Sabtu, 31 Desember 2011

KENDURI PUISI

Dimas Arika Mihardja

Pengantar:

Sebagai refleksi pergantian tahun 2011-2012, sengaja saya memposting puisi yang saya tulis spontan di dinding BPSM. Usai Baca Doa bersama warga RT menjelang pergantian tahun. Puisi yang saya tulis spontan (langsung di dinding BPSM) ini kuanggap sebagai anak kandung kehudupan. Tidak setiap anak kandung lahir dengan sempurna. Selalu saja ada sesuatu yang mengganggu, mungkin penampilannya yang mengesalkan (belum sampai mengesankan), mungkin suaranya yang tercekat dan tak terucap, meski dominasi "ar" pada setiap diksinya menggelepar). Justru itu, dengan cara dan gaya saya tentunya sekadar menyediakan konsumsi untuk disantap dalam Kenduri Puisi.

Puisi yang disantap dalam kenduri, bisa jadi tak mengenakkan dan tak menyamankan selain lantaran penyajiannya kurang pas, cita rasanyapun bisa jadi hambar, dan menu makanan itu terasa kurang nilai nutrisi dan gizinya. Namun, begitulah puisi, selalu saja menyediakan ruang teka-teki. Hayo, silakan menjawab teka-teki dalam puisi ini seraya belajar beraapresiasi. Astry Anjani jangan biasakan duduk manis. Imron Tohari, kemukakan hasil resepsi dan persepsimu dan jangan ragu. Kajitow El-kayeni, ini ruang gelanggang berperang mengadu pandangan. Hadi Napster, tunjukkan bahwa dirimu bisa menjadi sparing partnerku. Azie Nasrullah bukanakah corak puisi seperti ini keseukaanmu? Lutfi Mardiansyah, jangan hanya duduk menyendiri santalah hidangan ini dan berbagilah padaa warga BPSM untuk lebih bersinar di tahun baru nanti. Bung Mahbub Junaedi, buktikan bahwa dirimu tidak kapok.

Silakan ini Kenduri Puisi. Berikut ini dikemukakan sebuah puisi yang saya tulis beserta komentar yang mengiringinya, biar kenduri puisi tampak utuh-menyeluruh, saya tampilkan komentar Kajitow El-Kayeni  lalu disusul  komentar lain secara silih berganti. Kita simak dulu puisi yang saya tulis itu.


REFLEKSI ANGKA DAN AROMA
[GETAR ANGKA 2011~2012 LEMBAR MAWAR]

angka kalender bergetar
tanggal lembar demi lembar
2011 nyaris menggelepar

di altar 2011~2012 seulas senyum hambar
seperti masakan tanpa ketumbar
pandang mata pun nanar

kalender bergetar
angka dan senyum saling tawar
entah, apakah setelahnya seharum mawar?

akhir desember 2011


 Kajitow El-Kayeni:

sebagaimana tertulis pada judulnya, puisi ini adalah refleksi dari dunia batin penyairnya. refleksi di sini terfokus pada momen khusus pergantian tahun itu. hal itu terbaca dari angka 2011 dan 2012. secara simbolis diungkapkan dengan penjelasan di bawah judul dengan kiasan getar angka 2011 yang bisa diartikan sebagai kilas balik pada tahun tersebut. "getar" di sana terayun kembali pada perasaan penyairnya, yakni kilas balik itu membuatnya tergetar sehingga hatinya gelisah dan mengucurkannya melalui bahasa. getar itu pula yang membuatnya memiliki harapan yang lebih baik untuk tahun depan. hal itu dikiaskan dengan2012 lembar mawar. hal ini kontras dengan penafsiran atas penanggalan suku maya yang dihubungkan dengan kiamat itu. sekaligus sebagai anti tesis, bahwa di tahun itu segalanya baik-baik saja, bahkan penyair mengharapkannya sebagai "lembar mawar" yaitu sebagai dorongan untuk berbuat lebih baik lagi. mawar yang sering didaulat penyair sebagai lambang keindahan dan cinta-kasih. mawar yang identik dengan kebahagiaan. mawar yang tidak saja mewakili kelembutan tapi juga ketegaran dengan durinya. mawar yang menjadi primadona dan tak habis dijadikan lambang kebaikan itu diambil oleh penyairnya guna mewakili harapan-harapannya di masa mendatang: usai perguliran tahun.

puisi ini terdiri dari tiga bait pendek dan rima akhir yang membuatnya jelas mempertaruhkan temanya. puisi yang dengan gamblang bisa ditunjuk ke mana arahnya. meski tidak menggunakan bahasa lugas tapi pemaknaan terhadap puisi ini tidak diperlukan bantuan kamus apalagi studi filologi panjang untuk menguaknya. interpretasi sederhana dengan memisahkan faktor eksternal telah cukup untuk memaknainya. terkadang saat membaca puisi, faktor eksternal seperti nama besar penyairnya, kepentingan tertentu, korelasi emosional tidak membuat penafsiran merdeka dan obyektif. sering terbaca sebuah penafsiran seperti budayawan ignas kleden misalnya terhadap puisi sutardji dalam satu kesempatan menjadi berbeda dalam kesempatan lain. karena faktor eksternal ini ikut bermain di dalamnya. dan itu menjadi terlihat lucu ketika terbayang kali pertama ulasan mengenai puisi sutardji itu mempertanyakan pertanggungjawabannya dalam bingkai commonsense, kali lain dalam pidato kebudayaan mendapatkan pujian sebagai puisi yang bagus dan sarat makna. hal yang kontras dan tidak konsisten tersebut mungkin bisa diterima asal memberikan bukti yang logis. tapi kejadian itu menjadi lucu dan mencoreng konsistensi seorang pengamat sastra sepertinya.

dalam menghayati puisi REFLEKSI ANGKA DAN AROMA ini saya akan mengenyampingkan faktor eksternal tersebut. yang saya hadapi adalah puisi ini dengan kelebihan dan kekurangannya. puisi ini berdiri sendiri dan terlepas dari penyairnya. jika baik hasil yang didapat maka itu kembali pada puisi, jika jelek hasilnya itu juga semata berpulang ke puisi dan untuk dijadikan bahan perbandingan bagi khalayak.

seperti yang saya katakan, puisi ini mempertaruhkan temanya. kebiasaan puisi sebagai dunia misterius yang penuh kias dan perlambangan tidak sepenuhnya berlaku untuk puisi ini. ada kias dan perlambangan tapi tidak pelik apalagi misterius. dengan pokok tema yang jelas,puisi harus memiliki visi dan misi yang jelas pula karena sejak awal sudah terbaca tanpa kerumitan yang berarti. meski saya tidak mengatakan puisi ini adalah puisi terang dengan bahasa lugas, tetapi tema yang dikehendaki oleh puisi ini tak ubahnya ia adalah puisi terang, puisi diafan. biasanya puisi semacam itu memang memiliki tema yang kuat sehingga ingin fokus pada tema tadi dalam penyampaian. kali ini apakah tema yang dipertaruhkan itu layak akan terbaca dari interpretasi dari tubuhnya.

angka kalender bergetar
tanggal lembar demi lembar
2011 nyaris menggelepar

dalam bait pertama, puisi ini menceritakan tentang pergantian hari yang lumrahnya terjadi. sebuah peristiwa biasa yang tidak memiliki nilai transeden atau sublim. pergantian hari yang disimbolkan dengan angka kalender. titik puncak dari pergantian itu menyentuh pergantian tahun, angka 2011 yang dikatakan penyairnya "nyaris menggelepar" itu adalah gambaran dari sudah dekatnya pergantian tahun tersebut. bagi banyak orang, pergantian tahun tentu sesuatu yang luar biasa dalam arti hari spesial karena terjadi setahun sekali. meski itu bukan hari suci atau hari yang memiliki nilai filosofis, tapi pergantian tahun adalah satu-satunya hari yang diterima oleh semua agama dan golongan sebagai hari suka cita. hari untuk memulai awal yang lebih baik lagi. pergantian tahun yang dimulai dengan pergantian hari itu mencapai titik kulminasi sehingga dikatakan nyaris menggelepar, yakni nyaris berganti. bait awal ini sebagai pengantar ide pokok, dengan kata lain penyair ingin mengatakan pergantian tahun sudah sangat dekat, tahun 2011 sebentar lagi akan berganti.

di altar 2011~2012 seulas senyum hambar
seperti masakan tanpa ketumbar
pandang mata pun nanar

menarik saat sampai bait ke dua, stagnasi pemaknaan terhindari di sini. gambaran pergantian tahu yang iedntik dengan suka-cita menjadi murung di sini. "di altar 2011~2012 seulas senyum hambar," katanya. seulas senyum itu adalah obyek yang dibicarakan dalam puisi. aku lirik bersembunyi ke dalam kata ganti orang ketiga yang jika dinyatakan akan berwujud dia. seseorang yang diceritakan itu memandang pergantian pergantian tahun dengan pemahaman yang kontras. hal ini tampak dari senyumnya yang hambar. ia tersenyum tapi hambar karena tidak menghayati senyumannya. hal itu dijelakan dengan kiasan seperti masakan tampa tumbar. memang ada masakan yang tidak membutuhkan tumbar, tetapi khusus dalam puisi ini masakan yang dikehendaki adalah yang seharusnya membutuhkan tumbar. tentu saja hal itu akan membuat masakan hambar, kurang rasa. kiasan inilah yang digunakan untuk menggambarkan kurangnya rasa dalam senyuman sosok yang dibicarakan itu. hal itu semakin kuat dengan gambaran, "pandang mata pun nanar." senyuman hambar itu merupakan gambaran dari ketidak-jelasan terwujudanya harapan di tahun baru. pandangan di sini berarti jangkauan atau rencana yang hendak diwujudkan oleh sosok yang dibicarakan dalam puisi.

ada indikasi sosok yang digambarkan dalam puisi ini adalah seseorang yang memiliki sudut pandang berbeda dan bisa jadi itu adalah perwakilan dari penyairnya. aku lirik yang bersembunyi dalam sosok yang diceritakan itu sebenarnya terayun kembali pada diri penyair seolah refleksi itu sendiri. seperti yang pernah saya katakan, penyair itu memiliki ruang khusus dalam hatinya. dengan itu dia mengambil sudut pandang yang berbeda dari keumuman bahkan bisa jadi yang bertolak belakang. tahun baru yang seharusnya menjadi penuh suka-cita digambarkan dengan murung dalam puisi ini, "seulas senyum hambar," katanya. sosok itu tersenyum tapi hambar dan tidak ada penjiwaan. sosok itu tersenyum karena terbawa oleh keadaan sekitarnya yang sedang bersuka cita. ia tidak benar-benar tersenyum karena ia bahagia, tetapi senyumnya itu karena faktor eksternal yang mempengaruhinya. dan faktor itu adalah keadaan riuh-gempita disekitarnya. euforia pergantian tahun yang masuk sampai desa-desa terpencil mengakibatkan sosok itu tersenyum hambar.

kalender bergetar
angka dan senyum saling tawar
entah, apakah setelahnya seharum mawar?

kembali pengulangan maksud terjadi dalam bait ketiga. jika di bait awal "angka kalender bergetar" dimaksudkan untuk mewakili pergantian hari, kali ini bersifat umum yaitu pada "kalender bergetar"itu mewakili seluruh tahun. artinya tahun yang nyaris terlewat itu dikatakan bergetar. entah karena euforia atau karena ada permasalahan lain sehingga pada tahun yang diwakili kalender itu dikatakan bergetar. repetisi ini tentu dilakukan untuk tujuan menguatkan maksud meskipun tercium indikasi lain, repetisi ini sebenarnya karena terseret oleh rima akhir. artinya kalimat kalender bergetar itu muncul bukan saja disebabkan oleh tuntunan perulangan untuk menguatkan maksud, tetapi juga terkandung sinyalemen ia ada karena kloningan semata.

dalam pandangan orang ketiga itu angka dan senyum saling tawar, dengan kata lain angka yang mewakili pergantian hari (sekaligus pergantian tahun) itu dikatakan saling tawar dengan senyumannya. kehambaran senyum tadi disebandingkan dengan perguliran angka yaitu hari menjelang pergantian tahun. senyum itu menjadi keterangan bahwa pada hari tersebut (yang digambarkan dengan angka) sosok orang ketiga tadi tidak benar-benar bahagia. ada sesuatu yang membuatnya risau. hal itu diterangkan dengan, "entah, apakah setelahnya seharum mawar?" jawaban dari teka-teki tentang senyum yang hambar itu terjawab sudah. sosok orang ketiga itu dirundung keraguan. "entah," katanya. hal ini mencerminkan adanya kegamangan menjelang pergantian tahun itu. banyak orang mungkin bersuka-cita dan optimis, atau justru menganggapnya sesuatu yang biasa. tapi sosok yang diceritakan dalam puisi ini menghadapi kemuraman karena ia ragu-ragu mengenai kejadian di tahun baru berikutnya. ini juga menunjukkan kemungkinan besar yang diceritakan dalam puisi ini mewakili diri penyairnya. ia merasa ragu apakah tahun berikutnya bisa lebih baik dengan kias "seharum mawar." keraguan ini membuatnya kurang menghayati senyumannya. ia memang tersenyum, tapi dalam senyum itu terkandung kemuraman. senyum yang mewakili keraguan akan keentahan.

puisi ini telah berkelit dari kelugasan pemaknaan terhadap dirinya. ia memang mempertaruhkan tema, tapi pergantian tahun yang seharusnya dipenuhi euforia dan dan kegilaan itu ditepisnya dengan menyuguhkan kemuramaman. pemilihan tema tentang pergantian tahun tidak menajdi kendala meski itu harus mempertaruhkan dirinya. penyair berhasil membuat sudut pandang berbeda dan itu merupakan angle yang menarik karena puisi memiliki keunikannya. tapi yang membuat puisi ini lemah, sudut pandang itu tidak tergelar sempurna. terciptanya sudut pandang itu adalah point yang dimiliki puisi ini, tetapi yang membuatnya lemah adalah pembentukan tubuh puisi terasa dipaksakan. diksi-diksi yang dipilih dicocokkan dengan bunyi akhir sehingga sudut pandang muram yang hendak ditunjukkan sebagai hal kontras tidak berkekuatan maksimal. repetisi yang terjadi pada bait ketiga itu juga tidak menunjukkan efesiensi, meskipun mungkin dibentuk untuk menguatkan. puisi ini juga gagal menyuguhkan imaji yang membangun. diksi seperti bergetar, menggelepar, nanar terasa berlebihan. kata itu mengkloning dirinya demi menyuguhkan bunyi akhir yang menawan tapi tidak tepat-guna. kata itu seolah ditempelkan saja meski ia berkesuaian dengan arah pemaknaan tapi tidak berkekuatan maksimal. puisi terkekang oleh bunyi baris akhirnya. seperti seorang bisu yang hendak berteriak. ia terkekang oleh keadaannya sendiri.

sejujurnya saya masih mempelajari kaitan puisi mblening, humor atau yang melukiskannya dengan gaya absurd, abstrak, impresionis, futuris dan sebagainya dengan tujuan yang hendak dikejar oleh puisi: demi memanusiakan manusia. sebagai salah satu unsur sastra, puisi pun memang layak untuk dinikmati dengan riang, dengan guyon, dengan gaya-gaya beraneka itu. tapi melihat banyak penyair yang cenderung senang "bersolek" sehingga perlu dipertanyakan tujuannya menjadi seorang penyair. saya memang dipengaruhi kuat oleh pikiran rendra, meskipun saya tidak mengkultuskannya sedemikian rupa seperti yang dilakukan oleh beberapa pihak. cukup lama saya menyelami pikiran hudan yang mengambalikan seni kepada seni. sedikit banyak saya menimbang bahwa ada hal-hal agung dalam puisi yang tidak bisa dijalankan dengan sudut pandang hudan. saya menyebutnya esensi yang berkait dengan roh kepenyairan. sesudah iwan fals menolak bantuan amerika, rendra melakukan hal yang sama. beberapa penyair (ada indikasi oleh pihak utan kayu cs) menerima gelontoran dana yang ditaksir mencapai sembilan miliar itu (mungkin pertahun).

peristiwa semacam ini membuat saya sadar bahwa rendra yang dulu tidak saya senangi dengan polah kritisnya itu ternyata benar. esensi dalam kepenyairan adalah inti yang mutlak dimiliki oleh setiap penyair. jika hanya menjadi penyair salon saja, hakikat dan tujuan dalam berpuisi tidak tercapai maksimal. bisa jadi tujuan bersastra itu diwujudkan dengan guyon, humor, selengean. tapi apa hal-hal serius semacam ini bisa dilakukan dengan gaya demikian? sastra memang milik orang banyak, rendra, saya dan beberapa orang yang kaku lain mungkin hanya sebagian kecil. tapi untuk itulah kami ada sebagai pengingat agar penyair kita tidak mudah dibeli oleh uang dan tekanan politik. bertahun-tahun kita saling bertengkar dengan sesama. saat lekra memimpin, taufik ismail cs disudutkan. saat menikebu di atas angin, pramoedya ananta toer dikucilkan. begitulah yang terjadi selama ini. sesama kita saling mencakar karena tidak memiliki esensi. penyair mabuk, kata saya dalam sebuah puisi. karena saya prihatin banyak komunitas sastra yang sekedar menjadi kumpulan hura-hura, ajang foto, dan seks bebas. selebihnya nol besar

mungkin karena itulah saya sulit menerima pandangan yang mengatakan puisi tidak sekedar pertaruhan tema. karena puisi bukan ajang seni saja bagi saya, tetapi sebuah perspektif luhur yang menjembatani antara penyair dan kemanusiaan. puisi bukan hal guyon, tapi merupakan sarana untuk berteriak dengan bahasa ambigu. penyair sejati tidak sedang mempertunjukkan perlawakan dalam pentas sastra, tetapi ia berada di depan moncong meriam ketidak-adilan. dunia selalu memiliki sisi ketidak-adilan, dunia yang sengaja diciptakan tuhan dalam keadaan retak. dalam keyakinan saya, penyair adalah salah satu pihak yang berdiri dengan sifat kesatria untuk mengembalikan dunia itu pada bentuk idealnya. dunia yang penuh kedamaian seperti kehendak sleuruh umat manusia


 Lutfi Mardiansyah:

tugas penyair hampir tidak jauh berbeda dengan tugas power rangers, yakni amar ma'ruf nahi munkar, menegakkan nilai2 kebenaran demi merombak nilai2 yg salah. termasuk, secara kontekstual, masalah tahun baru. orng gegap gempita melakukan perayaan, tnpa menangkap esensi apa d balik peristiwa tanggalnya tahun lama terbitnya tahun baru. bukankah, waktu yg berlompatan pergi itu justru menyeret kita ke dalam kondisi yg lebih dekat dengan kematian. dan inikah yg qta rayakan? renungkan lg segala apa yg kita lakukan. seharusnya kita berefleksi saat ini, bercermin diri. dan puisi, salah satu sarana utk menegakkan nilai2 yg benar itu utk merombak nilai2 yg selama ini dianggap benar. merujuk puisi ini, seluruh larik dan baitnya menunjukkan itu, menunjukkan kpda qta bahwa kita harus menyikapi perguliran ini dengan lebih bijak lg. (mas Dimas Arika Mihardja, menyeruput kopi)

puisi "refleksi angka dan aroma" ini kental sekali dengan rima yg bikin pembaca (saya) sedikit bergetarrrrrrrrr. diksi yg dipilih sangat murung dan menggelisahkan, seperti "bergetar", "menggelepar", "hambar". gelisah ini diteguhkan lagi di larik terakhir: entah, apakah setelahnya seharum mawar? kontadiktif bukan dengan gegap gempita orang2 kebanyakan? orng kbanyakan hura-hura, sedangkan puisi ini mengajak kita utk gelisah, utk mencari knp rasa gelisah itu muncul. aku memilih gelisah saja.


 Dimas Arika Mihardja:

Saya sudah menbaca dengan tuntas uraian mas Kajitow El-kayeni dan memahami sepenmuhnya seluruh apa yang dikemukakan. Dalam kajaian puisi, hal yang dilakukan oleh mas Kajitow itu dapat disebut sebagai "hasil paraafrase" atas puisi yang hendaka dikaji. Parafrase yang dikemukakaan secara runtut itu memberikan gambaran mengenai substansi "isi" yang disebutnya sebagai tema. Dalam pikiran mas Kajitow, tema merupakan sesuatu hal yang selalau dipandang penting. Hal itu tampak sekali dalam beberapa esai yang ditulisnya.

Hasil parafrase sebuah puisi, yang mengedepankan pentingnya tema mungkin dapat diterima dan harus dilakukan oleh setiap pengkaji. Lebih-lebih jika pengkaji menerapkan metode strukturalisme (dana berbagai varian perkembangannya seperti strukturalisme-semiotik, strukturalisme-genetik, strukturalisme-dinamik, hingga kajaiana dekonstruksi atas sebuah puisi). Dalam kajian puisi, apa yang rtelah dipaparkan mas Kajitow itu perlu ditindaklanjuti dengan pertanggungjawaban secara teoretis dan secara empiris. Dulu, dari nenek moyang hinggaa guru-guru di sekolah, setiap mengapresiasi selalu saja berburu tema, mengungkapkan amaknat, dan nilai-nilai.

Dalam perkembangan perpuisian Indonesia, tampaknya, tema tidaka selalu ditempatkan sebagai sesuatu yang penting. Misalnya, di antara berbagai ragam puisi, kita mengenal puisi suasana, puisi yang melukiskan peristiwaa dan kesan terrtentu tanpa harus dibebani oleh tema. LUmayan banyak puisi Indonesia, sebut saja di banyak puisi Sapaerdi Djoko Damono mulai asyik dengan lukisan suasana, permainana imaji, dan menomorsekiankan tema. Terkaait dengan hal ini, saya bertanya kepada mas Kajitow, dalam perspektif luas, apakah tema puisi itu mutlak harus ada dan dipandanag penting? Apakah tidak ada kemungkinan lain, misalnya, ada puisi yang sekedar menyuguhkan homor, sindiran, protes, nakal (mbeling) yang semua jenis ini tidak disukai oleh mas Kajitow? Apakah setiap penyair harus mengungkapkan tema, menyampaikan pesan-pesan (moral), dan tiadak ada kemungkinan puisi itu melukis sesuatu yang absurd, abstrak, impresionis, futuris dan lain sebagainya? Maaf, semua tulisan ini tidak bermaksud membela, melainkan menciptakan diskursus yang senantiasa menumbuhsuburkan wacana kritis. Bagaimana mas Kajitow? Bagaimana respon kawan-kawan lainnya seperti saudara Fauzi Nurbain, Puja Sutrisna, Mahbub Junaedi, dan lainnya?

Hore, asyik nih mas Kajitow mulai terpancing hehehehehe. Saya hidup di dua dunia (pendidik dan kesenian) karenanya saya juga peduli pada banyak aspek yang bermuara memanusiakan manusia. Lho, saya kan jebolan dan anak buah Drijarkara yang memang gencar mengkampanyekan "memanusiakan manusia". Nah, terkait dengan puisi yang saya posting mendadak ini, sesungguhnya, saya hendak mengajak berpikir dan mengarah ke wacanaa besar "Tanggung Jawab Penyair". Makanya, saya akan belajar bertanggung jawab atas apa yang sudah saya tulis. Hayo, masak lupa visi-misi BPSM: saling asah-asih-asuh? Hehehehehehe kian asyik nih Kenduri Puisi ini.

Soal tema dan representasi dan manifestasinya saya juga setuju. Tema penting, namun jauh lebih penting bagaimana menyajijkan tema itu secara menarik, artistik/estetik, dan menggelitik. Nah pada puisi yang saya posting ini pun saya ingin "menggelitik" dan "menggugah" sebuah kesadaran warga BPSM, makanya saya beri label "Refleksi". Hayo, berpendapat lagi mas Kajitow (tetapi disruput dului kopinya, saya lagi bingung nih di depan laptop tersuguh jagung bakar, tahu sumedang, dan kerupuk singkong....bingung deh hehehehehe)

Kajitow El-Kayeni:

dalam beberapa esai sebenarnya saya mendukung upaya "meramahkan" puisi. ini kontradiksi juga dalam diri saya, di satu sisi saya enjoy dengan puisi humor atau mbeling, di sisi lain saya takut puisi semacam itu akan menajadi tolok ukur. mungkin tarik-ulur semacam ini karena pengaruh kedekatan saya pada hudan hidayat dan pikiran rendra hehe tetapi satu hal yang terus saya pegang, puisi adalah permasalahan serius karena mengusung cita-cita yang juga serius. meskipun saya juga membuka diri untuk menerima perkembangan. fokus saya tetap pada esensi, kelak mungkin saya sedikit bisa lebih melunak dan menerima bahwa penyaluran esensi ini bisa dilakukan dengan berbagai gaya. siapa tahu bukankah sekarang saya dekat dengan begawan Dimas Arika Mihardja yang seorang pendidik sekaligus pelaku kesenian hehe


Epilog  Kenduri Puisi

Sebenarnya masih banyak respon dan hadirin dalam kenduri  puisi. Rata-rata hadir dengan komentar singkat. Namun, terrnyata Kenduri puisi ini setelah disalin telah terdiri 6 halaman ketik satu spasi, maka kenduri puisi berakhir sampai di sini. Kenduri puisi semacam ini hanya sebagai upaya bagaimana mengapresiasi puisi secara santai, namun tetap bertolak pada sebuah wacana sebagai refleksi pergantian tahun.

SELAYANG PANDANG BAGI "ANGKA DAN AROMA"

Apresiasi Puisi Refleksi DAM
Oleh: Hadi Napster

Menjelang pergantian tahun 2011-2012, Dimas Arika Mihardja (DAM) yang selain merupakan salah seorang Sastrawan Angkatan 2000-an juga adalah pemegang tampuk Komunitas Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM), menampilkan sebuah puisi refleksi. Selanjutnya puisi tersebut diminta untuk diapresiasi, dibahas, atau dikupas semampunya oleh seluruh warga BPSM demi mengurai makna yang terkandung di dalamnya. Maka demi menjawab ajakan tersebut, melalui tulisan sederhana yang tak berpola atau ber-metode ini saya mengajak kawan-kawan lain untuk bersama-sama menelusuri refleksi sexy ala DAM sebagai berikut:


REFLEKSI ANGKA DAN AROMA
[GETAR ANGKA 2011~2012 LEMBAR MAWAR]
angka kalender bergetar
tanggal lembar demi lembar
2011 nyaris menggelepar

di altar 2011~2012 seulas senyum hambar
seperti masakan tanpa ketumbar
pandang mata pun nanar

kalender bergetar
angka dan senyum saling tawar
entah, apakah setelahnya seharum mawar?

akhir desember 2011

Sebelum terlalu jauh berceloteh ngalor-ngidul sambil mencicipi sekujur tubuh puisi sexy “REFLEKSI ANGKA DAN AROMA” di atas, pertama kali harus saya katakana dengan jujur bahwa saya sangat tertarik dengan judulnya yang tergolong “berat”. Terlebih pada sub-judul “[GETAR ANGKA 2011~2012 LEMBAR MAWAR]”yang sengaja dipajang dengan jelas demi menandakan sebuah “portal” untuk masuk mengembara ke dalamnya. Melihat judul puisi di atas, kita langsung bisa menangkap intensi penyair lewat kata “refleksi”. Ya, di sini jelas bahwa kata “refleksi” diseret pada maksud leksikal berbatas; gerakan di luar kemauan (kesadaran) sebagai jawaban akan suatu hal. Lalu menyusul kata “angka” yang berarti tanda atau lambang pengganti bilangan (nomor). Kemudian pada akhir judul kita mendapati kata “aroma” yang sudah tentu mengacu pada bau-bauan yang harum. Sampai pada tahapan ini, ketika harus menerjemahkan judul ke dalam satu kesatuan yang kemungkinan menjadi maksudnya, maka dapat dikedepankan: “gerakan di luar kemauan (kesadaran) sebagai upaya pencarian jawaban atas momentum pergantian angka (tahun) yang tentunya menginginkan aroma harum (kebaikan).

Begitukah? Dari mana menyimpulkannya? Mari kita buat lebih detail. Pembaca pada umumnya barangkali tidak akan menelusuri noktah per noktah dalam sebuah tulisan. Akan tetapi dalam sub-judul “GETAR ANGKA 2011~2012 LEMBAR MAWAR” sangat jelas terlihat penggunaan tanda baca tilde (~) di antara angka 2011 dan 2012. Pola tanda tilde yang kerap juga disebut “gelombang” tersebut berangkat dari titik rendah pada 2011, lalu bergerak meninggi, kemudian menurun lagi, dan akhirnya kembali menjulang penuh ketika akan sampai pada 2012. Apa maksudnya? Apa lagi kalau bukan gambaran perjalanan hidup, khususnya harapan-harapan di dalamnya. Di mana hidup yang dilakoni setiap manusia memang serupa gelombang, pasang-surut, naik-turun, yang di dalam arusnya terdapat “harapan” untuk selalu berada pada titik “plus”. Dalam penjudulan puisi di atas sangat jelas bahwa seorang DAM hendak menularkan sebuah “harapan” yang tengah dirasakannya kepada pembaca. Harapan agar dalam momentum pergantian tahun ini, perjalanan hidup kita paling tidak akan bergerak seperti pola tanda tilde dalam sub-judul puisinya tersebut.

Masuk pada larik pertama, “angka kalender bergetar” ialah gambaran suasana menjelang pergantian tahun seperti pada umumnya. Kata “bergetar” pada larik pertama layak untuk digarisbawahi sebagai tanda geliat orang-orang kebanyakan dalam merayakan pergantian tahun. Ada yang meniup terompet, berpesta kembang api, bermain musik beramai-ramai, atau bercengkrama bersama sanak keluarga dan kawan-kawan. Kemeriahan-kemeriahan tersebut terjadi pada angka “31” menuju “1”. Sehingga tak salah jika kata “angka” menjadi pembuka untuk semua elemen-elemen semaraknya tahun baru yang dikumpul-satukan oleh DAM dalam ungkapan “angka kalender bergetar“.

Tradisi tahun baru selalu identik juga dengan kemeriahan yang mengarah pada hal-hal negatif. Ada balapan-balapan liar, konser-konser musik yang ricuh, pesta minuman keras dan narkoba di klub-klub malam, dan lain sebagainya. Kesemua sisi minus ini disorot oleh DAM dengan “tanggal lembar demi lembar”, yang jika diartikan ke dalam bahasa awam akan menjadi “jatuh satu demi satu”. Kalimat pada larik kedua ini sebenarnya bermakna ambigu, karena bisa saja mengacu pada lembaran kalender yang memang selalu dilepas lembar demi lembar--khususnya kalender jaman dulu yang hanya terdapat satu angka (tanggalan) di setiap lembarnya--hingga masa pergantian tahun, namun bisa juga berarti jatuhnya “korban” dalam setiap kemeriahan tahun baru sebagai akibat dari perayaan yang mengarah kepada hal-hal negatif sebagaimana disebut sebelumnya.

Lantas, segala tingkah-pola yang mewarnai perjalanan menjelang pergantian tahun ini dipungkas dengan “2011 nyaris menggelepar”. Mengapa menggelepar? Bukankah “menggelepar” itu berarti bergerak ke sana-kemari atau berloncatan karena kebingungan? Di sini nampaknya melebur juga intensi kilas-balik (flash back) pada kesilaman. Gaya personifikasi yang digunakan pada larik ini adalah gambaran dari 2011 yang dikesankan gelisah, resah, bimbang, dan bingung sebab masa “dinas”nya sudah akan berakhir, tetapi harapan dan tujuan belumlah tercapai secara maksimal. Olehnya itu, ia (2011) menjadi “menggelepar”.

Indikasi “ketidakpastian” lalu muncul pada bait selanjutnya. Ketika pembacaan sampai “di altar 2011~2012 seulas senyum hambar”. Mengapa justru pada altar--di sini altar nampaknya mengacu pada arti; tangga untuk berjalan naik dan turun--justru senyum menjadi hambar? Tidakkah seharusnya momentum ini disambut dengan gegap-gempita peuh keriangan? Kenapa penyair justru merasa hambar (kurang bergairah) dalam pergantian tahun kali ini? Bahkan saking hambarnya, sehingga ketidakbergairahan ini dilukiskan “seperti masakan tanpa ketumbar”, sangat tidak ada rasanya! Sampai-sampai “pandang mata pun nanar” setelah mendapati rasa hambar dan tak bergairah menjelang perayaan pergantian tahun. Apa pasal? Di sinilah letak kepiawaian penyair menyembunyikan maksud “pencarian”nya. Dalam arti, bait kedua sengaja dibangun sedemikian “hambar”nya sebagai pengantar atau untuk memperkuat “interogasi” pada bait terakhir. Maka jadilah bait kedua ini serupa titik tengah pertemuan gelombang naik-turun dalam tanda “tilde” seerti yang telah dibahas sebelumnya.

Pada bait terkahir, terjadi proses pengulangan frasa “kalender bergetar” yang sudah tentu melambangkan kebimbangan mendalam, keresahan yang benar-benar “resah”, kebingungan yang sungguh-sungguh “bingung”. Sekali lagi, kemeriahan-kemeriahan perayaan pergantian tahun justru membuat penyair “bergetar”, lalu kembali merasa hambar (tidak bergairah). Namun dalam ketidakbergairahan ini penyair tetap tegar dan mencoba bangkit dengan memunculkan harapan lewat “angka dan senyum saling tawar”. Senyum di sini sudah dapat menandakan kedirian, ketegaran, kepasrahan, pula ketabahan untuk tetap menyongsong pergantian tahun--apapun adanya--meski harapan tersebut sifatnya masih sangat “tidak pasti” lantaran harus melalui proses tawar-menawar. Lalu bagaimanakah wujud dari “harapan” yang jatuh ke dalam tawar-menawar tersebut?

Kembali kearifan DAM bertegas dalam gaya interogasi pada larik terakhir yang dapat dikatakan adalah klimaks dari puisi ini. Ketika sedang terjerat dalam satu upaya pencarian “harapan” yang bahkan ia sendiri pun belum mengetahui jawabannya, DAM justru dengan arif menyerahkan pertanyaan itu kepada masing-masing pembaca. Sesuatu yang beralasan tentunya, sebab betapa pun peliknya sebuah harapan dalam hidup dan kehidupan, toh tetap saja masing-masing individulah yang kelak menentukan jalan pencariannya. Dalam hal ini, bukan hanya penyair, melainkan juga pembaca. Sehingga pada akhir puisinya, DAM memberi gambaran apapun sebagai bentuk jawaban dari “entah, apakah setelahnya seharum mawar?”. Karena jawaban tersebut ada pada ikhtiar dan doa masing-masing manusia dalam mengarungi sisa kehidupan.

Terlepas dari perspektif  yang dipenuhi kesangsian, pengharapan dan hambar-tawar-nanar di atas, ada satu hal yang cukup menarik. Ya, pencomotan frasa “LEMBAR MAWAR” ke dalam sub-judul berikut “seharum mawar” ke dalam larik akhir, justru dapat menegaskan sebuah intense yang berbeda. Mengapa? Karena frasa-frasa tersebut sangat jelas mengacu pada filosofi permainan “Petals around the rose”. Dalam filosofi ini dikatakan bahwa “Lembar-lembar mahkota bunga mawar adalah suatu permainan pikiran menggunakan proses pemikiran lateral yang dimainkan dengan menggunakan lima buah dadu. Permainan ini dimainkan dengan menggunakan program komputer atau dadu sebenarnya yang dilemparkan atau diaduk oleh seorang Potentate of the Rose (seseorang yang mengetahui rahasia dari permainan ini). Pada setiap pelemparan dadu terdapat satu solusi numerik (nilai berupa bilangan). Para pemain berusaha untuk mencapai solusi yang dimaksud dengan berbagai analisa. Bila mereka tidak bisa menebaknya, sang Potentate of the Rose akan memberitahu apa jawabannya, dan sudah menjadi tugas para pemain untuk memikirkan solusi dari pelemparan dadu berikutnya. Jika seseorang berhasil menemukan bagaimana jawaban tersebut dihitung, ia akan menjadi seorang Potentate of the Rose.

Dengan mengacu pada filosofi permainan di atas, maka perspektif lain dari puisi ini adalah; DAM sedang mengajak pembaca untuk bermain “analisa” atau “apresiasi” puisi. Di mana sebenarnya makna dari puisi ini telah DAM ketahui sedetail mungkin, namun tetap dilemparkan kepada pembaca untuk memaknai masing-masing. Atau kemungkinan lainnya--ini patut dikedepankan--adalahmengacu pada sebuah substansi berupa “upaya” yang sedang dijalankannya. Yang mana hasil akhir dari “upaya” tersebut sebenarnya (bisa saja) sudah diketahuinya. Hanya saja, gelombang naik-turun yang menerpa perjalanan “upaya” tersebut membuatnya kembali memunculkan pertanyaan. Pertanyaan ini tentulah tidak perlu jawaban secara langsung, sebab substansi dari pertanyaan tersebut adalah semacam “seruan” atau boleh dikatakan “ajakan” kepada seluruh elemen yang terlibat alam upaya tersebut. Tujuannya tentu saja agar berbenah diri, berjuang sepenuh hati, melangkah lebih pasti, demi mewujudkan tujuan dari “upaya” itu sendiri. Terlebih karena “upaya” dimaksud telah berjalan menyeberangi “tilde” dari 2011 ke 2012. Adapun “upaya” yang menjadi inti pelahiran puisi ini seperti disebut dalam kemungkinan terakhir biarlah seluruh warga BPSM yang menentukan sendiri. Tentu saja dengan melihat, menimbang dan menimang berbagai wacana yang tengah berjalan di sekeliling kita.

Selamat Tahun Baru 2012
Salam DAMai

DUNIA OH DUNIA

Esai: Kajitow El-Kayeni

Puisi adalah sebuah dunia unik yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Dengan begitu bahasa di sini hanya berfungsi sebagai alat penyampaian maksud, sehingga makna yang digunakan dalam puisi adalah makna metaforikal bukan makna literal. Dalam dunia batin seorang penyair ada ruang sunyi khusus yang membuatnya melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda: dunia dan segala yang ada padanya. Manakala kita sadar akan hal ini, maka patutlah kepenyairan itu akan mengerucut dan menyentuh langit yang dijunjung sekaligus yang ditujunya. Termasuk sastra itu sendiri, yang mana tujuannya adalah demi mengangkat kemanusiaan dengan nilai-nilai agung. Ini esensi dari sastra seperti yang didengungkan oleh Rendra itu. Tidak disangkal, telihat di sekitar kita banyak penyair dan sastrawan yang lupa pada esensi tadi dan sibuk mengejar estetika. Banyak manusia-manusia yang dianugrahi ruang khusus tadi menjadi buta arah sehingga disebut oleh Rendra mencipatakan karya yang "Kering." Manusia pada umumnya memang memiliki ruang sunyi ini, bisa dikatakan ia adalah bentuk dari nurani. Tapi khusus pada penyair, ia telah memaksimalkannya sehingga penyair menyublim pada puisinya dengan mengambil gambaran dari dunia yang retak itu. Puisi tidak saja isyarat yang terlahir dari perenungan, namun telah melewati berbagai pertimbangan dan memiliki konvensi tersendiri. Maka dari itu, siapa pun dia, apa pun profesinya sebenarnya boleh ambil bagian dan ikut mencipta puisi dengan begitu ia juga menjadi penyair dengan sendirinya.

Yang kemudian menjadi luput adalah kecenderungan untuk mengejar estetika tapi menjadi lupa pada esensinya. Keindahan karya sastra memang serupa apel dari sorga yang hendak diraih oleh berjuta sastrawan dan (meminjam istilah Penyair Imron tohari) penikmat baca. Dengan itu kita hendak menggaris lurus politik selera dan konvensi dalam bersastra. Tetapi yang ingin saya tekankan adalah estetika bukan satu-satunya apel ranum yang hendak kita lumat dengan pemahaman. Lebih jauh sebelumnya kita mesti mengukur esensi di dalamnya. Kenapa begitu? Penyair dan umumnya sastrawan adalah manusia-manusia khusus yang memiliki anugerah ruang sunyi tadi. Jika esensi ini sampai terlepas maka lesatan dari ruang sunyi tadi, ia akan menjadi karya yang kering seperti maksud Rendra di atas itu. Kering dari ruh yang membuatnya subur dan menumbuhkan berjuta-juta inspirasi bagi orang lain. Kering dari semangat luhur mengangkat kemanusiaan yang sejak awal hendak dikejar oleh orang-orang terdahulu sebelum masehi itu. Seperti yang digariskan oleh Plato atau Aristoteles mengenai tujuan sastra ini.

Maka saat berhadapan dengan puisi, pertanyaan pertama yang saya ajukan pada diri saya sendiri adalah mengenai esensi tersebut. Sebuah puisi yang paling cengeng sekalipun adalah sebuah lesatan pandangan batin yang dengannya kata-kata membangun dirinya menjadi sebentuk kode-kode bahasa yang sign oriented (terarah ke tanda-tanda). Tapi apakah kata-kata itu kait-mengait dengan sendirinya, sehingga tiba-tiba muncul dengan ajaib menjadi sesuatu yang agung? Saya tidak setuju dengan pendapat seperti itu karena puisi bukan bintang jatuh yang semata-mata mengandalkan bim salabim atau kun fa yakun. Tanpa adanya latar belakang dan ruh yang menyeret huruf-huruf berjajar sedemikian rupa itu hanya akan memunculkan sesuatu yang kering dan kosong. Bagaimana bisa mengatakan hal yang tak bernyawa seperti itu indah ketika kita sadar ia hanyalah sebentuk kode-kode bahasa yang terlahir karena proses kloning kata: yakni kata itu mengait dengan kata yang lain dan melupakan tujuan yang menyebabkannya ada.

Tanpa ruh dalam tubuh bahasa, mustahil kata-kata itu memunculkan hisapan. Sebagaimana logika kita sulit menerima jika Tuhan tidak mengambil tempat, padahal mustahil Tuhan memerlukan sesuatu selain dirinya. Jalan damainya adalah: Tuhan meliputi segala sesuatu sebagaimana ruh dalam tubuh bahasa.


Pemandangan Yang Jauh
oleh Eimond Esya pada 08 Agustus 2011 jam 22:53

Seperti pemandangan yang jauh,
Yang bukan dari dunia ini
Aku percaya darah dan waktu mengalir di tempat yang sama

Dan seperti pemandangan yang jauh,
Mata dan tanganku melihat dunia ini
Tidak sebagaimana kau melihatnya
Mata dan tanganku melihatnya dan telah
menerima hadiah-hadiahnya
Sebagai serangan-serangan yang kejam
Menerima dirimu, O, kukatakan padamu,
Alangkah sedihnya

Seperti tak ada yang benar-benar pernah kumiliki
Seperti tak satu keindahan pun,
Tak satu sukacita pun

Kaki-kakiku lemah
Darahku merupakan penakut yang berputar kembali

Merupakan lingkaran pertanyaan

Kenapa kita dikirim ke sini
Menempuh jalan yang salah

Kenapa kita selalu mengalami kesunyian di tikungan
Lemparan ketiadaan
dan dunia yang terbelah


Sebagaimana umumnya penyair lain yang menunjukkan ekspresi jiwanya, puisi di atas itu mencerminkan gejolak sama sedang dirasakan penyairnya. Gejolak itu membuatnya gelisah dan menumpahkannya melalui medium bahasa. Ia melihat dunia sebagai pemandangan yang jauh, dunia yang tiba-tiba menjadi asing baginya. Dunia yang dirasakannya terbelah, penyair berdiri dalam ruangan sunyinya dan mengembalikan dunia yang terbelah itu melalui puisi. Puisi Penyair Eimond ini sebenarnya juga telah terrefleksi dalam karya-karya penyair yang lain. Penyair menjerit saat ia meraba dirinya sendiri, saat ia mempertanyakan kemanusiaannya sendiri, saat ia terdampar dalam ruang sunyinya seorang diri, saat ia bernyanyi lirih dengan suara batin tergagap, saat ia menertawakan kesedihan, saat ia memandang dunia yang tiba-tiba menjadi asing. Sebagaimana menengok Pablo Neruda yang tidak yakin dengan keberadaan Tuhan tapi meratap dengan penuh duka:

Oh Bumi, Tunggulah Kami

Kembalikan aku, oh matahari
Pada nasibku yang liar
Hujan hutan purba
Bawakan aku wewangian dan pedang-pedang
yang jatuh dari langit
Kedamaian wingit dari padang rumput dan bukit batu
Kebasahan pada tepian sungai
Aroma pohonan
Angin yang berdegup bagai hati
Mendentumi gelisah tanpa istirah
Puncak-puncak jati.

Bumi, kembalikan hadiahmu yang murni padaku
menara-menara kesunyian yang mawar
dari kekhusukan akar-akarnya.
Aku ingin kembali jadi yang belum kualami
Dan belajar untuk kembali dari kepekatdalaman ini
di antara segala yang alami
tak masalah; aku bisa hidup atau tak
menjadi sebuah batu lagi, batu yang gelap
batu sejati yang dibawakan laluan sungai.


Dalam pemahaman sufistik, mati bukanlah suatu hal yang mengerikan. Ia hanya pintu menuju. Dari laut pulang kembali ke muara. Menuju itu adalah proses untuk mengada dari sesudah ada. Entah dengan bentuk seperti apa tapi kematian menjadi bergerak, kematian tidak berhenti. Hidup di sini menjadi asing sebenarnya. Dalam arti ketidakkekalan dalam hidup ini adalah anugerah sekaligus kutukan. Sartre memaknainya untuk soliter (sunyi) sehingga manusia itu terkutuk untuk bebas. Ini nilai eksistensi menurut Sartre yang lebih penting dari esensi, karena eksistensi lebih dulu ada. Pemikiran semacam ini seharusnya pula yang membuat manusia penyembah logika seperti Pablo mengikutinya. Tapi ternyata tidak. Meski keyakinan Pablo berbeda dengan pemahaman sufistik dan umumnya keyakinan agama di muka bumi, tapi kematian itu ditangkapnya dengan arah yang sama: bahwa kematian itu tidak berhenti, tapi proses menuju.

Sebagai pusat tata surya, matahari dipercaya sebagai pemberi kehidupan. Tanpanya kehidupan tidak akan bertahan lama. Bumi akan membeku jika setahun saja matahari pensiun. Matahari yang oleh orang-orang Mesir Kuno itu disembah dengan sebutan Ra menjadi pusat kesadaran Pablo Neruda, sebagai pusat perlambangan untuk menerima rintihannya sebagai manusia. Matahari dijadikan simbol sebagai wajah Tuhan bagi yang beragama. Pablo tidaklah sedang menyembah matahari itu, namun kesadaran akan mati yang tidak berhenti tapi merupakan proses menuju itu diberitakannya di sini. "Kembalikan aku oh, matahari," katanya. Kembali ke mana? Ke muasal sebelum mengada dalam bentuk manusia tentunya. Kepada alam itu sendiri, menjadi partikel yang entah bagaimana prosesnya menjadi sel hidup. Itulah nasib yang liar. Sebuah perjalanan tak tentu arah, ketika segalanya baru saja berawal seperti hujan hutan purba. Sewaktu bumi masih begitu remaja. Sewaktu kata purba belum ditemukan karena ia berada dalam kepurbaannya sendiri. Hujan hutan purba adalah simbol permulaan dari kehidupan. Di sini dikatakan purba, karena kata itu telah dikenal. Dan Pablo ingin naik kembali ke sana dengan membalikkannya.

Hujan di suatu hutan purba adalah awal dalam keyakinan Pablo. Pada awal itulah akhir akan kembali bergerak ke sana. Ini menarik sekali karena secara naluri tanpa kehadiran Tuhan pun manusia memiliki kesadaran akan mati itu. Bahwa ia adalah rangkaian proses. Dan ini sebenarnya sebentuk pertanyaan atas awal itu sendiri. Apakah proses berputar ini sudah ada dan akan terus seperti demikian? Ini pertanyaan sama yang dicari jawabannya oleh ilmuwan. Tapi ilmu pengetahuan buntu dan tidak dapat memberikan gambaran bagaimana proses menuju ini berawal. Namun ada indikasi segala sesuatu yang eksis pasti ada yang memulai. Dalam puisi ini jawaban itu memang tidak ditemukan. Tapi pertanyaan yang sama mengeram di sana. Di tengah kepasrahannya itu, Pablo merindukan sesuatu yang tidak didapatnya. Kedamaian tentu saja sebuah utopia yang menarik. Namun sejak manusia bercokol di muka bumi ini, adakah kedamian itu benar-benar terwujud? Tanpa disadarinya, Pablo sedang merasakan sebuah hisapan yang jauh melampaui kekuatannya. Ia menjadi kerdil dan mengakui keberadaan sesuatu yang tak tersentuh nalar, dimana hidup yang tidak mampu diteorikan oleh jutaan ilmuwan itu membuatnya gelagapan mempertanyakannya. Hidup yang mustahil ada dengan sendirinya itu memunculkan serangkaian pertanyaan yang tak habis.

Sesuatu yang entah bagaimana bermula dan berakhir menjadikannya terlihat begitu rapuh. Dan saat itulah kita juga mesti bertanya bukankah kekuatan maha yang menghisap itu merupakan cerminan dari adanya Tuhan? Kekuatan itu pula yang membuat Derrek Walcot dengan rindu lautnya meraba dirinya sendiri:


Rindu Laut

Sesuatu telah memindahkan kembali raungan-raungan
dalam telinga rumah ini,
Menggantung tirai-tirainya yang tak tertiup angin
Memukau cermin-cermin
Hingga pantulannya kekurangan intisari

Yang terdengar bagai gemeretak tanah
                                      di bawah kincir angin,
menjadi sebuah pemberhentian mati;
Ketiadaan yang menjadi tuli;
Sebuah hembusan.

Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini
Menuruni pegunungan,
Membuat isyarat-isyarat aneh
Mendorong pensil ini
Menembusi kehampaan yang tebal kini.

Menakut-nakuti lemari-lemari dengan kesunyian
melipati cucian-cucian apak
seperti bebajuan yang ditinggalkan orang mati
Tepat setelah
Si mati diperlakukan baik-baik oleh yang dicintai.

Tak masuk akal mengharapkan untuk segera ditempati.


Dalam puisi ini, Derek membawa kesunyian itu dan menggantikan bahasa yang tak cukup diwakili oleh kata sunyi itu sendiri. Begitu dekatnya kesunyian itu dengan kematian sehingga si sunyi seolah menggerakkan imajinya pada benda benda yang dikenalinya. Benda-benda sama, tetapi pada momen sunyi itu memiliki arti berbeda. Ia tidaklah mengerti pada kesunyian yang dihadapinya itu maka ia mencatatnya melalui benda-benda yang dirasakannya menjadi asing dan memiliki makna lain. "Sesuatu itu telah menggelindingi bukit-bukit ini," katanya. Padahal tidak ada apa-apa di sana selain kesunyian yang membuatnya soliter tadi. Dari sanalah sesuatu yang diyakininya itu membuatnya meraba dirinya sendiri. Kita tidak sedang membicarakan Tuhan di sini. Tapi sunyi itu seolah Tuhan yang bergerak tanpa gerakan, yang seolah bermuka-muka dengan penyair tapi tak dapat dipahaminya. Sunyi itu menyeret perasaanya pada (mungkin) ketakutan akan kematian. Ini inti sunyi itu, di mana si sunyi tadi menyeret perasaan penyair pada ketakutan akan kematian. Atau si sunyi telah bergerak menjadi sosok Tuhan yang bergerak tanpa gerakan itu. Yang dengannya penyair berada dalam kehampaan sekaligus perasaan asing sebagaimana yang ditunjukkan oleh penyair Eimon Esya, Pablo neruda, begitu juga dengan penyair-penyair yang lain, yang juga membuat kita mempertanyakan hal yang sama.

Dari sanalah menurut saya esensi bersastra itu berangkat. Mungkin ia naik ke atas dan menggugat kekuatan maha yang kita kenal dengan Tuhan. Mungkin juga ia meluncur ke bawah dan mempertanyakan kemanusian yang sebenarnya hendak diangkat oleh sastra dengan nilai agungnya itu. Maka tak heran jika Rendra menolak bantuan sembilan milliar pertahun dari Amerika karena ia merasa dibeli(?). Ketika ingat hal itu, apa yang saya nyatakan di atas tadi mungkin masih perlu dipertanyakan lagi: akankan esensi yang berangkat dari perabaan penyair atau sastrawan tadi benar-benar meruncing yang menyentuh langit yang dijunjung sekaligus ditujunya? Sekali lagi dengan rendah hati Rendra menolak bantuan tersebut dan dialihkan pada orang lain. Tapi apakah orang-orang atau kelompok yang menerima uang ini akan dikatakan tidak beresensi lagi jika hal itu bermanfaat (meski mungkin hanya untuk golongan dan orang terdekat)?

Saya tidak tahu.

Sikap yang saya ambil adalah ikut bernyanyi sedih seperti Penyair Eimond termasuk juga yang lain, saya ikut menertawakan kesedihan yang terjadi di dunia sastra dengan nyanyian sedih itu.

"Kenapa kita selalu mengalami kesunyian di tikungan
Lemparan ketiadaan
dan dunia yang terbelah"

 
*) Puisi-puisi diambil dari Facebook dan Horison atas terjemahan Agus R. sarjono dan Nikmah Sarjono

***
 
Dunia oh dunia, hiks dan haha

Kajitow

Jumat, 30 Desember 2011

SEBUAH PEMBACAAN PUISI KARYA DIMAS ARIKA MIHARDJA

Oleh: Kajitow El-Kayeni, Suko Rahadi, dan Hadi Napster



KUKIRA BEGINI NANTI JADINYA
: untuk warga bpsm

meski bukan dukun, peramal, atau paranormal
kukira begini nanti jadinya: kau kawin, beranak dan berumah
sedang aku terus saja serupa chairil anwar menjumput kata yang mawar
menikmati debar keharuan, tak lelah menciumi aroma-Nya

meski bukan astrolog, biolog, atau theolog
kukira begini nanti jadinya: kau berobat, tobat, dan bersijingkat
menapaki lorong-lorong waktu mencari sesuatu
sedang aku terus saja memuja sembilanpuluhsembilan nama
di tikar sembahyang, mengusap debu jalanan
menangis oleh keharuan

meski bukan penyair, penyihir, atau penyiar
kukira begini nantinya: engkau tertawa karena tertawan
geriap kata di ujung senja di pantai yang bergelora
sedang aku terus saja menjadi butir-bnutir pasai di pantai
merindu cumbuan angin, disapu dan diusap lidah ombak
yang menyempurkan jejak menuju sebuah pintu
diam dalam dekapan keabadian

29/12/2011


(1)

saya mencermati gaya humor dalam beberapa puisi mas Dimas Arika Mihardja, tapi humor itu terkadang lari ke arah getir. humor itu terkadang terayun pada kemuraman. humor itu seolah hanya pintu masuk kepada sebenar ruang di dalam puisi. dan saya pun mengamati puisi-puisi mendadak mas dimas tetap memiliki keterpusatan dan tujuan yang jelas meskipun itu mungkin juga belum final. tapi dengan pembacaan yang mendadak pula saya memahami di balik gaya humor itu ada celah renung di sana. hasil tempaan hidup sebagai penyair yang kenyang asam-garam dinamika kepenyairan. diksi yang dipilih pun sederhana dan akrab, bahkan dalam pemilihan judul dan pembentukan puisi mungkin sengaja tidak dibuat sulit agar mudah dicerna. dengan sendirinya puisi ini melambangkan kedekatan antara penyair dan warga bpsm yang ditunjuk sebagai alamat penyampaian maksud, layaknya teman ngopi bersama, teman bersenda gurau, teman yang akrab.

puisi ini seperti tingkatan candi borobudur. ada tingkatan dasar, menengah, dan lanjut. tingkatan itu akan terlihat dari arah tujuan yang dikehendaki penyair dengan serangkaian perkiraannya itu. tidak terlihat memang jika hanya dibaca sekilas, dan itu menipu mata pembaca, apalagi dengan gaya akrab yang melekat pada puisi ini.

pada bait pertama puisi ini, kesan humor itu terlihat dari pengakuan aku lirik mengenai keadaannya yang bukan dukun, peramal, atau paranormal. seseorang yang dikatakan mengetahui masa depan dengan identitas tadi itu tentu tidak asing bagi kita, seseorang yang linuwih dan dianggap sakti. tetapi itu kemudian memunculkan kesan humor ketika aku lirik berkata pada seseorang yang disebutnya kau mengenai perkiraan masa depan. padahal aku lirik bukan orang sakti katanya. tapi ia mempunyai prediksi itu. "kukira begini nanti jadinya: kau kawin, beranak dan berumah" pernyataan yang akrab itu memiliki tujuan usia tentunya. yang hendak ditunjuk dengan"kau akan kawin" itu adalah kawula muda. ini penggambaran umum dengan fungsi simbolik. "kau akan kawin" tidak hendak mengatakan yang pernah kawin disuruh kawin lagi, tapi itu simbol usia tadi. seolah-olah penyair sedang berujar, wahai warga bpsm yang muda-mudi (yang kebetulan belum kawin) nanti kau akan kawin, beranak, berumah tangga." jadi ini bisa dikatakan sebuah nasehat yang bijak dengan balutan bahasa yang sederhana dan dekat. dari nasehat itu terkandung maksud: persiapkan dirimu.

kemudian nasehat tadi itu menjadi terasa getir menurut saya. ketika aku lirik memisahkan dirinya dengan perkataan, "sedang aku terus saja serupa chairil anwar menjumput kata yang mawar / menikmati debar keharuan, tak lelah menciumi aroma-Nya." ini simbolik juga sifatnya. aku lirik menyerupakan dirinya dengan seorang penyair bernama chairil. seperti kita tahu chairil itu salah satu penyair yang total hingga lekat istilah binatang jalang padanya. chairil benar-benar hidup dari dan untuk puisi. ia tidak tertarik dengan pekerjaan lain. puisi adalah segala-galanya bagi chairil. dan itu terasa getir manakala penyair menepi dan menikmati debar setiap kata mawar (puisi) hingga membuat penyair tak lelah menciumi aroma-Nya. kata ganti orang ketiga itu referen kepada apa atau siapa? tentunya itu mengarah kepada tuhan. dengan "kata yang mawar" tadi penyair mendekatkan diri pada pemilik bahasa, kepada tuhan yang telah memberikan pemahaman kepada penyair akan keagungan tuhan dalam berpuisi tadi. "haru" mungkin yang dikatakan oleh aku lirik. tapi haru itu kembali pada kata yang mawar, bukan kepada kau lirik yang kelak menikah dan memiliki anak. haru itu terasa getir saat penyair dengan sifat totalnya dalam berpuisi tadi terlihat masyuk dan terpisah dari realita kau lirik.

(2)

bait ke dua menggunakan wajah perulangan bait pertama meski memiliki kandungan isi yang berbeda. kali ini aku lirik mengambil simbol orang-orang yang dikenal cerdas, memiliki akurasi dalam pengamatan, dan memahami hukum-hukum keagamaan. "meski bukan astrolog, biolog, atau theolog." simbol itu menjadi peniadaan sifat aku lirik. artinya tiga orang yang berprofesi berbeda tadi memiliki kecermatan dan ketajaman intuisi serta kedisiplinan dalam ilmu agama. aku lirik memang tidak berprofesi demikian tetapi prihal yang hendak disampaikan pada kau lirik itu tidak boleh dianggap remeh dan/atau bisa disamakan dengan ketiga simbol tadi. "kukira begini nanti jadinya: kau berobat, tobat, dan bersijingkat / menapaki lorong-lorong waktu mencari sesuatu," di sini nasehat itu kembali ditujukan kepada pihak berbeda yaitu lebih kepada orang yang sudah dewasa. karena gambaran berobat itu untuk orang yang sadar dirinya sakit. ini sakit rohani tentunya. anak muda cenderung tidak peka terhadap penyakit ini, maka dikatakan berobat itu untuk usia dewasa. begitu juga dengan tobat, bagi yang sudah merasa dirinya punya penyakit rohani tadi kemudian sadar usia sudah tidak remaja lagi, kesadaran tobat mulai datang. sedangkan bersijingkat dan seterusnya itu sebagai gambaran laku kau lirik dalam mencari kebenaran dalam hidup. bahwa hakikat hidup itu bukan hanya di dunia saja.

ini undakan ke dua setelah undakan pertama tadi. bisa jadi ini merupakan kelanjutan fase pertama, tetapi akan lebih mudah jika puisi ini dipandang dalam satu momen yang sama: aku lirik sedang memberikan wejangan kepada setiap orang sesuai tingkatan usianya.

hal yang sama juga terasa dalam bait ke dua ini. aku lirik terlihat mengheningkan cipta dalam ruangan sunyinya. "sedang aku terus saja memuja sembilanpuluhsembilan nama / di tikar sembahyang, mengusap debu jalanan / menangis oleh keharuan," ini juga senada dengan bait pertama tadi. aku lirik dengan jalan pribadinya memuja kebesaran tuhan yang digambarkan dengan jumlah bilangan namanya. karena penyair adalah seorang muslim, aku lirik terbentuk sesuai terminologi keislaman. bukan untuk mengkotakkan diri, tetapi demi menghidupkan sosok aku lirik, demi memberi roh sepiritualitas padanya. maka sembilan puluh sembilan itu adalah asmaulhusna. tuhan dalam terminologi agama samawi memiliki ribuan nama, seribu diberikan pada malaikat, seribu pada jin, seribu pada manusia. untuk nabi-nabi terdahulu diberi bagian masing-masing. khusus dalam alquran disebutkan sembilan-puluh sembilan yang satu ismu dzat. jadi genap seluruh nama-nama tuhan itu. begitulah penyair beringsut dari keramaian sosok kau lirik yang mencari hakikat hidup. ini juga merupakan sebuah percontohan pula sebenarnya, seolah penyair ingin berkata bahwa apa yang dijalani kau lirik itu juga pernah dilaluinya. dan puncak pencarian itu adalah pada tuhan juga yang menjadi muara segala aliran kehidupan.

ada gaya retorika penyampaian dalam bait ke dua ini. penyair mengatakan, "di tikar sembahyang, mengusap debu jalanan" ini memiliki ganda juga, tapi saya fokuskan pada satu saja. penyair tidak melakukan cara-cara radikal untuk menemukan tuhan dalam pemujaannya, semua itu dilalui dnegan ibadah seperti tuntunan nabinya. di tikar sembahyang menunjukkan bekas perbuatan shalat, juga mungkin dzikir dan doa sesudahnya. kemudian disambungnya mengusap debu jalanan, ini adalah lambang dari perbuatan dosa yang dihapusnya dengan ibadah tadi. penyair selaku manusia menyadari kekhilafannya, dan itu ditebusnya dengan melakukan perintah agama. seperti yang tekah diyakini, perbuatan baik itu akan menghapuskan dosa. tapi bahasa itu disampaikan dengan dua lambang, tikar sembahyang dan debu jalanan. tikar sembahyang identik dengan kesucian, karena shalat harus suci hadas kecil dan besar. sedangkan debu jalanan adalah perwakilan dari keadaan yang kotor. debu memang bisa digunakan untuk bersuci, tapi tidak sembarangan debu. penyair mengambil simbol debu jalanan untuk menguatkan kesan kotor itu. jalanan tentu dipenuhi dengan banyak hal, ada tumpahan oli, debu itu sendiri, kotoran ternak, bekas ban kendaraan, dan lain-lain. debu jalanan identik dengan sesuatu yang kotor.

dua perlambangan tadi mewakili dari dua perbuatan yakni ibadah dan kesalahan dalam hidup yakni dosa. dengan gaya penyampaian retorik penyair ingin mengatakan, sosok kau itu sedang mencari hakikat hidup dengan, berobat (dari penyakit rohani), bertobat, dan bersijingkat (bergegas pada kebaikan) tetapi di sisi lain, aku lirik ingin menyampaikan bahwa itu pula yang sekarang dilakukannya, bahkan ia telah melampaui pencarian akan hakikat hidup oleh kau lirik yang setengah umur tadi, dengan menunjukkan tikar sembahyang sebagai pelabuhan air matanya untuk menghapus dosa-dosa yang semestinya sebagai manusia pasti dimilikinya. dan uniknya kenyataan akan hal itu tertutupi oleh bahasa simbolik dan penyampaian yang sederhana seolah bertutur sanatai pada sahabat sepermaian saja.

‎(3)

ada sedikit perbedaan ketika sampai bait ke tiga, penyair seolah menyangkal dirinya bahwa profesinya adalah sebagai penyair. yaitu dengan ucapannya, "meski bukan penyair, penyihir, atau penyiar," ini bukan sebagai peniadaan mutlak, khusus untuk lambang "penyair" itu, sebenarnya hal demikian merupakan tempat sembunyi saja, seolah penyair melebur kepada aku lirik dalam puisinya. artinya penyair Dimas Arika Mihardja, tidak nyata dalam bait ini tapi melebur kepada aku lirik tadi. ia menjadi subyek di balik subyek yaitu diri penyairnya. dapat juga dimaknai hal itu adalah sebagai bukti kerendahan hati, penyair yang telah kenyang pengalaman sedikitpun tidak ingin melebihkannya. apalagi memamerkannya seperti beberapa orang penyair itu. maka hal itu dikatakannya, "meski bukan penyair..." dalam bait ketiga ini kembali aku lirik membidik lawan bicaranya sesuai usia, yaitu usia tua. "kukira begini nantinya: engkau tertawa karena tertawan / geriap kata di ujung senja di pantai yang bergelora," di ujung senja merupakan lambang dari usia sesudah dewasa tadi yaitu usia tua. penyair sengaja mengajak sahabat (yang menjadi tujuan puisi ini dibuat seperti tertulis di bawah judul itu) untuk berdialektika. maka dalam bait ketiga ini simbol yang dipakai penyair lebih rumit dari yang sebelumnya. hal itu dimaksudkan untuk menghindari kesan kasar. karena usia lebih tua biasanya lebih peka menangkap isyarat dan simbol.

apa yang hendak disampaikan penyair lebih halus dan lebih hati-hati, itu diawali dengan meniadakan dirinya sebagai penyair, penyihir, dan penyiar. padahal ketiga simbol tadi merupakan orang-orang yang memiliki pengaruh pada khalayak, orang-orang yang didengarkan, orang-orang yang dikenal. tapi penyair justru tidak ingin tampil seperti itu, ia merendah dan mengakrabkan dirinya pada sosok yang disifatkan, "kukira begini nantinya: engkau tertawa karena tertawan / geriap kata di ujung senja di pantai yang bergelora." hal ini kemudian terasa kontras ketika sampai pada, "sedang aku terus saja menjadi butir-bnutir pasai di pantai / merindu cumbuan angin, disapu dan diusap lidah ombak / yang menyempurkan jejak menuju sebuah pintu / diam dalam dekapan keabadian." di satu sisi kau lirik akan mendapatkan kebahagiaan dan keasyikan dengan "geriap kata" itu, namun di sisi lain aku lirik malah menyiratkan sesuatu yang kontras, yaitu keadaannya yang dengan bahasa sederhana bisa diartikan ia juga dalam lautan keindahan yang digeluti oleh kau lirik, tapi hal itu untuk menyempurnakan jejak menuju sebuah pintu keabadian. ini memang bisa dimaknai berbeda, misalnya diam dalam dekapan keabadian itu adalah sebuah pencapaian cita-cita yang sempurna. tapi itu pemaknaan yang lebih jauh dari ungkapan tadi. sebenarnya ini merupakan sebuah sentilan agar pihak kau lirik (dalam usia matang) menimbang lebih jauh bahwa ada hal-hal yang jauh lebih penting disikapi, yaitu menyempurnakan jejak menuju pintu keabadian. dengan kata lain berserah diri dan menyempurnakan kekurangan dalam peribadahan.

puisi yang disebut penyairnya sebagai karya dadakan ini memiliki kerumitan tingkat tinggi. dengan pola repetisi setiap bait itu mewakili tingkatan umur seumpama tingkatan candi borobudur. dan di setiap bait itu pula pilihan diksi dan simbolnya juga disesuaikan dengan pihak yang dituju. belum lagi menyorot strategi retoris yang matang pada puisi ini menunjukkan adanya sebuah ide yang telah mengendap, meski itu dituturkan dengan spontan ke dalam puisi. sebuah nasehat yang bijak dalam menyikapi kehidupan. nasehat itu tidak diberikan sebagai sosok yang dilingkupi keagungan seperti simbol-simbol yang ditampiknya di atas itu. tetapi penyair ingin bersahaja dan berlaku layaknya sahabat. mengingatkan yang lupa, menunjukkan yang bingung, dan menyentil yang keasyikan sehingga tetap memiliki tujuan hidup yang sejati, yaitu pada yang maha hidup. sebuah kemenangan kelak dalam ketenangan abadi. seperti kata penyair, "yang menyempurkan jejak menuju sebuah pintu
diam dalam dekapan keabadian."

***

kajitow
dalam mode mendadak pula

Catatan Suko Rahadi:

Mas kajitow telah membongkar puisi Prof. DAM secara rinci bait perbait. Nah, apakah puisi harus dikupas satu persatu baik kata, baris, maupun baitnya? terserah saja, kita mah bebas mengupasnya. he.he..lalu apa yang menarik dari puisi itu? jika kita perhatikan, yang paling menonjol dalam puisi ini adalah ulangan-ulangannya. Ulangan itu terjadi baik pada kata, baris, maupun baitnya. ulangan dalam puisi Prof. DAM itu diantaranya berupa paralelisme, yaitu penjajaran kalimat yang artinya mirip atau hampir sama, hanya dengan mengganti sebagian katanya saja. bisa kita lihat:

meski bukan....
kukira begini....

diulang pada tiap bait. inilah rahasia kekuatan puisi tersebut. Jika mantera pembuka ini dihilangkan atau diganti, maka daya pesona puisi itu akan luntur. ini adalah ciri sastra lama, sastra mantera. si aku seoalah merapal mantera di setiap awal baitnya dengan tujuan agar sesiapapun yang mendekatinya akan hormat dan segan. diakui atau tidak, setiap pembaca akan terkonsentrasi pikirannya pada kalimat itu karena memang di sana terdapat "kekuatan gaib"

si aku sebenarnya ingin mengatakan siapa dirinya yang sesungguhnya lewat baris pertama dalam tiap baitnya. "akulah DAM" mungkin begitu kira-kira. jika kita perhatikan, dalam kebanyakan puisi Prof. DAM memang demikian adanya. rima tidak hanya dalam akhir baris, namun dalam satu baris seringkali terjadi persamaan bunyi.

puisi yang sangat seimbang, sungguh simetris. bait dan barisnya tersusun rapi. hal ini menimbulkan intensitas arti dan penciptaan arti baru karena kesejajaran homologues. dengan persamaan atau ulangan yang berturut-turut dan hampir sama itu maka timbul orkestrasi dan irama yang menyebabkan rilis. ini merupakan makna di luar kebahasaan.

Catatan Hadi Napster:

Chairil Anwar dahulu pernah berkata, “Yang bukan penyair, tidak ambil bagian.” Kalimat yang dinyatakan dalam sebuah wawancara di radio Belanda di atas, dengan tegas membagi antara “penyair” dan “bukan penyair”. Dikarenakan sebuah konsepsi seni secara umum yang menyatakan bahwa puisi adalah sesuatu yang luhur, mulia, dan memiliki nilai lebih di atas tulisan lainnya, maka oleh Chairil ditegaskan bahwa hanya penyairlah yang boleh mencipta syair, puisi, dan semacamnya. Sebab penyair adalah manusia yang istimewa, teladan dan dapat menciptakan sesuatu yang luhur pula.

Kalimat Chairil di atas mengundang protes sepanjang tahun 70-an hingga 80-an. Salah satunya adalah “Perkemahan Kaum Urakan” di Parangtritis yang dikomandoi oleh WS. Rendra. Dan yang paling fenomenal yakni “Gerakan Mbeling” yang dimotori oleh Jeihan Sukmantoro, Remy Sylado, Abdul Hadi WM, dkk. Kedua protes tersebut dimaksudkan sebagai bentuk protes terhadapa “keluhuran” puisi (keluhuran dalam tanda petik) sebagaimana dinyatakan Chairil. Tujuannya tentu saja ialah untuk membumikan puisi itu sendiri, sehingga pada masanya bukan hanya “penyair” yang dapat menulis puisi, tetapi semua orang berhak menulis puisi. Entah itu profesor, dosen, guru, tentara, polisi, pedagang, sopir angkot, pelayan WarTeg, pengamen, babu, semuanya. Dengan demikian nilai-nilai keluhuran sebuah puisi tidak hanya menjadi milik penyair saja, melainkan semua orang. Sebagaimana pernyataan Jeihan, “Dengan tegas saya katakan, yang bukan penyair boleh ikut ambil bagian. Ini artinya setiap orang boleh menulis puisi, boleh main-main dengan puisi. Gembira ria dengan puisi.”(Mata emBeling, 2000: 14).

Lalu, apa hubungannya dengan puisi di atas? Barangkali kita tidak akan menelisik sejauh mungkin ke dalamnya untuk mengurai setiap intensi, tetapi sebuah perspektif yang mengembrio pada pandangan di atas dapat disimpulkan dari larik-larik: “meski bukan dukun, peramal, atau paranormal/kukira begini nanti jadinya: kau kawin, beranak dan berumah” yang dilanjutkan dengan; “meski bukan astrolog, biolog, atau theology/kukira begini nanti jadinya: kau berobat, tobat, dan bersijingkat”, serta “meski bukan penyair, penyihir, atau penyiar/kukira begini nantinya: engkau tertawa karena tertawan.”

Namun buru-buru harus ditambahkan, bahwa puisi DAM di atas jauh lebih merangkul kisi-kisi kehidupan, memanusiakan manusia, tentunya lewat pertarungan di kancah sastra. Bahkan jika boleh dikatakan, puisi di atas ialah serupa seruan yang meliputi segala aspek kehidupan. Tengoklah, “aku terus saja serupa chairil anwar menjumput kata yang mawar menikmati debar keharuan”. Begitu juga dengan “menapaki lorong-lorong waktu mencari sesuatu” atau “terus saja menjadi butir-butir pasai di pantai”. Kegelisahan seorang DAM akan kekinian kehidupan yang kian karut-marut, penuh sengketa (silang-sengkarut), sangat jelas terlihat dari kalimat tersebut.

Ada kesamaan rasa dengan seorang Chairil Anwar yang tak jua kunjung menemu “eksistensi” hakiki, atau jalan terang bagi misteri kehidupan yang dilakoninya, sampai pada akhir hayatnya. Betapa tidak, keresahan neurotik yang dirasakan oleh Chairil Nampak sangat jelas dalam larik puisi TAK SEPADAN; “Aku kira/Beginilah nanti jadinya/Kau kawin, beranak dan bahagia/Sedang aku mengembara serupa Ahasveros/Dikutuk sumpahi Eros”. Kegelisahan-kegelisan Chairil inilah yang nampaknya menjadi ilham pencetusan puisi di atas. Akan tetapi harus digarisbawahi bahwa, ketegaran, kebersahajaan, dan ketwakkalan seorang DAM dalam mengarungisamudera kehidupan jauh lebih “matang” dibandingkan Chairil Anwar. Jika dalam puisi Chairil Anwar kita tidak mendapati sebuah “solusi” alias pencarian tetap saja menjadi misteri, maka dalam puisi DAM sangat terang dan jelas, “menikmati debar keharuan, tak lelah menciumi aroma-Nya”, begitu juga dengan “sedang aku terus saja memuja sembilanpuluhsembilan nama”, “yang menyempurkan jejak menuju sebuah pintu
diam dalam dekapan keabadian”.

Alhasil, puisi di atas telah menerkam kegundahan cucu-cucu Adam yang membacanya. Sebagai refleksi, syiar, introspeksi diri, bahwasanya hakikat kehidupan hanyalah satu—dari-Nya dan kembali pada-Nya. Toh jika pada awal komentar saya sengaja menyeretnya ke dalam perspektif geliat sastra, semata-mata karena pilihan seorang DAM yang telah memutuskan untuk merangkul anak-anak muda, generasi-generasi belia, untuk bersama-sama menghidupkan kesusastraan ini dengan sepenuh nafas. Dan mereka yang terangkul itu bukan hanya “penyair” sebagaimana kata Chairil Anwar, melainkan orang-orang yang penyair dan juga bukan penyair.
 
Lantas, apa tendensinya melakukan itu? Mencari namakah? Hendak mencatat sejarakah seorang DAM? Wallahualam… Namun keyakinan saya masih sama, bahwa ketika Presiden Penyair diam-diam menanggalkan mantra dan membuang muka bagi mereka yang orang biasa, dan ketika Raja Penyair mengatakan padanya, “Puisi di Facebook itu puisi sampah! Untuk apa kau urusi?” Hal-hal demikian inilah yang memacunya untuk menancapkan panji, mengibarkan bendera sastra, memunguti sampah-sampah, mendaur ulangnya kembali, untuk dijadikan rantai mutiara. Dan sejarah akan melihat itu semua! Ya, kita semua, bukan hanya Dimas Arika Mihardja yang bersahaja itu.

Demikian.