinkronisasi petanda, memilih jalur pemaknaan logis yang terbentuk, data-data intertekstualitas yang mendukung tapi tidak berlebihan, obyektifitas yang didasarkan pada kode bahasa, fokus pada ide pokok dan mengabaikan kode bahasa yang mandul.




Kajitow El-kayeni