Kamis, 26 Januari 2012

"AKU SENANTIASA MENYERU": BEGITULAH SEHARUSNYA PENYAIR

Esai: Usup Supriyadi

"Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Tuhan dan mengerjakan kebajikan dan berkata: 'Sungguh, aku termasuk orang-orang yang berserah diri kepadaNya.'" - al Qur'an al Karim, Fushshilat: 33.

Seorang penyair sebagai manusia seharusnya memiliki rasa, sikap, dan jiwa yang berisi. Tidak kosong. Termasuk tidak sebatas tong kosong nyaring bunyinya. Terhadap apa yang ada disekitarnya mulai dari hal-hal yang bersifat privat hingga yang bersifat publik. Kesadaran tersebut, menurut saya dirasakan oleh Dimas Arika Mihardja hingga ia mengambil sikap yang jelas, bahwa, katanya, "Aku Senantiasa Menyeru":

aku senantiasa menyeru tanpa jemu ketika sawahsawah
rekah dan bumi tengadah memeram wajahwajah
gelisah petani yang menggigil. aku
senantiasa tiada lelah memapah jiwajiwa resah
menuju lembahlembah yang dibanjiri darah. aku
terus melangkah mengucurkan darah ketika penyair
kehilangan katakata karena bahasa telah pecah
berdarahdarah

maka aku senantiasa menyeru jiwajiwa batu
agar selalu ingat keringat rakyat yang dengan
tangantangan penuh lumpur mengadukaduk nasib
mengolah masa depan yang suram
aku senantiasa menyeru kamu yang dengan keja
memakan insaninsan malang

aku senantiasa menyeru kamu yang tanpa ragu
memangsa sesama yang begitu menderita
senantiasa menyeru kamu yang tanpa perasaan
memakan masa depan demi memuaskan
nafsunafsu menggebu


Malang, 1996


Hasan Aspahani (2007) pernah bertanya kepada Sapardi Djoko Damono dengan pertanyaan: "Kalau Anda diberi kuasa yang hebat untuk puisi, apa yang pertama Anda buat?" jawab Sapardi, "Berbuat baik pada sesama lewat puisi." Saya kira, Dimas Arika Mihardja melahirkan sajak "Aku Senantiasa Menyeru" tidak lain tidak bukan karena yakin bahwa dengan puisi memang kita bisa berbagi dengan sesama. Sajaknya tersebut sangat sejalan dengan ayat Al-Qur'an yang saya kutip di muka. Maksudnya "menyeru kepada Tuhan" dijabarkan secara terang dalam bait-baitnya. Dan, apa yang diupayakan tersebut menurut saya adalah sebuah kebaikan meski tidak berupa materi. Dan ini mengisaratkan bahwa menyeru di sini tidak sebatas dan menjadikan penyair seumpama ulama, jadi bukan semata-mata "dakwah" atau "khotbah" teologis-walaupun hal itu dimungkin juga terjadi dalam sebuah puisi. Lebih kepada seruan atau ajakan kembali kepada nilai-nilai universal-spiritual. Sebab menyeru kepada kebaikan, kebajikan, dan kebenaran sama halnya menyeru kepada Tuhan. Dan itulah yang diharapkanNya dari seorang penyair yang mengaku berserah diri kepadaNya. Salah satu sajak Dimas Arika Mihardja lainnya yang menandakan seruan seperti itu misalnya, "Masjid Agung Al-Fallah", "Moratorium", dan lainnya.

Contoh nyata penyair yang senantiasa menyeru misalnya Muhammad Iqbal. Iqbal pernah menyeru kepada Barat (masyarakat di Eropa) dalam bentuk puisi, tahun 1923, berjudul Payam-i-mashriq (Puisi dari Timur). Pesan tersebut disampaikan sebagai jawaban atas ratapan Johann Wolfgang von Goethe seabad sebelumnya. Goethe ketika menulis West-Oieslicher Divan meratapi mengapa manusia Barat (masyarakat di Eropa) menjadi sangat matrealistis serta individualistis. Ia berharap Timur dapat membawa misi yang menjanjikan nilai-nilai spiritual. Iqbal dalam karyanya menjawab, yang intinya, moralitas dan agama itu penting bagi peradaban! Hidup ini tidak akan pernah meningkat tanpa memahami makna spiritualitas! Sedang kapitalisme adalah sebuah kesesaatan yang sesat lagi hanya upaya membunuh diri sendiri, khususnya membunuh jiwa yang ada dalam raga.

Lantas, bagaimana dengan penyair di Indonesia? Hampir di setiap era ada penyair-penyair dalam kecenderungan tematik dan stilistiknya menghasilkan karya berupa seruan tidak sebatas semacam ceramah para agamawan atau janji burung para politikus. Tapi seruan yang menggerakkan pembacanya sehingga karyanya memiliki dua fungsi utama sebagaimana diungkap oleh Horatius, dulce et utile. Salah satunya tentu saja Dimas Arika Mihardja dengan sajaknya yang saya angkat kali ini menjadikan karyanyanya itu khususnya isinya seumpama kanon bagi generasi selanjutnya, khususnya yang ingin jadi penyair!

Kalau saya harus menyebut nama lainnya, misalnya Rendra, Taufiq Ismail, M.R. Dayoh, Wiji Thukul, Soni Farid Maulana, Juniarso Ridwan, Micky Hidayat, Akhmad Muhaimin Azzet, Sapardi Djoko Damono-sebagian menganggap bahwa Sapardi penyair liris romantis alias pujangga cinta bersahaja, tapi dalam Ayat-Ayat Api yang bersangkutan menunjukkan sisi lainnya. Dan lainnya, jika saya harus menyebut nama penyair muda termutakhir yang sejalan dengan apa yang saya bahas ini, misalnya Hadi Abdul Hamid dan lainnya. Untuk penyair perempuan misalnya, Nenden Lilis Aisyah, Rieke Diah Pitaloka, Nancy Meinintha Brahmana dan yang lainnya. Kesemuanya yang saya sebut itu hampir tidak menunjukkan konsep l'art pour l'art (seni untuk seni), tapi tendenzkunst (seni bertujuan).


Esai ini mungkin oleh sebagian pembaca dianggap terlalu agamis apalagi di arus zaman puisi bebas ini yang juga ditunggangi oleh mereka yang berpikiran sekuler, feminis ekstrim, dan lainnya. Tidak mengapa, namun, saya tetap tidak menafikkan bahwa setiap penyair berhak menyeru apa saja, namun ada baiknya memiliki keadaban yang beradab. Kiranya saya perlu menyitir tulisan H.B. Jassin yang mengutip pernyataan Sarojini Naidu: "Nama jenderal-jenderal besar, raja-raja, dan pendeta-pendeta dilupakan. Tetapi ucapan-ucapan seorang pengarang atau seorang penyair yang bermimpikan mimpi persatuan dan perikemanusiaan akan hidup selalu..." saya tambahkan, juga yang mengusung nilai-nilai agama, dan moralitas sebagaimana disinggung oleh Iqbal di atas. Nah, kembali lagi kepada penyair kini yang kelak akan -barangkali- bait-baitnya menjadi abadi serta dijadikan acuan. Tentu kita berharap bahwa generasi ke depan itu mendapati ucapan-ucapan atau kalimat-kalimat yang baik lagi memiliki gagasan atau ide yang bermutu.


Akhirnya, saya berharap ke depannya, akan lahir sajak-sajak yang mengajak atau menggerakkan jiwa dan raga, jasmani dan ruhani. Tidak hanya sebatas puisi yang mirip vas tapi tidak ada bunganya! atau seperti pot yang tidak ada tanamannya. Rasanya, saya sebagai pembaca karya sastra khususnya puisi, ingin bertanya: "Apakah harus selalu pembaca yang memberikan makna pada kata-kata yang dirangkai oleh seorang penyair? sedangkan penyair lepas dari tanggungjawab untuk menghasilkan sesuatu yang punya isi dan misi?" Dalam kesempatan kali ini, saya sarankan agar jangan terlalu jadi hamba Tuan Tardji-sapaan buat Sutardji Calzoum Bachri. Dengan langkah merangkai kata berharap jadi mantra yang kelak dibaca dan menghasilkan sihir sakti. Tapi dirinya sendiri sebagai penyair tidak tahu apa yang terkandung dalam rangkaian yang dibuatnya tersebut. Dengan kata lain tidak tahu wisdom pada karyanya sendiri-untuk tidak mengatakan tidak tahu diri atau tidak mau tahu dan ambil pusing dengan beban harusnya ada makna atau pesan. O, saya harapkan semoga tidak banyak penyair yang seperti itu-agaknya meski ada rasa pesimistif, saya harus optimis!


Selamat menjadi penyair yang menghasilkan puisi yang berisi! Selamat!

Salam sastra darusalam

Bogor, 26 Januari 2012.

Senin, 23 Januari 2012

SEMAKIN SENJA SEMAKIN BERSAHAJA: DIMAS ARIKA MIHARDJA

Esai: Usup Supriyadi

Seorang komedian Amerika Serikat, Woody Allen pernah membuat sebuah lelucun, katanya, Aku tidak takut untuk mati, hanya saja aku tidak ingin berada di sana ketika itu terjadi. Pada saat itu, hampir seluruh penonton tertawa dengan pernyataannya itu. Sebuah paradoks yang keluar dari seorang pelawak yang pintar. Tapi bagi saya, hal itu tidak hanya lucu, tapi justru pernyataannya tersebut mengisaratkan sifat dasar manusia atau makhluk hidup, yakni adanya rasa takut terhadap yang bernama maut.


Dalam hal ini, Asep Sambodja dalam sajaknya Senja di Hati yang didedikasikan khusus untuk Dimas Arika Mihardja juga memberikan penegasan atas apa yang saya ungkap bahwa adanya rasa takut akan maut. Katanya, beginila rasanya memasuki usia senja/ sebentar-sebentar melihat jam/ ... beginilah rasanya menjadi tua/ sedikit-sedikit merasa sakit/ ... beginilah rasanya pernah muda/ sebentar-sebentar membuka album/ ... beginilah rasanya memasuki usia senja/ gelisah kalau sendiri/ resah kalau (dengar dan lihat) ada yang mati//. Belum lagi, di zaman yang katanya penuh dengan kemajuan ini, ternyata bagi yang berusia kian senja semakin harus banyak mengingatNya, mengapa? Sebab Sapardi Djoko Damono berkata Pada Suatu Magrib, ... dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,/ astagfirullah!/ Rasanya di mana-mana ajal mengintip//.


Masalah akhir kehidupan memang selalu membikin resah, apalagi bagi mereka yang di hatinya penuh dengan barah bukan hikmah Ilah. Apakah kita harus menghilangkan benar-benar rasa takut sebagai makhlukNya? Tentu tidak! Kita harus tetap memiliki rasa takut, utamanya takut kepadaNya, dan juga takut kepada setan. Hanya saja bedanya, takut pada Tuhan harus kita dekati, bila takut kepada setan dan segala maksiat harus kita jauhi. Kita pun, khususnya bagi yang percaya akan adanya hari akhir, hari  esok selepas kematian, maka rasa takut semasa hidup juga harus dipupuk, yakni takut kalau-kalau berakhir pada tempat yang terpuruk. Tapi kadang, kita justru malah berada dalam kegalauan, takut tapi tetap berpagut dengan segala kekeliruan. Aneh bukan?


Dan, rasanya, Dimas Arika Mihardja menunjukkan fenomena penyikapan yang layak dan bijak berkaitan dengan menghadapi akhir dari kehidupan atau perjalanan di dunia yang fana ini. Itu terlihat pada sajak Sebelum Berangkat, Saat Berangkat, dan Usai Berangkat. Sekilas ketika saya membacanya (khususnya pada bagian judulnya), mengingatkan saya pada sajak Sapardi Djoko Damono berjudul Saat Sebelum Berangkat, Berjalan di Belakang Jenazah, dan Sehabis Mengantar Jenazah yang ketiganya -meminjam apa yang diungkapkan A. Teeuw- sajak yang indah dan juga membikin sedih. Namun, jujur saya katakan, saya lebih terpikat apa yang diutarakan oleh Dimas Arika Mihardja, sebab ianya melahirkan sajak yang berupa jejak petunjuk yang lebih bernas untuk menghadapi kepastian itu.


Pada awalnya, saya menganggap bahwa sajak-sajak Dimas Arika Mihardja tersebut berkaitan mutlak dengan sebuah kejadian dari akhir kehidupan anak manusia. Namun, saya menepis anggapan itu, justru yang saya dapati, sajaknya ialah sebuah peta petunjuk! kalau dikalangan sufi, jadi semisal tarekat bagi para salik untuk menuju sang khalik. Sebelumnya, ada baiknya mari kita coba baca-selami sajak-sajak yang saya maksud:


TRILOGI SAJAK DAM TENTANG BERANGKAT

[SEBELUM BERANGKAT]

mandi dan bersucilah, ingat. sebelum dimandikan
ada sesuatu yang harus dipersiapkan:

air bersuci

hati


[SAAT BERANGKAT]

keranda hanyalah kendaraan
sementara melaksanakan perjalanan
ke tepian maqam

makanlah amal kebajikan

minumlah mineral doa-doa

[USAI BERANGKAT]

sebuah alamat telah membawamu berangkat
menuju pulang, kembali ke asal mula sebagai tanah
amanah: sebuah pintu senantiasa terbuka
madu atau racun tersedia sejak semula

tak usah ketuk pintu
atau ragu

masuklah ke serambi hatimu


BPSM, 2011


Mengapa saya tidak menetapkan kata "berangkat"  pada sajak-sajak tersebut sebagaimana kata; maut, mati, kematian, pulang, atau rumah. Sebab saya menemukan kata "maqam" pada sajak Saat Berangkat. Maqam di sini jelas bukanlah term untuk makam atau kuburan tempat jenazah di kuburkan, tapi lebih kepada kedudukan seseorang di sisi Tuhannya sejak masa ada di dunia. Dimas Arika Mihardja dalam usia yang kian senja tidak terlalu mengumbar kekhawatiran yang mematikan, tapi justru lahirkan penyikapan yang sangat sahaja. Mengapa bisa begitu? Padahal, sebagaimana manusia pasti ada rasa takut dan khawatir? Saya temukan jawabannya pada Sajak Sederhana Untukmu karya Dimas Arika Mihardja, katanya, ... jika dada rasa sesak/ oleh segala kekhawatiran yang memabukkan hingga tidak beralasan ibarat meminum ...tuak menggelegak/ maka ...jangan campakkan sajak/ sajakNya//. Ini memang sebuah pesan yang menawarkan obat yang mujarab bagi yang tertimpah gelisah menjelang senja tiba, sebagaimana firmanNya: "Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman..." [al Isra: 82] "Duhai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (berupa Al-qur'an yang tersurat dan tersirat) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) di dalam dada..." [Yunus: 57]


Apa yang harus kita lakukan sebelum berangkat menuju jalan yang lebih baik lagi? kita harus siap mandi dan dibersihkan sebelum kita benar-benar dimandikan. Yakni, air bersuci yang mengisaratkan penerapan syariat berupa salat, hati mengisaratkan harusnya khusyuk dalam ibadah dan bersikap tawaduk. Saat berangkat menapaki jalan Ilahi yang diridaiNya, keranda di sini ialah tubuh atau jasad kita dan segenap apa yang telah Tuhan sediakan sebagai wahana-wahana menempuh perjalanan menuju ke tepian maqam yang sebenarnya di akhirat kelak. Maka, dengan apa yang ada itu, kita harus memenuhi kebutuhan gizi rohaniah dengan jalan makan(lah) amal kebajikan dan minum(lah) mineral doa-doa.

Di bagian usai berangkat, ini memang agak sulit saya selami, maksud sebenarnya, namun yang pasti tetap dalam konteks masih di dunia dan langkah kita menyikapi takdir akhirNya. Bahwa setelah kita tetap pada jalanNya, maka sudah jelas bahwa dengan mengetahui syariat, maka akan menyampai hakikat berupa alamat yang tepat yang dengannya akan membawa(mu) kita ke derajat yang terhormat di sisiNya, bukan malah terlaknat. Selagi di dunia? Ya, karena usai di sini ialah sampainya kita pada tataran memahami agama ageming ati (lihat sajak Masjid Agung Al-Fallah, karya Dimas Arika Miharja).


Bahwa kita sadar segalanya akan kembali pulang/, kembali ke asal mula sebagai tanah/. Semangat kian ada, ketika kita tahu bahwa sebuah pintu senantiasa terbuka/  yakni Tuhan memang senantiasa membuka pintu tobat dan memperbaiki diri bagi setiap insani asalkan sebelum ajal menjemput atau matahari terbit di barat. Meski kita tahu bahwa madu atau racun tersedia sejak semula/ ada dua hal yang ingin coba saya tafsirkan berkaitan dengan madu dan racun, pertama bisa perihal adanya surga dan neraka, atau perihal takdir bahwa kita sebenarnya sudah ditetapkan sejak semula akan masuk surga atau neraka. Ini sejalan dengan sabda Rasul Allah, Muhammad, katanya, “Allah telah menulis seluruh takdir makhluk limapuluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.......” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2653]. Wah, kalau begitu apakah bukan sebuah kepercumaan kita mempersiapkan diri dan berusaha menjadi baik kalau ternyata berakhir di neraka? kalau ada yang bilang begitu, tanya balik saja, "Apatah kamu tahu bahwa kamu akan benar-benar masuk neraka?" Karena begitu rahasianya untuk hal itu, sama halnya dengan rahasia kiamat dan tamatnya sebuah riwayat hidup manusia, bukankah Tuhan berfirman: Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang merubahnya. Ini membuktikan bahwa segala kemungkinan itu ada, dan Tuhan itu tidak pernah menyianyiakan amalan dari setiap hambaNya walaupun sebutir atom sekalipun, sebab rahmatNya melebihi murkaNya. Dengan usaha, doa, dan lainnya kita bisa mengupayakan perubahan nasib di dunia yang dimana bisa pula memicu agar berakhir di akhirat dengan hal-hal yang baik. Sebagaimana sabda Muhammad Rasulullah, Menyambung silaturahim, akhlaq yang baik, dan bertetangga yang baik akan memakmurkan negeri-negeri dan menambah umur-umur [Diriwayatkan oleh Ahmad, 6/159] dalam riwayat lain juga siapa yang ingin diluaskan rezekinya maka disyariatkan untuk memperbanyak silaturahmi. Kalangan ahli sunah waljamah percaya bahwa sesungguhnya takdir itu ada dua macam. Pertama, taqdir mutlak, yaitu takdir yang tertulis dalam Lauh Mahfudh. Kedua, takdir mu’allaq atau muqayyad, yaitu takdir yang tertulis dalam lembaran malaikat yang masih mungkin untuk dihapuskan atau ditetapkan oleh sebab daya upaya dari hambaNya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan dengan panjang soal perkara ini dalam karyanya Majmuu’ Al-Fataawaa, bahwa intinya yaitu, umur memang bisa bertambah dengan sebab-sebab yang dijelaskan oleh nash (misalnya : menyambung silaturahim, doa, dan yang lainnya). Yaitu bertambah dengan menghapus ketentuan/takdir yang ada dalam catatan malaikat. Namun pertambahan berikut sebab yang dilakukan oleh hamba itu sendiri merupakan bagian dari takdir mutlak yang telah Allah tulis dalam Lauh Mahfudh limapuluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.


Maka tak usah ketuk pintu/ atau ragu/ sebab diri-Nya selalu menerima dengan tangan terbuka setiap hambaNya yang ingin menggenggam pelita Nur Ilahi Rabbi (lihat sajak Perjalanan 2: Piek Ardijanto Supriadi, karya Dimas Arika Mihardja).


Bagaimanakah cara bercinta denganNya di dunia ini? ialah dengan upaya masuk(lah) ke serambi hati(mu) kita masing-masing. Hati di sini juga bisa merujuk diri kita secara utuh yakni jasad dan ruh, sebab Tuhan berfirman: Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? Dengan melihat dan melakukan intropeksi diri maka kita akan menemukan betapa besar rahmat kasihNya, sehingga kita akan semakin giat lagi berbenah. Dan tidak terlalu takut yang akut menghadapi apa itu yang bernama maut. Justru dengan mengikuti Trilogi Bergerak ala Dimas Arika Mihardja, menurut hemat saya akan menunut kita kepada makrifat yang menyelamatkan. Maa syaa-Allah laa quwwata illaa billah, Insya Allah. 


Pada akhirnya, saya hanya ingin mengatakan bahwa Alhamdulillah, DAM, secara pribadi dan juga dalam karya-karyanya (khususnya yang saya bahas ini masih terbilang baru, tahun 2011) dalam kondisi yang kian senja, menjadi kian sahaja dalam menyikapi segala narasi kehidupan yang telah ditetapkanNya.  Kita memang harus bersiap bila ingin selamat dan tidak lindap dalam takut. Cara menguapkan gundah gelisah ialah dengan berserah kepadaNya.


Demikianlah, siapa saja pasti menuju senja dalam artian pendewasaan diri, maka seharusnya bukan malah sombong atau takabur tapi justru harus mengubur ego dan menjadi pribadi yang bersahaja. -Amin.

Sambil menikmati Kue Keranjang, Bogor, 24 Januari 2012

Minggu, 22 Januari 2012

KATARSIS PADA PUISI: STANZA MENJELANG PERJALANAN

Esai: Kajotow El-kaayeni

Apa yang membuat seseorang tergerak untuk menulis puisi?

Jawabannya mungkin beragam, namun satu hal yang jelas, seorang penyair mengalami keterusikan di dalam jiwanya. Ia terusik dan hendak melahirkannya melaui bahasa. Di sinilah pengaruh lingkungan dan jaman itu berpengaruh kuat bagi seorang penyair. Orang-orang besar yang dicatat sejarah itu muncul karena mereka terbelenggu oleh keadaan, baik dari segi politik secara umum, maupun dari segi perseorangan. Saat terkekang itulah mereka melawan dengan kekuatan di dasar nuraninya. Siapa menyangka seorang pemuda yang menghadiri festival kesenian akan pulang dengan meradang seperti Friedrich Nietzsche, yang kemudian melahirkan karya besar yang tak bosan ditilik orang sepanjang zaman. Nietzsche merasa karya seni telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, maka ia memberontak dengan radikal dan menyerang secara fundamen terhadap penyelewengan atas kepemilikan seni itu. Saya ragu jika Nietzsche semata ingin menyerang Tuhan sebagaimana yang telah pula ditunjukkan oleh Bertolt Brecht itu. Meskipun kita sadar komunisme yang diusung Karl Marx adalah sebentuk gugatan yang mendasari lahirnya gugatan lain. Tetapi penyebab keterusikan itu adalah karena adanya kesewenangan kelompok kuat terhadap kelompok lemah, dalam hal ini kaum kapitalis yang bersembunyi dalam dogma-dogma transenden terhadap kaum proletariat.

Manusia dengan kekuatan untuk memberontak kekangan ini terus-menerus terlahir sepanjang masa. Manusia itu terkutuk untuk bebas, kata Jean-Paul Sartre. Mungkin pemikiran itulah yang mendasari munculnya pemberontakan atas belenggu yang mengekang tadi. Dari titik normal, pemikiran ini jelas menyimpang karena hukum tidak berfungsi saat semua orang menghendaki kebebasan secara personal. Tetapi penyimpangan semacam ini dalam kondisi tertentu adalah pilihan paling logis, yakni untuk memberontak tadi. Manusia dengan jiwa bebasnya tak ingin tertindas oleh kepentingan orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaaan. Penyair adalah sebagian orang yang memilihnya dari jalur bahasa. Apa yang membuat mereka terusik itu tertanam dalam karya mereka, yang dengannya jutaan orang bisa mengambil perenungan untuk menyadari kekeliruan yang mereka lakukan. Buah pikiran yang bening itu seperti mata air, siapa pun dan dengan latar belakang apa pun boleh dan bisa menimba sehingga mengalirkan pemikiran baru darinya.

Lalu apakah dalam kondisi normal manusia itu tidak memiliki keterusikan dalam jiwanya?

Kehidupan dan seluruh dinamikanya adalah belenggu itu sendiri. Permasalahan kecil atau besar tak luput menimpa manusia sebagai pelaku kehidupan. Dengan kata lain kehidupan itu adalah masalah itu sendiri. Orang akan mendapat masalah saat udara tercemar dan dia tidak bisa bernafas dengan leluasa, orang akan mendapat masalah saat sel kecil seperti virus masuk ke dalam tubuhnya dan mengacaukan mikro kosmosnya. Orang akan mendapatkan masalah saat kebutuhan untuk menunjang hidup seperti makan dan istrirahat yang cukup tidak terlaksana dengan baik. Orang akan mendapat masalah saat tidak bisa teratur membuang proses pencernaan setelah makan tadi. Orang akan mendapat masalah saat tertekan pikirannya. Orang akan mendapat masalah saat dirinya terancam. Dan pada akhirnya, orang akan mendapat masalah saat kehidupan tadi harus berakhir. Hidup sebagai sumber masalah mungkin juga akan selesai di situ, tapi betapa hidup yang sebenarnya adalah anugrah itu juga akan berakhir?

Di sinilah manusia dihadapkan pada permasalahan terbesarnya: kepada kematian. Sebuah keyakinan tak terbantahkan baik bagi yang beragama atau tidak, bahwa semua yang hidup akan mati. Ada perbedaan pengertian mati di sana, bagi yang tidak beragama tentu tidak meyakini ada kehidupan sesudah mati itu. Mati bagi mereka adalah proses untuk kembali berputar menjadi bentuk kehidupan lain, atau proses menjadi sesuatu yang berbeda dan masih dalam rentang keberadaan akan wujud sesuatu di jagad raya ini. Entah menjadi debu atau atom yang berkeliaran tak tentu arah. Tetapi satu hal yang sama diyakini oleh semua manusia adalah manusia akan tetap mati. Dengan begitu mati tadi mengantarkan manusia pada rasa takut, entah diakui atau tidak.  Mati akan membuat kesempatan untuk terus ada sebagai manusia berakhir. Ini adalah impuls terkuat yang kerap mengusik manusia.

Maka dari keterusikan itu mereka mencatatnya dalam berbagai bentuk pemikiran dan hasil perbuatan.

Perenungan akan mati ini memiliki efek kausalitas yang jelas, seseorang akan sampai pada titik pemahaman ketidakberdayaannya. Dan ini akan melahirkan akibat yang berbeda. (1) Ada orang yang pesimistis dan memandang hidup adalah sebuah kesia-siaan. (2) Ada orang yang menyikapinya dengan bijak untuk mengisi kehidupan dengan melakukan sesuatu yang berarti dan membahagiakan. Kesadaran dalam contoh kedua adalah bentuk pemikiran yang logis, karena dengan pesimistis atau optimistis kehidupan akan tetap berakhir. Mati itu adalah proses menuju yang tidak bisa dihindari, tetapi ada (being) dalam keadaan hidup tentu saja memiliki arti berbeda. Maka yang paling penting dilakukan setiap manusia adalah mengisi sisa waktu sebelum kontrak hidup itu habis, dengan melahirkan sesuatu yang membuat mereka bahagia, sekaligus dikenang oleh orang-orang sesudahnya. Dengan bijak orang-orang terdahulu menyatakan: “hancur badan dikandung tanah, budi baik terkenang jua.” Kebenaran akan kematian ini menghasilkan kesadaran paradigmatik, sehingga orang-orang terdahulu mewasiatkannya dalam pribahasa sebagai suri tauladan untuk orang-orang kemudian.

Menyadari akan hal besar yang tidak dapat terelak itulah penyair mengambilnya sebagai titik tolak, untuk menyadarkan dirinya sekaligus orang lain yang membaca hasil perenungannya. Seperti penyair Hadi Napster (Hadi Abdul Hamid) dengan kesadaran penuh menuliskannya dalam puisi STANZA MENJELANG PERJALANAN. Puisi yang bermakna begitu besar karena mengangkat permasalahan besar yang dihadapi seluruh manusia di muka bumi. Tapi bukan keterputus-asaan yang terbaca dalam puisi tersebut, melainkan hasil kesadaran yang bening mengenai pilihan untuk berbuat yang terbaik selagi hayat masih dikandung badan. Penyair kelahiraan 07 Juli 1984 di Kotamadya Palopo, Sulawesi Selatan itu memang bukan penyair atas angin yang telah melahirkan kanon sastra di Indonesia. Tetapi kebeningan hatinya dalam menyikapi hidup, menyiratkan ketabahan luar biasa dalam menghadapi kemelut penyakit yang sedang dideritanya. Sebagai manusia, ia telah berhasil mengalahkan rasa pesimistis akibat kesadaran terhadap permasalahan terbesar dalam hidup.


STANZA MENJELANG PERJALANAN
: Direktur Eksekutif BPSM

I
kalau nanti aku pergi
sampaikan pada tunggang rindu
tanah pilih yang memahat namamu
dalam notasi—buku harian telah koyak
merpati itu tak lagi ingkar janji
mereka kini setia, mengkaji
kabut di wajah kekasih

II
kalau nanti aku pergi
sayap-sayap bidadari masih berkepak
mengeja semiotika lewat kenduri air mata
jendela kita sama-sama basah-gelisah
ya, musim bunga dan jemari waktu
tiada jemu menggubah simfoni
dari kedalaman rasa

III
kalau nanti aku pergi
haturkan bagi sultan, keinginan
epitaf pal putih itu semakin usang
tidakkah ukiran kaligrafi lebih indah?
pula balada penuh isak-isak sajak
tambat-ikatkan! benamkan!
bersama tahajud ilalang

IV
kalau nanti aku pergi
sebait stanza tentu kau mau
leburkan nada-nada angkasa muda
di antara personifikasi kandil asmaraloka
setelahnya, hanya sepi-sepoi zikir saja
lelap menimang harap, mendekap
segitiga sama sisi

Bandung, Januari 2012


Tercatat di bawah judul sebuah arah yang jelas sedang dituju puisi ini: Direktur Eksekutif BPSM. Secara luas puisi ini tertuju bagi semua manusia yang menyadari permasalah terbesar dalam hidup (kematian). Tetapi penyair dengan latar interaksi sosialnya dengan sekumpulan manusia lain, memfokuskan alamat yang dituju itu untuk memberikan stimulus, sehingga menghasilkan gerak yang terfokus pula akhirnya. BPSM adalah sebuah wadah interaksi yang berperan mencatat sejarah listerasi perpuisian Indonesia dalam medium internet, sekaligus berperan aktif dalam memberikan kontribusi terlahirnya karya-karya pilihan, untuk melawan stigma terhadap sastra internet yang telah lama disebut sebagai sastra sampah. Dalam BPSM sendiri yang bergerak aktif sebenarnya adalah anggotanya. Peran direksi hanya mencatat, mengumpulkan dan menyeleksi karya berpotensi. Kemudian memberikan arahan sesuai konvensi yang berlaku, baik konvensi bahasa, konvensi sastra dan konvensi budaya. Di sinilah penyair Hadi Napster membidik simpul itu, bukan untuk mengkultuskan atau mengkhususkan penyampaian pesan terhadap segelintir orang. Tetapi lebih kepada, untuk menyuntikkan stimulus tepat di pusat sasaran. Dengan bidikan tepat pada jajaran direksi itulah geliat sastra yang bergerak dinamis dalam ruangan BPSM akan bersifat menyeluruh. Baik dalam komunitas Bengkel itu sendiri atau melesat keluar pada komunitas lain, terlebih bagi seluruh pelaku sastra di Indonesia. Dan tidak tertutup kemungkinan ia akan merembes ke ranah sastra di luar sana.

I
kalau nanti aku pergi
sampaikan pada tunggang rindu
tanah pilih yang memahat namamu
dalam notasi—buku harian telah koyak
merpati itu tak lagi ingkar janji
mereka kini setia, mengkaji
kabut di wajah kekasih


Dalam bait pertama ini penyair mengawalinya dengan kalimat bermakna konotatif “kalau nanti aku pergi,” tapi jelas terbaca di sana mengenai permasalahan besar yang sedang dihadapi oleh penyairnya yaitu penyakit kangker yang dideritanya. “pergi” yang dimaksudkannya itu adalah pulang atau melanjutkan perjalanan kehidupan pada tahapan selanjutnya. Sebagai bagian dari umat bergama, penyair menyadari akhir dari kehidupan adalah kematian juga, yang akan mengantarnya kepada Sang Pencipta kehidupan itu sendiri. Di sinilah puisi tersebut mengehentak manakala pembaca tersadar, bahwa ketiadaan pilihan bagi manusia–selain menuju pada akhir kehidupan–itu telah disikapi dengan jiwa besar oleh penyairnya. Memang selalu ada harapan dan kemungkinan lain bagi penyair yang sedang berjuang melawan penyakit tersebut. Tetapi betapa ini adalah sebuah pemikiran yang jernih dan jauh dari keterputus-asaan. Penyair dengan bijak dan berjiwa besar menitipkan pesan bagi orang-orang di sekitarnya, khususnya dewan direksi BPSM–yang kelak akan “pergi” juga cepat atau lambat–untuk berupaya maksimal dalam menumbuh-kembangkan perpuisian, melawan stigma terhadap sastra internet dengan melahirkan karya-karya bermutu.

Banyak orang ketika dihadapkan pada posisi sulit itu akan meratapi dirinya bahkan mungkin berlepas diri dari interaksi sosial dengan lingkungannya. Jika pun mereka menulis, tentu akan meyorot permasalahan besar yang dihadapinya secara personal. Tetapi sekali lagi, penyair Hadi Napster tidak bersikap picik seperti itu. Sebagai salah satu Dewan Reaksi BPSM, Hadi Napster tahu betul kehidupan sastra musti terus bergerak dengan atau tanpa dirinya. Maka dari itu prioritas terbesarnya adalah memperjuangkan hal tersebut, meski ia sadar kesempatan tidak berpihak secara luas kepadanya. Seperti yang dikatakannya, “sampaikan pada tunggang rindu / tanah pilih yang memahat namamu / dalam notasi—buku harian telah koyak.” Dan ini sungguh menyentuh, manakala kita tahu orang-orang besar semacam ini jauh lebih mementingkan orang lain dan kepentingan bersama daripada dirinya. Ini adalah sebuah cambukan kesadaran, bagi yang memiliki kesempatan lapang untuk seribu kali berbuat lebih demi memajukan sastra. Jika orang yang terbaring lemah dan sedang menghadapi masalah besar saja bisa berbuat demikian, apalagi orang yang memiliki kesempatan dan kekuatan untuk berbuat lebih?

Maka dari itu dalam bait pertama ini terkandung optimisme penyair mengenai apa yang telah digerakkan dalam tubuh BPSM. “merpati itu tak lagi ingkar janji / mereka kini setia, mengkaji / kabut di wajah kekasih,” katanya. Merpati itu pertama kali hendak mewakili diri penyair secara personal, simbol yang diambil berdasarkan cerminan dirinya sebagai penyampai pesan yang kemudian direkatkan dalam puisi. Merpati itu kemudian meruang secara luas yaitu ketika penyair menyebut “mereka kini setia,” hal ini mengait pada setiap orang yang berkecimpung dalam dunia sastra selaku pemberi pesan kepada halayak. Pesan yang menjadi misi merpati itu tentu mengenai perenungan mendalam atas hidup dan perjuangan dalam hidup itu sendiri. Dalam gambaran puisi ini, setiap penyair (khususnya warga BPSM) yang melakukan kontemplasi mendalam atas permasalahan hidup dan kemanusiaan diibaratkan seperti merpati, tugas mereka adalah menyampaikan pesan dari nurani dengan nilai-nilai kemanusiaannya. Dan merpati seperti itulah yang kini setia menekuri misteri kehidupan serta mengambil hikmah darinya.

II
kalau nanti aku pergi
sayap-sayap bidadari masih berkepak
mengeja semiotika lewat kenduri air mata
jendela kita sama-sama basah-gelisah
ya, musim bunga dan jemari waktu
tiada jemu menggubah simfoni
dari kedalaman rasa

Seperti yang terbaca dalam puisi, kalimat “kalau nanti aku pergi” ini menjadi kepala setiap baitnya. Repetisi yang dilakukan penyair ini tidak saja menjadi pesan pokok, tapi juga latar peristiwa yang hendak menyentil siapa pun yang terbiasa santai dan “suka-suka” dalam berkarya. Ini perkara serius sehingga itu dikuatkan sampai empat kali dan mengawali setiap bait dalam puisi. Dari sana terkandung pemahaman: waktu dan keadaan yang demikian sempit harus dipergunakan secara maksimal. Dan betapa ini membuat trenyuh, ketika sebagai manusia kita cenderung abai pada permasalahan besar ini dengan menyia-nyiakan kelapangan. Dalam hidup, manusia memang tidak boleh menjalaninya dengan selalu serius apalagi dengan murung, tetapi tindakan apa pun yang dikerjakan manusia hendaknya didasari oleh keyakinan hakiki mengenai kefanaan hidup. Pada akhirnya kita semua akan ke sana. Bisa dikatakan, dari sikap dan perbuatan, boleh saja manusia itu cenderung santai atau terbiasa guyon. Namun jauh di kedalaman hati, hendaknya terselip kesadaran untuk berbuat secara maksimal mengingat hidup itu terbatas. Esensi dari setiap pebuatan itu adalah kesadaran mengenai hidup, penyampaian dan tampilan luar jelas bebas dan beragam sesuai cetak biru setiap individu.

Dalam bait ke dua ini penyair menegaskan prihal totalitas dalam kekaryaan sebagaimana dikatakannya, “sayap-sayap bidadari masih berkepak / mengeja semiotika lewat kenduri air mata / jendela kita sama-sama basah-gelisah.” Ini kegelisahan yang dibicarakan di atas tadi. Sebuah rangsangan yang membuat setiap penyair terusik untuk “mengeja semiotika.” Di sana ada arah yang jelas, bahwa puisi pada dasarnya adalah sebuah pesan yang dibungkus dalam tanda-tanda semiotik. Petanda yang terkandung dalam penanda sebuah tanda, setiap kode bahasa itu merupakan pintu masuk untuk menangkap pesan perenungan. Puisi pada dasarnya adalah hanya sebentuk teks, tanpa adanya pembongkaran yang mendalam terhadap teks tadi tentu seseorang hanya akan mendapat kulit bahasanya. Maka dikatakan, “lewat kenduri air mata” untuk menegaskan upaya total untuk menguak misteri dari pesan tersebut. “kenduri” juga sebagai simbol dari kebiasaan anggota BPSM dalam mengkaji sebuah puisi bernas yang sarat nilai renung.

Sedangkan “air mata” di sana itu adalah gambaran dari hasil permenungan tadi. Bahwasanya hal besar yang telah terkuak dalam kenduri tadi adalah sebuah stimulus, yang mengakibatkan pelaku permenungan terhanyut dan mengambil hikmah. Air mata itu bukan lambang kesedihan belaka, meski bisa jadi awalnya ia memang mewakili sebuah tragedi kemanusiaan. Artinya, sebuah peristiwa tragis mungkin menjadi tema pokok dalam pembahasan (kenduri), misalnya tragedi kemanusiaan di Bima. Tetapi dari hasil kenduri tadi, kesan yang tertangkap selain air mata itu adalah nilai yang terkandung di dalamnya, ia yang menjadi tujuan sebenarnya. “kenduri air mata” itu adalah metafora dari penghayatan yang mendalam. Dan air mata itu tidak berhenti pada titik kesedihan, tapi menggerakkan pelaku kenduri puisi untuk melakukan sesuatu yang berarti, baik secara langsung atau tidak, baik secara personal atau kelompok.

III
kalau nanti aku pergi
haturkan bagi sultan, keinginan
epitaf pal putih itu semakin usang
tidakkah ukiran kaligrafi lebih indah?
pula balada penuh isak-isak sajak
tambat-ikatkan! benamkan!
bersama tahajud ilalang

Kesadaran mengenai hal-hal besar yang sudah disampaikan dalam bait pertama dan ke dua tadi dikuatkan dengan pesan yang terkandung dalam bait ke tiga ini. Saya memaknai “haturkan bagi sultan, keinginan / epitaf pal putih itu semakin usang / tidakkah ukiran kaligrafi lebih indah?” sebagai perlawanan yang halus. Sultan di sana adalah gambaran tokoh-tokoh yang dikultuskan dengan karya mereka, yang dinilai sebagai kanon sastra. Sehingga “pal” yang diketahui sebagi tonggak jarak pembatas itu diambil penyair untuk melambangkan keadaan dalam sastra yang berjarak tersebut. Sultan sebagai orang yang memiliki kekuasaan atau nama besar telah mendirikan pal-pal pembatas putih (yang dianggap suci) itu dikatakan penyairnya sebagai sesuatu yang “usang.” Dan hasil perlawanan itu dengan menunjuk kaligrafi, sebagaimana kita tahu ia adalah sebuah perwujudan seni yang hendak menuju atau mewakili Tuhan. Karena kaligrafi identik dengan ayat-ayat yang ditulis indah atau lazim disebut tulisan kaligrafi. Meskipun dalam arti umum, kaligrafi adalah seni menulis indah. Begitu juga dengan balada yang dijadikan simbol sebuah sikap dari sastra yang merakyat. Dua pilihan tadi ditunjuk penyair sebagai sumber utama karya cipta, bukan mengekor kanon sastra yang dilambangkan dengan pal putih.

Hal itulah yang ditekankan oleh penyairnya bagi seluruh warga BPSM, umumnya seluruh manusia sastra untuk menyerapnya ke dalam jiwa. Agar terlahir karya yang bening dan hendak menjangkau Tuhan, sehingga dijelaskan penyairnya, “tambat-ikatkan! benamkan! / bersama tahajud ilalang.” Kata tahajud sebagaimana diketahui adalah prosesi ibadah dalam islam, yakni salat tahajud. Makna denotatif ini memang telah bergerak menjadi makna konotatif ketika disandingkan dengan “ilalang.” Artinya sifat dari tahajud itu diambil dan direkatkan kepada simbol yang disebut “ilalang,” yang kemudian terikat menjadi satu pemaknaan karena kepentingan kalimat. Ilalang ini pun telah berubah menjadi makna konotatif pula, yakni manusia yang diserupakan dengan kumpulan ilalang. Atau ia kembali pada makna denotatif, ia adalah gambaran dari setiap hamba, yakni ilalang sebagai makhluk tuhan yang tunduk dan khusuk beribadah kepadanya. Kedua makna tadi bersimpul pada satu pemaknaan final, yakni sebagai makhluk ciptaan Tuhan, selayaknya manusia itu taat dan patuh kepada-Nya sebagaimana contoh tahajudnya ilalang.

Ini adalah sebuah nilai religiusitas yang tinggi, dimana penyair mengambil pedoman hidup berdasarkan laku bersastra untuk menuju kebaktian terhadap Tuhan. Sastra yang dikelaskan dan dikultuskan oleh pihak tertentu, sehingga menghadirkan jargon kanonisme itu dilawan penyair dengan mengetengahkan hakikat kepenyairan. Penyair sejati adalah yang membaca alam terkembang sehingga menjadikannya guru. Penyair sejati adalah yang mengambil kenyataan yang terserak di sekitarnya, kemudian menjadikannya dasar perenungan. Penyair sejati adalah yang menghadapkan wajah keyakinannya kepada Tuhan sebagai satu-satunya kiblat dalam perjalanan pulang. Tuhan yang ketiadaannya tidak dapat dibuktikan oleh ilmu pengetahuan akibat terbentur satu pertanyaan mendasar: bagaimana kehidupan berawal? Keyakinan akan hal itu mengendap dalam diri penyair, sehingga tujuan dari kepenyairan itu dipandangnya berujung kepada hendak menjangkau Tuhan.

IV
kalau nanti aku pergi
sebait stanza tentu kau mau
leburkan nada-nada angkasa muda
di antara personifikasi kandil asmaraloka
setelahnya, hanya sepi-sepoi zikir saja
lelap menimang harap, mendekap
segitiga sama sisi

Penyair yang mabuk dalam kesadarannya, atau yang sadar dengan kemabukannya atas realita kehidupan telah menghadirkan lesatan-lesatan yang bening. Sehingga diksi yang muncul dalam puisi memiliki kekuatan hisap, selain terlihat bersih dan matang. Strategi retoris yang diperlihatkan penyairnya merupakan hasil tempaan waktu dalam perjalanan kepenyairannya. Maka setiap kode bahasa itu prismastis sifatnya. Dan makna yang terkandung dalam simbol atau lambang di dalamnya referen secara logis pada banyak hal. Dalam bait terakhir ini ada dua hal yang hendak ditunjukkan. (1) “kalau nanti aku pergi / sebait stanza tentu kau mau / leburkan nada-nada angkasa muda / di antara personifikasi kandil asmaraloka.” Baris-baris ini mewakili dorongan jiwanya sebagai pemuda, maka disebut di sana “nada-nada angkasa muda” sebagai lambang dari kecenderungan sebagai pemuda dalam berpuisi yang dipenuhi cita-cita dan kehendak bebas. Juga gambaran dari “asmaraloka” yang berarti cinta kasih dalam makna khusus sebagai cerminan dari jiwa muda tadi. Yang kemudian hal itu diakhiri dengan,  (2) “setelahnya, hanya sepi-sepoi zikir saja / lelap menimang harap, mendekap / segitiga sama sisi.” Cerminan dari jiwa muda tadi mengerucut pada nilai religiusitas. Maka dikatakan “setelahnya,” artinya di tengah kecenderungan sebagai seorang pemuda pada umumnya, yang pada akhirnya penyair memiliki dasar pijakan kuat mengenai hakikat kehidupan, yaitu “sepoi-sepoi zikir.” Sebuah kesadaran penuh akan kehadiran Tuhan dalam kehidupannya, sehingga penyair (yang juga mewakili penyair lain) senantiasa ingat kepada-Nya.

Segitiga sama sisi yang dijadikan lambang dalam puisi ini memiliki arti yang sangat besar. Segitiga sama sisi adalah bentuk tiga sudut yang sempurna. Dalam geometri dikenal dengan operasi simetri, dimana sebuah bidang itu akan diuji dalam tiga hal yakni refleksi, rotasi dan translasi. Segitiga sama sisi memiliki fungsi-fungsi simetri ini, bahkan ia bisa menyusun dirinya menjadi bagian terkecil dilihat dari sisi fraktal. Kesempurnaan atau keunikan yang dimiliki oleh segitiga sama sisi ini kemudian berlanjut menjadi pokok utama yang sedang disorot penyair. Seperti yang telah dicontohkan oleh Dimas Arika Miharja dalam sebuah esai. Bahwasanya ada hubungan triadik yang menempatkan manusia atau penyair di salah satu kaki segitiga sama sisi. Ada hubungan hakiki antara Tuhan, manusia dan kehidupan yang diibaratkan sebagai segitiga sama sisi. Dengan kata lain seperti yang dijelaskan oleh esais, “Konsepsi estetik manusia-penyair, dengan demikian, berpangkal tolak pada tiga dimensi: religiusitas, individual, dan sosial.” Hal itu diskemakan dengan: Tuhan, manusia, dan kehidupan.

Konsep tiga dimensi inilah yang ditangkap penyair dalam perjalanan hidupnya, kemudian digelarnya dalam puisi melalui simbol segitiga sama sisi. Hadi Napster menyadari sepenuhnya akan hakikat hidup dan hakikat kepenyairan. Sebagai manusia beragama, penyair hendak menggambarkan tujuan dari kepenyairannya. Dan ini merupakan cerminan yang juga ditujukan bagi manusia dan penyair lain, meskipun mengatas-namakan direksi BPSM. Manusia-manusia yang sadar akan kemanusiaanya, mereka yang merasa gelisah dan dikejar-kejar pertanyaan abadi: apa tujuan dalam hidup ini? Dan ini meruang secara luas sehingga terkandung di dalamnya siapa pun, dengan latar belakang apa pun asal dia adalah manusia normal yang memiliki keyakinan atas keberadaan Tuhan.

Manusia secara sadar memahami atas ketidak-berdayaannya dalam menolak kematian. Penyair Hadi Napster menangkap isyarat itu untuk kemudian dijadikan bahan renungan dalam karyanya. Orang-orang yang tidak mengakui keberadaan Tuhan sekalipun tidak dapat menyangkal atas kefanaan hidup. Dan permasalahan besar ini akan memperlihatkan sikap seseorang dalam menghadapinya. Ada yang lalai dan tak ingin mengingatnya, ada yang sadar dan mendapatkan efek langsung darinya. Berputus-asa jelas tidak akan menyelesaikan masalah, karena cepat atau lambat mati pasti akan datang menjemput. Mengisi kehidupan dengan perbuatan yang baik dan membahagiakan adalah tujuan dari kehidupan. Demikianlah yang hendak ditegaskan oleh penyair Hadi Napster di tengah perjuangannya melawan kangker otak yang dideritanya. Sebuah pesan yang didasari kesadaran luhur sebagai manusia beragama. Sebuah hasil permenungan yang bening sehingga menghasilkan katarsis bagi siapa pun yang menyelaminya.

*****




Kajitow El-kayeni
Redaktur BPSM

"PUISI BUAT KEKASIH SEBAGAI NARASI KELAHIRAN" MENUJU PUITISASI

Esai: Usup Supriyadi

"Bukan soal ketidakjelasan jalan yang dikhawatirkan dari dirimu. Namun, yang dikhawatirkan adalah menangnya nafsu atas dirimu." - Ibnu Athaillah al-Sakandari, al Hikam

KETIKA membahas puisi-puisi D. Zawawi Imron, Kuntowijoyo mengemukan istilah intellectual exercise. Puisi, katanya, tidak untuk dianalisis, maka pembahasan atas karya puisi terpaksa dilakukan sekadar sebagai latihan intelektual (Hasan Aspahani: 2007). Berpuisi bagi saya kurang lebih juga sama seperti itu, sebuah proses melatih diri dalam mencari makna tersembunyi yang minimal berguna bagi diri saya pribadi. Dan itu memang erat kaitannya dengan intelek.

Kali ini saya tertarik untuk mengulas sajak Dimas Arika Mihardja-untuk selanjutnya disingkat DAM. yang terdapat pada antologi puisi karya penyair nusantara raya: BERANDA RUMAH CINTA: Senja di Batas Kata. Sajaknya terdapat pada bagian sajian penutup dalam buku antologi tersebut. Berikut saya tulis-ulang secara keseluruhan sajak yang dimaksud:

PUISI UNTUK KEKASIH SEBAGAI NARASI
KELAHIRAN


[PUISI UNTUK KEKASIH]

rob dan sob*) hanyalah citra cinta
gambaran kasihku padamu yang sebagai gelombang
menghantam karangkarang terjal
mencumbu batubatu lumutan
rayuanmu serupa kerikil, membuat keri tapak kaki
di pantaipantai yang tangan nyiurnya melambai
di bibir waktu yang tak henti merindu
bagimu, aku hanyalah cangkang kerang
mengerang saat mengeja bayang
mengejang melacak jalan pulang

[SEBAGAI NARASI]

kita lahir dan tersihir oleh gerlap waktu
"demi masa," katamu dan aku ingin lahir kembali
sebagai narasi yang mengisahkan jalinan kasih
sebagai matarantai yang mengikat kuatkuat
ya, kita hadir sebagai narasi
membaca diri tiada henti
memaknai suara hati dalam tragedi
ya ya, sebagai narasi
kita menapaki eksposisi yang penuh komplikasi
menanjak menggapai puncak klimaks
lalu menuruni resolusi menemu kata kunci:
adaku dan arah jalanku semakin pasti, hanya padamu


[KELAHIRAN]

tangantangan berjemari ini tak lelah kugerakkan
membantu persalinan saat kelahiran kata
menjalin menjadi frasa dan satuan wacana
lalu hidup terasa berdenyut
penuh warnawarni
menyangga diri
: menjadi puisi!
1 Juli 2011 pukul 07:36
*) rob dan sob adalah term untuk air sungai atau laut saat pasang-surut


TIGA buah sajak yang begitu ahad, ini bukan bentuk trinitas tapi benar-benar satu kesatuan yang membentuk makna utuh sebagaimana dalam bentuk gabung judulnya. saya akan coba memahami puisi ini secara mandiri dan berdasar sudut pandang yang saya pilih sendiri.

Dalam Puisi Untuk Kekasih, saya mendapati lahirnya sajak ini akibat kegelisahaan transeden aku-lirik sebagai hamba Tuhan. Pada bait pertama, aku-lirik (dalam hal ini barangkali si penyair secara hakiki) begitu sadar bahwa iman di lubuk hati begitu fluktuatif, ia bisa pasang dan surut, dan penggubahan tersebut sesuai dengan kesepakatan jumhur ulama ahli sunah waljamaah bahwa iman memang bisa bertambah dan berkurang. Bait kedua mengisaratkan angin lalu yang kadang tak tentu begitu cepat dalam sekali lesat pada sekali waktu; hingga rindu menjadi gigil ingin segera terkail jamuan perjuampaan. Pada bait ketiga, cangkang kerang sebagai simbol bayangan bahwa pada setiap diri ada sesuatu dalam sesuatu! Nah, sampai di sini saya tidak mau cepat-cepat mendapat kesimpulan. Saya akan coba lanjutkan dengan sajak berikutnya.

Pada rupa (sajak) jejak Sebagai Narasi kita di bibir waktu bisa lahir dan tersihir dan demi masa manusia memang berada dalam tapal batas antara bebas kebablasan dan keselamatan. Sebagai manusia kita kerap dihadapkan pada gemerlap narasi yang bertubi dan terkadang tanpa kita bayangkan sebelumnya akan mendatangi kita. Namun dengan membaca diri tiada henti sebagaimana wahyu pertama: Iqra! Maka lambat laun, perlahan-lahan akan semakin terang, bahwa segala hikmah menjadi semacam kata kunci: bagi pintu rumah yang menuju hanya padamu!

Dan kesadaran yang dicapai aku-lirik mengabarkan sebuah Kelahiran kembali sebagai bentuk elutriasi ruh suci. Namun di sini bukan dalam artian kelahiran kembali dalam maksud reinkarnasi tapi dalam bentuk kesalehan yang lebih baik atau dalam hal ini penyair DAM menggunakan istilah: menjadi puisi!


Lantas? Apa hubungannya dengan kutipan Ibnu Athaillah yang saya sajikan dimuka? Ini sebenarnya hanya penguat dari apa yang hendak saya ungkap: bahwa kita jangan memikirkan bentuk ibadah yang mana yang akan ditempuh di jalan-Nya, sebab semua ibadah sama saja, yang salah ya yang tidak beribadah sama sekali, manalah mungkin akan mendapat upahNya? yang justru harus kita pikirkan dan baca ialah diri kita, tabiat kita, sifat dasar yang sangat mempengaruhi rob dan sob dari keimanan di dada kita! Ini karena, ibadah yang ringan sekali pun jikalau nafsu yang menang atas diri kita maka akan terasa berat dalam beribadat. Tidak masalah ibadah hanya itu-itu saja, telah dikatakan bahwa bertakwalah sesuai kemampuan. Asal jangan berenti mengekang nafsu yang memberahi, agar berjalan kian lesat, agar berakhir menjadi air yang berlabuh di lautNya. Tidak di botol-botol, atau bahkan di tempat pembuangan yang kotor!

Dan berkaitan dengan judul esai ini: MENUJU PUITISASI, maksudnya, apa yang telah diupayakan oleh DAM adalah bentuk nyata dari PUITISASI atas segala narasi dalam hidup(nya?), itulah yang saya dapati dalam sajak-sajak DAM, tidak hanya yang dimaksud kali ini, tapi pada kebanyakan sajaknya. Selalu bernas! Dan bertitiktolak pada realita atau hal nyata yang teralam-rasai, tidak hanya sebatas upaya main rangkai-rangkai kata semata!


Demikianlah! Tuhan begitu puisi
diri-Nya begitu menjejak sajak
suka dengan segala hal yang puitis
tidakkah diri ini tertarik?
memuisikan narasi pada diri pribadi?
selamat menjadi puisi!


dalam perjalanan sambil menikmati dua antologi yang dikirimi DAM beberapa hari yang lalu, Januari 2012.

Minggu, 15 Januari 2012

ESAI RINGAN TENTANG: KEGELISAHAN BUAH SIMALAKAMA DIMAS ARIKA MIHARDJA

Esai: Imron Tohari


BUAH SIMALAKAMA ITU ...
: bagi penyair generasi kini

buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal

buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang
apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?

buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!

(Dimas Arika Mihardja, bpsm, 11/1/2012)


“Saya tidak tahu bagaimana nasib Anda kelak, tetapi ada satu hal yang saya ketahui: Mereka yang benar-benar berbahagia hanyalah mereka yang mencari dan menemukan cara membaktikan diri” (Albert Schweitzer – hal.149 Chicken Soup for the Soul at Work)

Perkataan Albert Schweitzer tersebut kalau kita tarik benang merahnya dengan kinerja cipta karya  puisi, terkait maraknya dunia tulis menulis puisi lima tahun terakhir ,khususnya di dunia virtual (kita kerucutkan di jejaring social semacam face book), tak pelak memunculkan berbagai pendapat positip pun negatip; pro maupun kontra akan kualitas karya yang bertebaran laksana jamur di musim hujan. Di mana pada karya-karya yang tumbuh bak jamur di musim hujan tersebut, notabene banyak dari mereka yang tadinya tidak suka puisi, karena mudahnya berinteraksi dengan karya pencipta pendahulunya yang juga banyak diupload di dunia cyber, menjadikan suatu dorongan bahwa mereka juga bisa membuat puisi seperti  yang telah ada, sehingga bergegas mereka (baca: baru tarap awal jatuh cinta dengan puisi) beramai-ramai  membuat dan langsung publis, yang saya yakin 90% dari karya yang dipublish ini tidak melalui proses pengendapan untuk mendapatkan nilai estetis secara maksimal yang sesuai dengan kaidah-kaidah sastra, dalam pengertian, instan ini terjadi  tersebab mereka lebih mengacu pada pemikiran sebatas meluahkan perasaan yang terpendam dalam magma pergolakan jiwa pengkarya cipta. Sedangkan mengenai estestis karya, biasanya mereka lebih banyak mengikuti pola penyair-penyair yang sudah mapan di ranah sastra ( dengan abai akan pengaruh baik buruk atas tekhnik saji bahasa poetika para penyair yang di anutnya tersebut). Hal inilah selanjutnya yang memicu banyaknya karya puisi yang berseakan tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh penulis karya sebelumnya ( kalau tidak boleh dikata sebagai pengekor kelas akut).

Sebagian pelaku sastra menyambut  fenomena menarik ini sabagai sesuatu yang positip bagi tumbuh kembangnya sastra puisi di kemudian hari, serta merupakan suatu momentum yang baik untuk kembali menggerakkan roda-roda sastra khususnya puisi yang setelelah sekian lama tak ada derit suara dari perputaran roda sastra termaksud. Dan sebagian pelaku sastra lainnya mengangap fenomena ini justru akan kian menenggelamkan kualitas dari sastra puisi itu sendiri, tersebab tidak adanya filter dan atau saringan kuat atas karya yang dipublis. ( adanya dua pendapat inilah yang memicu adanya perang argument yang tak berkesudah antara peran sastra puisi Koran vs sastra puisi cyber, beserta pengaruhnya terhadap wibawa sastra puisi dalam kedudukannya di  masyarakat yang berbudaya adi luhung).

Tidak ada  yang salah dan benar atas pro kontra yang terjadi dengan fenomena semaraknya sastra cyber. Sastra cyber lebih geliat dibanding sastra Koran tersebab para pencipta butuh ruang yang lebih bersahabat untuk mendapat apresiasi dari pembacanya yang bisa secara interaktip langsung ( terlepas apa karya itu berkualitas atau tidak ), sedangkan sastra Koran lebih mengedepankan nilai kualitas karya sebagai produk budaya sastra ( terlepas dengan merebaknya wacana kepentingan ekonomis dewasa ini di ranah sastra Koran), namun jika dua alasan tadi kita letakkan dalam lapak yang besar, maka kemenonjolan dua pendapat tadi tentang “kegelisahan” akan tampak jelas di sana sebagai wujud peduli pada tubuh kembangnya sastra tanah air secara baik, yang diharapkan akan bisa mengembalikan kewibawaan sasra tanah air di ranah sastra dunia.

Berangkat dari kegelisahan tadi, Dimas Arika Mihardja menetaskan gejolak jiwa dan opininya terhadap fenomena di atas, lewat hantaran puisinya yang bertajuk “BUAH SIMALAKAMA ITU ...”, Dimas Arika Mihardja  ( untuk selanjutnya saya singkat “DAM” ) tidak sembarang memberi judul, karena pada puisi ini, saya menangkap suatu insyarat, kalau judul itu seperti halnya bahasa poetika yang ada di dalam sebuah rumah puisi secara utuh, maka judul  “BUAH SIMALAKAMA ITU ...”, saya ibaratkan sebuah lampu di halaman rumah, sebagai penerang yang menunjukkan tetamu untuk melihat sebuah pintu masuk menuju ke rumah puisi, Begitu kira-kira yang saya tangkap dari pemilihan judul oleh DAM tersebut, yang di akhir judul, seakan kunci masuknya diberikan pada penghayat itu sendiri dalam bentuk simbolik tanda baca ellipsis (…). Dan kalau ellipsis tadi saya parafrasakan untuk memudahkan saya membuka pintu-pintu yang pastinya tidak hanya satu pintu yang ada di dalam rumah puisi, maka saya akan menulisnya secara utuh seperti ini : “BUAH SIMALAKAMA ITU (hendaknya bijak disikapi) : disikapi oleh siapa? orang lampaukah? atau orang kinikah? penyair legenda hidupkah? atau penyair masa kinikah? blablablaaaaa yang pasti berseakan saya menangkap judulnya berteriak : ayo luruskan luruskan ini engkau yang legenda hidup, dan ayo saring dengan saringan jernih engkau yang di kini sebelum minum nikmatnya perasan buah anggur jiwa, biar tak mabuk dan tak sadarkan diri terlalu lama.

Pemakaian simbolik bahasa ellipsis pada judul ini merupakan sebuah keputusan tepat yang diambil oleh DAM, mengingat dibawah judul puisi ini ada sebaris kalimat yang merujuk pada titik focus pesan untuk penyair masa kini ( baca tanpa tending aling aling ya : penyair yang baru awal menapak jejak ) : “: bagi penyair generasi kini”, sementara di sisi lain teks puisi ini, ada bahasan yang tak kalah penting yang ingin disampaikan Dam pada rumah puisi melalui pintu-pintu simbolik bahasanya secara utuh untuk penyair-penyair mapan dan atau pelaku sastra dalam menyikapi fenomena sastra masa kini yang tengah terjadi ( kalau tidak boleh saya katakan semacam auto kritik terhadap pertanggung jawaban moril selaku penggiat,pencipta dan atau pencinta sastra). Dan kegelisahan penyair,esais DAM itu semakin kentara jika kita mau sedikit berpayah-payah menelusuri setiap pintu simbolik bahasa poetika di bait pertama, yang saya kutipkan di bawah ini :

“buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”


Menangkap simbol-simbol bahasa pada bait pertama  puisi DAM di atas, , aku lirik berupaya membebaskan kegelisahaannya  dengan memilih “cintaku” sebagai kata kunci untuk merekatkan barisan kata sebelum dan sesudahnya. Dan saya rasa pilihan kata kunci “cintaku” ini sudah tepat, cinta yang memiliki makna yang begitu dalam serta tak berbatas prespektipnya, senantiasa menawarkan suatu pergolakan batin suka dan dukanya (baca: risau,gelisah berdasarkan KBBI), dan dengan kata “cintaku” ini juga diharapkan bisa memberi daya dorong yang kuat pada imaji penikmat baca/penghayat  atas kode-kode dan atau simbol-simbol poetika yang lainnya, yang secara tekstual bahasa pada puisi  karya DAM  “BUAH SIMALAKAMA ITU ...” , beberapa baris kalimat pada bait pertama (dan juga pada beberapa baris lainnya pada bait selanjutnya) berseakan baris-baris tadi hanya memberi  makna secara yang tersirat teks saja, padahal kalau kita mau sedikit saja berpayah-payah melebur pada kalimat-kalimat tadi, ianya akan menghisap imaji rasa dan piker kita masuk ke pusaran simbolik bahasa termaksud, kita akan mendapatkan makna yang membawa prespektip besar berkaitan dengan segala amuk atas fenomena kekinian di ranah sastra : “//mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara/keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio/o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal//”

Hal yang bagaimana sebenarnya yang tengah digelisahkan DAM dalam larikan-larikannya tersebut?

Untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang tak hanya dari satu sisi, kita terlebih dulu harus menarik benang merah dengan baris kalimat sebelumnya, serta tak meninggalkan judul yang seperti saya kata sebelumnya ibarat lampu penerang untuk melihat letak pintu-pintu yang ada didalam rumah puisi. Jika kita menariknya terlebih dulu ke atas, :

“BUAH SIMALAKAMA ITU ...
: bagi penyair generasi kini

buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian”

Nah di sini adanya ellipsis (…) yang ditaut benturkan dengan “: bagi penyair generasi kini” akan menjadikan pesan aku lirik focus pada makna dan atau pesan yang ingin dia letupkan pada dua baris pembuka di bait pertama, di mana aku lirik mewanti-wanti pada penyair generasi kini untuk menyikapi dengan bijak akan segala hal terkait banyaknya wacana cipta karya puisi “buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan”, dalam pengertian, apa buah simalakama itu? Ya buah simalakama itu tidak lain dan bukan segala bentuk dan atau wujud puisi, baik yang kita anut dari penyair pendahulu atau bentuk dari karya puisi sendiri, dan seberapa jauh puisi-puisi pendahulu tadi yang banyak tersaji baik yang tersebar di sastra cyber maupun di sastra Koran mempengaruhi dalam  penciptaan karya sendiri. Dan ada apa dengan “cintaku”, bisa jadi ini simbolik yang mewakili kegelisahan dari aku lirik, dan bisa juga ini merupakan semacam code bahasa untuk penyair kini agar tabah dalam menggeluti  dunia sastra puisi walau dalam pencarian jati diri tidaklah semudah membalik telapak tangan “apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian”

Pesan yang sarat wanti-wanti  dari sosok penyair DAM untuk penyair kini, kian jernih saat kita membuka pintu-pintu simbolik poetika pada tiga baris terakhir pada bait pertama :

“mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”

Pada larikan di atas, DAM tidak serta merta hanya sekedar memilih dan atau menautkan sembarang nama penyair, namun dia saya rasa cukup jeli, karena kebanyakan karya-karya merekalah yang banyak menjadi anutan para penyair kini, khususnya pemula.  Siapa pecinta sastra puisi yang tidak mengenal karya Sapardi Djoko Damono  yang fonumenal “ Aku Ingin”, dan betapa kekuatan estetika bahasa poetikanya begitu memukau para penyair penerusnya, yang sayangnya justru para pengikutnya ini terjebak dalam sebatas keindahan bahasanya sahaja tanpa memperdulikan estetika makna, seperti karya-karya Sapardi Djoko Damono itu. Dan hal inilah yang menjadikan duka abadi bagi kembang tumbuh karya sastra puisi ““mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
“ , benar-benar seperti mata pisau yang tajam dan bisa melukai diri sendiri bila kita tidak hati-hati serta bijak mencernanya.  

Hanya saja saya kesulitan untuk merujuk pesan apa yang ingin diletupkan DAM pada baris ke empat bait pertama “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, dibaris kalimat ini saya rasa DAM gagal menjadi guide bagi penikmat baca/penghayat, karena tidak seperti pada baris-bari sebelumnya dan sesudahnya pada bait yang sama, yang begitu indah membantu penghayat untuk menangkap pesan-pesan yang ingin diletupkan dengan melekat sertakan penanda seperti “dukamu abadi” yang dibenturkan dengan “mata pisau telah diasah sapadi” serta “o amuk kapak sutardji” yang dibentur tautkan dengan “lepas dari tradisi bersama afrizal” yang saya tangkap dari larikan ini tentang pemujaan terhadan kebebasan bahasa dan atau lebih mengedepankan keunikan bahasa tuang karya dari pada makna karya itu sendiri. Sedangkan pada baris keempat ini saya serasa dibenturkan pada sebuah pintu yang banyak kuncinya, dan saya bingun kunci yang mana yang mesti bisa saya pakai untuk membuka baris “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, apakah baris ini oleh DAM dimunculkan hanya sebagai baris pelengkap saja? Saya rasa untuk penyair sekelas DAM yang telah lama malang melintang di ranah sastra tanah air secara ntata, tidaklah begitu, pastinya ada pesan terkandung di dalamnya yang ingin diletupkan ke permukaan.

Tapi  apa?  Entahlah, karena saya di baris ini hanya dihadapkan dengan kalimat “ keraguan goenawan”, keraguan yang bagaimana? Keraguan dalam konteks apa?, dan juga pada kalimat selanjutnya “dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, kematian yang bagaimana yang dimaksud? Kematian sastrakah? Atau merujuk pada statemen dari sosok penyair Subagio dalam suatu tesisnya dan atau pengalaman pribadi DAM  sewaktu mengobrol dengan subagi tentang sesuatu perihal yang ada kaitannya dengan tema yang diangkat dalam puisi ini? Semua terasa samar tanpa adanya penanda yang jelas seperti pada sosok damono dengan duka abadinya serta sutardji dengan o amuk kapaknya yang ditaut benturkan dengan afrizal yang juga menganut kebebasan dalam menuliskan bahasa karya (baca: semacam pembrontakan bahasa). Dibaris “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio” ini saja saya berpendapat DAM membuat saya seakan terantuk pintu dan jatuh sesaat karena kepala pusing. Hehe. Tapi di baris selanjutnya “o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”, kematangan kepenyairan DAM seakan menolong saya untuk kembali bangun serta menlanjutkan perjalanan untuk masuk pintu-pintu ruang kontemplatip yang ada di rumah puisinya. Dan di baris pamungkas bait pertama ini saya mendapati suatu pesan wanti-wanti yang teramat sangat pada penyair masa kini, untuk tidak sekedar meniru tanpa menelaah secara bicak dan tidak dimodali dengan pengetahuan yang baik seluk meluk komponen-komponen sastra puisi secara utuh, yang didalamnya estetika bahasa dan estetika makna harus berbanding sama. Wanti-wanti ini terkait dengan salah kaprahnya para pengikut SCB dan Afrizal Malna yang akhirnya tumbuh membiak pemikiran bahwa setelah  karya di publis, maka  matilah penyairnya. Yang fatalnya lagi, paham ini dipertegas dengan statemen SCB “ bahwa penyair tidak bisa dimintai pertanggung jawabannya,” yang justru hal ini tanpa dipikirkan secara bijak diamini oleh pengikutnya, yang pada kenyataannya justru dijadikan sebagai senjata pamungkas aspek pembenar. Disinilah sikap wanti-wanti  pada penyair masa kini ini begitu ditekankan oleh DAM. Dan menurut saya baris penutup ini bait yang paling kuat di antara baris lainnya dibait pertama, walau senyatanya kita tidak bisa memenggal baris tadi secara pisah, sebab dalam puisi, baris merupakan satu kesatuan terowongan penyampai imaji, baik imaji pengkarya cipta maupun imaji penikmat baca. Baris “o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal” ini saya katakana kuat, karena berhasil memandu saya untuk mendekati pesan yang ada  seperti apa yang dikatakan Nurel Javissyargi tentang pola pemikiran SCB pada bukunya menggugat tanggung jawab kepenyairan Sutardji Calzom Bachri : “Mengamati pola Tardji yang “secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya”, ia tampak sebagai dukun tidak bertanggung jawab, berusaha mengaburkan daya tirakat, melalui mantra penutup yang menghilangkan jejak tapak halusnya. Demikian dikatagorikan lempar batu sembunyi tangan.”

Dan saat saya melongok catatan DAM untuk mencari tahu adakah hal yang terkait dengan baris penutup bait pertama tadi, dan saya semakin yakin pesan yang saya tangkap tadi, setelah saya membaca salah satu catatan DAM di note Facee Booknya 12 Mei 2011 tentang INKONSISTENSI SUTARDJI CALZOUM BACHRI, Sebagai tanggapan atas esai Nurel Javisraqi, menuliskan :

“SCB, menurut kredo puisinya, yang mengantar buku kumpulan puisinya O AMUK KAPAK (pernah diterbitkan oleh Sinar Harapan, 1981, dan Depdiknas, 2003) ingin membebaskan kata dari penjajahan makna, ingin mengembalikan pada kata pertama, yakni mantra. Realitasnya, kesan saya sama dengan NJ bahwa dalam puisi-puisinya SCB sekadar menjungkirnalikkan kata semaunya. Lalu setelah banyak pembaca dan kritisi dinilai kurang cerdas menangkap sinyal-sinyal puisi SCB, SCB yang semula emoh bertanggung jawab, lalu menulis pengangantar khusus untuk menerangjelaskan karya-karyanya. Dalam konteks ini lalu terlihat inkonsistensi kepenyairan SCB (pada satu ketika menolak bertanggung jawab dan pada ketika lain justru menerangjelaskan karya-karyanya).”

Pada bait dua,yang merupakan penegas bait pertama.  Dam dalam siratan pesannya ke penyair masa kini, masih tidak terlepas dengan simpul pembuka pada dua baris pertama bait pertama “//buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan/apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian//, hanya saja melalui repetisi “//buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang// ingin menegaskan, bahwa dalam perjalanan proses pematangan dan atau pencarian jati diri “tumbuh sepanjang tualang”, apakah sebagai penyair kita hanya berkutat dengan kekuatan makna saja, dan kembali kemainstrem karya-karya semacam angkatan pujangga lama dan pujangga baru sahaja, atau kita berani melepaskan panah kreasi yang melesat melebihi mereka? Atau memang penyair kekinian itu tidak bisa lepas dari baying-bayang pedahulunya semacam apa yang disyiratkan dam dama baris “mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros”.

APAKAH sastra Indonesia sedang sakit, sekarat, atau kritis sehingga perlu diselamatkan? (dikutip dari Catatan: Dimas Arika Mihardja: “PENYELAMATAN SASTRA INDONESIA”). 

Entahlah, yang pasti dengan larikan teduhnya, sesuai dengan motonya di BPS, suatu wadah pembinaan para pencinta karya sastra, “asah, asih, asuh”, Dam menutup puisi indah sarat kebaharuan piker dengan 3 baris yang secara terang bisa kita cecap pesan dan atau makna yang tersirat pun terusrat di dalamnya :

“buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!”


Salam lifespirit!

(Imron Tohari – lifespirit, 15 January 2012)

Jumat, 13 Januari 2012

BELAJAR MENGAPRESIASI PUISI: SEBUAH JALAN SIMPANG

Esai: Suko Rahadi


Dimas Arika Mihardja

BUAH SIMALAKAMA ITU …
:bagi penyair generasi kini


buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal


buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang
apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?


buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!

bpsm, 11/1/2012


Puisi yang ditulis DAM bertitimangsal 11/1/2012 tersebut sungguh membuatku tak bisa tidur hingga beberapa hari. Bukan karena tak ngantuk, namun demi gengsi pribadi. DAM secara terangterangan telah berteriak lantang menantang beberapa esais untuk menggubah puisi tersebut menjadi sebuah esai, yang kabarnya akan dimasukkan dalam blog pribadi sebagai media pembelajaran bagi mahasiswanya. Yang lebih seru (bukan saru) lagi, ada iming-iming berupa hadiah buku bagi yang bisa mengulas puisi tersebut dan menuliskannya dalam dokumen BPSM. Siapa tidak tertarik?

Jujur saya merasa tertantang. Bukan karena hadiah yang dijanjikan namun seperti saya katakan di depan, gengsi pribadi. DAM beserta beberapa teman yang lain telah beberapa kali menagih yang tak saya hutang. Terlebih lagi setelah beberapa saudara saya berhasil dengan gemilang menyelesaikan tantangan tersebut. Pun tidak asal selesai. Esai mereka sangat luar biasa. Sungguh saya hanya bisa termangumangu setelah membaca keseluruhannya. “Kok bisa ya?” pikir saya. Membaca tulisan temanteman tersebut, saya semakin yakin bahwa, saya yang merasa telah membaca banyak buku dan berbangga karenanya ternyata belum apa-apa. Temanteman tentu lebih banyak lagi dalam membaca buku. Ah, malu aku jadinya.

Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Peribahasa itu rasanya sangat cocok dengan kondisi yang saya alami saat ini. Keinginan untuk menerima tantangan itu begitu meledakledak, menggebu dan menggedorgedor ruang dada yang sempit ini. Namun apalah daya; saya ini bukan penyair, bukan esais, apatah lagi filsuf. Tak mudah bagi saya untuk sekedar menangkap makna sebuah puisi sexy. Pesan yang hendak disampaikan, sangat terlihat remang oleh mata saya yang rabun akan indahnya bahasa.

Hari ini adalah hari ke-4 dimana saya tetap masih konsisten untuk memelototi puisi tersebut. Pun masih belum ada tandatanda bahwa saya akan segera bisa menuliskan esai untuknya. Rupanya masih jauh panggang daripada api. Pikiran saya masih juga mampet. “Pasti ada jalan,” pikir saya terus menerus, untuk sekedar menguatkan keyakinan diri bahwa saya masih punya sedikit ketidakmampuan. Sambil terus menyanding menu puisi tersebut, saya sempatkan untuk membuka beberapa buku yang saya colong entah dari mana sekedar untuk mencari inspirasi. Pun hinga kini belum juga bisa menemukan contekan yang pas untuk mengulasnya. Ah, rupanya saya salah baca buku. Yang saya buka justru bukubuku fisika, karena memang itu yang kebanyakan saya punya dan saya pelajari selama ini. Sastra fisika; adakah? belum. he.he..

Tibatiba saja saya tertarik dengan kisah sisiphus, seorang raja yang dihukum para dewa karena menyalahgunakan kekuasaannya sebagai raja Korinte, bersikap lalim terhadap rakyatnya, bahkan berani menipu para dewa. Sisiphus dihukum oleh para dewa dengan cara secara terus menerus memanggul batu di pundaknya naik turun gunung salama hayat. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Sisiphus menjalani hukuman tersebut, dan dalam hukuman (berupa rutinitas keseharian yang seakan sia-sia) itulah Sisiphus berhasil menjelmakan ke dalam dirinya imajinasi untuk menghirup hidup di dalamnya. Mengapa saya jadi tertarik denga sisiphus? Ya, sebagai sarjana fisika saya seakan telah berkhianat dengan ilmu yang telah saya miliki. Keseharian saya justru lebih banyak membaca bukubuku sastra ketimbang buku fisika. Inilah akibat(hukuman)nya; berharihari tak bisa tidur, tertawan gengsi pribadi untuk mampu menggubah puisi menjadi sebuah esai.

Sebagaimana Sisiphus, saya ingin menemukan makna dari setiap hukuman yang saya jalani. Bahwa dalam rutinitas pun akan menyadarkan kita akan esensi kehidupan. Salahkah saya? Lalu apa manfaat saya belajar sastra? Saya seakan menghadapi jalan simpang. Satu jalan menuntut tanggung jawab saya sebagai sarjana fisika, jalan yang lain mengajak saya untuk tetap becinta dengan sastra. Keduanya tak dapat saya elakkan. Harus dijalani secara bersamasama. Namun mungkinkah? Inilah BUAH SIMALAKAMA ITU… Dimakan mati emak, tidak dimakan mati bapak. Demikian kira-kira kata lain dari buah simalakama itu. Sama-sama menuntut konsekwensi yang tak mengenakkan. Pilihan yang membingungkan. Lalu apa maksud DAM mengambil judul itu? Bagi penyair generasi kini, katanya. Artinya puisi itu jelas ditunjukkan kepada para penyair masa sekarang ini, era tahun 2000an. Saya yakin kita semua hapal luar kepala mengenai sejarah sastra di Indnesia, dari sastra melayu lama hingga sastrawan massa reformasi. Lalu mau kemana penyair generasi kini? Kembali ke gaya lama? Atau akan memberikan warna yang berbeda? Jalan simpang menghadang.

“Buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan”

Masih ingat cerita Lukman Al Hakim dan anaknya? Ya, saat Lukman membeli seekor keledai dari pasar bersama anaknya dan memilih menuntun keledai tersebut, banyak orang menertawakannya. “Mengapa tak ditunggangi?” tanya mereka. lalu Lukman menyuruh anaknya naik ke punggung keledai. Kembali, orang yang ketemu di jalan menertawakan dan bahkan mengejek, “Anak tak tahu diri, dia enak-enakan naik keledai, e..bapaknya disuruh jalan kaki.” Kepada anaknya lukman berkata, “Rupanya kita salah Nak, sebaiknya engkau turun dan biar bapak yang naik keledai.” Kembali terjadi, orang di sepanjang jalan berkata sinis, “Bapak yang tak punya kasihan, tega nian anaknya disuruh jalan.” Kembali Lukman merasa salah. Akhirnya diputuskan, bapak dan anak bersamasama naik keledai. Belum rampung juga. “Dasar orang tak punya rasa perikehewanan, hewan sekecil itu kok dinaiki berdua.” Keputusan terakhir yang mengundang gelak, keempat kaki keledai diikat, lalu dipikul berdua hingga sampai di rumah dengan menggunakan sebatang bambu. Tak peduli lagi omongan orang. Begitulah, jika kita punya pilihan dan selalu menuruti omongan orang. Maka benar kata DAM,

“Apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian”

Setiap kita harus punya pilihan. Apapun itu. Yang perlu disadari adalah bahwa, apapun yang kita lakukan tak mungkin akan bisa memuaskan semua orang. Pasti ada yang kecewa, bahkan marah. Apalagi kita, bahkan Nabi yang jelas membawa amanah kebenaran masih juga ada yang memusuhinya. Maka yag terpenting adalah, tetapkanlah hati dalam memilih, apapun resikonya. Namun tentu, dalam memilih harus senantiasa disertai alasan yang kuat. Tak ada jeleknya belajar dari pengalaman, juga pilihlah alat analisis yang tepat. Bacalah kitabkitab lama. Ketahuilah;


"mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal"

Sapardi, Goenawan dan Sutardji telah membuka jalan baru. Lewatilah dulu jalan itu. Pergunakan pisau sapardi untuk membabat semak yang merintang jalan. Jalan ini bukan bebas hambatan, bukan jalan tol jika diumpamakan. Masih ada banyak sisa perdu yang bersemi sehabis musim hujan tahun ini, sebagaimana dikatakan DAM pada bait selanjutnya;

“buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang”

Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai. maju terus pantang mundur (bukan maju perut pantat mundur lho). Sekalikali tengoklah ke belakang, siapa tahu ada teman tertinggal. “Jalan masih jauh, hantu gentayangan akan menghadangmu di depan,” mungkin begitu bisikan yang terdengar lirih terbawa angin sepoi. Maka muncul pertanyaan yang menyesakkan,


“apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?”

Sebuah pertanyaan reflektif. Yang disebut dalam pertanyaan itu adalah penyairpenyair dan karyanya di masa lampau. Ketika banyak orang berasyikmahsyuk dengan haiku dan kawankawannya, orang bertanya kepada kita; "Apakah pantun dan gurindam kau kira tak lebih baik dari puisi jepang itu?" Lalu kita teringat akan keindahan masa lalu. Kembali berbalas pantun dan seloka, bak reuni bersama kawan lama yang entah berapa tahun tak jumpa. Lupa segalanya.

“buah simalakama itu, cintaku, makanlah”
Pilihan harus ditetapkan. Jalan mana yang akan dipilih, diserahkan kepada pejalan kaki. Sang penyair generasi kini. Mau kembali ke pantun dan gurindam, atau menerabas ilalang untuk kembali membuka jalan yang berlainan. Inilah.


saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!

Kami menunggumu, penyairku!
Kataku.


Gunungpati, 4/1/2012
Penulis adalah pencari rumput untuk ternak yang tak kunjung gemuk.

PUISI SEBAGAI CERMIN PERADABAN?

Esai: Puja Sutrisna

Dimas Arika Mihardja:

PUISI SEBAGAI KACA BENGGALA


dimas, keramaslah, keranda
dan kamboja begitu renta
arika papahlah luka-luka mencinta
kembali ke dalam dekap-Nya
mihardja, melesatlah menjadi buah cahaya
dengan kelezatan makna menghamba.
13/1/2012

                                                                  * * *
 MEMENUHI ‘permintaan’ Prof. Dimas Arika Mihardja (maaf prof, saya sudah kadung akrab dengan panggilan prof buat panjenengan..!) untuk berdiskusi tentang “Puisi Sebagai Cermin Peradaban” maka tulisan berikut adalah sekedar tanggapan sederhana terkait dengan tema diskusi, dan bukan untuk mengapresiasi puisi yang disajikan sebagai penghantar diskusi. Akan tetapi, betapapun juga puisi yang dijadikan penghantar diskusi  layak juga diperhatikan sebab dari titik inilah pembicaraan bisa dimulai.


dimas, keramaslah, keranda
dan kamboja begitu renta


arika papahlah luka-luka mencinta
kembali ke dalam dekap-Nya
mihardja, melesatlah menjadi buah cahaya
dengan kelezatan makna menghamba.

Puisi ‘pesan’ pada diri sendiri sebagaimana tertuang dalam bait di atas adalah semacam ingatan saja bagi penulis,  akan usia yang sudah beranjak ‘tua’. Seperti diketahui, dan siapapun akan mengalami, bahwa akhir dari sebuah kehidupan adalah kematian (sebuah kepastian yang pasti dan tidak bisa ditawar-tawar lagi). Juga Dimas pun sama, akan mati. Sebagaimana umumnya setelah mati menjadi jasad, maka jenasah akan dikuburkan ke makam. Pemakaman identik dengan pokok-pokok kamboja. Itu saja!

Pesan pada bait kedua adalah setelah jasad terkubur maka jiwa akan menghadap ke Sang Pencipta. Dan pada bait selanjutnya, jiwa, roh, atau nur akan menerima pahala atas perbuatannya.


Sebuah puisi yang berisi pesan singkat, sederhana, jelas, dan gamblang, ditujukan buat diri sendiri (penulisnya), sekaligus sebagai pesan moral kepada pembaca bahwa siapapun akan mengalami hal yang serupa.  

                                                         * * *

Berbicara tentang puisi sebagai cermin peradaban maka hal pertama dan utama yang perlu dipahami adalah bahwa puisi bukan sekedar untaian kalimat ‘indah’ yang ditata ke dalam larik dan bait-bait. Oleh karenanya, untuk menciptakan sebuah puisi yang benar-benar puisi, diperlukan serangkaian kerja keras sejak dari: pemilihan tema, maksud dan tujuan penciptaan, pilihan bahasa, dan yang harus ada juga adalah ‘pesan moral’ apa yang hendak dituangkan ke dalam bait-bait kalimat yang diciptakan.

Puisi DAM di atas, misalnya, meskipun dari segi bentuk dan pilihan bahasa sangat sederhana tetapi secara substansi sangat menarik perhatian. Karena di sana ada pesan jelas yang ingin disampaikan kepada pembaca, bahwa sebuah kematian pasti tiba, manusia harus beramal dan berbuat baik untuk mendapatkan pahala di sana-Nya. Sebuah pesan moral yang – menurut saya – seharusnya selalu ada pada sebuah puisi.

Pesan moral ini penting karena sesungguhnya di sinilah subtansi sebuah puisi ini perlu hadir dan diciptakan! Sebuah puisi yang baik akan mampu menggiring khalayak ke dalam sebuah perenungan yang mendalam, introspeksi diri, dan ‘hati’ tergetar. Ada semacam ‘kontak’ batin yang luar biasa pada diri pembaca, sehingga – bisa jadi – puisi yang hebat akan menjadi ‘kitab suci’ kedua bagi pembaca, setelah Kitab Suci yang sesungguhnya.

Pada titik inilah puisi menjadi cermin peradaban. Puisi mampu mempengaruhi jiwa, pikiran, dan hati pembacanya, dan karena sebuah puisi ‘wajib’ mengandung pesan mora,l maka mau tidak mau pengaruhnya adalah pembaca  menjadi bermoral. Kesatuan moralitas pembaca ke dalam satu kesamaan perilaku akan membentuk peradaban menjadi beradab.

Celakanya,  saat sekarang banyak di antara penyair yang – maaf – matang secara karbitan. Meskipun secara kuantitatif menunjukkan keunggulan dalam berkarya, tetapi dari segi kualitas banyak yang tergesa-gesa untuk segera menjadi penyair. Kalau seorang penyair dihitung berdasarkan hasil puisi yang diciptakan, maka saat sekarang ribuan penyair telah tumbuh merimbun berjejal-jejal. Tetapi tunggu dulu, dari sekian banyak ‘penyair’ berapakah yang bisa disebut benar-benar penyair?

Kelemahan yang sering terjadi adalah banyak di antara penyair yang ‘hanya’ bermanis-manis dalam menyusun kata, bermain dengan ungkapan-ungkapan ‘romantis’, atau sesekali ‘uji coba’, sampai-sampai seringkali lupa atas pesan apa yang ingin disampaikan kepada khalayak. (Dalam istilah saya puisi-puisi demikian saya sebut sebagai ‘puisi jatuh cinta’)  

Mengingat begitu pentingnya puisi sebagai bagian dari kehidupan yang membawa perubahan pada moral manusia, maka hendaknya kita bersepakat untuk kembali merenungi diri sendiri, sudahkah kita mengabdi pada kemanusiaan yang beradab melalui sebuah puisi?!

Jawabnya ada di dada kita…., semoga!


Puja Sutrisna, 13 Januari 2012