Rabu, 22 Februari 2012

MENGGALI KEKUATAN ESTETIK PUISI MELAYU


Dimas Arika Mihardja
Jambi-Indonesia


Ancang-ancang

Teks puisi selalu berhubungan dengan konstruksi pengetahuan budaya ter­tentu (Da­mono, 1984; 1993; Kleden, 1986; Kartodirdjo, 1987; 1992; Kuntowijoyo, 1972; 1991; Soedjatmoko, 1984; 1994; Nasr, 1993; 1994; Pearson, 1994). Se­bagai con­toh, puisi Jawa merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya Jawa, puisi Bugis-Ma­kas­sar merepresentasikan kon­struksi realitas nilai bu­daya Bugis-Makassar, puisi Melayu Jambi merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya Melayu Jambi, puisi Indo­nesia merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya Indone­sia, puisi Afrika merepresentasikan nilai bu­daya Afrika, dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa puisi selalu erat berkaitan dengan nilai budaya tertentu karena ke­beradaan dan kedudukannya sebagai sistem lambang budaya mem­buat­nya selalu terlekati nilai budaya dalam konteks dan proses dialektika bu­daya tertentu (Teeuw, 1982; Mulder, 1987; Damono, 1995; Ajidarma, 1995).

Puisi Neo-Melayu-Indonesia menam­pilkan ha­yatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan tentang kon­struksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialek­tika bu­daya Neo-Melayu-Indonesia. Dalam hubungan ini dapat dinyatakan bahwa puisi Indonesia yang ditulis oleh penyair berlatar belakang budaya Melayu Jambi, misalnya, akan menam­pilkan ha­yatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan tentang kon­struksi realitas budaya Melayu Jambi di tengah konteks dan proses dialek­tika bu­daya Indonesia. Puisi Indonesia selalu membayangkan atau menghadirkan ten­tang konstruksi re­alitas bu­daya Indonesia yang dihayati, direnungi, diingat, dipikirkan, diga­gas, dan dipandang oleh sas­trawan (Mulder, 1985: 72; 1987: 27-28; Ab­dullah, 1996: 44-45). Puisi Indonesia juga dipandang sebagai teks dan sekali­gus inskripsi yang selalu merepresentasikan konstruksi re­alitas budaya Indonesia. Yang terepresentasi dalam puisi Indonesia adalah konstruksi realitas nilai bu­daya Indonesia.

Penulisan makalah ini didasarkan pada sejumlah asumsi berikut ini. Pertama, puisi selain merupakan bentuk karya sastra tertua, merupa­kan teks yang di dalamnya penuh dengan misteri. Kemisterian itu antara lain tampak ketika dilakukan pemba­caan puisi, sering terjadi, pembaca mengalami kesulitan dalam mema­hami keseluruhan makna puisi, sebab dalam realitasnya penyair sering menggunakan cara pengungkapan yang unik. Cara pengungkapan yang unik tersebut antara lain melalui konsepsi estetis tertentu oleh penyair tertentu. Oleh karena itu, konsepsi atau wawasan estetik teks puisi Indonesia perlu dipaparkan dan diberi penjelasan secukupnya sehingga pembaca puisi Indonesia memperoleh informasi yang diperlukan dalam memahami ‘kemisterian puisi’ .

Kedua, di dalam teks puisi terdapat cara ekspresi atau strategi komunikasi yang bercorak “unik”, mengandung unsur per­mainan, ekspresi yang ‘menunjukkan’ tanpa kata-kata, berisi kias, lambang, dan lain-lain. Fenomena “keunikan” tersebut berkaitan dengan pemakaian bahasa kias dan lambang serta strategi komuni­kasi yang dipilih oleh penyair dalam fung­sinya untuk mengkomuni­kasikan ide-idenya.

Ketiga, teks puisi yang terekspresikan melalui “keunikan” itu mengandung nilai-nilai budaya, yakni nilai edukatif, nilai religius, nilai filosofis, ni­lai etis, dan nilai estetis. Nilai edukatif berhubungan dengan adanya ajaran, pesan, atau amanat yang terungkapkan me­lalui “keunikan puisi”. Nilai religius berhubungan dengan keteri­katan manusia kepada kekudusan dan kesucian Tuhan Yang Maha Esa. Nilai filosofis berhubungan dengan keterikatan manusia kepada ke­benaran dan kete­patan. Nilai etis berhubungan dengan persoalan ke­baikan dan kesusi­laan. Nilai estetika ber­hubungan dengan per­soalan keindahan dan keelo­kan fenomena estetis. Beragam nilai budaya itu perlu dipaparkan dan dijelaskan sehingga dapat menambah kekayaan rohani pembaca terhadap khazanah budaya bangsanya.

Keempat, realitas yang disebut puisi merupakan ‘gejala komunikasi khas berupa bahasa yang diabdikan pada fungsi estetis’ (Aminuddin, 1990 :61). Puisi mengandung unsur-unsur yang yang hadir secara simultan, yaitu paparan bahasa, struktur isi, dan aspek keindahan. Berdasarkan ciri hubungan, ciri kehadiran, dan tingkatan hubungan antarunsur dalam membangun totalitas puisi dapat diketahui bahwa unsur pembangun itu dapat bersifat internal, yaitu unsur yang hadir secara simultan, mengandung pasangan langsung, dan saling berinterdependensi, dan unsur yang bersifat eksternal, yakni unsur yang apabila ditinjau dari perspektif entitas puisi merupakan unsur-unsur yang memiliki hubungan kausal dan fungsional. Penjelasan dan pemaparan aspek intrinsik dan ekstrinsik teks puisi akan menambah khazanah wawasan pembaca dalam upaya merebut maknanya.

Kelima, secara teoretis-metodologis dapat dikemukakan bahwa (1) “keunikan puisi” merupakan salah satu unsur gejala komunikasi bahasa yang secara objektif terwujud dalam unit struktur tertentu, (2) “keunikan puisi” merupakan unit struktur yang dapat disegmentasikan tanpa melepaskan dari ciri relasi dalam totalitas teksnya, (3) pemberian makna dan penjelasan setiap segmentasi “keunikan puisi” tidak dapat dilepaskan dari ciri relasi struktur dalam totalitas teksnya, dan (4) antara pembaca dengan teks yang dibaca, atau antara apa yang diketahui oleh pembaca dengan pemberian penjelasan tidak dapat dilepaskan.

Pertanyaan utama yang relevan dicarikan jawabannya ialah “bagaimanakah kekuatan estetik puisi Yupnical Saketi (selanjutnya disingkat YS) dalam konteks apakah wawasan estetik itu dapat dilacak melalui wawasan filosofi dan identitas lokalitas dan globalitas?” Dalam upaya menjawab pertanyaan ini, secara berturut-turut dikemukakan hasil penggalian wawasan estetik puisi YS dengan subbahasan (1) wawasan estetik puisi YS dan simbol bendera “Karamentang”, (2) lokalitas dan universalitas tema puisi YS, dan (3) konsepsi filosofis corak dan gaya puisi YS.

Wawasan Estetik Puisi Yupnical Saketi dan Simbol Bendera ““Karamentang””

Setiap penyair memiliki latar belakang sebagai cikal-bakal wawasan estetik untuk pengucapan puisi-puisinya. Pemahaman latar belakang penyair merupakan konteks yang tak dapat diabaikan. Bagi YS (lahir di Kerinci 15 Juni 1976) puisi tidak sekedar dijadikan hobi, melainkan telah dipilih menjadi bagian dari kehidupan dan bahkan kehidupan itu sendiri. Terkait dengan hal ini dapat kita baca “pengakuan konsepsi estetis” YS yang dapat digali dan dicermati melalui petikan berikut:

Puisi bagiku kini sudah bukan lagi sebatas kesukaan atau hobi, tapi juga bukan alat/media propaganda untuk orientasi tertentu, puisi sudah menjadi bagian utuh dari hidupku sendiri. Dengan puisi aku berasa, berkata, berdoa, berbuat, bekerja dan berkarya, hingga berguna dan bermanfaat bagi kemaslahatan adanya diri ini di dunia fana ini. Ya, dengan puisi aku ingin menyapa, mengingatkan, membagi, mengisahkan, mengkritisi, bahkan memarahi atau pun menyumpahi dengan kehalusan cinta, bahasa, rasa, rindu dan langu.
          
           (Sumber: Sebuah Konsepsi Oleh Yupnical Saketi , Februari 2012)


YS telah hidup dalam denyut puisi dan ekspresi seni sejak anak-anak. Tradisi puisi dan seni yang melekat dan menjadi bagian tak terpisahkan itu “diwarisi” dari tradisi lisan dari Ibu Musnimar dan Ayahnya, Masril Yaqin, seperti yang dituturkan dalam petikan penuturan YS ini,

Aku sudah mengenal puisi sebagai 'sanjak' semenjak masih usia kanak-kanak (balita), dikenalkan oleh almarhumah ibuku Musnimar yang dulunya memang suka menyanyi (bertale) mendongeng (ber-kunoun) dan mengarang sekaligus membaca sajak secara spontan. Beliau selalu menyisipkan kutipan sajak karangannya secara spontan dan lisan itu ke dalam dongengan 'kunun' yang diceritakannya ketika setiap malam meninabobokan kami (aku dan adikku) di mahung (pondok) berdinding 'pelupuh' (dinding samakan dari bambu) kami di tengah ladang di tepi selapis hutan TNKS lembah Layan Bukit Singgaling kecamatan Gunung Raya, Kerinci. Ya, masa kecilku memang habis dengan hidup sebagai 'anak rimba' di tepi hutan tersebut, karena ayahku (Masril Yaqin) dan ibuku adalah petani yang dipercaya seorang 'induk semang' merawat lahan ladang kayu manis miliknya dengan sistem bagi hasil.

 (Sumber: Sebuah Konsepsi Oleh Yupnical Saketi , Februari 2012)
.


Perlu ditambahkan bahwa tradisi lisan yang diwarisi dari kedua orang tua YS itu kemudian hari menjadi dasar eksplorasinya dalam menulis puisi. Puisi-puisi yang ditulis oleh YS yang didasarkan pada “warisan seni tradisi” itu dapat dilacak melalui pernyataannya berikut:

Kupelajari kesemua unsur 'anatomi sastra' pada kekaryaan lamaku itu. Kugali setiap bagian darinya sampai akhirnya kumenemukan alasan kenapa dan apa yang sebenarnya telah melatarbelakangi dan menjadi jiwa perpuisian gaya asliku itu, yakni hal ikhwal tentang kekaryaan yang dilandasi oleh kenangan masa lalu/masa kecilku dulu yang begitu akrab dengan tradisi masyarakatku Kerinci seperti yang dikenalkan ibuku yakni Tale dan Kunoun.

Juga tradisi lain yang dikenalkan ayah dan masyarakat desa di sekitarku seperti Kiyu (tradisi berupa teriakah para peladang dan pemburu mirip teriakan tarzan, sebagai bentuk komunikasi non-verbal orang-orang di rimba), Serau (sebentuk tradisi ritual bermuatan telepati di, digunakan untuk memanggil seseorang pada zaman dahulu sebelum adanya alat komunikasi canggih seperti saat ini, sesorang yang diseru adalah sesorang yang jauh di rantau untuk pulang ke kampung halamannya).

Lalu tradisi Tauh (sebentuk tarian ritual dengan gaya tarian bebas mengikuti muatan magis yang terbangun yang digelar saat kenduri adat atau kenduri sehabis musim tuai, setiap penari seperti berupaya melakukan komunikasi dengan roh atau arwah neneak moyang), Asyek (sebentuk tarian tradisional bermuatan ritual pengobatan, atau tolak bala terhadap adanya pengaruh jahat makhluk halus yang menganggu kehidupan masyarakat desa).

Rangguk (tari tradisi khas masayrakat Kerinci dimana penari menari sambil memainkan alat musk rabana/marawas kecil. Tari ini diyakini terlahir bersama pengaruh seni tradisi Islam semasa pertama berkembang di Kerinci). Akhirnya kutemukan esensi dari kesemua tradisi itu yang ternyata sedari awal dengan sendirinya telah hadir, menyatu dan menyublim dengan kekaryaan puisi-puisiku itu dengan sendirinya, baik itu licentia poetica, semiotica, gramatical maupun esensi lainnya.

(Sumber: Sebuah Konsepsi Oleh Yupnical Saketi , Februari 2012)


Warisan seni yang diperoleh secara alami melalui tradisi lisan itu turut membentuk karakater dalam diri YS. Selain itu, secara alami pula YS berkarib dengan lingkungan alam di mana ia bertempat tinggal. Bagi YS, “alam terkembang menjadi guru” yang mengasuh dan mengasihinya. Kita simak penuturannya soal kedekatannya dengan lingkungan alam ini:

Tiap hari suasana alami perladangan tepi hutan dan di antara lingkungan pematang pebukitan serta belahan lembah-lembah itu kutemui, apalagi ibuku yang memang suka ber'tale' sering bersenandung kala bekerja di tengah ladang, dan rutin pula mendongengkan 'kunoun' kepadaku. Tiap bagun pagi bertemu air kebas (embun pagi) yang hinggap di dedaunan ruputan, di bawah siraman sinar matahari pagi yang hangat dan cerah serta kicauan siulan beburung, teriakan siamang, begitu pula ketika petang menjelang.

Pemandangan pebukitan dan pegunungan, hutan rimba dan areal perladangan casiaverra (kayu manis), tanah humus yang subur dan gembur, Sungguh suasana yang sangat mendalam telah mengendap dalam sanubariku dan berbekas hingga kini. Hidup menyatu dengan alam. Istirahat dan bekerja seirama dengan alam. Ternyata semua suasana yang tersaji itu dengan sendirinya telah membentuk intuisi/naluri seni itu secara alamiah tumbuh berkembang di sanubariku.

(Sumber: Sebuah Konsepsi Oleh Yupnical Saketi , Februari 2012)


 Salah satu 'licentia poetica' yang dilakukan oleh YS sebagai dasar pengucapan wawasan estetik puisinya, yang dapat kita temukan di setiap puisinya adalah pengucapan 'O, yang juga merupakan implementasi dari pengucapan serupa/mirip yakni Oi, Hoi, Huy, Ae dan sejenisnya selalu muncul/ada dalam kekaryaan puisinya baik itu secara tersurat maupun tersirat. Pengucapan itu ternyata adalah unsur yang juga selalu harus ada di dalam Kiyu, Kunoun, Tale, Serau, Tauh dan lain sebagainya sebagai mplementasi dari luahan/luapan jiwa secara spontan/alamiah. Kita simak sebuah puisinya yang secara inheren menampilkan O dan simbol bendera “Karamentang” ini:

O Berkunjung ke Istanamu

dan bulan sudah agustus, musim meletus lagi
lalu kita berkunjung lagi ke istana itu
mempersembahkan luka dusun-dusun sebagai upeti reraja
O lihatlah upacara gerhana sudah kembali digelar
bagi negeri nan lah lama tergadaikan
sedang orang-orang masih sibuk memperebutkan
harga sebuah tahta
lalu berpura-pura lupa kirim undangan pada kekawan di ujung desa
ketika leladang kita kini lah lama enggan berbunga
siapa peduli
agustus, cuaca meradang matahari memanggang
dan diantara mersik reranting randu di halamannya
kita menari dengan hati nan resik pula
ah angin kering menggasing, berputar-putar dalam
gelas-gelas anggur di meja percaturan
kita pun lantas ikut bersulang meminang mabuk
kabut tersudut, bidak-bidak terdepak
jadi tumbal pemuas dahaga para pemakai mahkota
selebihnya, bumi menggasing, bumi kian terasing
O di istananya kita menulis langit dengan tinta ketakutan
tentang garuda nan kepayang, lupa warna bendera pusaka
apalagi “Karamentang” nan tak pernah lagi terunjang
waktu cuma diam, detak tak menjadi hitungan
hanya angin genting saja menyayat
engkau tak ada, tak pernah ada
di sepanjang desa-desa aku bagai pimping di tebing, ratapi langit
dan bertanya siapa nan menabung semesta prahara
akhirnya kudengar desah bangunan
menjalin sajak igau dalam lenguhan do'a nan parau
O bulan sudah agustus rupanya, saatnya kemarau

Istana negara, Kota metropolitan, Jakarta; 17/08/04

Pengucapan O hadir baik pada judul, maupun di beberapa bagian puisi YS. Puisi ini sepertri titimangsa yang menandai akhir puisinya ditulis di Istana Negara, Kota Metropolitan, Jakarta 17/08/04. Puisi ini hadir menyerupai kibaran bendera “Karamentang”, sebuah umbul-umbul khas Daerah Kerinci yang dipajang pada saat perayaan tertentu. Secara visual, bendera “Karamentang” itu terbentang melalui tipografi yang terdiri atas larik-larik puisi dalam satu ikatan bait.  Meski secara tematik puisi ini menyodorkan refleksi permasalahan nasional, permasalahan nasional saat perayaan kemerdekaan itu terekspresikan juga melalui kibaran bendera “Karamentang” yang terbentang pada perwujudan puisi secara utuh-menyeluruh.

Begitu pula dengan model topografi bebas tanpa bait yang selalu muncul dan mengasyikkan bagi YS dalam merangkai puisi ternyata adalah sesuatu yang berangkat pula dari tradisi masyarakat Kerinci, kenangan rupa/tatapan terhadap keberadaan “Karamentang”/Karabentang/Karamento. “Karamentang” ini adalah semacam bendera/sempana/panji/umbul-umbul adat masyarakat Kerinci yang selalu dikibarkan di desa-desa di Kerinci setiap kali desa itu merayakan Kenduri Sko setiap musim panen usai tiap tahunnya (bahkan hingga kini). Hal ini menjadi pengalaman mimesis pula, khususnya dari sisi (seni) rupa yang terekpresikan ke dalam bentuk topografi karya-karya puisi yang bebas tanpa bait menyatu utuh dari awal hingga akhir.

Bendera “Karamentang” itu sangat berbeda bentuk dari bendera pada umumnya, dia lebih menyerupai umbul-umbul atau panji perang. Didesain menyerupai ular naga, yang dibagian kepalanya menggunakan kerangka kepala kerbau sebagai peniruan kepala naga. Sementara bendera yang menjuntai panjang dan bebas adalah badan dari naga itu. Berbeda dari cara pengibaran bendera lain maka pengibaran “Karamentang” ini adalah dengan cara menggayutkannya/menggantungkan di ujung sebatang bambu yang menjulang tinggi. Berangkat dari mendalami filosofi itu pulalah kemudian YS menemukan adanya kesamaan konsep pemikiran/nilai-nilai dari Karamanetang itu dengan keberadaan puisi-puisinya, sebuah puisi yang tak ingin terkungkung dalam pembaitan sebagaimana esensi dari tuntutan muatan puisi yang ingin disampaikan baik secara essensi (etika/makna) maupun keindahan (estetika). Seperti apakah estetika dan simbol bendera “Karamentang” itu dirfentang-panjangkan dalam puisi-puisi YS, dapat kita simaak sebuah puisi berikut:

O Bumi Sailun Salimbai

O puti, inilah senandung jolo dari sebuah negeri tua di bantaran batanghari
ranah tempat dulu belukar berbiak ngeri
dan kita tegak bak cagak menyangga kota, menyimpan rahasia
tentang bebayang yang melambai, sunyi membelai balai
ya puti, di belukar inilah dulu kita bangun candi, altar marun tempat hati
saling bercumbu, memagut rindu dalam gairah yang naga
percintaan hanya se-tabir rupa siluet mengundang senja
O inilah nandung jolo itu
yang menjulai seperti kelok kanal-kanal atau liuk anak-anak sungai nan
nyusup di sela lentik jemarimu
berkelok-kelok melintasi parit dan lubang seruling mencari bebukit
tempat bersarang ruak-ruak, tiung dan kuwau (beburung khayangan)
di binar matamu puti, ada ruang biru mengharu
aku tenggelam di kedalamannya
di perjamuan rindu itu, udara menghela kekisah basah dari pedalaman
mendalo laut dan darat, pijoan, marosebo, sekernan dan sengeti,
bukit baling, sungai bahar, sungai gelam, kumpeh, tangkit dan tempino
yang di bawahnya terkubur cerana, bejana dan mahkota
ya puti, inilah negeri sailun salimbai itu
tempat jejanji para pengembara terikrarkan kepada kekasih
ranah tumasik bagi tongkang-tongkang petualang menyulam layar
semua singgah walau sejenak
O lihatlah, orang-orang lah membuhul candi di pedalamannya
bumi melayu jejaknya menyala, di sini
ya, dulu sekali
kajanglako terdampar di caruk ini, sang matahari cintanya tertambat pada
pantai berpagar pinang merah
senja kala itu puti, cinta hanyalah rimba, dan langit hanyalah rahasia
hingga semua kisah tersesat sebelum dusun sempat menyusun tepian
lalu hari ini, semua kembali
kampung-kampung lah menyala, lelampu adalah kekunang
bumi itu, membangkitkan lagi gairah percintaan lama
ya puti, seperti udara di batas pergantian cuaca, kita masih sailun salimbai

Bumi Sailun Salimbai, Muaro Jambi; 05/09

Puisi “O Bumi Sailun Salimbai” ini secara fisik hadir dengan rtipografi bendera Karamental yang di dalamnya terdapat banyak ikon-ikon kekayaan yang dimiliki oleh Bomi Sailum Salimbai” (Muaro Jambi). Pilihan kata, simbol, kias, metafora dan gaya bahasa oleh YS dimanfaatkan untuk memadatkan ekspresi “rewsah dan gelisahnya” atas berbagai fenomena yang terjadi saat puisi ini ditulis (Mei 2009). Puisi ini nyaris jatuh pada ratapan seperti seni krinok dari Kabupaten Bungo, seperrti juga seni tradisi Senandung Jolo di Kabupaten Muaro Jambi, dan terikut pula seni tradisi tauh sewrta dilengkapi nama-namaa entitas daerah di wilayah Muaro Jambi seperti Sungai Gelam, Mendalo Laut, Pijoan, Marosebo, Sekernan, Sengeti, Bukit Baling, Sungai Bahar, Kumpeh, Tangkit, Tempino dan seterusnya. Di daerah-daerah inilah jejak Melayu begitu jelas dan menegas. Di Bumi Sailun Salimbai ini pula konon perahu Kajanglako pernah mendarat, sebuah puisi yang menampilkan kekhayaan dan kejayaan bahasa (dan budaya) Melayu di Jambi.

Secara estetis, kibaran bendera “Karamentang” itu lalu menjelma tipografi khusus pada puisi-puisi YS. Tipografi Kalamentang itu dapat dipahami melalui penuturan YS berikut:

Seperti yang telah kupaparkan di atas tadi bahwasanya model topografi aneh nyeleneh yang telah berkali pula mengundang kritik ini adalah model topografi yang berangkat dari penggalian wujud dan esensi baik secara rupa maupun makna dari keberadaan “Karamentang”/karabentang, bendera adat dari masyarakat Kerinci, maka berikutnya model topografi itu aku kasih sebutan 'Topogrfi “Karamentang”'. Topografi model '“Karamentang”' tanpa adanya pembaitan konvensional layaknya puisi pada umumnya adalah aplikasi dari eksplorasi atas essensi estetik dan etik dari keberadaan “Karamentang” (bendera/panji/umbul-umbul adat masyarakat Kerinci).

Aku sungguh tak bisa melakukan 'mutilasi' pembaitan itu hingga jadi bait layaknya pakem/konvensi puisi seperti yang ada skarang ini pada umumnya. Topografi bebas tanpa bait serupa kibaran 'karabentang' (bendera/umbul-umbul adat masyarakat Kerinci, yang aku pilih dan pakai ini) memang kuakui di luar kelaziman pakem/konvensi puisi-puisi pada umumnya.

(Sumber: Sebuah Konsepsi Oleh Yupnical Saketi , Februari 2012)


Diakui oleh YS bahwa tipografi “Karamentang” itu bukanlah sebatas model, gaya, atau bentuk yang dimaksudkan jadi ikon atau pun ciri khas, melainkan merupakan hasil ejawantahan dari sebuah proses panjang kekaryaan dan pemahaman atas esensi dan filosofi yang terkandung dalam karabentang itu sendiri (pepat di pangkal dan bebas menjulai di setiap ujungnya).  Kesatuan utuh kata perkata, baris perbaris dalam satu bait yg bulat dari puisi-puisi YS tersebut memang dimaksudkan untuk menyiratkan muatan itu, hingga keberadaan pemaknaan puisinya sendiri memang tidak bisa dipecah menurut bait sebagaimana suasana, nuansa dan imaji yang terbangun dalam proses penciptaannya memang adalah sebuah kesatuan utuh. Puisi yang berciri “Pepat di pangkal dan bebas menjulai di setiap ujungnya dapat disimak pada contoh puisi berikut:

O Jiran

dan peta-peta pun hanya sesaput angin yang berlayar, dalam remang
hanya kita nan menua tersapu gelombang, hanya seketika
lalu pupus jadi ruap-ruap buih di pantai
hati nan berpasir getir gurindam ditelan
O kekasih kenapa kau anjungkan juga surat itu
selaras senapang rumpun-rumpun dendam nan tak bersilsilah
aku karam, aku garam
padahal lah kuarungkan bunga pelangi ke dermaga
asing dalam ruang matamu nan kelam
tiada mercusuar hanya pagu-pagu dan
tapal batas warisan kolonial di caruk tana gambut
hingga pulau-pulau dan semenanjung gemeretak terjala api
serta senandung melayu kemayu tercampak sunyi laut yang surut
jiran tak lagi bertitian, kita membibitkan perang di angan
ketika usia masih kelana udara
O cuma tersisa suwir luka lama kini gurat angkasa, lihat
dan pantai-pantai mengintai curiga di terang bulan
aku jualah nan terlalu kalut cemburu
cindaimu terlalu sulut picu rahasia silam pualam
ya, kita mungkin tak lagi sepasang kekasih
peta di tangan lah sama terbakar lapuk, buta saling menyamun
jiran?
ah, jiran apa nan hanya pelihara pasang
dan orang-orang tuai kesumat angin jadikannya badai, lumat buih pantai
titian terkulai
O puti, kita ternyata hanya sebatas bendera
nanti pastilah kan patah jua

Tanah Pilih Pseko Batuah, Jambi; 09/10

Puisi pertama “O Berkunjung ke Istanamu” yang merupakan refleksi pemikiran tentang persoalan nasional saat perayaan kemerdekaan Republik Indonesia (tahun 1994), lalu puisi kedua “O Bumi Sailun Saloimbai” lebih merupakajn refleksi pemikiran persoalan daerah Muaro Jambi, maka YS pun tertarik membicarakan atau mewacanakan negeri jiran dalam contoh puisi ketiga, “O Jiran” pada tahun 2010. Kepedulian YS mengusung tema nasional, lokal, dan regional dan bahkan global yang diabadikan melalui puisi yang mengusung bendera “Karamentang”, tentu saja menunjukkan sikap pedulinya sebagai penyair sebagai “pejalan ulang-alik budsaya”. YS sebagai pelaku budaya sencara nyata memberikan refleksi pemikirannya pada masalah lokalitas, nasional, dan bahkan global dengan dan melalui puisi-puisinya yanag unik, kuat, ekspresif, impresif, dan kontekstual. Apakah makna di sebalik pengibaran (dan pengudaran) simbol “Karamentang” ke dalam puisi-puisi YS?

Meskipun di sisi lain setiap kata maupun baris dengan gemulai tarian kebebasan ujung-ujungnya memiliki kemerdekaannya sendiri dalam menjulai mencapai sanubari publik pembaca. Menurut konsepsi pemikiran YS, layaknya tubuh dan kehidupan kita sendiri, yang meskipun utuh sebagai satu kesatuan namun setiap bagian mmiliki kebebasan dan kmerdekaanya sendiri dalam pemaknaan keberadaan sang tubuh. Tangan misalnya, meskipun dia mmiliki fungsi dan esensi tersendiri tapi dia adalah bagian utuh dari sebuah tubuh, begitu pula halnya dengan kaki, perut, dada, mata kemaluan dan kepala. Mungkin saja dalam menjalankan kemerdekaan fungsinya itu terkadang membuat kekeliruan atau bahkan kesalahan.
Namun tentu saja memutilasi/mengaputasinya bukanlah cara bijak untuk memberikan hukuman pada anggota tubuh yang berbuat kekeliruan itu, apalagi pemisahan itu harus dilakukan hanya dikarnakan untuk kepentingan pemaknaan terpisah antara satu bagian dengan lainnya.

Tipografi '“Karamentang”' ini juga merupakan filosofi untuk penyampaian pemaknaan muatan nilai kehidupan yang mengikat namun tidak mengekang layaknya nilai-nilai adat, sebagai sebuah narasi maka dia adalah peristiwa yang belum menemui ujungnya sperti halnya dinamika kehidupan kita sendiri sebelum bertemu dengan yang namanya kematian. Setiap pembaca tentu saja memiliki kemerdekaannya sendiri dalam mengembarai lautan makna, rasa dan nuansa yang ada di dalamnya. Selain itu tipografi ini pun merupakan pula pemahaman YS dalam mengaplikasikan dari model tipografi surat-surat/ayat-ayat dalam kitab suci Al-Qur'an, yang sejauh pengamatan YS selama mengaji meskipun setiap surat memiliki djus-djus, ayat-ayat, namun samasekali tak ditemui adanya pembaitan dalam penulisan kitab itu. Pembaitan yang terjadi di dalam kitab suci tersebut adalah pembaitan semu yang menyatu utuh dengan setiap ayat-ayatnya, dalam kata lain, ayat itu sendirilah yang menjadi bait-baitnya.


Lokalitas dan Universalitas Tema Puisi

Penyajian tiga contoh puisi karya YS pada paparan sebelumnya menunjukkan bahwa secara tematis, puisi-puisi YS mengusung tema lokalitas dan sekaligus universalitas. Satu hal yang mungkin sudah terlalu melekat dan menyatu dengan sendirinya dalam wujud karya-karya YS adalah begitu kentalnya tema-tema yang diusung dalam model lokalistik ke-Kerinci-an (ke-Jambi-an), seakan YS enggan dan menghindar dari tema-tema universal. Tema-tema lokalitas dalam puisi-puisi YS terkait dengan tiga sifat kemelayuan yang oleh Putten (2007) lekat pada agama Islam, adat, dan bahasa Melayu atau kalau merujuk pandangan Houtman (2007) mencakup keindahan, faedah, dan kesempurnaan rohani. Tak jarang dari tema-tema pilihan tersebut karya-karya YS terkesan justeru mundur dan menyempitkan segala sesuatu yang sebenarnya sangat luas. YS seakan enggan atau menghindar bahkan dinilai tak punya kemampuan dan minus wawasan terhadap kehidupan yang universal saat ini, di mana ini adalah era globalisasi, digitalisasi, dan arus keterbukaan informasi melalui berbagai media sudah begitu lempang dan vulgar.

Contoh-contoh puisi YS yang bertema lokalitas, dapat kita baca pada tiga kutipan puisi yang semuanya bertitimangsa tahun 2011, yakni “O Bukit 12”, “O Cumpu Anai”, dan “O Tunggul di Batas Hutan seperti dikutipkan berikut:

O Bukit 12

udara pucat melintas berkasih
puisi lah sempurna didendangkannya dalam gema mantra lama
dan gemeratab dada. iramanya
tentang rindang langit yang runtuh ke pangkuan anak rimba
maka jelma lah ia 12 sisi hompongan 12 dubalang dan 12 titik jam
yang hempangi luapan mimpi liar tuju pondok-pondok terbuka
di puncak huma, puti
menggerus segala perhelatan asmara bunga-bunga di laman lengangnya
di altar besaleh tempat angin semalam dibaringkan
dan kalalek berkelapakan dengan sayap tercabik
ya, aku lah membenamkan perih ke pusaran rawa durinya
biar baning dan lelabi mengurai kisah baru tentang masa depan
ketika kalender di tanggalan menerus luruh seperti jam pasir di dadamu
dan engkau lah pula sunting nak-anak anggrek ke dahan aro
sangaikan asa setinggi awan O
''keagungan tidak bersemayam di puncak gedung, tapi bersarang di pucuk
tertinggi pepohon di gunung nan haru''
angin aroma purba mendamparkan bukit-bukit, sakit-sakit
bersimpang-simpang jalan setapak mencari adam, nabi yang tersesat
karena hawa sang bulan lah gugur lama
lumut-lumut tua terjuntai serupa legenda menuruni huma kerontang
dan ditingkah seru kiyu kita meminang lagi kekunang dengan malam
saat pekik siamang bergulung ke palung lembah nan rengkah
jambangan sanak-sanak
O di bukit 12, selingkar jam telah meluluh hari, halilintar tak berbunyi
tak ada jendela di sini tempat memanggu cerita
tentang cinta yang terkulai serupa sialang nan langu sempanjang waktu
apalagi matahari untuk mematut diri menjengkali bebayang sendiri
tak ada, hanya seanyam embun rembes ke kaki lalu jelma lubang sepi
dan lantas tersadar betapa malam lah begitu terbuka
hingga mimpi tercuri angin
puti, kitalah sepasang bukit dengan seunggun sakit
mengetam janji purba yang serupa terok dan serampang terluahkan
menghujam ke dada luhah-luhah bergetar telanjang
udara begitu dingin di ranjang balai-balai sokola halom
kekanak rimba tatapannya kosong, disesak luka
yang tak kuasa dimengerti. berlipat-lipat langu memenjara asa yang
berterbagan dalam kepala
karena selalu ada yang rindu berebut warna ungu, hati yang menjanda
ditinggal rindu
O seperti kekasih, bukit 12 nanti kan kembali dijumpa entah di mana
entah mungkin tak lagi bernama, seperti kita

Bumi Serumpun Pseko, Sarolangun-Jambi; 25/09/11


O Cumpu Anai*)

ssst, gadis kecil beranjak remaja dari rimba kenangan itu bernama
cumpu anai
tidak, dia masih tetap misterius seperti waktu itu
malu-malunya masih sempurna seperti bebayang rindang hutan perawan
di bukit singgah, hompongan khayangan negeri dewa-dewa
yang nitis ke para satwa dan bebunga pohonan merunjang angkasa
berumah dalam rindu nan langu, hidup tak lebih dari debur di nadir
ya, dia masih terus bungkam selain kekehnya yang renyah
kekata masih beku di bibirnya, balu serupa gerbang rimba yang terkunci
ketika pada sebatang pohon raksasa tumbang di jalan setapak
kita lalui dirapuhkan usia gerhana
sambil meniti gamang asa kita mengajaknya berbincang
sebuah dongeng tua tentang sorang pangeran matahari yang tak lelah
sasar bertualang mencari pelangi tuk dijadikan selendang putri bulan
di ambang sore, ia telah datang
kepada telaga-telaga lengang, atau hulu anak-anak sungai yang terperangkap pedalaman pegunungan nan ngungun
tempat sunyi berseruling gelepar rindu, bersarang mengeram langu. atau
nyanyi hening bersemayam uap-uap embun nyusup ke rabu
O cumpu anai cuma tertegun dengan senyum
nan tak pernah kuasa kita terjemahkan kecutnya
guna jadikan puisi atau lagu tentang cinta nan nyangkut pada
rambut nirwana di kepalanya, dan aroma alam yang balut tubuh lusuhnya
atau kita yang berharap kemerdekaan pada kelepak sayap lebar kalelawar
yang melintasi langit petang
ketika lelampu telah menyala di jendela kota-kota, kalahkan kekunang
peluh melepuh takluk di rerembang
ya. cumpu anai cuma melamun sembari jengkali bebayang sendiri
yang rebah di tanah
pada rengkah belah bibir mungilnya mengigit seutas rumput liar
dihinggapi capung, hayalnya mengapung, jelma bola-bola buih uap jiwa
sebulat ruang matanya yang kosong tersudut oleh hampa
lalu sekerjap sahaja angin lah menghembusnya entah kemana
O bunga cinta urung bertunas, musim tak pernah jadi bersemi
ssst, dia masih pendiam, puti
mulutnya terus rapat terkatup simpan rahasia alam dalam-dalam
di lubuk jiwanya
meski telah kubawakan secawan awan tuk diteguk dahaganya
tak goyah ia dengan pilu pingitnya
lagi-lagi hanya senyum dan kunci patah nan ku dapat
hanya saja, puti. aku diam-diam lah bersijingkat dalam gelap
lalu mencuri mimpinya
dari bisik pepohonan dan sesemak pada rongga udara malam
yang berkesah tentang seberapa lagi bibir rimba tersayat hari ini
ketika cumpu anai terlena buai rayuan yang membiakkan
bunga lalang liar di bungkah dadanya
hingga terkesiap luput menyemai anggrek di jambangan lelembah
tempat bersemayam baning tua, kura-kura hutan
dengan tempurung penuh lumut
kakek rimba yang menjulaikan ranum kesuburan ke julur usia belantara
lengang
ya, boleh jadi aku telah melanggar garis tanah
yang tergoreskan legenda warisan masa lalu O
karena membawa sengat sembilu pada cumpu anai nan teramat lugu
wahai puti, udara lah memucat di wajahnya, hari-hari yang terangkum
jelma ritus purba dalam tarian angan. seperti kekupu mengapung
terkepung bias kabut sisa perjamuan api unggun semalam
cumpu anai masih berumah di remangnya, ah
hingga perpisahan menjemput di tapal batas belukar
kita saling bersidekap dingin dan menitipkan sesobek sapu tangan
warna ungu bertuliskan kisah tak rampung
ada dua tiga tetes gerimis luruh meringkuk gigil ke mulut jurang
lalu gemeretab di dada seperti senada
ssst, gadis rimba itu melepas kita dengan tatapan layu
yang masih tak bisa kita terjemahkan
ketika pohon-pohon mulai berlari, angin dingin menderu mengusap
jiwa nan terus kelu, pangeran nan terperangkap dongeng tua
pelangi yang dicari untuk dijadikan selendang bulan, urung didapat
selanjutnya hanya puisi-puisi tak tuntas
yang terlahir sebagai atap percintaan
dan sebelum semua raib di ujung jalan, cumpu anai meluahkan
kiyu sepinya
“oi, aku lah menemukan pelangi itu, datanglah lagi ke humaku
bersama pangeran matahari, jika ia belum tergeletak
di tungku didih waktu”
sayang hari telah meredupkan bayang. senyap kepayang, dan akhirnya
gaib. cumpu anai bergelimang kenangan

Bumi Serumpun Pseko, Sarolangun-Jambi; 25/09/11

catatan;
*) Nama salah seorang anak SAD di Bukit 12


O Tunggul di Batas Hutan

di tapal batas musim bunga belum tiba, orang terang memberi salam
belantara terjaga, setangkup kabut melilit di kepalanya
O anak-anak rimba termangu mencangkung di tunggul lapuk
merenda langit jingga dengan hayal liar
lihatlah ia jelma angin berlari menyongsongkan kerinduan pada induk
dan lantas mengabarkan warna hutan yang terluka di tatap mata kosong
kelabu. segaris kiyu melintas dari kejauhan gua masa lalu
puti, kita sampai sebagai petualang dengan sebeban mimpi
tentang nirwana penuh puisi atau lirik lagu tentang cinta
lalu menguap di rimba ini O rumputan menjalut liar di jejak
lum masanya ber kembang
sialang lum waktunya ditandang lebah
hanya pepohon belia membiakkan pawana
dan anak-anak sungai mengurai selendang pelangi imaji memusar
menjerat gusar ilalang. di bianglala
ah, di batas angan terluar asa mengapung bersama bola-bola kabut
jelma kuwau mengembangkan helai sayap dan bulu ekornya
menggoda langit humus dengan kukuk, serak meningkah langkah petang
dan kulihat gerombolan enggang berarak di matamu, mencari sarangnya ngan lah hilang. dewa-dewa mambang-mambang kemana?
''oi, kito melangun, mengalun hompong diembuih angin, ka bukit-bukit''
ritual purba menggeliat di tanahnya, ada luka yang terlupa
sembilu tersisip di rusuknya, bukit tak ubah setangkup beban di
tempurung baning dan lelabi
ya, di hompongan itu, gerbang dingin, menuju rimba yang kesepian
kita dirikan kemah, nyalakan unggun dan suluh di kepala
mengundang udara bertandang, nyanyian beburung hinggap di nadi
dan membalut sayat-sayat luka rotan jernang
dengan sesobek peta tua kian rapuh dan usang di genggaman
tersebab selalu luput kita baca kala kelam menjala
karena kekunang tak lagi membawa cahaya
O di tapal batas terluar rimba asa ini, semua bertahan dengan dada terbuka
diterpa gugur dedaun dihembus angan, kita membatu
mata mata membeku, jam cuma berlalu
di ujung terok puisi cinta tersangai, menunggu musim berbunga
semai harapan di huma-huma nan ringkih
O akulah bujang yang berdiam di ujung batas itu, puti

Bumi Serumpun Pseko, Sarolangun-Jambi; 24/09/11

Bukit 12 adalaah kawasan Taman Nasional, sebagai salah satu kekayaan flora dan fauna di Jambi. Di dalam kawasan hutan ini bermukim suku Kubu (Orang Rimba). Konon, lantaran banyak kepentingan ekonomis dan politis, kawasan Hutan Nasional Bukitr 12 ini menimbulkan sejumlah masalah. Sejumlah masalah inilah yang diungkapkan oleh YS dalam puisi-puisi itu. Sebenarnya, masalah lokal itu tidaklah semata-mata kepentingan lokalitas, melainkan juga ada tarik-ulurnya dengan masalah nasional. Secara nasional, diakui atau tidak, terjadi pemnyalahgunaan dan penmyelewengan fungsi hutan, sehingga senyatanya  Orang Rimba merasa terusir (minimal terusik) oleh orang luar rimba. YS juga peduli persoalan green peace sebagai tema universal dalam puisi, seperti kutipan berikut.

O Mata Harimau
;Green Peace

puti, aku lah lihat kau jelma di mata mereka, berpasang-pasang
jadi serangkum warna hijau yang menggetarkan jiwa terperangkap kelam
jiwa penuh lubang yang tak lagi sanggup mengaum
harimau terkapar, mati tak lagi tinggalkan apa-apa
tidak juga belang itu, apalagi kisah tentang cinta lama adam-hawa
atau legenda tua tentang nineak tingkas dan cennaku
yang memancang sumpah garis tanah di puncak bukit kucek
janji abadi, karena reranting mati yang dipancang
mustahil bisa berbunga, hingga ketika kau tiba menjinjing kapak siang itu
--kita memang teramat gemar melanggar--
ya, sore ini para pejuang sudah pulang berkendara udara
di peta-petanya tercatat cecer luka perawan di balik belukar
atau sisa asap mesiu yang menciap di tubuh loreng
terkulai tanpa nyawa
hingga matahari meletup ketika sengatnya menjejak
ruang rimba yang menganga O
seribu jurang dan simpang-simpang lah terbentang jadi medan perang
dedahkan jalan pulang sangat lengang, selengang pohon-pohon yang gemetar di tengkuk kita menggidik menahan beku
tak lagi uwai uwai, atau beburung yang meronta dijerat cahaya dalam
matanya
O kasih ku harimau, betina, sungguh mata itu amat lajang, tajam
menikam bebayang, menelanjang jiwa yang kerontang
mata yang berkaca-kaca menjadi telaga
jadi pintu waktu tuju masa silam nan teramat temaram
rongga tempat masa depan tersesat di kaki hutan-hutan kepayang
Lihatlah sayang, mata itu, lah jadi saksi segala
perhelatan dan upacara raung gergaji
angan menggelepar di dalamnya, tuhan terpelandang
tenggelam entah di sisi lubang yang mana
Ya, kita acap dibuai mabuk terhempas asap musim mesin
membumbung pucat tak lagi basah dan lalu sasar di gairah kemarau
O puti, kita bercinta dalam auman nan gamang
saling menikam dengan tatapan, karena taring lah lama pecah oleh siulan
di lubuk jiwa kita jam berlompatan, masa lalu masa depan dan masa kini
bergulung membadai bergumul langu yang tak pernah usai
berpasang mata kita telah menjadi saksi, orang-orang yang menari
di lantai altar para mambang yang lah terbunuh punah
karena ruhnya nitis di mata harimau, jadi cannaku cennaku cunaku
cindaku, barisan debar jantung mempelai di ranjang pengantin
O kekasih kita yang telah menyaksi hingga terkapar, lelah dan kalah
tertinggal di bibir udara pucat nan rekah mengeja petaka
sebab dada yang dadu slalu hendak merapat ke liang tanah
di situ mimpi kita menjulur membuhul gerigi gergaji
nan tak pernah henti berbiak diri
sekelebat sahaja mata terpejam, tapi jiwa tak henti mengaum
puti, sungguh mata harimau bukan anai-anai

Kota Tanah Pilih, Jambi; 11/10/11



Sebenarnya, tema-tema yang setia diusung oleh YS adalah juga seperti tema-tema yang diusung oleh penyair-penyair lainnya, yakni tema-tema yang umumnya dan universal sifatnya seperti tema lingkungan, kamanusiaan, sosial, ketuhanan, dan personal. Hanya saja pola dan cara ucap YS yang selalu dalam bingkai lokal Kerinci/Jambi membiaskan kesan karya-karya ku selalu tradisional, teramat lokal, sangat udik, amat melayu, old-Indonesia, klasik, antik, kuno dan lain sebagainya.  Tentu saja ini bukanlah satu yang tidak terjadi begitu saja, melainkan karena perjalanan panjang proses kehidupan yang telah dilaluinya, telah tumbuh menjadi sikap berupa pilihan pola ucap tersendiri dalam karya-karya puisinya. Menurut YS,

“...berbicara sesuatu yang kini, yang modern, yang universal, dan yang lainnya, tidaklah harus selalu dengan menggunakan bahasa yang dipakai semua orang di masa pop kotemporer kini. Dengan bahasa yang lokal justeru hal itu terasa lebih hidup dan bernyawa di dalam puisi. Karena kalau justeru ikut arus menggunakan bahasa kotemporer sekarang ini maka puisi berikutnya tidak akan ubahnya seperti syair lagu yang sudah tidak punya pakem atau batasan lagi dalam mencaplok dan meng-gado-gadokan bahasa asing dengan bahasa mana saja semaunya. Mungkin itu lumrah dan sah-sah saja karena bagi dunia musik yang lebih menjadi 'point art' nya adalah 'bunyi/nada', bukan lirik lagu. Tetapi tentu saja kasus ini berbeda dengan sastra khususnya puisi yang 'point of art'-nya ada pada diksi/idiom, rima dan unsur-unsur kebahasaan lainnya.”

(Sumber: Sebuah Konsepsi Oleh Yupnical Saketi , Februari 2012)


YS atas pilihan wawasan estetis dan tipografi “Bendera “Karamentang”” itu sampai pada ketetaapan hati,

“Jadi, aku yang seakan masyuk masuk ke dalam konten lokal ke-Kerinci-an/ke-Jambi-an ku itu, memang seakan terlihat selalu ingin mengarahkan segala sesuatu yang universal (umum) dalam bingkai ungkapan/ucapan yang Kerinci/Jambi. Lokal konten, lokal genius, lokal identity, begitu istilah populer yang disematkan publik dan dunia akademis.

Aku yang selalu ingin memandang dan membicarakan sesuatu dengan/dalam pola ucap Kerinci/Jambi. Persoalan nasional bahkan persoalan dunia, semisal kasus Mesuji, Bima, politik nasional, ekonomi nasional, fenomena Mbah Surip, Michel Jackson, terorisme, korupsi, masalah perusakan lingkungan, pemanasan global, semua tersaji dalam tema yang terbingkai oleh pola/gaya ucap yang sangat lokal dan terkesan misterius.
Tak jarang karena itu puisi-puisiku disebut sangat 'old-Indonesian' oleh publik. Ya, wajar saja karena sajian diksi, idiom-idiom, istilah-istiah, majas-majas, licentia poetica puisi-puisiku selalu kerap merevitalisasi tinggalan-tinggalan diksi/idiom dari bahasa proto-Melayu Kerinci dan Minang, bahasa melayu Jambi pada umumnya.

(Sumber: Sebuah Konsepsi Oleh Yupnical Saketi , Februari 2012)


Konsekuensinya, demi guna membangun konsep revitalisasi nilai-nilai budaya Melayu lama dalam kekaryaan puisinya, YS menyadari akan ada kelas-kelas diksi/idiom/istilah yang seakan terus sekuat tenaga dihindari penggunaanya, yakni segala yang terlalu berbau modernitas dan prokem sebagai akibat dari invasi/akulturasi budaya khususnya bahasa dari asing. Diksi-diksi yang dianggap terlalu modern ataupun prokem dan berbau 'ke-asing-asing-an' (kebarat-baratan, keinggris-inggrisan, kearab-araban) dan diksi itu tidak/belum diakui sebagai bagian dari perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia, apalagi belum tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan terbaru, senantiasa sekuat tenaga akan dihindari pemakaiannya dalam penulisan puisi. YS agaknya akan merasa lebih nyaman dan bisa menyatu utuh (membumi) cukup dengan perbendaharaan kata bahasa Indonesia yang ada, terutama kata-kata lama yang kini sudah jarang dipakai, sangat layak untuk terus kurevitalisasi pemakaiannya dalam puisi. Hal itu terasa semakin menyatu dan utuh ketika bisa disatupadu-padankan dengan perbendaharaan kata dari bahasa proto-Melayu Kerinci yang tak dikenal oleh publik luas, padahal kata-kata pilihan tersebut memiliki pengertian dan makna yang lebih spesifik dan khusus dibandingkan padanan kata lainnya, seperti selalu munculnya kata 'Langu, Sangai, Lintuh, Balu, Pelandang dan beberapa diksi identik lokalistik lainnya.

Hal tersebut tentu saja berkat kebersinggungan YS dengan budaya daerahnya sendiri yang telah menaut dengan sendirinya dalam kehidupannya sebagai putra daerah. YS memang mengenal baik terhadap kekayaan nilai-nilai budaya daerahnya, sehingga merasa sangat berhutang untuk mengangkatnya ke publik agar menjadi khasanah budaya/bahasa yang dipahami pula oleh publik luas.

Konsepsi Estetis Corak dan Gaya Puisi

Penggalian/eksplorasi nilai-nilai estetik dan etik dari budaya tradisi Proto-Melayu Kerinci Jambi, seperti Tale, Serau, Kunoun, Kiyu, Penno, Incoung, Rangguk, Sike, Asyek, Basambai/Tulak Bla (Reog Kerinci), “Karamentang”, usoh, dan katite; Juga terhadap warisan budaya Jambi lainnya pada umumnya seperti Krinok (dari Bungo), Nandung Jolo (dari Muarojambi), Mantau (dari Merangin), Seloko Adat, pepeatah petitih, dan lain sebagainya telah mengantarkan pada satu simpulan konsep kekaryaan yang menyublin utuh dengan visi-misi/karekter pribadiku yakni: Nadir (Kenal Diri), Nalam (Kenal Alam) dan Nahan (Kenal Tuhan).

Dalam konsep pemikiran yang telah diteguhkan sebagai visi misi kekaryaannya itu, dipandang oleh YS sebagai sesuatu yang semestinya dimiliki oleh setiap insan di dunia ini dalam mengarungi dan membangun kehidupannya. Mengenal siapa diri kita, mengenal alam dan lingkungan kita untuk pada hakikat dan akhirnya adalah guna sampai pada mengenal siapa tuhan kita yang sejati itu hingga kita makin akrab dan hangat mencintai-Nya.

Pergulatan pribadi bagi YS (termasuk di dalamnya kotemplasi dan penyadaran menyeluruh terhadap keberadaan diri) sangatlah mendasar sifatnya dalam membangun jati diri. Dari tinjauan ilmu fisiologis maupun psikologis telah ditegaskan ada banyak potensi yang terdapat pada diri dan potensi-potensi itu bisa saja berdampak positif namun juga sangat rentan untuk berdampak negatif melencengkan visi misi kehidupan yang diusung. Padahal dalam hidup ini manusia selaku insan telah diutus untuk membangun kemaslahatan bagi kehidupan ini dengan potensi-potensi itu. Potensi-potensi yang terkandung itu bisa berupa intelegensia (IQ) Social (SQ) dan Emotional (EQ) bahkan potensi motorik (MQ). Yang pasti kesemuanya adalah aspek dan faktor penting atau pun sebagai wadah dan wahana bagi individu manusia untuk membangun dan mengembangkan dirinya menuju sebuah kemaslahatan bagi umat dan lingkungannya.

Latar belakang pendidikan baik pendidikan umum maupun pendidikan agama yang pernah dikecap oleh YS, baik dari lembaga formal sekolah, lembaga non formal seperti pengajian, madrasah, Taman Pendidikan Seni Baca Al-Qur'an (TPSA), Pramuka, Klompencapir, Dokter Kecil, perguruan silat, klub sepakbola, band desa, kelompok vokal grup, Karang Taruna, Sispala/Mapala yang pernah digeluti selama usia sekolah telah menempa jiwa sosial dan etos kerja serta penyadaran spritual dalam dirinya. Dalam petitih tradisional masyarakat Kerinci sering dianalogikan dalam ungkapan: ukur diri dengan bayang, jahit baju seukuran badan, jangan bercermin di kaca retak dan lain sebagainya.

Selanjutnya Nalam (Kenal Alam). Berawal ketika YS telah dihantarkan oleh kisah perjalanan pada usia kekanaknya dulu yang seperti Tarzan, jauh dari keramaian dan keriuahan desa apalagi kota, karena hidup dan tinggal di perladangan tepi hutan rimba yang lebat, berkawan para satwa dan tetumbuhan telah menempa jiwanya betapa menyatunya manusia dengan alam dan lingkungannya. Dengan sendirinya pengalaman itu telah jadi mimesis bagi diri dalam membentuk jati diri. Dengan pengalaman itu semakin menyadarkan YS akan arti pentingnya manusia mengenal alam lingkungannya guna menciptakan keseimbangan dalam dirinya dalam membangun kehidupannya yang lebih luas lagi. Seperti ikan dengan air, burung dengan angin, cacing dengan tanah dan lain sebagainya, tak lah akan dapat mereka meneruskan kehidupannya jika habitatnya itu taklah ada atau telah terusakkan.

YS jadi begitu menyadari betapa alam diciptakan oleh tuhan bukanlah untuk sekedar tempat tinggal dan dimanfaatkan nilai guna yang dimilikinya, tapi juga harus dilestarikan dan diselamatkan keberadaannya agar kita menyadari betapa alam berikutnya akan mempermudah mengantarkan kita menuju pemahamahaman akan hakikat kehidupan dan ketuhanan. Hal itu juga yang menurutnya telah ditegaskan Allah SWT ketika menurunkan wahyu kepada nabi Muhammad SAW yang diperintahkan untuk membaca, membaca kitab suci yang tertulis (diri) dan membaca segala rahasia ayat yang tersirat terkandung di sekitar (dari alam lingkungan), dengan menyebut nama Allah SWT, tuhan azawajalla.

Penyadaran tinggi akan dianugerahkan alam bagi setiap individu yang telah mengenalnya dengan utuh dan menyublin, sehingga jalan pemahaman makrifat pribadi bersangkutan menuju pemahaman akan tuhannya. Lalu dengan telah mengenal kedua potensi itu (Nadir dan Nalam) maka berikutnya setiap pribadi akan benar-benar siap untuk masuk tahap makrifat untuk mengenal siapa tuhannya secara utuh dan menyeluruh, sehingganya dia bisa masuk ke agamanya secara kaffah (menyeluruh/utuh). YS berkeyakinan, tanpa mengenal kedua aspek sebelumnya maka hal itu akan teramat sulit bagi satu pribadi memasuki tahap pemahaman akan tuhannya itu. Kisah nabi Ibrahim AS adalah salah satu cerminan bagaimana proses makrifat itu menemui jalannya. Diawali dengan kegelisahan diri pribadi sang nabi, lalu menginspirasinya untuk bertanya dan mencari jawab pada bintang, bulan, dan matahari tentang keberadaan tuhannya.

Setelah kesemua proses itu terjalani barulah dia sampai pada satu tahapan makrifat yang utuh, menyeluruh dan akhirnya sangat teguh, bahwa tuhan adalah Allah SWT, pencipta segala alam segala kehidupan dan kematian, pencipta ada dan tiada.
Berangkat dari pemikiran ini jugalah maka berikutnya YS tumbuh menjadi pribadi yang teramat gemar menyatu dengan alam untuk mengenalnya. YS tak segan untuk bergabung dengan komunitas pecinta alam dan lingkungan (Pala), juga bergabung dan menerjuni langsung berbagai komunitas lainnya yang ada kaitannya dengan alam lingkungan seperti dengan komunitas 'Biker' (pengendara motor), juga dengan komunitas Aktivist, komunitas Pengamen, bahkan dengan bloger/grup facebook peneliti/penemu, geologist, sejarawan, budayawan, ilmuwan, antariksawan, dan lain sebagainya. Kesemua itu dilakukannya sebagai pemenuhan bagi hasrat ingin tahunya yang selalu membuncah. Dari kesemua itu Ia harapkan akan ada rahasia kehidupan yang bisa tersingkap atau sedikit terjawab oleh diri sendiri bukan suapan/intervensi atau dogma semata, karena YS berprinsip dengan seperti itulah yang akan mmberikan arti kenikmatan sebuah perjuangan/usaha/upaya.

Apa yang telah dilakukan oleh YS itu semakin menguatkannya akan arti penting “berkelana, bekerja, berkarya dalam (ber)doa” membangun jati diri, memperkokoh eksistensi khususnya di bidang kekaryaan puisi yang kuanggap kesemua itu sebagai satu rangkaian ibadah kepada tuhan azawajalla. Karena itulah berikutnya dalam puisi-puisi yang ditulisnya senantiasa begitu kokoh dan setia terhadap tema-tema humanis (kemanusiaa), sosial (kehidupan/kemasyarakatan), environmental (alam lingkungan), kulturis (kebudayaan), dan spritualis (ketuhanan). Nilai-nilai itu tidak saja terejawantahkan tersurat dalam bahasa sastra secara verbal yang kurangkai, namun lebih jauh lagi jua termaktub secara tersirat. Pelestarian nilai-nilai luhur budaya lokal Jambi warisan masa lampau senantiasa terlibat membentuk pola pengucapannya dalam berpuisi. Bahasa-bahasa ungkap seputar itulah yang membungkus esensi makna dan dan pesan yang sesunggunya ingin disampaikannya.

Sesuatu yang verbal namun sekaligus simbolis nan hadir dikarenakan proses pergulatan panjang antara YS dengan dunia puisi dan kini sering jadi pertanyaan publik pembaca adalah keberadaan pengucapan 'O' yang selalu muncul di puisi-puisinya, baik sebagai kata awal di setiap judul maupun di batang tubuh puisi yang acap nyelip di sana-sini seakan tanpa harus ada aturan akan kemunculannya atau mengikuti imaji yang mengalir seperti sungai atau mengalun berhembus serupa angin. Diksi O dalam puisi-puisi YS seakan satu bongkahan benda entah batu, karang, gunung, bukit maupun tunggul yang tahu-tahu berdiri seakan ingin menghadang arus. Namun air atau angin akan selalu mampu berbelok mengelak lalu meneruskan alirannya tak hendak merasa terganggu apalagi terusik.

Hal yang mencolok lainnya dari O ini adalah dia adalah satu-satu huruf yang dicetak dalam format kapital (besar) dalam batang tubuh puisiku ketika huruf-huruf lainnya harus tunduk untuk dicetak dalam format non-kapital (kecil), meski menurut kaidah bahasa jika berada di awal kalimat, menyebut nama orang, nama tempat dan lain sebagainya huruf awal harus dicetak dalam format kapital. Tentu saja O dalam puisi-puisi YS ini bukanlah sekedar O yang kosong, melainkan satu bentuk pengucapan, ungkapan, dan penyimbolan atas sesuatu yang sangat komplit, kompleks, dan pelik untuk dipaparkan secara verbal. Seakan dengan O ingin mempertegas suasana dan nuansa liris dari setiap karya puisi yang dilahirkan.

Penggunaan pengucapan O di puisi-puisi YS merupakan manifestasi dari ruh atau essensi dari pola estetis kesemua tradisi lisan yang telah digali/tergali seperti tersebutkan. Pengucapan itu dalam bentuk asli tradisi lisan yang menjadi referensi biasanya sering dalam bentuk disenandungkan, diteriakkan, didesahkan, diisakkan, dan lain sebagai. Kondisi tersebut sangat membantu pembentuk irama, suasana dan nuansa liris (sebagaimana ruh dan gaya bahasa yang kumiliki) dari puisi-puisi yang kucipakan sehingganya membantu dan mempermudah pula ketika puisi tersebut dipertunjukkan/dibacakan sebagai pertunjukan di atas pentas. Penggunaan/ pemakaian O tersebut sebagai setiap pengucapan awal dari setiap judul puisi-puisinya (yang sebenarnya baru dimulai sekitar pada tahun 2006 lalu), memang tidaklah semata sebatas ikon atau penanda bagi kekaryaannya, namun lebih dari itu O di judul tersebut adalah lambang pula bagi sebuah makna yang ingin disampaikan baik melalui judul maupun isi dari puisi.

Penggunaan judul yang identik di Jambi sebelumnya telah dilakukan lebih awal oleh penyair Ari Setya Ardhi (ASA, alm) yang juga merupakan salah seorang mentor bagiku dalam hal dunia perpuisian dan dunia jurnalistik. Penjudulan puisi-puisi ASA almarhum memang selalu identik dengan penggunaan kalimat aktif yakni dengan senantiasa penggunaan awalan 'me-' pada setiap awal judul puisi-puisinya, seperti: “Menanam Sungai Rembulan”, “Mengarungi Rumah Awan”, “Membangun Requim Kaca”, “Menata Silsilah”, dan seterusnya. Berbeda dari ASA YS justeru menggunakan pengucapan O tersebut pada setiap kata awal judul-judul puisi, seperti: O Tanah Pilih di Zaman Berkabut, O Cumpu Anai, O Bukit 12, O Serpihan Mutiara Retak, O Penjaga Ladang Jiwa, O Jiran dan lain sebagainya. Adakah pengaruh/hubungan diantara kami berdua itu? Ya, mungkin saja ada (secara langsung maupun tidak). Guna mendalami pemaknaan dari O pada puisi-puisiku tersebut maka bisa digunakan dua macam pendekatan karena pemahaman atas O dari puisi-puisiku dapat pula diuraikan dalam dua maksud: Pertama; O sebagai manifestasi dari model esensial dari tradisi-tradisi tutur/lisan masyarakat yang kugali yang pada umumnya berbentuk ekspresi liris (sebagaimana juga puisi-puisiku) yang senantiasa mengandung unsur O, Oi, Ae, Hoi, Huy, Yo ha, Yoi, Hiyo, yang kesemuanya merupakan perlambangan bagi liris ratapan jiwa seperti yang kupaparkan di atas. Kedua; O Sebagai manifestasi dari nilai-nilai psikologis kemanusiaan. Di mana dalam konsep pemikiran sadarku, manusia sebagai makluk sempurna namun tak lah pernah luput dari kekurangan dan kesalahan bahkan terhadap seorang nabi dan rasul sekalipun.

Selalu ada luang kosong atau sesuatu yang 'bolong' dalam jiwa manusia. Dan O di puisi-puisiku adalah perlambangan, penanda atau penyimbolan dari kondisi itu. Karena itu posisinya di dalam tidak teratur atau tidak ditetapkan, selalu berada di awal kalimat misalnya, melainkan dia juga bisa muncul di tengah ataupun bahkan di akhir kalimat. Seperti filosofi yang dimaksudkan, adanya banyak lubang dan ruang kosong dalam jiwa kita selaku manusia maka dengan adanya ruang dan luang kosong itu disitulah setiap orang butuh sesuatu untuk mengisi atau menutupinya, dengan puisi adalah salah satunya (karena puisi adalah sesuatu yang sarat dengan makna dan nilai-nilai terahasiakan). Sedangkan jika dikaitkan dengan penggunaan model pola penulisan yang tak lagi mengindahkan kaidah penulisan dalam tataran bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti memilih konsisten ada pemakaian kalimat tanpa pemakaian huruf kapital juga sebagai upaya melepaskan pemaknaan dari puisi tersebut sebebas yang diinginkan apresian. O demi O yang memang sengaja dihadirkan sebagai satu-satunya huruf kapital yang muncul dalam puisinya adalah bentuk penegasan akan letak esensial dari objektifitas sekaligus subjektifitas dalam menyikapi keadaan. Kita simak kutipan puisi berikut ini sebagai contoh pemakaian O dan “Puti” sebagai refeksi sikap kritisnya terhadap situs kepurbakalaan kawasan Candi Muaro Jambi:

O Situs-situs Sunyi

di sepanjang liuk sungai rembulan kita, puti, adalah kibar selendangmu
tempat kekeping sejarah menggelayut nyangkut
talang-talang ladang-ladang silam yang tumbang
tempat candi-candi berlumur lumut
tempat kapal-kapal tua karam dalam jam malam
ya, di situ suir-suir kenangan tentang percintaan kita berenang
riang nerawang binar matahari pagi dan semburat sore kala langu
O terlupakah mereka pada hangat gairah ciuman riak pada tepian
atau palung dan lubuk yang ungu memanjakan ikan-ikan, udang, dan lokan
hingga tun telanai berlabuh di ladang paraa dengan gemuruh rindu
sebahana datangnya musim bercinta di ranum bibir marosebo
kekuncup bunga semi merekah merah muda lalu luruh ke telapak tangan
seirama dentang petang
ya puti, kenangan dan sejarah lah terituskan dalam sunyi candi-candi
lah berabad, terbenam dalam langgam jiwa nan legam
sesaput rahasia nan tak kan pernah mampu dimengerti oleh
hati nan candu, meski sekedar secuil ritual kesadaran O
di sini, udara setipis embun
aku lah berdiri dengan tembilang yang terus gemetar dalam genggaman
terlalu lelah menunggu waktu untuk menggali mu, puti
(melayu kemayu) hanya di masa lalu kita terperangkap sunyi dalamnya
lirihnya sungguh letih ketika obor dinyalakan kekanak dusun seberang dan
rabana ditabuh saat langit malam menyusutkan kalam, benam jiwa-jiwa
lara. O detak jam nyaris runtuh di jendela langit paling barat (tempat
matahari penghabisan kan segera diterbitkan, dan bumi dibisukan
terbungkam bebunga cinta nan hampa)
wahai, tak hanya di laguna, teluk, sipin atau kemingking, legenda menebar
jala. di batanghari segenap kekanak sungai, rahasia lah memusar
menusuk lubuk. sepanjang bantaran 'titian teras bertanggo batu,
lantak nan tak goyah, cermin gedang nan tak kabur'
pagu-pagu, bubu-bubu, lah dipancangkan waktu
ya, serak kekisah meruang hampa dari secabik catatan kaki ngan tak
pernah rampung oleh jejak nan galau
orang-orang bertualang mencari pelangi pada langit
padahal semua nyingit di lubang hatinya, menangkup arca kesendirian
puti, jantungku kau tabuh, darah pun luruh ke gema legenda renta
bebatu bara membara, bebatu bata
gaiblah
''Ya, mungkin aku iyalah angin, ada tapi tiada, tiada tapi ada” tapi
percayalah sebagai dubalang, dengan terok dan serampang di genggam
atau dada telanjang terpampang lekang, lelaki yang jatuh cinta kan terus
tegak berjaga, walau musim tercampak cuaca tercabik gaharu prahara”
O puti, kan kugenapkan lirih gending gentingmu dengan sunting sunyi
situs-situs cinta yang kian purba, ini

Bumi Sailun Salimbai, Muarajambi, 11/11


Dalam puisi-puisi YS sering dijumpai “Puti”. Siapakah “Puti” yang selalu muncul sebagai seakan sosok yang siap “melayani” penyair berbagi kisah dalam puisi-puisi YS, khususnya yang tercipta dalam kurun 3 tahun terakhir semenjak 2010? Puti,  seperti nama seseorang, tetapi dalam konteks tertentu dapat merujuk ke sesuatu, mungkin dia bukanlah siapa-siapa, sebaliknya dia juga sekaligus bisa siapa saja. Dalam artian sesungguhnya dia adalah sesuatu yang imajiner adanya, teramat simbolis adanya. Dia bisa apa saja dan apa saja, dia bisa simbolisasi dari seorang sahabat, kekasih, orang-orang, kelompok tertentu, pemimpin negeri, atau bahkan dia juga bisa saja adalah seorang musuh. Selain itu dia juga bisa saja adalah kerinduan, kegundahan, kemarahan, kaharuan, kebanggaan, kesendirian, keramaian, kebencian. Atau bisa pula adalah angin, api, air, tanah, batu, gunung, lembah, bumi, tumbuhan, satwa, planet-planet. Atau bahkan dia bisa saja adalah ruh, kuburan, zat, rahasia, malaikat, nabi/rasul junjungan, bahkan bisa saja yang kumaksudkan adalah Tuhan.

Yang jelas sosok “Puti” menjadi simbolisasi yang membuat YS merasa sangat menyatu dengan puisi-puisi yang dirangkai. YS merasa menemukan kebebasan yang teramat indah dalam keterikatan kemisteriusannya, dia seakan telah menjadi satu-satunya teman yang selalu setia menemani gairah kekaryaannnya, kapanpun, di manapun, karena dia bisa menjadi siapa saja seperti yang kuinginkan. Dengan “Puti”, penyair menjadi aman dan nyaman menyimbolkan apa atau siapa saja ke dalam idiom itu, karena diakui oleh YS, dalam berkarya penyair akan merasa sangat tidak nyaman jika harus berurusan dengan segala sesuatu yang verbal harus masuk ke dalam puisi yang tengah ku rangkai. Semisal, ada puisi yang ditujukan kepada presiden, gubernur atau lainnya, maka YS akan merasa sangat tersiksa untuk sekedar mengingat nama atau sosok mereka ketika YS tengah fokus dan konsentrasi penuh dalam proses penciptaan karya bersangkutan, dan YS akan sangat menderita jika harus menemukan harus menuliskan nama mereka di dalam tubuh puisinya.

Akan sangat lucu dan aneh serta asing rasanya, jika tahu-tahu di dalam karyanya tiba-tiba muncul nama sesorang secara verbal semisal SBY, HBA, Ari Setya Ardhi, Asro A Murthawi, Dimas Arika Mihardja, Ranty Eka (Istriku), Titanic Parbu Pungaran Saketi (puteraku), atau nama lainnya siapapun juga yang riil adanya di dunia nyata. Puisinya akan terasa sangat tidak menyatu, tidak nyambung, seakan tiba-tiba di dalam air ada api unggun seperti di dalam dunia kartun saja adanya. Nah suasana itulah yang berhasil dijinakkan dengan siasat bersahabat dengan sosok imajiner “Puti” itu. Dengan bayangan sosok “Puti” itu kenyamanan berikutnya dapat dimiliki seutuhnya sehingga kontinyuitas esensi dan estetika karya yang dikerjakan bisa terus terjaga sampai karya itu benar-benar tuntas dan selesai sampai ke ending yang diinginkan. Khusus puisi dedikasi, sebuah puisi yang ditulis untuk seseorang, YS akan menulis puisi seperti kutipan berikut.

O Matahari
; In Memorium Fredy Arsi

puti, 16 oktober 2011 kalender muram durja di angkasa
pada siang berselubung mendung di kotaku orang-orang tengadahkan wajah ke langit yang tak lagi bisa biru
berpasang mata menguapkan belasungkawa bagi matahari
yang melepas kelopak cahaya penghabisan, sendiri
menyusur hangat deru azan di jalan pulang tuju arasi
lalu helai-helai sayap doa merubung ke udara jelma sekabung putih
–barangkali saja ada air mata jadi rinai--
O kitalah anak-anak burung belukar yang mungkin lah kehilangan
namun duka tak berkampung biarkan luruh ke relung jiwa
tempat gugur dedaunan simpan nada-nada puisi tentang rahasia cinta
biarkan udara gerai meronce awan, jam terhenti tepat di titik tertinggi
pada tiang hari kita masih sepasang kekasih yang tersandar gemetar
dalam genggaman sapu tangan ungu basah berubah warna
kita pungut keping-keping kenangan yang mengendap
tinggalkan jejak berlumut di ngarai jiwa yang sunyi
atau di pematang bebukit yang sendiri
(hidup adalah mengambil inti api matahari*
maka gegaslah atau semua rangas)
O puti kita berduka bukan karena ditinggal sendiri
tapi matahari terlalu berarti bagi hati, lah menghidupkan sunyi jadi nyanyi
dan sepi lebih berarti daripada api
“nafasku begitu singkat bagi cintamu yang panjang”
pernah dia menggeliat sebak menahan marah karena suara
hilang terampas rerambu usia nan lelah
angin pucat hinggap di wajah, terasa kelat
tapi di binar mata itu jelas terlihat sayap-sayap cahaya terus mengepak
kita lalu berbagi degup jantung, dalam gemeratab irama yang senada
saling berjanji akan terus bernyanyi di tapal batas penjagaan
“aku kan menepi, sambutlah musim hujan telah tiba. mulailah
dengan suara langkah, degup jantung, desir darah, suir angin,
tetes gerimis. sampai tiba pada luap tanah, gemuruh badai, atau riuh
pasar di dadamu siang tadi”
dan hari ini ketika kota lah rembes dalam simfoni, dia benar-benar pergi
siang lantas meredup, tersisa hanya jejak kekunang di pusara
barisan pelayat datang menabur bunga, seirama rinai mulai luruh
orang-orang berpayung hitam berkerumun menggumamkan puisi sepi
dan sembari membuhul sisa embun nan hinggap menangkup kepala
kita berharap esok kan ada bintang yang tumbuh jadi matahari baru
O rembang petang atau fajar kah ini, tempat memulai lagi
merendai hari di bumi gamang yang sudah tak bermatahari?

Kota Tanah Pilih, Jambi; 16/10/11



Kalaupun sebuah puisi YS memang merupakan puisi yang didedikasikan bagi seseorang maka sudah sangat cukup baginya nama orang bersangkutan dicantel/cantumkan sebagai sub judul, semisal : In Memorium Arifien Akhmad, Bincang Sekejap dengan Romo Murtidjono, Ramayani Riance, Fredy Arsi dan lainnya. Penggunaan nama/sebutan 'Puti' sebagai pengganti sebutan atau sapaan terhadap objek atau bahkan bisa sebagai predikat, juga aplikasi dari hasil eksplorasi nilai-nilai budaya dari kehidupan sosial masyarakat Kerinci dan Jambi pada umumnya dimana budaya Melayu adalah budaya yang sangat menjaga kesantunan dengan sering mennyampaikan sesuatu dengan sindiran, sampiran, atau simbol seperti yang tercermin dari budaya pantun, seloko dan pepatah petitih adat. Dalam bahasa masyarakat Melayu, khususnya dalam budaya masyarakat Kerinci dan Minangkabau, sebutan puti itu adalah sebutan dalam dialek masyarakat setempat untuk menyebut 'Putri', baik itu putri dalam artian sesungguhnya yakni putri raja/sulthan. Maupun puti sebagai sebutas atas putri kesayangan dari keluarga.

Pemakaian idiom Puti sebagai kata ganti dalam puisi-puisi YS itu secara rutin dan inten semenjak 2011 lalu. Sebelumnya puisi-puisi YS masih menggunakan berbagai kata/idiom pengganti lainnya yang umumnya sifatnya, seperti kata Kanti, sahabat, kawan, atau nama panggilan orang yang dituju. Namun di sisi lain, walaupun pemakaian idiom Puti itu adalah sesuatu yang imajiner yang menjadi simbol, inspirasi dari munculnya nama itu tidak bisa terlepas dari ketergabungannya antara YS dengan dunia maya seperti jejaring sosial facebook (FB). FB memang selama ini  dijadikan sebagai salah satu media bagi YS untuk berlatih/melatih diri serta mengasah kemampuan berbahasaku, meramu ide dan gagasan serta pemikiran, dalam rangka untuk meningkatkan kamampun bermain bahasa, rasa dan makna  dalam mengarang puisi atau lirik lagu. Diakuinya pula memang pernah ada sosok nyata dalam hidupku yang dengan tidak sengaja berikutnya menginspirasi diriku menggunakan idiom itu dalam membuat status di FB. Memang benar Puti adalah merupakan nama seseorang di masa lalu YS itu.

Puti, sesungguhnya adalah nama seorang teman masa kecilnya semasa masih kanak-kanak dulu, dia adalah teman pertama semasa masuk sekolah SD, dia adalah seorang anak perempuan, putri tersayang dari kepala desa di desa kami Pasar Kerman waktu itu. Neneknya adalah pemilik kos-an yang ditempati YS di desa itu selama masa sekolahnya, dan puti amat kerap bermain ke rumah neneknya itu. Di situlah YS mengenalnya pertamakali dan pertemanan selanjutnya berlangsung, walau tidak akrab karena YS yang anak petani biasa tentu merasa minder berkawan dengan seorang putri dari penguasa/pemimpin di desa  itu. Seperti kisah di dongeng-dongeng, pertemanannya terasa sangat kaku karena selalu dibumbui oleh kesungkanan YS, namun di sisi lain hati kecil/jiwa YS ternyata sangat tidak nyaman dengan kondisi itu. Diakuinya pada masa itu YS kerap berhayal bisa berteman akrab sewajarnya dengan si Puti itu. Namun hal itu tidak pernah bisa terjadi sampai ketika YS menyelesaikan sekolah SD dan selanjutnya keluarga YS pindah ke kampung halaman ibunya, Kumun, guna melanjutkan studi ke sekolah menengah di SMP 6 kota Sungaipenuh. Semenjak terpisah, dan YS tidak pernah lagi mendengar kabar apalagi bertemu dengan “Puti”.

Namun, kisah pertemanan yang pernah terjalin aneh dan penuh keungkanan itu ternyata cukup membekas di sanubari YS sehingga YS kerap teringat pada masa itu khususnya pada sosok Puti yang tak sempat kukenal lebih akrab itu. Agaknya suasana kondisi itulah yang membekas dan terbawa ke usia dewasa YS saat ini. Begitu persinggungan YS dengan dunia FB terjadi dan mengetahui FB bisa menjadi media mencari teman lama yang terpisah jauh entah berada di mana, maka secara tidak sengaja yang pertama terbersit di hati saat itu adalah nama Puti itu. Tiba-tiba kerinduan itu menyeruak membawa harapan dapat menemukan teman lama itu melalui FB, maka mulailah YS merangkai status dengan menyebut namanya itu 'Puti' dengan harapan dia di satu tempat di belahan/sudut dunia yang lain kebetulan membaca status itu, dan lalu memberikan respon, dan pertemenan kami yang dulu belum sempat terjadi sewajarnya selanjutnya bisa kembali terjalin. Tanpa disadari kebiasaan menggunakan panggilan Puti itu terus berlanjut dan akhirnya berkembang menjadi idiom indentik dalam menulis status dan akhirnya ternyata berhasil pula dipindahkan ke dalam kekaryaan puisinya.

Gaya puisi naratif yang seperti lebih prosais adalah wujud dari hasil ekplorasi terhadap macam media ekspresi kesastraan yang digeluti YS, karena sebagaimana diketahui YS juga menekuni penulisan prosa khususnya cerpen dan juga penulisan naskah lakon teater ataupun film/sinetron. Banyak sedikit kondisi itu langsung maupun tidak, memberikan pengaruh terhadap ketertarikannya dalam berkarya puisi pula. Apalagi kedekatan YS dengan budaya tradisi lisan Kerinci seperti dikenalkan ibunya semasa masih kanak-kanak dulu, juga memiliki tipologi yang sama dengan cerpen. Gaya bercerita/bernarasi berpadu dengan nuansa liris seperti sifat dan gaya dari berbagai seni tradisi asli Kerinci/Jambi seperti Kunun, Tale, Ba-Kba, Mantau, Krinok, Nandung Jolo dan lainnya menjadi pilihan yang kunilai paling familiar dengan visi misi dan konsep kekaryaanku.

Satu momentum yang selanjutnya menanamkan konsistensi YS dalam berkarya puisi-puisi liris ini adalah ketika ia menemukan dan membaca puisi-puisi sahabat penyair dari Payakumbuh Sumatera Barat yakni Iyut Fitra. Satu antologi puisi Iyut Fitra, yakni 'Dongeng Tua' yang bergaya liris itu langsung dirasakannya sangat menyatu dengan kedirian YS. YS penasaran, langsung terbius hingga akhirnya mencoba menggali dan mempelajari lebih mendalam lagi model puisinya. Hasilnya, YS menemukan diri sendiri dalam puisi-puisinya. YS lalu menyadari kalau sesungguhnya puisi-puisinya adalah juga puisi-puisi liris seperti puisi-puisi Iyut Fitra tersebut. Akhirnya, YS pun sampai menasbishkan dirinya untuk juga intens dan konsisten berkarya dengan model tersebut namun dengan tekad akan lebih mengeksplor diri, gaya dan kemampuan sendiri.  Dengan adanya keterlibatan tidak langsung pada momentum tersebut, berikutnya diakui pula, mau tidak mau, pada tahun-tahun awal proses kekaryaannya dengan model puisi liris itu, sedikit banyak dipengaruhi oleh gaya dan model bahasa puisi Iyut Fitra tersebut. Apalagi kedekatan demografis dan geografis daerah yang berada di pengunungan Bukit Barisan Puncak Andalas, sedikit banyak kesamaan/ kemiripan budaya dan bahasa.

Selain ada banyak kesamaan/kemiripin antara gaya bahasa puisi YS dengan puisi Iyut Fitra, satu di antaranya yang cukup mencolok berbeda adalah pada pilihan diksi yang berupa penggalan-penggaan suku kata tertentu karena menejawantahkan pola dialek bahasa daerah Kerinci. Dalam pengucapan kata-kata baik 'kata keterangan' seperti “telah”, “belum”, juga 'kata hubung' seperti “yang”, “dengan”, “untuk”, bahkan juga kata benda seperti “anak” dan “emak”. Dalam puisi-puisi karya YS, kata-kata tersebut sering dituliskan dalam bentuk penggalan kata seperti halnya pengucapan kata tersebut dalam bahasa Kerinci. Semisal kata 'Telah' tertulis 'Lah', Belum=Lum, Yang=Nan, Dengan=Ngan, Untuk=Tuk, Anak=Nak, dan Emak=Mak.

Model kata penggalan ala dialek Kerinci tersebut ternyata sangat menyatu dengan model dan gaya bahasa puisi YS yang menganut konsep revitalisasi budaya lokal. Kenyamanan yang utuh menyeluruh bisa dirasakan oleh YS ketika merangkai karya dalam wujud seperti puisi-puisi saat ini itupun juga berkat adanya model kata yang bisa dipengal menurut dialek bahasa daerahnya yang masih bisa diterima secara ilmu kebahasaan aktual kini.

Hal lain yang perlu ditambahkan, yang mungkin termasuk khas dari temuan eksplorasi kekaryaan yang kulakukan oleh YS adalah model penanggalan di akhir puisi yang menggunakan nama julukan atau motto dari kota atau negeri tempat puisi itu kutulis. Model penanggalan akhir puisi yang menggunakan nama julukan atau motto kota atau negeri/daerah tersebut, juga wujud dari upayanya untuk lebih membumikan negeri/kota itu sendiri ke tengah publik lebih luas lagi. Sekaligus menegaskan/menyatuutuhkan karya puisinya ke dalam konsep puisi berbasis budaya lokal yang siusungnya. Tentu saja hal ini berbeda dari kebiasaan penyair lainnya yang cenderung menuliskan nama daerah atau kota dari tempat puisi itu ditulisnya di penanggalan puisi dan sekaligus sebagai penutup puisinya, YS justeru menggunakan nama julukan kota/negeri bersangkutan.


Penutup

Teks puisi memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai ma­salah kehidupan. Berbagai ma­salah kehidupan, baik berupa peris­tiwa yang terjadi dalam kehidupan se­hari-hari, se­suatu yang dialami oleh penyair, masalah sejarah-so­sial-politik-ekonomi-bu­daya, maupun berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, ha­yatan, pe­mikiran sastrawan diekspresikan secara unik dan menarik. Keunikan dan daya tarik teks puisi tersebut realisa­sinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi penyair selaku kreator. Penyair yang kreatif dan inovatif akan dapat menghasilkan teks puisi yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri. Teks puisi di­bentuk dan dicipta­kan oleh sastrawan berdasarkan de­sakan emosional dan rasional. Puisi YS merupakan se­buah ciptaan, se­buah kreasi, dan bukan sebuah imi­tasi. Oleh karena itu, wajar apa­bila un­sur-unsur pribadi YS seperti pengetahuan, peristiwa penting yang dialami, visi, misi, dan konsepsinya meronai puisi yang dicipta­kannya.

Secara fisik, puisi terungkap melalui pemaparan bahasa yang pe­nuh dengan simbol, bahasa kias, dan gaya bahasa lainnya. Peng­gunaan simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa oleh YS dimaksudkan untuk me­madatkan pengungkapan dan mengefektifkan pengung­kapan. Dengan pemakaian simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa tersebut, YS dapat mencipta­kan puisi yang mengutamakan intensifikasi, korespondensi, dan musikalitas melalui penafsiran simbol bendera ““Karamentang””, serta penggaliannya aterhadap akar tradisi Kerinci khususnya dan Melayu pada umumnya. Intensi­fi­kasi, korespondensi, dan musikalitas inilah yang tampil dominan dalam puisi karya YS. Intensifikasi merupakan upaya penyair YS memperdalam intensitas penuturan dengan berbagai cara pemaparan bahasa. Korespon­densi merupakan upaya penyair menjalin gagasan menjadi satu ke­satuan. Musikalitas meru­pakan upaya penyair mempermanis, mem­perkuat, dan menonjolkan efek puitik kepada hasil kreasinya. Dengan intensifikasi, korespondensi, dan mu­sikalitas yang baik sas­trawan mampu men­ciptakan puisi yang secara fisik tampil unik dan eksotik.

                                                                                                              Jambi, September 2012

DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, T. 1996. Situasi Kebahasaan Masa Kini: Kepungan Ekster­nal dalam Perkembangan Bahasa dan Wacana di Indonesia. Dalam  Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (Eds.).  Bahasa dan Kekua­saan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. (hlm. 345—362). Jakarta: Pustaka Mi­zan-Kronik Indonesia Baru.
Adjidarma, S.G. 1995. 11 Desember. Fakta dan Fiksi. Kompas, hlm. 17.
Aminuddin. 1990. Pendekatan Tekstual dalam Analisis Bahasa Kias Puisi. Dalam Aminuddin (Ed.) Sekitar Masalah Sastra: Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya. (hlm. 72—85). Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
Aminuddin. 1995. Stilistika, Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Damono, S.D. 1984. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Pem­binaan dan Pengembangan Bahasa.
Damono, S.D. 1993. Gugusan Pulau, Aneka Ras, dan Puisi. Horison, XXVII (07): 27-30.
Houtman.2007. “Sastra Melayu Palembang: Dari yang Kuno Budhisme-Hinduisme Hingga Melayu Sufi dan Friksi Agama-Etnis dalam Realitas Kekinian” dalam Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra (Amin Sweeney dkk), Kerjasama Penerbit Desantara dan HISKI Jakarta, hal. 155-166.
Kartodirdjo, S. 1987. Kebudayaan Pembangunan dalam Per­spektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartodirdjo, S. 1988. Modern Indonesia: Tradition and Transformation. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Me­todologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kleden, I. 1986. 2 September. Proklamasi dan Kemerdekaan Budaya. Kompas, hlm. 4.
Kuntowijoyo. 1987. Masyarakat dan Budaya. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Mulder, N. 1987. Cerita dan Kenyataan. Basis, XXXVI (01): 27-31.
Nasr, S.H. 1994. Menjelajah Dunia Modern. Bandung: Penerbit Mizan.
Nasr, S.H. 1993. Spiritu­ali­tas dan Seni Islam. Terjemahan Rahmadi Astuti. Bandung: Penerbit Mizan.
Pearson, M. 1994. Tempat-tempat Imajiner: Perlawatan ke Dunia Sastra Amerika. Terjemahan Sori Siregar, Erwin Y. Salim, & Ayu Utami. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Putten, J. 2007. “Pemekaran Negeri Kata-kata: Konfigurasi Kebudayaan Melayu”. Dalam  dalam Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra (Amin Sweeney dkk), Kerjasama Penerbit Desantara dan HISKI Jakarta, hal. 25-42.
Soedjatmoko. 1984. Etika Pembebasan. Jakarta: LP3ES.
Soedjatmoko. 1994.  Menjelajah Cakrawala. Jakarta: PT Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Soedjatmoko.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar ke Teori Sas­tra. Jakarta: PT Pustaka Jaya.