Dalam hidup, yang membuat manusia
menyadari eksistensinya adalah adanya masa lalu. Kekinian hakikatnya
terus bergerak. Saat seseorang mengatakan “sekarang,” tempo yang
dimaksudkannya sebenarnya telah terlewat, dan ia menjadi bagian dari
masa lalu. Masa sekarang menjadi absurd karena tempo yang terlewat tadi.
Waktu yang dikenali manusia sebenarnya berasal dari pergerakan dan
perubahan benda-benda di jagad raya, termasuk cahaya dan energi. Jika
seluruh benda sampai bagian terkecilnya (molekul; atom; quark) diam
tanpa gerakan, maka waktu itu menjadi tiada. Karena itulah manusia
dengan hukum kesadarannya membagi waktu berdasarkan gerakan. Mulai dari
hari, minggu, bulan, tahun, abad, milenium, dan seterusnya. Tetapi tempo
yang dibagi manusia itu pada dasarnya adalah gerakan juga, sebelum
mencapai milenium, harus melewati abad, tahun, bulan, minggu, hari, jam,
menit detik, sekon, dan seterusnya. Dalam ukuran itu, tempo menjadi
bagian terkecil yang mampu ditangkap oleh kesadaran manusia. Artinya,
kekinian pada dasarnya tetap bergerak, atau substansi dari kekinian itu
absurd sifatnya, apalagi jika menyoal masa depan.
Maka yang tetap di sana adalah masa lalu. Ia tetap karena berupa
jejak yang direkam oleh kesadaran dalam gerakan kekinian itu. Manusia
memang tidak bisa hidup di dalamnya, tetapi darinya manusia merumuskan
gerakan dalam kekinian dan tempo yang akan datang. Dalam upaya merekam
jejak masa lalu itu pula penyair Dimas Arika Miharja (DAM) menyusun
pikiran dan hasil renungannya ke dalam buku antologi puisi “Sajak Emas.”
Puisi adalah buah pikiran yang padat dan tersusun, manusia selaku
mahluk yang berpikir selalu hendak mencatat banyak hal yang dilalui
dalam hidupnya ke dalam benda-benda kenangan. Bisa berupa tulisan,
potret, video, pernak-pernik, atau tempat dan lokasi tertentu. Puisi
juga merupakan alat perekam kejadian, dan ia lebih dari sekedar
benda-benda yang telah disebutkan tadi. Struktur yang dimiliki puisi
memungkinkan untuk menghadirkan pemaknaan baru atas rekam-jejak tadi.
Teks yang tersusun dengan fungsi-fungsi komunikasi unik itu tidak
sekedar upaya untuk menceritakan kembali. Ambiguitas pemaknaan ini
mungkin sekali menghadirkan kerancuan ketika pembacaan hanya dilihat
dari satu sudut pandang. Tetapi ketika puisi dengan makna prismatisnya
terus digali dan dibandingkan, ia akan mengayakan makna dari puisi itu
sendiri. Dan satu lagi, sesuai sifat bahasa verbal yang dimilikinya,
puisi berusaha mengajak pembaca untuk ikut terjun dalam perenungan
penyairnya secara langsung. Buah pikiran yang mengeram dalam struktur
bahasa itu menghadirkan hisapan, sehingga ia seolah bergerak dan menusuk
benak pembaca meski penulisnya telah mati sekalipun.
Karya sastra lain, katakanlah prosa, memang memiliki sifat-sifat
bahasa. Namun dengan tubuh yang cenderung lebar, kekuatan hisapan prosa
tidak sekuat puisi. Orang mungkin berulang-ulang membaca cerpen
Metamorfosisnya Kafka, tetapi tidak mungkin orang hendak menghafal
cerpen yang sangat panjang itu. Berbeda dengan puisi Chairil Anwar,
mulai dari anak SD sampai kakek-kakek fasih melafalkannya. Di sinilah
kelebihan dan kekurangan puisi menempatkan posisi puisi ke dalam maqom
tersendiri. Orang-orang yang datang kemudian akan membaca dan
menafsirkan berdasarkan kode bahasa dan data-data intertekstualitasnya.
Saya kira kurang tepat jika menyama-ratakan genre dalam sastra.
Jikapun ada kesamaan, itu karena medium yang digunakannya sama, yakni
semua genre menggunakan medium bahasa. Namun setiap cabang tentu
memiliki perbedaan, untuk itulah mereka mempunyai kriteria tersendiri
yang membedakan eksistensi mereka dalam dunia sastra. Puisi dan prosa
misalnya, keduanya menggunakan bahasa untuk menyampaikan maksud atau
pesan. Cara dan sistem komunikasi keduanya menempuh jalan berlainan.
Prosa sesuai akar katanya, prosa (latin: terus terang) atau prose
(ing: sebenarnya), hendak menyampaikan pesan dengan bahasa yang lugas.
Ada bentuk prosa ide misalnya, ia tidak secara runtut membentuk plot,
tapi pesan tetap disampaikan melalui deskripsi, penokohan, dan alur
penceritaan. Sedangkan puisi memiliki sistem lain. Pada prinsipnya ia
juga hendak bercerita, namun melalui pembengkokan bahasa. Puisi lebih
sering menggunakan makna konotatif dan kiasan dalam menyebut sesuatu.
Puisi juga tidak sibuk membentuk karakter tokoh, bahkan kebanyakan tidak
memiliki tokoh secara konkret. Perbedaan yang niscaya itu bukan untuk
melebihkan satu jenis dari jenis yang lain, tapi ia adalah kriteria yang
dengan sendirinya memiliki penilaian dan tolok ukur yang berbeda. Jika
ada kemiripan, hal itu hanya pinjaman sifatnya.
Karakter dan Strategi Retoris
Buku antologi “Sajak Emas (2010)” bukan antologi pertama penyair
Dimas Arika Miharja. Buku tersebut terlahir setelah saudara-saudaranya
yang lain bersaksi dalam dunia literasi. Sejauh yang mampu saya lacak,
dalam antologi bersama , “Riak-riak Batanghari (1988), juga dalam data
lain sejak 1985, DAM telah menapakkan kakinya pada dunia kepenyairan.
Beberapa antologi sesudahnya juga telah menjadi prasasti sepak-terjang
DAM dalam dunia perpuisian Indonesia. Sebagaian besar puisi dalam
antologi "Sajak Eams" itu ditulis sekitar tahun 2010, puisi-puisi lain
diambil dari tahun-tahun sebelumnya mulai dari tahun 1993. Membaca
“Sajak Emas” adalah menguak sebagian dari karakter yang dimiliki
penyairnya. Saat penyairnya bersedih, muncullah diksi-diksi muram. Dari
kemuraman itu terlihat bagaimana penyair membawa dirinya. Bagaimana ia
memandang kehidupan dari sudut tersebut. Saat penyairnya gusar atau
marah muncul pula diksi yang keras. Yang dengan cepat dapat disimpulkan
pandangan penyair dalam menyikapi dinamika hidup. Saat penyairnya
senang, maka akan ada luapan kebahagiaan.
Meskipun pada dasarnya setiap penyair tentu memiliki karakter yang
menonjol. Misalnya Chairil Anwar yang dengan bengal berseru, “Ini ruang
gelanggang kami berperang.” Kenakalan seperti itu seringkali muncul
dalam puisinya. Rendra yang berkarakter serius sering memunculkan
pandangan tegasnya, seperti yang disebutkannya dalam Sajak Sebatang
Lisong, “ aku bertanya / tapi pertanyaanku / membentur jidat
penyair-penyair salon / yang bersajak tentang anggur dan rembulan.”
Sutardji Calzoum Bachri yang radikal membawa kapaknya untuk merubuhkan
langit, seperti yang disebutnya, "aku lepaskan segala bahasa / agar
kucingku bisa memanggilMu." Sapardi Djoko Damono yang cenderung lembut
suka bermain dengan satire dan ironi. Seperti yang dikatakannya dalam
“Pokok Kayu” atau “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari.” Dimas Arika
Mihardja lebih lekat dengan karakter periang dan humoris. Dalam bahasa
saya, hal itu saya sebut dengan keusilan yang positif. Banyak puisi
dalam antologi tersebut yang didedikasikan untuk orang lain. Jika
Barthes menyebut makna konotasi adalah siginifikasi tataran ke dua, saya
menyebut puisi dedikasi ala DAM itu sebagai komunikasi puitikal tingkat
ke dua.
Puisi yang berhadapan langsung dengan pembaca adalah komunikasi
puitikal tingkat pertama. Pembaca langsung menceburkan diri ke dalam
perenungan penyairnya, atau penyair langsung menggelar renungannya di
hadapan pembaca. Komunikasi puitikal tingkat ke dua seperti yang
ditunjukkan oleh DAM awalnya melesat menuju nama yang menjadi tujuan
puisi, baru kemudian ia menyenggol pembaca. Dalam hal ini, pembaca dalam
lingkup umum tidak hanya membaca diri penyair, tapi juga koneksitas
dengan penyair lain. DAM tidak saja melakukan perenungan ke dalam, ia
lebih banyak membaca fenomena yang ditemuinya dalam interaksi sosial.
Antologi “Sajak Emas” ini bukan tugu keakuan seperti yang sering
dimunculkan di luar sana. Ia tugu egaliter hasil dari perenungan ke
dalam dan ke luar penyairnya. Melihat cukup banyak puisi dengan ciri
komunikasi puitikal tingkat ke dua dalam antologi itu, tampaknya DAM
cukup nyaman dengan cara demikian. Puisi baginya bukan kamar pribadi
yang serba privat, bukan sebuah mercusuar tinggi yang tak boleh dimasuki
sembarangan orang. Seperti argumen Chairil: yang bukan penyair tidak
ambil bagian. DAM membuka ruang yang lebih lebar, sosok-sosok lain turut
masuk dan meramaikan puisinya.
Dua ratus puisi yang ada dalam antologi tersebut memuat berbagai
peristiwa. Seorang DAM yang menggeluti dua dunia berbeda seolah-olah
memunculkan kontradiksi. Sebagai pendidik ia harus memegang teguh
konvensi bahasa dan sastra sebagai kiblat bagi anak didiknya. Tapi
sebagai penyair, DAM harus bergerak dinamis demi memunculkan kebaruan,
meski itu dengan merombak apa yang telah dibakukan. Dua dunia dengan
konsentrasi yang berbeda, keduanya sekilas manghadirkan kontradiksi,
tapi lebih jauh sebenarnya keduanya saling mengisi selama perbedaan itu
tetap berpusar pada porosnya masing-masing. DAM seolah sedang menapakkan
kaki kanannnya di satu dunia, sementara kaki kirinya menapaki dunia
yang lain lagi. Mencermati “Sajak Emas” akan mengingatkan pada kebiasaan
Sapardi Djoko Damono dalam Berpuisi. Gaya yang digunakan kedua penyair
itu cenderung mengusung diksi sederhana dan tidak hendak tampil mewah.
Kesamaan itu sebenarnya hanya dari bentuk luar saja, ketika menukik
lebih dalam, keduanya memiliki strategi retoris yang jelas berbeda.
Berikut akan saya ulas beberapa puisi yang mewakili 200 puisi dalam antologi “Sajak Emas” tersebut.
MENGUAK MIMPI, 1
engkau datang serupa bayang
mengeram dalam tilam kelam
kelambu tidur-jagaku
lalu angin nyeret rahasia-mu
engkaulah bayang itu
mengusik tidur-jagaku
tiap waktu luput mengusap wajah-mu
dalam bayang rindu
kuseru cuaca berdebu
engkaulah bayang itu
mengetuk-ngetuk rasa kantuk
lalu dentam rebana bertalu-talu
di hatiku yang merindu
Kota Beradat, 1993-09-23
Dalam puisi pertama ini hendak mengabarkan adanya kelindan rahasia
yang sedang disusun dan dijalinkan penyair dalam diksi-diksi yang
relatif sederhana. Puisi ini bukan pembiasan dari epos-epos besar, bukan
kisah ajaran-ajaran agama yang kaku, tidak juga jalinan pelik diktum
filsafat. Yang tercermin dari puisi ini adalah luapan perasaan dari
seorang manusia kepada subyek yang dikatakan serupa bayang. Begitu
merasuk lebih jauh pada substansi, senyatanya apa yang dieposkan, yang
diajarkan, yang didiktatkan sejalan dengan jangkauan perenungan dalam
puisi ini. Siapakah sosok yang diserupakan dengan bayang itu? Dengan
penafsiran pendek, tentu ia adalah manusia, sosok konkret yang menjadi
muara yang konkret pula untuk perasaan aku lirik, yang diwakili oleh
kata ganti milik “–ku.” Tetapi tidak haram jika pemaknaan diayunkan
lebih jauh melebihi penafsiran awal. Bisa jadi sosok yang sedang
dirindukan oleh aku lirik dalam puisi ini adalah sosok yang sepenuhnya
rahasia, sosok yang sering disebut sebagai Tuhan.
Yang menjadi pilihan kemudian adalah sudut pandang penyair, bukan
sosok yang dimaksudkannya. Karena siapa pun yang ditujunya sama-sama
menghadirkan pemaknaan yang terang: bahwa aku lirik sedang terkepung
kerinduan.
Puisi “Menguak Mimpi, 1” ini adalah perenungan ke dalam. Penyair
membaca dirinya sendiri kemudian dikucurkan melalui medium bahasa. Di
sini dikatakan “menguak mimpi,” yakni mimpi itu seolah tersimpan di
dalam bumi atau kerumunan benda-benda lain sehingga harus dikuak,
dicabut, ditarik. Seseorang yang sedang “menguak” memiliki kesadaran
atas sesuatu yang hendak diambilnya dari dalam. Pengetahuan atas sesuatu
yang sedang ditarik itu adalah niscaya. Orang mabuk misalnya, saat ia
berhalusinasi dan hendak “menguak” sesuatu tidak memiliki kesadaran ini.
Artinya, dia tidak benar-benar menguak dengan diiringi oleh kesadaran.
Tetapi mimpi itu juga hasil kerja alam bawah sadar, meskipun dalam mimpi
itu juga ada kesadaran. Ketika menyebut mimpi sebagai bentuk
ketak-sadaran, maka menguak mimpi bisa jadi sejajar dengan analogi orang
mabuk tadi. Namun di sini bahasa telah berbelok. Sebagaimana telah
dimaklumi, puisi adalah hasil kerja alam bawah sadar juga. Ia sublimasi
dari endapan perasaan penyair. Ketika seseorang membuat puisi,
kesadarannya hanya menuntun dari segi fisik, baik tipografi, keselarasan
bunyi, kaitan sintaksis dan semantiknya. Tapi dorongan dalam diri,
dorongan dari dunia batinlah yang sebenarnya membuat kata-kata terjalin.
Tanpa peran kesadaran, pesan yang hendak dikomunikasikan tidak akan
terbaca.
Ada penyair yang hanya menuruti dorongan batin semata sehingga
melahirkan puisi hermetis (gelap). Puisi yang berisi raungan, racauan,
bunyi-bunyi anomatope yang tidak jelas maksudnya. Puisi seperti itu
jelas gagal menyampaikan pesan karena tidak diiringi oleh kesadaran.
Dapat dikatakan, puisi harus diolah dengan kesadaran meski ia memang
berasal dari alam bawah sadar, agar ia dapat dimengerti.
Maka “mimpi” dalam puisi ini tidak semata kembali ke makna
harafiahnya sebagai bunga tidur, sebagai hasil kerja alam bawah sadar.
Mimpi di sini adalah harapan yang telah mengendap, ia cita-cita
terpendam dalam diri penyair. “Menguak Mimpi” berarti hendak menarik
cita-cita keluar dari dasar hati, yaitu ke dalam bentuk bahasa. Bisa
jadi dinamika hidup telah membuat impian tadi tertutupi hal-hal lain,
sehingga ia harus dikuak untuk memunculkannya. Saat membaca tubuh puisi
dan mengaitkan dengan judul, akan muncul keterkaitan impian itu dengan
sosok kau lirik yang digambarkan serupa bayang.
engkau datang serupa bayang
mengeram dalam tilam kelam
kelambu tidur-jagaku
lalu angin nyeret rahasia-mu
Bait ini memperlihatkan bahwa kehadiran kau lirik itu tidak
benar-benar nyata atau konkret. Adanya kau lirik karena diadakan oleh
aku lirik. Ia secara an sich tidak terwujud, maka dikatakan, “engkau
datang serupa bayang.” Artinya kedatangan itu tidak dari segi fisik.
Kedatangan kau lirik itu dalam sebuah momen yang dikiaskan sebagai,
“tilam kelam.” Bisa jadi ia adalah penggambaran dari malam, yakni tilam
kelam itu sebutan lain atau simbol untuk mewakili malam, yakni dalam
keadaan tidur. “tilam” yang berarti kasur hanyalah simbol, yang
dikehendaki darinya momen dalam waktu malam, yakni dalam tidur itu
sehingga muncullah mimpi. Tilam kelam adalah sebuah dimensi waktu yang
dilipat penyair ke dalam puisi. Ketika sampai “kelambu tidur-jagaku,”
kuat pembacaan atas dimensi itu bergerak lebih lebar. Ia bukan momen
sempit sewaktu subyek berada di atas tilam, tetapi dimensi waktu yang
dikehendaki dalam puisi ini mewakili waktu secara keseluruhan.
Kata “kelambu” yang definisi harafiah adalah tirai untuk mencegah
nyamuk, di sini telah berbelok dari pengertian itu. Ia menjadi
melingkupi atau menjaga. Kelambu di sini bergerak sebagai simbol, makna
yang dihasilkaannya konotatif sifatnya. Dan untuk ini pernah saya
katakan: makna konotatif mengambil sebagian sifat dari makna denotatif.
Tentunya ini berbeda dengan premis Roland Barthes yang menghendaki makna
konotasi sebagai kesatuan yang berdiri sendiri. Ia memliki petanda dan
penanda sendiri. Alhasil, “kelambu” dalam puisi ini memang mengambil
sebagian sifat dari makna denotatifnya, yakni berfungsi sebagai penjaga.
Meskipun ia meruang lebih lebar ketika bertemu “tidur-jagaku.” Yakni ia
memberikan penjagaan atau melingkupi keberadaan aku lirik, baik dalam
keadaan tidur maupun jaga. Selanjutnya penyair mengatakan, “lalu angin
nyeret rahasia-mu.” Di sini pemaknaan kembali bergerak. Apa yang tadi
disimbolkan sebagai kelambu tidak bersifat kekal. Atau ia memang
bersifat demikian, tetapi ada sebagian dari diri kau lirik itu yang
tetap menjadi rahasia. Dan itulah yang terseret oleh angin. Seperti yang
telah dipahami, angin sesuai sifatnya yang senantiasa bergerak (maka
dari itu disebut angin) melambangkan ketidak-tetapan. penyair sengaja
memotong diksi "nyeret" dari kata "menyeret" untuk menampilkan kesan
tidak familiar.
engkaulah bayang itu
mengusik tidur-jagaku
tiap waktu luput mengusap wajah-mu
dalam bayang rindu
kuseru cuaca berdebu
Pada bait pertama, kedatangan sosok engkau dalam rentang penyerupaan
dengan “serupa bayang.” Di bait ke dua ini engkau adalah bayangan itu
sendiri. Di sini ada peleburan peran. Dalam kadar penyerupaan, sosok
“engkau (atau kehadirannya)” melingkupi bahkan seolah memberi peran
penjagaan, meski “angin” di sana mereduksinya pemaknaan itu. Pada bait
ke dua ini, ketika kau lirik melewati batas penyerupaan tadi justru
dikatakan “mengusik tidur-jagaku.”dengan begitu dihasilkan penafsiran,
makna “kelambu” pada bait pertama tadi memang berhenti hanya pada makna
melingkupi, bahkan mungkin malah menyekap. Oleh karena itu aku lirik
merasa terusik. Baris selanjutnya, yakni “tiap waktu luput mengusap
wajah-mu / dalam bayang rindu / kuseru cuaca berdebu //” menjelaskan
keterusikan tadi. Jadi sebenarnya yang mengusik bukan gambaran
kedatangan sosok “engkau” tetapi perasaan rindu aku lirik. Dapat juga
dikatakan, momen kehadiran sampai ada keterusikan itu sebenarnya
digerakkan oleh diri aku lirik. Adanya sosok engkau karena diadakan,
karena keberadaanya diwujudkan berkat dorongan kerinduan aku lirik.
Yang membuat pembacaan getir adalah penggambaran rindu di sana.
Seperti yang telah dipahami, rindu serupa rasa sakit dan itu digambarkan
penyair dengan, “kuseru cuaca berdebu.” Dari penggambaran ini yang
muncul adalah abstraksi dari momen lain, momen imajinatif lanjutan yakni
cuaca berdebu. Aku lirik di tengah serangan kerinduan itu seolah sedang
menghadapi hujan debu. Dalam pembacaan saya, itu adalah pandangan aku
lirik mengenai tipisnya harapan untuk mengobati sakit rindunya. Cuaca
berdebu itu bisa juga merupakan penggambaran suasana batin. Keadaan di
kedalamannya sana nir kegembiraan. Bukan berarti ia berduka secara
spesifik, tapi rindu yang belum atau tidak mendapatkan obat. Rindu yang
mengambang dan seolah berjatuhan menjadi bulir-butir kecil yang seolah
gambaran debu itu.
Seseorang yang mengalami musibah, misalnya kehilangan, dikatakan
berduka. Ini kedukaan yang spesifik. Tetapi rindu debu yang digambarkan
penyair itu dalam posisi mengambang. Sakit yang dihasilkannya bisa jadi
seimbang atau nyaris sama. Meski begitu masih ada celah di sana, ada
kemungkinan lain meski sulit. Karena sulit itulah maka penyair berkata,
“kuseru cuaca berdebu” karena ia merasa seolah ada harapan. Tapi
harapan yang dipanggil tanpa sahutan. Harapan yang entah bagaimana
mewujudkannya. Ini hampir sama ketika Chairil berseru, “cintaku jauh di
pulau.” Dalam hal ini, bukan tidak ada cita-cita untuk merengkuh cinta
itu, tapi karena sulitnya jalan yang musti ditempuh. Perbedaannya,
Chairil memberikan jeda dalam penggambaran, jeda yang masih menyisakan
kemungkinan logis. Sementara DAM tidak memberikan ruang itu. “kuseru
cuaca berdebu” mengindikasikan sempitnya dada yang terhimpit oleh
perasaan rindu, dan itu membuat aku lirik terusik bahkan di luar wilayah
tidurnya. Saya mengatakan tadi, ini bukan penggambaran duka dalam
substansi yang spesifik, tapi rasa sakitnya itu saya kira segantangnya.
engkaulah bayang itu
mengetuk-ngetuk rasa kantuk
lalu dentam rebana bertalu-talu
di hatiku yang merindu
Manakala pembacaan sampai pada bait ke tiga, permainan yang
selanjutnya terlihat jelas adalah dalam hal repetisi. Strategi retoris
ala DAM tidak hendak dengan brutal memporak-porandakan kata sebagaimana
Sutardji, atau berhenti dalam bermanis kata dan memfokuskan pada
penggambaran ironik seperti Sapardi. Ketika menemukan diksi “bayang”
yang diulang beberapa kali dalam puisi, besar kemungkinan kebanyakan
pembaca akan terjebak pada stagnasi penggambaran. Padahal kehendak ide
dalam penggambaran itu mengehendaki posisi substansi yang berbeda.
“bayang” dalam bait pertama eksis dalam bentuknya sendiri, karena posisi
penyerupaan. “bayang” dalam bait ke dua, yakni “bayang rindu” adalah
kata majemuk, yang dengan mudah bisa dipahami fungsinya memiliki
kesatuan semantik dengan “rindu.” Jenis repetisi ini dekat dengan
anafora. Yang benar-benar berwujud sebagai repetisi atau dari jenis
repetisi utuh yang mungkin tergolong simploke adalah “engkaulah bayang
itu” pada bait ke dua dan ke tiga. Kemudian ada juga repetisi anafora
atas preposisi “lalu,” yakni pada bait ke pertama, “lalu angin menyeret
rahasia-mu” dan bait ke tiga, “lalu dentam rebana bertalu-talu.” Dari
segi fisiknya, keduanya memiliki peluang untuk menjadi preposisi dengan
makna harafiah; kemudian; lantas.
Ketika membaca lebih cermat, fungsi preposisi di sana berbeda. Diksi
“lalu” pada kalimat “lalu angin menyeret rahasia-mu,” kata "lalu"
berfungsi sebagai verba meski bisa juga dijadikan preposisi. Dengan
fungsi verba maka ia bermakna lewat, yakni angin itu lewat dan menyeret
rahasia keberadaan sosok engkau yang sebenarnya memang nir wujud.
Sedangkan pada kalimat “lalu dentam rebana bertalu-talu” lebih kuat pada
fungsi preposisi. Meskipun jika dilihat dari bingkai repetisi, yakni
dari ide perulangannya. Fungsi keduanya hendak bermain sebagai
preposisi. Jika begitu, diksi "lalu" pada bait pertama berperan ganda,
sebagai preposisi sekaligus bisa sebagai verba.
Bait ketiga ini menjelaskan keseluruhan teka-teki yang dimunculkan
pada bait-bait sebelumnya. Jika awalnya sosok engkau itu diserupakan
dengan bayang, bait ketiga menguatkan transformasi penggambaran dengan
repetisi, “engkaulah bayang itu.” Artinya kehadiran kau lirik hanya
dalam imajinasi penyair karena ia nir wujud, yakni berupa bayang.
Selanjutnya kalimat “mengetuk-ngetuk rasa kantuk” adalah penjelasan dari
repetisi makna atas kata majemuk “tidur-jagaku.” Aku lirik di sana
membuat batasan penggambaran dalam ukuran yang lebih pendek, yakni dalam
posisi kantuk itu. Keruangan lebar yang muncul dari penafsiran awal
atas “tidur-jagaku” menyempit. Ini adalah penjelasan dari momen
sebelumnya yang menjadi lebih spesifik. Aku lirik dalam keadaan
mengambang, meski hal ini bisa juga bermakna kias--yakni sebuah lambang
dari proses keterusikan. Saat itulah “lalu dentam rebana bertalu-talu”
menghadirkan kondisi rindu aku lirik. “di hatiku yang merindu” menutup
pembacaan sekaligus menjawab sebagian tekai-teki. Meski ada beberapa
teka-teki lain yang justru semakin mengambang.
Diksi “rebana” tidak saja berhenti pada definisi salah satu jenis
alat musik, yakni jenis gendang yang pipih. Tapi ia identik dengan
budaya keislaman juga. “rebana” membuat kemisteriusan sosok “engkau”
tadi tetap berpusar pada pertanyaan, siapakah sebenarnya dia? Bisa jadi
ia memang hendak mewakili sosok manusia yang sedang dirindukan oleh aku
lirik, tapi bisa juga ia hendak terayun jauh dan menghendaki Tuhan.
Puisi “Menguak Mimpi, 1” berkemungkinan kuat berkaitan dengan
“Menguak Mimpi, 2” dari segi ide. Dari sana bisa ditarik pemaknaan,
penyair memang tidak menghendaki kerinduan itu berhenti pada sosok
manusia, ia adalah wujud kerinduan atas sosok paling misterius yang
selalu dicari-cari oleh segenap manusia. DAM dengan sisi religiusitasnya
sedang diamuk kerinduan sebagaimana Amir Hamzah dalam “Padamu Jua.”
Jika amir Hamzah berkata, “Engkau pelik menarik ingin / Serupa dara di
balik tirai” maka DAM berseru “lalu angin menyeret rahasia-mu.” Jika
Amir Hamzah berkata, “Mangsa aku dalam cakarmu,” maka DAM berujar,
“dalam bayang rindu / kuseru cuaca berdebu.” Kedua penyair dengan latar
belakang berbeda sedang bergelut dengan perasaan rindunya. Keduanya
memang memiliki gaya yang berlainan, tapi sama-sama sedang menguak
impian yang mengusik batin mereka. Tentang hakikat sosok misterius yang
dicinta, yang kebenaran dan keberadaannya mesti dikuak layaknya menguak
mimpi dan/atau ia adalah mimpi itu sendiri.
Kesaksian Metafisik
Di bagian lain, DAM lebih dekat menyorot hubungannya dengan Tuhan.
Ada beberapa puisi yang membawa kode bahasa jelas, sehingga memunculkan
gambaran dari hubungan tersebut dalam DZIKIR, MASJID AGUNG AL-FALLAH,
TAHAJUD ILALANG, ANA NUR 00:50, SERENADE RUMAH CINTA, JEMARI ITU,
MENJELANG AKHIR RAMADHAN, dan sebagainya. Lambang-lambang yang dibawa
masuk ke dalam puisi mencerminkan dengan jelas suasana religiusitas yang
diangkat penyairnya. Perenungan semacam ini juga mengindikasikan adanya
subyek-subyek yang bergerak, yang membentuk pola pikirnya. Bahwa DAM
meski bukan seorang ulama atau tokoh agama, tetapi keagamaan mendasari
ruang renungnya. Dari sini ada batas yang jelas, yang membedakan penyair
yang bertuhan dan yang tidak. Misalnya kita tunjuk Pablo Neruda,
Bertolt Brecth, Nietszche, dan kanon-kanon sastra sayap kiri lain yang
juga meratapi hidup penuh ketimpangan dan ketidak-adilan. Ratapan
mereka, bahkan terkadang hujatan mereka berada di luar jalur logis
meskipun mengatasnamakan logika.
Apa yang digelar dalam ruang sunyi tersebut secara alami sebenarnya
dialami oleh setiap manusia, baik yang beragama atau bukan. Misalnya
ketika melihat Pablo Neruda berbisik lirih:
Oh Bumi, Tunggulah Kami
Kembalikan aku, oh matahari
Pada nasibku yang liar
Hujan hutan purba
Bawakan aku wewangian dan pedang-pedang
yang jatuh dari langit
Kedamaian wingit dari padang rumput dan bukit batu
Kebasahan pada tepian sungai
Aroma pohonan
Angin yang berdegup bagai hati
Mendentumi gelisah tanpa istirah
Puncak-puncak jati.
Bumi, kembalikan hadiahmu yang murni padaku
menara-menara kesunyian yang mawar
dari kekhusukan akar-akarnya.
Aku ingin kembali jadi yang belum kualami
Dan belajar untuk kembali dari kepekatdalaman ini
di antara segala yang alami
tak masalah; aku bisa hidup atau tak
menjadi sebuah batu lagi, batu yang gelap
batu sejati yang dibawakan laluan sungai.
1964
Terlihat bagaimana Pablo merasakan gejolak perasaannya manakala
tersudut dalam kesunyian. Ia merenung dan meresapi arti keberadaannya di
muka bumi. Sebagai manusia, hal itu menyeretnya terlarut dalam hisapan
kekuatan yang tidak dimengertinya. Sebagai orang yang tidak mempercayai
Tuhan, Pablo tersadar pada kenyataan, bahwa hidup pasti akan menemu masa
akhir. Ia harus bersiap kembali, tapi kembali ke mana? Dalam puisi ini
penyair memandang kehidupan sebagai perputaran belaka. “Hujan hutan
purba” adalah gambaran dari awal yang menurutnya sebagai muasal
kehidupan. Hidup yang dimulai dari mahluk sel kecil yang diselaraskan
dengan teori Darwin mengenai Evolusi. Premis ini memang memiliki
beberapa kelemahan secara ilmiah, tetapi di masa Pablo, keyakinan pada
awal kehidupan itu membuatnya manyandarkan diri untuk kembali ke fase
tersebut. Hal itu dikatakannya, “Aku ingin kembali jadi yang belum
kualami,” ini menunjukkan pada proses kembali tersebut.
Dalam hal ini saya tidak ingin mengusung antitesis berdasarkan fakta
temuan sejarah dan perkembangan teknologi di bidang ilmu pengetahuan.
Yang ingin saya tekankan adalah perbedaan sudut pandang kedua penyair
mengenai hakikat hidup. Keduanya memberikan kesaksian dari sudut pandang
berbeda. Tetapi uniknya, kesadaran itu muncul dalam momen yang sama,
momen sunyi saat keduanya melakukan perenungan secara mendalam.
Keberadaan Tuhan yang tak tersentuh logika bukan berarti membuktikan
ketiadaannya. Hal itu adalah bukti dari kelemahan logika. Manusia
sebagai mahluk yang bisa berpikir memang harus mengedepankan
pemikirannya dalam menghadapi banyak hal, tetapi manusia harus sadar
batas kemampuan dari logika ini. Banyak hal yang tak terjangkau oleh
penalaran, dan itu tidak lantas membuat hal tak terjangkau itu tadi
tidak eksis. Di sini DAM dengan kesadaran penuhnya mengakui kehadiran
yang tak terjamah logika itu. Kehadiran mistis yang tak terpahami itu.
Ia sebagai mahluk yang bercermin pada kelemahan dirinya merasakan dengan
hati bahwa ada Kekuatan Maha yang menerangi jalan mahluk dengan
cahaya-Nya. Dengan bahasa yang akrab dikenal, Kekuatan Maha itu adalah
Tuhan yang diseru dengan berbagai nama dan jalan agama. DAM memberikan
kesaksian itu seperti yang digoreskannya dalam puisi berikut ini.
ANA NUR 00:50
ana nur, ada cahaya, menyala di dalam dada
terasa sayat ayatayat saat risau dan galau menjadi pisau
o, tikamkan lagi dan lagi kilau pandangmu di surau hatiku
biar aku meregang dan menegang dipanggang api cintamu
kau dan aku bercumbu di atas permadani bermotif lampu gantung
serasa aku terbang melayang di cerlang cahayamu
menarikan jemari melati putih
o, putikkan lagi kelopak bunga hatiku
usai sudah pertemuan dan pergumulan di atas ranjang malam
dalam gelap melindap cahayamu merayap. hangat
mengusap debudebu di hati merindu: hanya cahaya
semata cahaya!
Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 16 Mei 2010
Sekilas, judul pada puisi ini mirip dengan Bahasa Arab, yakni Ana Nur
itu mendekati pemaknaan akulah cahaya. Tetapi ketika membaca tubuh
puisi secara menyeluruh, ternyata yang dikehendaki oleh kalimat itu
adalah Bahasa Jawa yang dikolaborasikan dengan bahasa serapan dari
Bahasa Arab. Ana Nur 00:50 berarti ada cahaya pada waktu lewat tengah
malam. Puisi ini sengaja saya ambil untuk mewakili subyek dasar yang
melatari perenungan penyairnya. Sebagian puisi lain membawa kode bahasa
yang lebih jelas dan menurut hemat saya sudah cukup menerangkan isinya.
Selaras dengan premis Riffaterre (1978:166) yang mengatakan, “pembacalah
yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada
karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan
pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Sesungguhnya, dalam pikiran
pembacalah transfer semiotik dari tanda ke tanda terjadi.” Berhubung
kode bahasa dalam beberapa puisi secara eksplisit telah mengarah pada
pemaknaan, maka puisi itu telah sampai pada pemahaman umumnya
berdasarkan kode bahasanya.
Khusus dalam Ana Nur 00:50 itu memiliki beberapa penyimpangan makna,
atau dalam bahasa Riffattere “ketidak-langsungan ekspresi” yang
dijelaskan olehnya sebagai penggantian arti (displacing of meaning),
penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating
of meaning). Keunikan itulah yang membuat saya mendaulatnya sebagai
wakil dari puisi-puisi yang bergerak dalam ruangan yang sama. Bukan
untuk melebihkan satu puisi dari yang lain, tapi membongkar ambiguitas
pemaknaannya.
ana nur, ada cahaya, menyala di dalam dada
terasa sayat ayatayat saat risau dan galau menjadi pisau
o, tikamkan lagi dan lagi kilau pandangmu di surau hatiku
biar aku meregang dan menegang dipanggang api cintamu
Subyek dalam puisi ini sedang bermonolog, ia di tengah kelindan
perasaan yang beraneka bentuk seolah berdialog dengan sosok lain.
Padahal sosok lain yang dihadirkan dalam puisi itu bukan sesuatu yang
konkret secara fisik, yakni dengan pengenalan panca indera. Penyair
merasakan kehadiran sesuatu dalam hatinya, sesuatu menurut pengenalan
hatinya sebagai cahaya. Kita tidak pernah tahu, apakah cahaya yang
dikenali hati itu memang cahaya dalam substansi yang sebenarnya. Jika
memahami lebih dalam, apa pun yang dikenali oleh hati bukan keadaan yang
secara an sich seperti itu. Di titik tertentu misalnya, seseorang dalam
kepungan kesunyian misalnya pada waktu salat malam. Dalam posisi itu
dia memejamkan mata dan didapatinya pandang yang sangat luas. Waktu
seolah berhenti, dan seseorang sampai pada kulminasi kesunyian di mana
tidak didengarnya suara, bahkan detak jantungnya sendiri. Padang luas
yang dilihat itu tentu tidak eksis dalam dunia nyata, meski mungkin ia
pernah melaluinya atau mengangankan tempat seperti itu. Bentuk-bentuk
yang dikenali manusia dalam keadaan seperti itu adalah pengenalan
imajinatif. Ia bisa jadi mirip dengan fakta yang ditemui dalam dunia
nyata, tapi tidak secara persis, bahkan sebenarnya tidak mungkin sama.
Fakta imajinatif seperti itulah yang sebenarnya dihadapi oleh
penyair, meski mungkin yang terekam dalam kata-kata tidak sama persis
dengan yang dialaminya. Bisa jadi ia lebih dari itu, tapi bahasa hanya
mampu merekam dan mengabarkannya sejauh “ana nur, ada cahaya, menyala di
dalam dada.” Puisi ini, sebagaimana umumnya puisi tidak memiliki
awalan, ia langsung masuk ke dalam keadaan yang dihadapi penyairnya, ia
jatuh ke dalam perenungan, “ada cahaya” katanya. Jika ini dijadikan
sebuah awal, maka baris sesudahnya hanya menjelaskan hubungan kausal di
sana, yakni “terasa sayat ayatayat saat risau dan galau menjadi pisau.”
Penyair ketika sampai perenungan terdalamnya memahami bahwa ada
kekuatan lain yang dikenalinya sebagai cahaya. Pengenalan ini bisa jadi
hanya penggambaran terdekat saja, yakni bukan sebagaimana nur yang bisa
dicapai oleh panca indera. Nur atau bentuk yang disaksikan oleh mata
batin penyair sebenarnya mungkin sulit untuk digambarkan. Diksi “dada”
adalah simbol dari hati, yakni dengan hati itulah penyair menyaksikan,
bukan dengan panca inderanya. Dalam momen kesunyian, lewat tengah malam,
penyair menemukan kesejatian. Subyek-subyek yang bergerak dalam dirinya
melakukan pengenalan, nur itu adalah nur ilahiah. Berbeda dengan Pablo
Neruda ketika berhadapan dengan keadaan yang sama, subyek-subyek dalam
dirinya mengenali keadaan tersebut sebagai kesadaran insaniah, kesadaran
di titik sunyi yang lumrah. DAM mengambil sudut pandang lain, seolah ia
berkata, ini nur kesejatian, cahaya petunjuk yang menerangi hati insan.
Peraturan sadar dan keyakinan yang dimilikinya menyelaraskan hal itu
dengan ayat-ayat yang dipercayainya berasal dari Tuhan.
Kesadaran telah sampai puncaknya, penyair meraba dirinya sendiri.
Saat itulah muncul perasaan risau dan galau. Simbol pisau yang hadir
untuk mengambil sifat tajam dan kemampuannya dalam memotong sesuatu.
Perasaan itu berkat dorongan ayat tadi menghasilkan sayatan layaknya
pisau. Yang kemudian mengherankan adalah ketika sayatan itu justru
menjadi candu. Dan itu menunjukkan, pisau yang dihadirkan penyair bukan
sebagai wakil dari kepedihan atau kengerian. Pisau itu semata mengambil
sifat tajamnya saja. Hal itu dikatakan penyair, “o, tikamkan lagi dan
lagi kilau pandangmu di surau hatiku.” Efek dari candu tadi menghadirkan
atau mengantarkan penyair pada ekstase, “biar aku meregang dan menegang
dipanggang api cintamu.”
kau dan aku bercumbu di atas permadani bermotif lampu gantung
serasa aku terbang melayang di cerlang cahayamu
menarikan jemari melati putih
o, putikkan lagi kelopak bunga hatiku
Di bait ke dua ini, penyair benar-benar telah menggerakkan “nur”
yang dipahaminya tadi sebagai subyek secara utuh. Subyek yang aktif
sebagai sosok orang kedua tunggal yang disebutnya “kau.” Degradasi makna
atas subyek atau pergerakan posisi subyek memang sudah terjadi di bait
awal, tetapi penegasannya dimulai di bait ke dua ini. Hal itu
menunjukkan, awal yang dimulai dalam bait pertama itu tidak diam atau ia
bukan merupakan titik statis. Sehinga dikatakan, “kau dan aku bercumbu
di atas permadani bermotif lampu gantung.” Diksi-diksi yang familiar
dalam baris ini berbelok jauh dari pemaknaan familiarnya. “Bercumbu”
seperti yang dipahami cenderung jatuh pada makna tabu, yakni makna
erotiknya. Padahal bercumbu dalam definisi bahasa diartikan sebagai
bersenda gurau dalam kemesraan. Cumbu itu sendiri sebenarnya identik
dengan rayuan atau kata-kata manis untuk membujuk yang justru menjauh
dari makna erotiknya. Dan pada puisi ini, pengertian itu berbelok lagi
menjadi komunikasi dekat aku lirik dengan sosok yang disebutnya kau.
Begitu dekatnya maka dikatakan “bercumbu.” Jika dikaitkan dengan kode
bahasa yang ada pada bait awal tadi, prosesi komunikasi itu adalah
lambang dari peribadatan yang dilakukan oleh aku lirik. Maka hal itu
dikatakan “di atas permadani bermotif lampu gantung.” Ini adalah
penggambaran dari prosesi ibadah tadi.
Dengan mudah dapat dipahami, jika “bercumbu” hendak dilarikan pada
makna erotiknya, maka kasur atau ranjang akan dipilih penyair sebagai
latar. Tetapi di sini tidak. Penyair memilih “permadani” sebagai penguat
pemaknaan tadi. “Bercumbu” telah berbelok dari pengertian itu, ia
bahkan terbebas dari kekangan rumah bahasanya. Hal itu yang kemudian
dikuatkan penyair dengan, “serasa aku terbang melayang di cerlang
cahayamu.” Komunikasi yang terjalin, yang dikiaskan dengan bercumbu itu
bahkan tidak dalam bentuk kata secara konkret. Ia pengertian bahasa
secara hakiki, bahasa yang tidak memiliki tubuh kata-kata. Efek dari
prosesi tadi disebut “terbang melayang di cerlang cahayamu” karena
memang bahasa yang muncul tidak dalam bentuk kata-kata. Penyair telah
sampai pada ekstase perenungannya sehingga ia terlarut dan membahasakan
perasaannya. Seperti yang dijelaskan, “menarikan jemari melati putih.”
Ini hanya bentuk lain dari peribadatan tadi, bisa jadi ia adalah dzikir
yang terwujud dalam gerak jemarinya, bisa juga ia adalah kiasan dari
perasaan penyair dalam prosesi itu yang hendak diwujudkan dalam bentuk
bahasa. Dalam hal ini “melati putih” sebagai simbol kesucian, atau
keindahan yang suci untuk menggambarkannya.
Tetapi ketika membaca “o, putikkan lagi kelopak bunga hatiku” membuat
pemaknaan awal lebih kuat, yakni aku lirik di sana melakukan prosesi
ibadah lain dengan tarian jemarinya sehingga hal itu membuat hatinya
semakin berbunga, bergairah, bahagia. Dan ini tentu saja menguatkan
tafsiran pada baris dan bait sebelumnya. Bahwa penyair tidak masuk dalam
kesunyian itu tanpa upaya, ia bergerak dan melakukan prosesi
peribadatan. Maka cahaya yang disebutnya itu adalah gambaran dari
kebahagiaan yang didapatkannya ketika sampai pada perenungan terdalamnya
atas kesejatian.
usai sudah pertemuan dan pergumulan di atas ranjang malam
dalam gelap melindap cahayamu merayap. hangat
mengusap debudebu di hati merindu: hanya cahaya
semata cahaya!
Puisi ini sebenarnya memiliki kerangka waktu yang sangat lebar meski
hanya berisi tiga bait. Ia tetaplah puisi meski meminjam kerangka waktu
prosa, karena di sini bukan alur yang menjelaskan perbuatan tokoh
seperti dalam prosa. Kerangka waktu yang dimiliki puisi adalah gerak
yang didorong oleh pemaknaan, yakni sebagai penjelasan atas momen yang
dihadapi subyek. Jika dua baris awal pada bait pertama adalah pembukaan,
baris selanjutnya dan bait ke dua adalah penjabaran ide. Sedangkan pada
bait ke tiga ini menjadi penutup sekaligus penguat pemaknaan. Di sini
dikatakan, “usai sudah pertemuan dan pergumulan di atas ranjang malam”
untuk menjelaskan selesainya prosesi tadi, bukan efek yang dirasakan
penyair. Dan diksi “ranjang” di sini terikat maknanya dengan “malam”
karena ia kata majemuk. Berbeda tujuan dengan kehendak ide yang diwakili
oleh “permadani” tadi. Artinya, ranjang malam di sini tidak terkait
dengan konotasi erotiknya, seperti kata majemuk pisah ranjang misalnya.
Ia hendak mewakili sifat dari malam, yakni waktu malam. Atau ranjang di
sini bukan sebagai ranjang secara definitif, karena itu jelas
berkontradiksi dengan ide pokok dalam puisi.
Hal itulah yang dikuatkan penyair dengan penjelasan, “dalam gelap
melindap cahayamu merayap. hangat / mengusap debudebu di hati merindu:
hanya cahaya / semata cahaya! //.” Karena diksi “bercumbu,” dan
“pergumulan” itu hanya kiasan dari prosesi yang dilakukan penyair untuk
mendekat pada sosok yang dikenalinya sebagai cahaya. Sehingga kerinduan
muncul, dan hal itu dikuatkan dengan repetisi, “hanya cahaya / semata
cahaya!” Terang sudah, strategi retoris yang dimunculkan DAM adalah
dengan melepaskan kata dari rumah bahasanya. Ia bukan dalam bentuk
radikal sebagaimana Sutardji, kata masih dalam konteksnya: memberikan
pengertian, tapi ia berbelok pemaknaannya. Diksi yang dipilihnya
familiar dengan konotasi tertentu yang berkembang dalam pemahaman
khalayak. Namun itu yang dirombaknya. DAM seolah menyentil pembaca
dengan kesan familiar itu, namun mengehndaki pemaknaan yang berbeda. Dan
ini pula yang saya istilahkan dengan keusilan yang positif itu.
Penyair, meski dalam tema religi tetap memunculkan ciri khasnya. Ia
berdiri sendiri meski gaya sederhana yang diusungnya dibawa juga oleh
Sapardi. Perbedaan tampak jelas ketika sampai pada strategi retoris yang
dimiliki kedua penyair itu.
Puisi “Ana Nur 00:50” ini menunjukkan perenungan yang disertai oleh
upaya tertentu dalam menghasilkan ekstase bagi penyairnya. Di era
Chairil, banyak penyair yang meniru gaya nglambrang-nya untuk
mendapatkan ekstase tersebut dalam mencipta puisi. Cara seperti itu
dikritik oleh Rendra dalam kumpulan esai “Catatan-catatan Rendra Tahun
1960-an” yang dieditori oleh Budayawan Dwi Klik Santosa. Dalam buku itu
Rendra menyebut, “Di antara para pengarang, apalagi di antara para
pengarang muda, ada istilah “mencari inspirasi”. Dalam kenyataannya yang
dimaksud dengan istilah ini ialah: mereka ngeluyur malam-malam, duduk lama-lama di kedai kopi dan menghabiskan waktunya dengan obrolan-obrolan kosong, ngelayap sepanjang
daerah-daerah mesum, dengan pakaian kotor duduk di teras toko di waktu
sudah jauh malam, bergerombol dan ngobrol-ngobrol sambil bersandar pada
terali jembatan, serta bermacam-macam perbuatan yang aneh-aneh lagi.
Kebiasaaan semacam itu akan berkembang dengan subur sebagai warisan dari
angkatan ’45, terutama Chairil Anwar.” Upaya yang dilakukann oleh DAM
adalah melakukan prosesi tadi, ia bersunyi diri dan melakukan pergumulan
batin untuk sampai pada perenungan terdalamnya.
Kita tahu, banyak cara dilakukan penyair dari masa-ke masa untuk
menghasilkan perenungan semacam ini. Pablo dengan puisi “Oh Bumi,
Tunggulah Kami” tadi juga merupakan perenungan terdalamnya tentang
kesejatian hidup, tapi tidak ada prosesi di sana. Dari bentuk teksnya,
ia adalah perenungan alami yang bisa dilakukan oleh setiap orang,
perenungan yang tanpa upaya. Tentunya gambaran itu berbeda dengan upaya
yang dilakukan oleh pujangga kuno kita yang terlebih dahulu melakukan
ritual yang bahkan lebih sulit. Manusia tidak pernah berhenti mencari
kebenaran, sekalipun dia tahu ada hal-hal yang berada di luar kemampuan
pemahamannya. Spekulasi, ragu-ragu, menolak sekaligus membenarkan adalah
sifat dasar manusia. Saya tidak hendak membeda-bedakan penyair dengan
paham tertentu, contoh yang saya bawa untuk memperlihatkan perbedaan
sudut pandang saja demi memperkaya pemaknaan puisi.
Kesaksian Fenomena Faktual
Di bagian lain, penyair Dimas Arika Mihardja juga mengusung tema-tema
sosial dalam puisinya. Suara yang diperdengarkan memang bukan hujatan
dan makian kasar, tetapi esensi yang hendak diungkapkan dalam puisinya
menunjukkan ada kepekaan terhadap fenomena faktual di sekitarnya.
Seperti yang terbaca dalam puisi LUMPUR LAPINDO BRANTAS, TUBA DI DANAU
TOBA, MENCARI INDONESIA, KENDURI AIR MATA (hal: 139 dan 199), PILKADA
DAN PIL KOPLO, SERATUS HARI KEMATIAN PUISI.
Sesuai dengan amanat dan tujuan sastra, seperti yang ditegaskan Plato
dalam Republik, yang mana tujuan sastra itu demi mengangkat harkat
kemanusiaan dengan nilai agungnya, DAM menyuarakan ketimpangan yang
hadir di sekitarnya. Ketika mencermati sajak-sajak DAM yang bertemakan
sosial-politik, terlihat DAM berada di tengah konflik yang berlangsung.
“Di tengah” ini adalah posisi sebenarnya bagi seorang penyair. Sebagai
corong kemanusiaan, penyair bukan bagian dari sistem politik. Ia adalah
sistem lain yang bergerak sendiri.
Politik muncul saat manusia membentuk koloni dan menghendaki sistem
untuk mengatur kebutuhan mereka. Politik bisa disamakan dengan
kepentingan untuk mengatur, menguasai, dan memerintah. Siapa pun yang
terjun di dalamnya tidak akan bisa terlepas dari kepentingan ini.
Ironisnya, pihak yang seharusnya terwakili dengan sistem tersebut justru
seringkali menjadi penonton saja. Mereka ini seringkali disebut sebagai
rakyat. Selama rakyat masih menjadi rakyat biasa, maka ia hanya
berperan dalam membangun sistem ini, tapi bukan penggerak sistem
tersebut secara aktif. Karena tidak mungkin semua orang memberikan
perintah dan kebijakan, maka sistem itu menghendaki kepemimpinan. Di
sinilah dualisme itu berawal. Kepentingan bersama ini menjadi
kepentingan kelompok atau pribadi, seseorang dengan kapasitas yang
dimilikinya berusaha untuk merebut, menguasai, dan mempertahankan
kekuasaan. Rakyat yang seharusnya menjadi tujuan dari terbentuknya
sistem ini justru seringkali menjadi korban kepentingan politik. Dan
penyair adalah corong untuk menyuarakan ketimpangan itu. Penyair,
sebagaimana rakyat, juga tidak bergerak di dalam sistem itu. Bahkan ia
ada di belakang pembangun sistem (baca: rakyat) tadi, penyair bergerak
sejauh ia mampu membangkitkan pembangun sistem untuk berpikir dan
merenung kemudian melahirkan tindakan.
Komunikasi yang diwujudkan berjalan secara tidak langsung, pembaca
harus merenung dan memahami maksud penyair, baru memberikan
pertimbangan. Renungan itu bersifat stimulus, gerak selanjutnya adalah
respon terhadapnya. Banyak penyair yang dengan tegas mengambil jalan
terang, sehingga lahirlah pamflet, balada, puisi orasi, puisi untuk
menggerakkan massa. Tapi banyak juga yang tetap menyuarakannya dengan
komunikasi puitikal. Substansi yang dikehendaki sama, namun gaya dan
cara penyampaiannya berlainan. Puisi terang tidak lantas menjadikannya
pro rakyat atau pro kemanusiaan. Saat kita menyebut rakyat, ia bisa
menjadi sangat absurd. Tangan-tangan politik yang bergerak tak kasat
mata membuat posisi rakyat terbelah. Ketika ada pihak yang
berteriak-teriak pro atas kebijakan, ada pihak lain yang berteriak
kontra atasnya. Massa bukan jaminan untuk menentukan pihak mana yang
benar dan pihak mana yang salah. Di sinilah penyair itu harus bijak dan
mengambil posisi yang tepat, yakni di tengah tadi. Tolok ukurnya tentu
berpulang pada pertimbangan nurani. Benar dan salah diukur dari
pertimbangan dialektis yang mewakili kepentingan bersama tadi, bukan
sekedar posisi pro dan kontra, bukan berdasarkan jumlah massa.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, sebagian puisi yang termuat
dalam buku ini didedikasikan untuk satu atau beberapa orang. Hal itu
tentu saja terkait dengan pemikiran penyair lain, atau fenomena yang
bersifat umum dan disadari oleh orang banyak. Seperti yang terbaca pada
puisi pendek di bagian agak akhir antologi berikut.
KENDURI AIR MATA
: agus r sarjono
duduk merapat membincang negeri
pertiwi diaduk perasaan perasaan sendiri
nyeri enggan berbagi
Agustus, 2010
Pada halaman 139 memang ada puisi berjudul sama. “Kenduri Air Mata,”
tapi tanpa sub judul. Tema kedua puisi juga sama, yakni sosial-politik.
Puisi berjudul “Kenduri Air Mata” yang saya tampilkan di atas itu
tertera pada halam 199 dengan sub judul : agus r sarjono. Menarik saat
membaca puisi pendek itu karena banyak hal yang bersembunyi dalam diksi
sederhananya. “Kenduri” secara definitif adalah ritual yang dilakukan
sekelompok orang dengan diisi doa dan diikuti acara makan bersama. Atau
bisa disebut, kenduri adalah perjamuan makan. Pengertian umum ini
berbelok ketika kata “kenduri” menerangkan kata “air mata.” Seolah air
mata itu adalah hewan ternak yang digunakan dalam selamatan, ia adalah
barang kenduri. Dari sini terdapat gambaran bahwa ada pengepungan
kedukaan oleh beberapa orang, kenduri di sana sebagai kiasan besarnya
duka tadi, sebuah tragedi terjadi sehingga dilakukan kenduri. Makna
kenduri berbelok dan disempitkan, sehingga terlepas dari pemaknaan
umumnya: ritual yang dilakukan untuk berbagai kepentingan. Ia menyempit
semata untuk mewakili kedukaan berjamaah.
Pada sub judul tertera nama Agus R Sarjono, seorang penyair,
cerpenis, esais, editor yang cukup familiar dalam dunia sastra
Indonesia. Bahkan pada tahun 1994 antologi puisi berjudul “Kenduri Air
Mata” dibukukan olehnya. Dari sini dapat ditarik pemahaman, bahwa puisi
ini terkait dengan puisi Agus R Sarjono dalam antologinya itu. Atau
dengan kata lain, DAM memang sengaja menyenggol Agus R Sarjono dengan
puisi ini, karena ada kesepahaman dalam ide pokoknya. Dengan begitu,
puisi “Kenduri Air Mata” ini termasuk dalam istilah saya, puisi dengan
fungsi komunikasi puitikal tingkat ke dua. Secara langsung atau tidak,
pembaca menyadari ada keterkaitan ide antara penyair dengan nama yang
dituju oleh puisinya. DAM dan nama yang dituju puisinya terikat dalam
satu wilayah perenungan.
Pada dasarnya, penyair memiliki banyak tujuan ketika menyebut atau
menempatkan nama seseorang sebagai sub judul. Hal itu secara luas memang
tidak menunjukkan pola tertentu. Misalnya Chairil menempatkan nama Sri
Ajati dalam puisinya “Senja di Pelabuhan Kecil” yang jelas terbaca
sebagai wakil dari tema cinta. Tapi ketika DAM menyebut nama Agus R
Sarjono, dengan jelas terbaca tema sosial-politik yag sedang diangkatnya
melalui tubuh puisi. Keterkaitan wacana yang saya maksud di atas itu
bukan mengenai pola tertentu, tapi mengenai sudut pandang. Dalam puisi
ini, keseragaman pandangan itu diawali oleh kedekatakan dua orang
penyair, hal itu dicatatkan DAM, “duduk merapat membincang negeri.” Dari
kalimat sederhana ini ada beberapa hal pokok yang hendak ditekankan,
diksi “duduk merapat” menunjukkan adanya kedekatan sekaligus keseragaman
pandangan mengenai ide pokok yang sedang dibicarakan dalam puisi. Ia
sekaligus menjadi latar pembicaraan, yakni dalam proses pembicaraan itu
dalam keadaan duduk berdekatan. “merapat” di sana memunculkan gambaran
yang berbeda dibanding diksi lain, misalnya berdekatan, berdampingan,
berjajar. Diksi merapat itu lebih menggambarkan upaya untuk menjadi
dekat, erat, lengkap. Seperti kalimat, “perahu itu merapat ke dermaga,”
ada gerak yang terbaca di sana yang tidak sama dengan diksi dekat atau
bersanding.
“merapat” yang dikehendaki oleh puisi ini bukan hanya dari segi
fisik, tapi juga batin. Dua orang yang dikatakan “duduk merapat” itu
memiliki pandangan yang sama mengenai perkara yang berkaitan dengan
“negeri.” Kalimat ini memang dalam bentuk padat karena ia dalam struktur
puisi pendek. Padahal teks lanjutannya bisa jadi sangat panjang.
Seandainya kalimat-kalimat yang disembunyikan itu ditulis kurang lebih
akan terbaca, “dua sahabat karib di suatu pertemuan, duduk berdekatan.
Mereka berdua memiliki keseragaman pandangan mengenai fenomena yang
terjadi di negeri mereka, yakni indonesia. Permasalahan yang cenderung
berputar-putar dan tidak pernah selesai dengan tuntas sehingga
memunculkan kedukaan bersama.” Kalimat-kalimat sebagai teks lanjutan itu
tentu tidak mungkin dimunculkan seluruhnya, karena struktur puisi
pendek yang menghendaki efesiensi maksimal. Dalam puisi pendek, kata
menolak kata lain yang tidak diperlukan. Prinsip ini berbeda dari puisi
panjang, dimana satu kata dengan kata lain saling tarik-menarik karena
tuntutan pemaknaan.
Misalnya diksi “membincang” itu bahkan menolak afiksasi seperti
akhiran “–kan” atau sisipan “–per,” karena kata dalam puisi ini
menghendaki pemadatan secara maksimal. Sehingga ia menolak kata bahkan
frasa lain yang mungkin melengkapinya. Efesiensi secara maksimal ini
sering disalah-gunakan oleh penyair sehingga membuang hampir semua kode
bahasa dalam puisinya. Seperti puisi Sutardji yang berjudul “Luka” yang
hanya berisi anomatope sebagai tubuh puisi, yakni “ha ha”. Atau bahkan
ada penyair kontemporer yang mencoba membuat puisi tunggal, yang hanya
mempunyai satu kata sebagai wakil judul sekaligus tubuh puisi. Saya kira
puisi seperti itu hanyalah upaya kenyentrikan yang berlebihan. Dilihat
dari logika pemaknaan, hal itu nonsense sifatnya. Puisi seperti itu
dengan sendirinya jatuh sebagai puisi gelap yang minim kode bahasa.
Puisi gagal dalam menjembatani terpahaminya ide pokok kepada pembaca
melalui pemaknaan yang logis. Sepadat apa pun, sebuah puisi tentu
terikat pada hal-hal pokok yang tidak logis jika ditabrak dengan
licentia poetica. Hal-hal pokok itu adalah apa pun yang terkait dengan
kode bahasa, apa pun yang menjadi petunjuk dalam pemaknaannya sesuai
konvensi yang berlaku. Penyimpangan hanya mungkin dilakukan sejauh itu
untuk memberikan kesegaran dan kebaruan, bukan menghilangkan dengan
radikal seluruh kode bahasa yang ada.
Seperti yang ditunjukkan oleh diksi “membincang” ini, dalam konteks
bahasa formal hal itu tentu tidak dibenarkan karena mengandung
ambiguitas, sehingga menyalahi tujuan komunikasi formal. Tetapi dalam
bingkai puisi, justru yang ambigu, yang taksa, yang melahirkan banyak
pemaknaanlah yang dikejar. Padahal tanpa tambahan afiksasi tadi makna
kesalingan bercakap-cakap telah dimengerti. Bukan karena kode bahasa
“membincang” itu, tapi karena teks lanjutan yang tersimpan di dalamnya.
Teks lanjutan itu atau makna atas teks lanjutan itu muncul karena
dorongan ide pokok dalam puisi, yang jika tidak ada justru tidak logis
dilihat dari pemaknaannya. Artinya, teks lanjutan tadi memang tidak
eksis dalam bentuk fisik, tapi ia mengeram di dalamnya karena kebutuhan
pemaknaan logis.
Begitu juga dengan diksi “negeri,” seolah kata itu adalah plat merah
pada kendaraan bermotor. Dengan cepat dapat dipahami, ia hendak mewakili
permasalahan negara yang didiami oleh kedua penyair. Padahal menurut
kode bahasa, secara definitif “negeri” itu bersifat umum dan bisa
berarti negeri manapun. Ia dekat dengan bahasa melayu, nagari yang
berarti wilayah, tanah, distrik, pemerintah, dsb. Tetapi negeri adalah
kata konkret, dengan jelas ia menggambarkan keterkaitan dengan teks lain
yang tidak disebutkan dalam puisi. Sesuai dengan ide pokok puisi, diksi
“negeri” itu tidak menghendaki substansi kenegeriannya, tapi
permasalahan yang ada dalam negeri tersebut. Pemaknaan seperti itu
muncul ketika kata “negeri” berkaitan dengan judulnya, yaitu “Kenduri
Air Mata.” Dengan adanya permasalahan itulah dikatakan ada kenduri di
sana, yakni beramai-ramai menyantap kedukaan yang diwakili oleh air
mata.
Dalam baris selanjutnya penyair berkata, “pertiwi diaduk perasaan
perasaan sendiri.” Baris ini menguatkan pemaknaan sebelumnya. Diksi
“pertiwi” juga merupakan kata plat merah. Dengan cepat dapat dipahami ia
hendak mewakili definisi sebuah negara kepulauan yang disebut
indonesia, meskipun secara harafiah ia diartikan sebagai tanah, bumi,
tanah tumpah darah. Atau jika mencermati lebih dalam dari studi
filologinya, “pertiwi” dari bahasa sanskerta pṛthivī, yang
merupakan dewi dalam agama Hindu, atau Ibu Bumi. Dalam sebutan lain,
Dhra, Dharti, Dhrthri, yang berarti “memegang semuanya.” Pengertian
seperti ini tidak berlaku sepenuhnya dalam puisi, sebagian sifat memang
diambil, tapi makna kata “pertiwi” telah berbelok sesuai kehendak kata
konkret darinya. Kehadiran kata pertiwi dalam baris ke dua menguatkan
pemaknaan negeri tadi. Artinya kedua orang yang bersembunyi dalam
kalimat pengganti subyek “perasaan sendiri” itu sedang diamuk kecamuk
perasaan yang beraneka bentuk, untuk itulah dikatakan “diaduk.”
Ketika pembacaan sampai pada baris ke tiga, “nyeri enggan berbagi,”
menghadirkan akhir perbincangan yang cukup mengejutkan. Substansi
perbincangan itu memang tidak disebutkan, tapi teks lanjutan yang
tersimpan jelas terbaca. Seperti halnya melongok ke luar jendela. Puisi
ini kecil seperti ukuran jendela itu, tapi darinya terlihat gambaran
yang luas. Dari jendela itu mungkin akan terlihat langit yang jauh,
ladang luas yang gersang, bocah kurus yang sedang bersedih duduk di
bawah pohon berdaun ranggas. Dari jendela yang kecil itu terbaca
kesedihan yang luas dan dalam. Namun kenapa dikatakan, “nyeri enggan
berbagi?” Kembali seperti melihat jendela tadi, kita tak dapat berteriak
pada gembala kurus yang sedang bersedih di bawah pohon yang meranggas
daunnya. Ia terlalu jauh. Kita tak bisa mengingatkannya ada badai besar
yang sedang mengejarnya. Kita merasakan nyeri atas itu, padahal tangan
kanan kita tengah memeluk anak dan tangan kiri kita sedang menggandeng
istri. Kita tak bisa mengabarkan badai itu, karena kita pun sedang
diserangnya. Begitulah puisi ini hendak mengabarkan kepedihan yang tak
terkata. Penyair bahkan enggan membagi nyeri yang dirasakannya. Ia
menelan sendiri pahit kenyataan itu, kengerian itu, kenyerian itu,
karena berteriak pun percuma.
Puisi “Kenduri Air Mata” ini, sesuai istilah saya adalah bentuk
komunikasi puitikal tingkat ke dua. Pertama kali ia melesat menuju nama
yang menjadi tujuan puisi, yaitu Agus R Sarjono yang juga seorang
penyair, cerpenis, esais, editor. Kemudian ia mengarah pada pembaca,
yang menghubungkan keterkaitan dua penyair dari segi ide pokoknya. Dalam
struktur pendeknya, puisi ini melakukan efesiensi maksimal sehingga
membuang kata bahkan afiksasi yang tidak diperlukan. Tetapi kata-kata
yang ditolak dari segi fisik itu muncul dalam bentuk teks lanjutan
bersebab kaitan logis pemaknaan. Yang terbaca darinya adalah gambaran
kedukaan untuk mewakili fenomena sosial-politik yang terjadi. Substansi
permasalahan itu sengaja disimpan, yang tergambar darinya adalah duka
tak terkata. Ia ada dan tinggal dalam perenungan-perenungan penyairnya,
yang bahkan enggan untuk dibaginya. Meskipun sebenarnya hal itu telah
sampai dalam pemahaman tanpa diucapkan.
Penutup
Saya kira kesimpulan secara garis besar yang bisa diambil dari
antologi “Sajak Emas” adalah mengenai kesaksian penyairnya dalam
menjalani kehidupan. Puisi-puisi yang dihadirkan dalam antologi tersebut
adalah upaya rekam-jejak. Karena satu-satunya yang dimiliki oleh
manusia itu sebenarnya adalah masa lalu, seperti yang saya katakan
sebelumnya. Maka dari itu penyair menyimpan kesaksian itu dalam puisinya
yang merupakan tempat perenungan kembali. Ada beberapa hal yang akan
luput dalam pembacaan heuristik karena strategi retoris yang diterapkan
penyair dalam puisinya. Pembaca mungkin akan terkecoh oleh kesederhanaan
diksi sehingga muncul anggapan yang familiar, biasa, jauh dari kesan
eksentrik. Padahal jika masuk pada tahap pembacaan hermeneutik, dalam
diksi-diksi sederhana itu sebenarnya terkandung perangkap estetik.
Setiap penyair memiliki cara yang khas untuk menyihir pembaca, termasuk
upaya defamiliarisasi teks. Dalam kesederhanaan atau kefamiliaran diksi
yang diusung oleh DAM ada beberapa hal yang sebenarnya keluar dari
bentuk familiar seperti upaya DAM dalam merombak pemaknaan. Penyair
memang tidak hendak membebaskan kata sebagaimana Sutardji, tetapi ia
membelokkan pemaknaan kata. Diksi yang umumnya dipahami sebagai konotasi
tertentu dibengkokkan. Sehingga yang muncul adalah makna baru yang
bersumber dari sebagaian sifat definisi lama.
Perlu dicatat, dalam prakteknya hanya ada dua jenis puisi jika
dilihat dari penyampaiannya, yakni puisi meja dan puisi panggung. Puisi
dengan diksi sederhana, dengan rima akhir yang disertai repetisi akan
lebih mudah diterima audiens, tetapi kurang menghanyutkan dalam
pembacaan hermeneutik. Maka dari itu puisi humor, puisi mbeling, puisi
balada dengan tubuh panjang lebih bisa menghibur dibanding puisi yang
memiliki tingkat kerumitan tinggi dalam pengucapan. Sebaliknya puisi
dengan diksi-diksi tidak familiar, yang fokus utamanya aspek semantik
atau penampilan visual yang eksentrik cenderung lebih sulit diterima
pemahaman audiens. Puisi menjadi asing dan sulit dicerna dalam momen
cepat, apalagi di atas panggung puisi bukan dibaca oleh penikmat tapi
didengar. Maka puisi absurd, puisi prismatis, puisi gelap, puisi pendek,
lebih cocok untuk direnungkan dan diamati kata-per-kata.
Melihat fakta tersebut, seluruh aspek dalam puisi seperti rima akhir,
repetisi, kata kongkrit yang klise dab berlebihan tidak bisa dikatakan
melemahkan puisi saat menimbang ruang penyampaiannya. Saya kira fakta
tersebut yang juga mempengaruhi puisi DAM. Di satu sisi puisinya
bercirikan diksi sederhana, dengan pola repetisi dan penggunaan rima
akhir yang sama atau mirip. Begitu juga dengan kata-kata kloningan
berdasarkan kemiripan fonem. Di sisi lain DAM tetap memperhatikan
hisapan pemaknaan dalam ruang dan waktu penikmatan yang berbeda. Maka
dari itu penyair mengatakan hendak menggulirkan konsepsi estetis yang
disebutnya sebagai “saksi yang sexy.” Puisi menurut penyair bukan
sekedar indah dari bentuk fisik atau luarnya, tapi juga memperhatikan
bentuk dalaman yakni maknanya. Dengan pengalaman lebih dari 25 tahun,
konsep-konsep yang ditemukan oleh DAM diramu sedemikian rupa demi
memunculkan puisi yang mewakili dua ruang pembacaan sekaligus: meja dan
panggung.
Lalu apakah konsepsi estetis yang hendak digulirkannya dalam “Sajak
Emas” adalah sebuah wacana yang bersifat fenomenal, monumental,
spektakuler, best seller? Lebih awal DAM telah menggaris-bawahi
dalam pengantarnya dengan sebuah fakta di lapangan, sebuah bentuk
kesadaran atas pengalamannya sesudah sekian lama malang melintang di
dunia perpuisian Indonesia, yang dikatakannya, “Saya amat tahu diri
bahwa dunia perbukuan di bidang puisi lebih bersifat ‘proyek rugi’
secara finasial, tetapi ‘proyek besar’ bagi kemanusiaan.”
Kajitow El-lkayeni
Redaktur BPSM