Minggu, 27 November 2011

Dari Dukomen Lama: Catatan tentang Antologi Puisi Negeri Angsa Putih Merayakan Pemberontakan

Catatan Nurul Fahmy

Tapi apakah sebenarnya puisi? Sebagai sekumpulan kata dalam suatu bahasa, puisi tak hendak diaktualisasikan sedemikian rupa hingga makna menjadi mutlak dan absolut karenanya. Sebab, jika puisi adalah sekumpulan kata aktual dengan makna tunggal yang menyertainya, apa pula bedanya dengan berita, slogan politik, advertensi atau spanduk kampanye calon walikota yang dipajang di dinding kota.

Pun begitu, puisi bukan pula serangkaian kode, argot, jargon, slang atau sandi yang bersembunyi di balik jubah para penyairnya, yang hanya dimengerti oleh mereka (penyair) dan Tuhan saja. Dalam pemahaman sastra klasik yang kanonik, seorang maha guru yang bijaksana berkata, ”sastra adalah sarana untuk mengarahkan dan mengajar.” Plak!! Aku tertampar masa silam. Berpusingan. Masuk ke dalam mesin waktu. Mundur ke seribu atau tiga ribu tahun silam. Berkutat dengan lontarak dan papirus sebagai medium untuk mencatat dunia dalam kata-kata. Mengikuti jejak tua Sang Plato dan Aristotelian yang hidup dalam masa di mana persoalan baik dan buruk adalah hal yang kontradiktif. Sebagaimana Horatius mengatakannya, “sastra harus bertendensi azas manfaat dan nikmat” (serupa kue yang dimakan lalu dilupakan).

Begitulah tradisi akademik dalam dunia sastra kita, yang telah mendominasi pengertian puisi (sastra) sebagai barang hiburan belaka, bahan pengajaran atau edukasi. Sastra dianggap hanya sebagai teknik dan penggolongan tulisan—ke dalam puisi, cerpen, naskah drama, novel dan lain sebagainya. Lebih jauh lagi: Sastra adalah cerita. Adalah simbol-simbol. Adalah ungkapan-ungkapan. Adalah permainan bahasa. Adalah curahan hati. Adalah sesuatu yang cengeng dan romantik.

Apa boleh buat, konsekuensi logis inilah yang tengah kita hadapi dari pengajaran sastra konvensional di negeri ini, jauh sejak sekolah dasar. Konstruksi kultural dalam dunia akademik yang begini ini, begitu dalam membekas hingga mencuat sebagai representasi diri para siswa—yang kelak bermetamorfosis menjadi penyair—yang hadir sebagai kesadaran palsu yang mengental, menggumpal. Guru kencing berlari, murid malah kencing berdiri. Hingga murid gagal sebagai murid, guru gagal sebagai guru. Dan penyair gagal memerdekakan diri, gagal memerdekakan puisinya dari jerat-jerat kata yang kian memperdaya.

Baiklah, kita tinggalkan Plato tua, Aristoteles atawa Horatius. Kita menuju ke suatu masa, dimana puisi sebagai satu genre sastra bukan lagi setumpuk risalah tentang hal-hal yang baik dan buruk, bukan kitab yang berisikan sistem norma, dogma, etika atau estetika. Jauh-jauh hari Asrul Sani telah menolak itu. Menolak kecenderungan puitis Pujangga Baru—angkatan sebelumnya—yang disebutnya sebagai “seni yang hendak memperoleh kedudukan sebagai usaha yang menghasilkan keindahan. Keindahan yang dibentuk melalui segala bunga kata, royal perumpamaan, dan segala yang puitis, dan yang menganggap keindahan sebagai puisi itu sendiri. Pujangga Baru, lanjut Asrul Sani lagi, menganggap sebuah kamar sebagai rumah.”

Terlepas dari segala kontroversi Asrul Sani dan Angkatan 45 dengan Surat Kepercayaan Gelanggang-nya, kini kita menuju ke suatu masa dimana sugesti puisi saling betot, berkelindan, bergumul dan bertarung antara hidup dan mati, antara realitas dan idealitas. Puisi, sebagaimana definisinya yang terus disesuaikan dan menyesuaikan dengan zamannya, bukan lagi persoalan merangkai kata saja. Persoalan puisi adalah persoalan dunia. Persoalan manusia. Puisi adalah persoalan itu sendiri. Pengerjaan puisi adalah metode menemukan kata dan menangkap makna. Adalah cara mengidentifikasi, me-rasa, bersikap. Adalah pengucapan manusia, pemikiran, perenungan, pencarian, pengembaraan dan pilihan sudut padang dalam membelah-belah kenyataan sosial. Puisi adalah pencarian spiritual; semacam dialog antara ‘aku’, manusia (subjek) dengan dunianya (objek).

Puisi tidak lahir dari ruang hampa. Kekosongan wacana. Ia lahir dari, dan sebagai proses pertarungan diri. Lahir dari pembacaan dan diskusi. Puisi bukan alat dari bahasa. Dan bukan pula sebuah benda. Sutardji Calzoum Bachri dalam Kredo Puisi mengatakan, “kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.”

Untuk itu penyair harus bersetia pada kata dalam meneroka makna, karena puisi bukan simulakra. Puisi adalah puisi itu sendiri. Sebagai sesuara yang polifonik, puisi akan memunculkan keragaman suara. Dan bukan cuma estetika berbahasa. Lantas bagaimana pula puisi yang baik itu?

Puisi yang baik akan mengalami pemenuhan makna. Ia hadir dan berbicara sendiri kepada pembacanya.


Antologi Kolaborasi Dua Generasi

Negeri Angsa Putih (2007) antologi puisi dari negeri Jambi—selanjutnya akan ditulis dengan NAP—lahir dalam jagad kesusastraan modern dari hingarnya kata-kata yang berkelebat. NAP adalah sesuara yang hendak dibaca dan didengarkan. Serupa gumam dalam riuh kata-kata yang berlesatan, berloncatan, berbenturan antara pidato politik, slogan dan propaganda calon walikota dengan idealisme para penyairnya.

NAP berisi 192 puisi dari 12 penyair yang kesemuanya berdomisili dan berproses di Jambi. NAP—seperti juga pengakuan DR. Sudaryono, M. Pd dalam kata pengantar—dapatlah disebut sebagai kolaborasi dua generasi penyair: Generasi yang lebih awal dengan generasi sesudahnya. ‘Penyair generasi awal’ adalah mereka yang telah menemukan kata sebagai puncak kesadarannya dalam memandang dunia. Generasi yang mampu menangkap kata dan mengurai makna dari kelebatan teks-teks yang berseliweran dan mengelaborasikannya menjadi sesuatu puisi. ‘Penyair generasi sesudahnya’ adalah mereka yang cenderung terjerumus pada pola lama konvensi perpuisian: melalui segala bunga kata dan segala yang puitis—pemilahan ini bukan berdasar pada usia, melainkan pada kekuatan karya itu sendiri.

Dimas Arika Mihardja dalam Mendulang Kerlip Bintang, memberi pekabar tentang “Batanghari tak lelah mengarus//menimang tongkang dengan ayunan gelombang. Sementara: acep syahril nggigil mindah nasib sendiri//ari setya ardi menatah matahari//dimas dan tomas membalut perasaan//ghazali burhan riodja mendaki lereng kerinci memilih bertapa//iif rentareksa membangun oratorium puisi//budi telah jadi veteran//iriani duduk di tanggo rajo//muhamad husya’iri menyairkan ayatayat//sang yogiswara memuja padma//mang alloy, nanang, kang didin menyanyikan seloko//al-murtawy menyanyikan lagu bocah kubu.”

Dengan perbandingan Batanghari yang terus mengarus, kita menemukan Dimas yang cemas dengan kondisi kekinian penyair ‘angkatannya’. Dan menggugat mereka yang tak lagi menghadirkan sajak-sajaknya. Hingga ia begitu nyinyir meminta berkali-kali, “beri aku sajak yang paling tuak.” Kecuali E.M. Yogiswara, Nanang Sunarya, dan Dimas sendiri—pengecualian juga bagi Ari Setya Ardi yang telah almarhum—tak satu jua nama-nama yang disebutkannya dalam puisi itu memberikan sajaknya yang paling tuak dalam antologi ini. Entah sebab apa.

Namun begitu, Dimas telah menjawabnya sendiri, “arus sungai mengusung keranda rembulan//....rembulan itu hanyut ke seberang lalu tersangkut di jaringjaring nelayan//...matahari dan rembulan adalah bolabola bilyar//disodok lalu berbenturan//satu demi satu bola itu masuk lubang di akhir permainan.” Dalam puisi ini sekali lagi kita temukan permintaan lirih Dimas, “beri aku sajak yang paling tuak” (dalam Merenungi Obituari Rembulan).

Sementara Hary S. Haryono, begitu masyuk dengan perjalanannya ke kota-kota di belahan dunia lainnya. Ia hadir nyaris tanpa tendensi, tanpa imaji, tanpa sesuatu yang selama ini terlanjur dianggap sebagai puisi. Dan Nanang Sunarya wujud sebagai ‘penyair yang tobat’. Dalam bait-bait sajaknya ia berusaha menemui Tuhan—saya juga seperti tengah membaca Acep ZamZam Noor dalam puisinya.

Termasuk salah ketik, salah cetak dan human error lainnya pra dan pasca-produksi, masih ada yang terasa ganjil dalam antologi ini. Puisi dalam antologi ini telah diperlakukan seperti rombongan anak taman kanak-kanak yang harus dituntun oleh para pengasuhnya ketika menyeberang jalan. Serupa anak-anak balita yang belum fasih berbicara sehingga butuh seseorang (bahkan dua orang) untuk menerjemah apa yang akan disampaikannya kepada para pembaca.

Antologi puisi bukan buku paket sekolah atau diktat mata kuliah. Pembaca bukan mahasiswa atau siswa sekolah. Tak jamak jika sebuah antologi puisi diberi kata pengantar atau catatan ringkas serupa ini. Dalam kondisi ini, kata pengantar—atau apa pun namanya, yang berbau kritik, telaah atau semacamnya——akan menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi kata pengantar telah menghakimi puisi dengan memonopoli pemaknaan atasnya, di sisi lain kata pengantar juga “memaksa” pembaca untuk masuk dalam carabaca “sang juru antar”.

Sejatinya, pembaca akan dapat menemukan dan mencari sendiri makna dari hasil pembacaannya tanpa perlu cekoki dengan segala macam kata pengantar. Karena seperti apa yang telah dikatakan, puisi yang baik akan mengalami pemenuhan makna, ia akan hadir dan berbicara sendiri kepada pembacanya. Untuk itu, jika masih ngotot ‘menyelipkan kata’ dalam antologi puisi, maka mari kita rayakan kematian puisi.

Dibanding ‘penyair generasi awal’, ‘Penyair generasi sesudahnya’ seperti dikata Korrie Layun Rampan dalam catatan ringkasnya masih berkutat dengan persoalan bentuk dan isi. Mereka masih berusaha menjinakkan kata-kata yang liar meradang, seperti tengah menunggangi kuda Zanggi yang binal. Dan terkadang malah berkhianat; mendramatisir peristiwa dan memanipulisir fakta. Simaklah puisi Chory Marbawi ini: “Malam, sepanjang jembatan Makalam//matahari mabuk kepayang//kupu-kupu betina terbang tak kenal pandang//lewati perbincangan//mereka diam dalam kelam//makalam senyum masam (dalam Makalam Kelam).

Apa pula maksudnya, “malam, sepanjang Makalam, matahari mabuk kepayang.” Adakah Chory tengah berteka-teki dengan imaji matahari pada saat malam di Makalam? Dan, aih, tentu Chory sedang berimaji lagi, mengatakan, “ada kupu-kupu betina yang beterbangan sepanjang Makalam.” Kupu-kupu betina metafor dari perempuan malam. Faktanya, tak ada perempuan malam yang terbang di sana malam-malam, kecuali lalu-lalang kendaraan bermotor yang digelimangi cahaya lelampuan.

Demi memenuhi hasrat puitis akan keseimbangan bunyi, Chory rela mengorbankan isi dan makna. Jika ‘penyair generasi awal’ terlepas dari masa silam, ‘penyair generasi sesudahnya’ justru terpuruk dalam lubang itu: Mereka begitu terpesona dengan keindahan kata-kata. Dengan emosionil romantisisme sebagai aku lirik yang masuk dan terlibat sepenuhnya dalam puisi. Dalam “Kapan kita hentikan perjamuan ini”, Chory memunculkan kontradiksi dengan bait-bait sajaknya yang lain:”...haruskah kita ulangi lagi//Sama-sama kita pertanyakan tradisi ini.” Bagaimana Chory mempertanyakan tradisi, jika ia sendiri larut bersama tradisi dan sekiranya juga begitu terpesona dengannya—terpesona pada sajak pantun Melayu yang begitu memuja rima—Ah, sepertinya perlu kita pertanyakan lagi ini pada Chory.

Tapi Chory tidak sendiri, sebagian besar puisi oleh generasinya dalam antologi ini juga terjerumus dalam lubang yang sama. Bahkan, F. Monthana, ibu guru dari Muaro Bungo ini pun begitu terlibat emosi. Puisi-puisinya dalam antologi ini cenderung melagukan kesenduan dan kegundahan hatinya belaka. Begitupun Nicky Handayani, Yohana Ita Kustiawati dan Siti Asiah. Mereka, seperti kata Asrul Sani, masih menganggap kamar sebagai rumah. Karena itu puisi-puisi mereka menjadi ironi ketika kita menyimak kegembiraan sosok pak guru dalam Nyanyian Sepeda Tua oleh Suardiman Malay ini, “Aku benar-benar bangga//telah terlepas dari kebungkaman//bertahun-tahun dengan sepeda tua ini//telah kulahirkan beribu pikiran jernih//yang mengalir dari pengabdian cintaku//kini kaumku tak lagi menjadi manusia bisu//selalu bicara gagu dan berlagak dungu.”

Begitulah, Nanang Tarsuna dengan malu-malu membikin pengakuan ini dalam Pemakaman Seni—namun Nanang berhasil menghadirkan satir dalam proses dan eksistensi ke-penyairan-nya. Di titik ini kita tidak menemukan apa yang ditudingkan Korrie Layun Rampan dalam catatan ringkas-nya, yang telah mengeneralisir “penyair yang baru muncul, yang menunjukkan berbagai pencarian yang mengarus pada penemuan bentuk dan isi.” Simaklah puisi ini, “segala sajak tak berdaya//menanti pemakaman seni//sajakku sendiri menutup diri berkali-kali//terasa punah walaupun syairnya masih indah//di antara jiwa-jiwa yang masih resah//jauh dari keluh//dan aku hanya patuh pada syair yang utuh.”

Apakah puisi ini masih menunjukkan pada pencarian bentuk dan isi? Saya pikir tidak. Hal itu dapat pula kita telusuri dari puisi-puisinya yang lain.

Dan, jika Nanang yang tak berdaya dalam puncak kesadarannya sehingga memilih menanti Pemakaman Seni, Titas Suwanda lebih berusaha berontak dengan mengencingi arena, “kita kencingi arena//lantaran tak ada makna di sana.” (dalam Catatan Terakhir Arena Tua). Inilah kesadaran mereka. Kesadaran yang entah dalam hal apa. Namun telah dicatat oleh E.M Yogiswara sebagai, “kemarau daun yang terisap itu kini menuntut warnanya,” yang mudah-mudahan tidak “lalu diam dalam serangan baliknya” (puisi memaknai pulau temasik).

Demikianlah, meski ada tarik ulur antargenerasi, namun begitu kita menemukan korelasi yang erat antarpuisi dalam antologi ini. Korelasi berupa jejaring yang berkelindan dan bersinergi. Dan semoga antologi ini bukan “kaca terakhir yang terlahir.” Karena dari pembacaan di atas, kita telah menangkap benih-benih pemberontakan dalam puisi, untuk lepas dan keluar dari tradisi yang telah mengkonstruksi alam bawah sadar mereka, jauh sedari pagi. Kini kita hanya tinggal menunggu hari. Untuk itu, mari bersulang, bersama kita merayakan pemberontakan ini.

* * *
Nurul Fahmy,

Rabu, 16 November 2011

PENGUDARAN DAN PENGENDAPAN NILAI-NILAI DALAM PUISI

Oleh: Dimas Arika Mihardja



Topik puisi yang digubah oleh Akhmad Fatoni dapat diklasifikasikan dalam lima kategori berikut (1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan. Akhmad Fatoni sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indonesia menaruh perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.

Persoalan-persoalan edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius itu pada gilirannya merupakan manifestasi dari kristalisasi nilai-nilai yang dijadikan penuntun, pemandu, pedoman, pengendali, rujukan, tolok ukur ucapan, tindakan, dan perilaku penyair sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Lebih lanjut, nilai-nilai itu bagi penyair berfungsi mendasari, merangsang, mendinamiskan, mendorong, menggerakkan, dan mengarahkan tindakan penyair dalam berkarya sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Hasil dari itu semua adalah dibuahkannya puisi yang mendedahkan nilai-nilai edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius. Nilai-nilai ini secara samar dan tersirat meruak di dalam puisi-puisi Akhmad Fatono seperti beberapa kutipan berikut.



Kutipan 1:

surat

:DAM



kota ini, ternyata telah memutus sendi kesetiaanku

mengelupas berlahan-lahan yang menyisakan ingatan perih

di bulir-bulir doaku. aku bermunajat yang mungkin

sangat miris bila kau dengarkan. sebab sayapku telah

menyerupa kupu-kupu dan memilih terbang meninggalkanmu

bersama semangatmu yang telah digerogoti anggur, arak, dan

semacamnya. sehingga yang tertinggal hanya potret-potret harapan

yang usang.



aku menyadari metamorfosis tulisanmu, ketika kulafalkan

dengan ejaan yang terbata di setiap surat kabar yang membungkus

senyummu dengan galaksi rindu pada tegukan-tegukan yang

memengaruhi kekolotan pikiranmu akhir-akhir ini. dan kau

seenaknya menyalahkan lingkungan. sadarkah fajar pagi itu

membawa belati yang akan memutuskan namaku dari sehelai kafan

yang tak pernah terjamah di pojok kamarmu itu. tapi tahukah kau

aku memilih kematianku saat desir angin menyampaikan kabar tipis

yang bugil darimu. sebab kabar itu, meletiklesitkan pusat mimpi-mimpiku

dan kini aku terlahir kembali menjadi seorang bayi



Kutipan 2:

malam kesekian di trowulan



malam itu terasa begitu sunyi

hanya lantunan nada-nada yang

mengantarkanku pada kesunyian

yang abadi



sepanjang perjalananku inilah

malam yang paling lenggang

sebab suara-suara yang sesekali

terdengar telah menelanjangi rinduku



dan aku memilih membiarkan malam ini tetap menjadi

malam yang buta. sebab kailku tak lagi memunyai umpan

untuk memancing percakapan kumbang kecuali sosokmu

yang bergoyangan karena hembasan anggur yang telah membisu



sebab itulah tanda dari yang kuterjemahkan

setelah sekian lama aku menunggu bersama dingin

hanya demi sisa angin yang terselip di harapanku

bila esok kampung ini menjelma elegi

aku ingin bibirmu merapal janji tentang perjamuan mimpi

yang selalu kau tawarkan



tapi maaf, seusai aku merapal wajahmu

kini aku harus menanggalkan baju untuk kelahiran puisiku.



Kutipan 3:

sore hari



hari ini mungkin penuh air, basah di mana-mana.

air hujan meninggalkan kenangan di baju dan celana.



sungguh air mampu merusak konsentrasi,

menanam wajah kuyu, lesuh dan senyum pun seperti

enggan bertengger lagi di kedua bibir yang mungil.

setidaknya hujan sudah memenuhi kewajibannya

dan airmata kini tetap saja menggoda

membasahi retina dan meretaskan luapan di jiwa

yang sudah lama terpendam dan membatu.



20 januari 2010



Kutipan 4:

jauh



jauh sebelum kau menaburi tamanku dengan bunga-bunga

airmata, aku telah merasakan ketakutan

yang menjamah tubuh ini

dengan hati yang tak lagi seindah

senyuman di bibirmu



jauh sebelum kau meninggalkanku

pesakitan telah bersemayam di tubuhku,

di kepalaku, dan kau datang membisikkan

suara yang lirih di telingaku

karena kau takut kebohonganmu

didengarkan telinga-telinga di sekelingmu





Kutipan 5:

gemigil di tuban



kasri, kau menuai api yang

memanas, nian sungguh kau dekat dengan malang

air, genang, dan penyakit

datang menyapa dengan bertubi

mirip mendung yang tak kuat menahan air

dan menjadikannya hujan



sungguh ingin aku memelukmu kasri

memeluk dengan iba

dan dentum yang menggema

membawa baju, sekardus mi instan, dan obat-obat

yang di jual murah di apotek-apotek



sungguh mereka tak

kasihan melihat kasri, semua ditelan dan

dimasukkan kantong dengan diam-diam

dan mulai gusar ketika atm dibobol beruntun

dengan manis dan sangat ritmis

mereka tak bisa tidur

tiap malam mengerang dan membayangkan uang

sampai mata mereka merah seperti

mata merah kasri yang terundang

suara sumbang rumah, kasur, kursi, tv, dipan, piring,

semua terbawa air dan tiada yang tersisa



kasri, aku hanya mampu

menuliskan puisi, untuk melayangkan derita

agar luka pergi tertiup angin



31 januari 2010



Kutipan 6:



lelaki yang menari



ia datang dengan seutas senyum

dan memanggul tas hitam di pundaknya

tanpa bunyi ia menyapa lantai dengan

sepatunya.



dan dengan kacamata merah

ia duduk bersandar melahirkan anak-anak

yang akan membawanya pulang



pulang di awal bulan tanpa

oleh-oleh sebab upah belum kunjung keluar



lelaki itu tetap saja tersenyum

senyum dengan parfum yang

menyelimuti tubuhnya



membuat dirinya sewangi parfum

yang membawa angan gentayangan



"selamat malam, semoga air tak membuatku terlambat datang"

ujarku padanya malam itu



lalu aku pergi dan tinggal di dalam kata-kata yang tak

terpaksa diakhiri karena deadline koran yang harus terbit pagi.



31 januari 2010



Kutipan 7:



mengeja sunyi dalam senyummu



kita terlahir dengan keterpaksaan, seperti matahari yang ada di bibirmu

hidupku terlalu lekat dengan gelap, hingga sampai pada kening pekat



yang menguning di antara daun gugur, sementara wajahmu

sesejuk rerumput yang menabur benih suka dalam sukmaku



angin bersorai sebab mendengar teriak

cacing dari dalam perutku, yang menggema lagu perih



hingga melarutkan wajahku pada isarat tangis

yang mengalir, berbicara tentang waktu



tapi aku lebih suka menggigil, menemani bayangmu,

daripada mendengar istirah sunyi yang tak pasti



sebab aku rela mengeja kesunyian demi

setangkai maaf dan senyum suka dari bibirmu.



(2008)



Kutipan 8:



pintu gerbang



di dalam mulutnya aku tertelan

menyimpan lekuk-lekuk airmata

meneteskan keringat yang brengket

seperti roda-rodamu yang terus menggerusku

hingga menjadi tirus



kau biarkan aku terkunci di dalamnya

menyiangi wajah-wajah pasi di sisa subuh

yang tak sempat tersimpan di laci

karena mimpi pun tak sampai pada selimut pagi



keesokannya selalu kutemukan bungkus makanan, permen,

atau pun minuman penyegar yang terus

menatapku tanpa berkelakar



kita harus cepat melebihi kilat



seorang bertahi lalat, mendetumkan diktat-diktat

di otakku. sibuk menjejali dengan huruf yang tak

tahu malu. menumbuhkan luka yang teramat lusuh,

seperti jamur tiram yang urung mengembang

menghilangkan jenjang yang masih teramat panjang



biar saja kukurung petaka di ruang itu

sebab telanjur sudah aku memilin waktu.



itu kebijakan yang harus ditiadakan



kau masih tetap saja berkata,

sambil terus mengucurkan darah

di jiwa-jiwa yang telah teraniaya



mojokerto, 21 oktober 2010



Kutipan 9:



pertemuan kupu-kupu



kita terlahir dari sarang ke sarang

bersama angin yang mencipta lengang



aku masih ingat, saat tubuhmu mengeliat

merambat dari daun-daun rindu

menuju perseteruan semu di kepompong waktu yang menidurimu

beberapa atau separuh dari tubuhmu

yang menyatu

seperti negeri babi

berebut upacara penyuci

untuk reinkarnasi

biar terlahir lebih suci dari sepi



kadang memang aku tak sadar, ketika teringat

kisahmu yang legam. sebab kusimpan

dan kuerami hingga tumbuh menjadi sungu

tanpa mengelu tapi mampu menipu

seolah menutup lampu-lampu penerang

di setiap jalan di tubuhmu

kecuali sayap yang siap membuatmu melayang



aku tak pernah membayangkan

bisa bertemu secepat itu, aku mengira

baru kemarin kau dan aku mengeliat

tapi kini kita terbang dari batang satu ke batang yang lain

menjalin kisah yang hanya seujung kuku

mojokerto, 21 oktober 2010



Kutipan 10:



bunglon

:r.a.



seperti permulaan kisah kita,

kubiarkan kulitnya berubah-ubah. kita

mengawali kisah ini dengan bukit-bukit kecil,

saling mengejar dan berlari. aku datang

dengan menawarkan warna gincu

yang tak pernah kau oles di bibirmu.



menyelami lautmu yang amat dalam,

membuatku terengah-engah kehabisan rasa sayang.

airnya teramat asin, membuatku malu-malu kucing menahan

kencing di ujung kelamin. membuatku makin mbediding

untuk mengejarmu meski pintunya tak pernah kau kunci.



kubiarkan angan terus melayang, seperti katamu yang

tak pernah menyentuh daunku. hingga akar dan batangku

makin biru. sebiru wajahmu di tangkai waktu yang layu.

tapi aku seperti pencuri, yang mengendap-endap

mencuri warnamu yang terus berubah. kadang kuning,

merah, biru, hijau bahkan kelabu. tapi kisah kita tetap

seperti putri malu yang mengempis jika tersentuh.

kau merah dengan tawamu, aku biru dengan hatiku.

kau kuning dengan matamu, aku hijau dengan telingaku.

aku diam, tapi kau berubah menjadi kelabu.



selanjutnya aku membiarkan kisah itu tumbuh

dengan warna sesukanya.



mojokerto, 22 oktober 2010





Semua nilai-nilai itu oleh Akhmad Fatoni dikemas sebagai upaya penyampaian keindahan dan kebenaran melalui teks puisi. Nilai-nlai ini dijadikan prioritas bagi penyair dalam berkarya, meskipun jauh di lubuk hati penyair mungkin tidak dimaksudkan sebagai “petani yang sengaja menanam tanaman nilai-nilai”. Terkait dengan ini dapat dikemukakan bahwa setiap penyair, termasuk Akhmad Fatoni, dalam menciptakan puisi selalu berorientasi pada penyampaian nilai-nilai ini. Penyampaian nilai-nilai ini realisasinya berupa usaha maksimal penyair dalam menata bahasa dalam bingkai konvensi sastra dan konvensi budaya untuk mewadahi gagasan yang akan disampaikan melalui teks puisi. Salah satu cara ungkap yang digunakan oleh Akhmad Fatoni dalam penulisan kreatif puisi-puisinya ialah dengan cara “bilang begini, maksudnya begitu” atau meminjam ungkapan Riffaterre dalam Semiotic of Poetry (1978) “Says of thing and means another”.

Dalam konteks pengudaran dan pengendapan nilai-nilai ini pembaca dapat menikmati puisi-puisi Akhmad Fatoni yang secara umum dapat dicirikan sebagai puisi-puisi (1) remang-remang tetapi menawan, (2) puisi-puisi yang sarat dengan pemikiran filsafati, (3) puisi-puisi yang lincah mengolah kata-kata, (4) puisi-puisi yang sarat pemikiran kejawen, (5) puisi-puisi yang sederhana tetapi kuat dalam penyampaian pesan, dan (6) puisi-puisi yang mengolah ragam bahasa Jawa di beberapa puisinya.



Teks puisi yang diciptakan oleh penyair Akhmad Fatoni secara umum memiliki ciri ketidaklangsungan pengungkapan yang menurut Riffatere (1978) timbul akibat adanya penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. Karakteristik ketidaklangsungan teks puisi tersebut dirangkum dalam paparan berikut ini.

Pertama, penggantian arti. Di dalam teks puisi-puisi yang diciptakan oleh penyair Akhmad Fatoni pada umumnya kata-kata kiasan difungsikan untuk menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain.



Kedua, penyimpangan arti. Penyimpangan arti terjadi apabila di dalam puisi ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Di dalam puisi yang digubah oleh Akhmad Fatoni kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Di dalam teks puisi yang ditulis oleh Akhmad Fatoni juga terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir, sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan.



Ketiga, penciptaan arti. Menurut Riffaterre (1978:2) penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam teks puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme.



Teks puisi termasuk ke dalam jenis teks transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Teks puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena teks puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun teks puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, teks puisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa teks puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, teks puisi merupakan teks khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.



Teks puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam teks puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam teks puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi. Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari teks itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara. Teks itu sendiri dapat menyajikan fakta mengenai jenis kelaminnya, usia, wajah, dan pekerjaannya. Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu.



Hakikat epilog ialah penyampaian “pemandangan akhir” dari keseluruhan corak puisi-puisi yang termuat di dalam sebuah buku. Prolog ini kiranya telah memberikan gambaran bagaimana seorang Akhmad Fatoni “mengudar gagasan” dan “mengendapkannya” di dalam teks puisi. Upaya pengudaran gagasan, yang lalu ditindaklanjuti dengan pengendapan gagasan itu dikemas dengan karakteristik utama sebuah puisi yang pada prinsipnya: “Says of thing and means another”, bilang begini maksudnya begitu. Dengan prinsip ini, Akhmad Fatoni berhasil mengungkapkan topik puisi yang diklasifikasikan dalam lima kategori: (1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan. Secara ringkas dapat dikemukakan untukmengakhiri epilog ini bahwa Akhmad Fatoni sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indonesia menaruh perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.



Demikian, salam sastra.

Rabu, 02 November 2011

KEPAK ANGSA PUTIH AKAN TERBANG TINGGI

- Djazlam Zainal (Melaka, Malaysia)

Daerah pedalaman sajak sangat konkrit. Lalu apakah yang mahu dilunasi bagi sebuah sajak? I.A. Richard dalam Practical Criticism: A study of Literature Jugdement ( 1973 ) menyatakan bahwa pemikiran manusia yang sedang membaca sajak akan tertakluk kepada 3 peringkat iaitu apakah arti sajak, tujuan pembacaannya serta bagaimana sajak dimanfaatkan untuk orang ramai. Tanggapan ini dilihat daripada kacamata seorang strukturalisme yang melihat keberuntungan makna sajak dengan sentuhan rasa ( sense ) perasaan ( feeling ) dan nada ( tone ).

Sajak adalah pembawa pengalaman hidup manusia, cara merasa dan berfikir, sikap dan pandangannya terhadap masyarakat dan alam raya. Kerana sajak bukannya bahan ilmu tulen seperti biologi, psikologi, atau sosiologi, ada kaedah dan logika untuk mempersembahan acuan tersebut dengan peraturan disiplin dalam bentuk keobjektifan ilmu iaitu disiplin lingustik. Campuran perasaan, pemikiran dan deria rasa, sajak cuba menangkap kenyataan-kenyataan yang luar biasa, yang abstrak, membawa kita kepada pengalaman-pengalaman dari sudut pendekatan yang baru. Karya-karya yang baik selalu membijaksanakan, dengan maksud ia menolong kita mengenal arah dan bentuk sesuatu masalah ( Muhammad Haji Salleh, 2005: 12 )

Penyair yang mula-mula menggunakan sajak adalah orang-orang yang melihat kesusastraan sebagai lambang kebebasan dari masa lampau dan masa yang ada ketika itu. Mereka adalah orang-orang yang terdidik dengan pendidikan barat dan mereka beda dengan kebanyakan orang lain yang tidak mendapat pendidikan yang sama. Untuk menyatakan kebebasan dan kelainan mereka, mereka merasa perlu untuk menciptakan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dari yang ada sebelumnya. Karena pengaruh pembaratan barat lebih awal di Indonesia berbanding Malaysia, sajak-sajak Melayu Malaysia terpengaruih dengan pemodenan yang begitu lancar di Indonesia. Sudah tentu Chairil Anwar adalah tokoh penyair yang begitu diidolakan di Malaysia. Penyair Malaysia terus mengerumun penyair-penyair moden yang begitu mengerdip. Lantas apabila saya melihat Kepak Angsa Putih ( Lembaga Swadaya Mandiri, Jambi, 2011 ) yang saya terima daripada Dosen Pengampu mata kuliah Penulisan Puisi, Universitas Jambi, Dr. Sudaryono, M. Pd., dosen yang membimbing mahasiswa semester III, sebagai langkah awal memasuki dunia penulisan kreatif, saya sangat terasa tersanjung. Ini mengembalikan ingatan bahwa puisi serumpun ini tidak dapat dipisahkan secara geo-politik dan alam semestanya. Secara metodologis, acara tulis-baca di bilik kuliah bisa menerbitkan energi bagi proses penulisan sajak. Bagi pengampu bukan mudah untuk menjuruskan sesuatu sajak dalam sebuah antologi puisi oleh rata-rata pelajar yang belum cukup matang untuk menyatakan persoalan. Untuk itu agaknya, perspektif historis, tanah Jambi dipilih untuk menokohkan instuisi pada pelajarannya. Lalu kita ketemukan dengan komunikatif puisi yang berbicara dengan khalayak. Alamsyah memulakan dengan Belantara Sunyi.


tak ada cahaya di sini

angin memalas

jemari langit cengkeram ujung

betapa mimipi melati di cermin

pecah menyerbu

lelehan mendung merintih

sekan letih merembas

hingga teritisan kalbu

beku



Alamsyah telah menghasilkan puisi yang mempunyai unsur hubungan emosi-psikologi, antara karya dengan pengarang. Lihat bagaimana penyair menyatakan sikap dan emosinya dengan menulis, tidak ada cahaya di sini/ angin memalas/ jejari langit cengkeram ujung/ belati mimpi melata di cermin. Emosi-psikologi digabung dengan bagi memperlihatkan gerak selari antara dalaman dan luaran yang memperlihatkan ikatan sense, feeling dan tone.



aku tersesat di sini

belantara sepi

padang gersang jiwa

panggung resahresah

aku hilang

di tengah kemelut hari



ternyata danau senja

tak ada

maka hampa menangkap

mata

jantan kelelawar

enggan berkelana



Sajak bertolak dari gerak rasa kejujuran dan pasrah seseorang terhadap dirinya. Alamsyah merasakan bahasa beliau tersesat dalam belantara sepi di mana padang-padangnya gersang. Danau-danau hanya igauan yang akan lenyap dari tangkupan mata. Suatu yang bersifat marginal ( pinggiran ) yang tidak lekat pada sentuhan rasa.

Buku ini sangat sederhana penerbitannya dengan mendekati bentuk remaja. Bahasa yang digunakan dalam biodata pengenalan juga mengambil sisi santai justru ia sangat akrap dengan golongan remaja yang berjinak-jinak dengan sajak. Barangkali pemgampu membiarkan sahaja kesilapan-kesilapan kecil agar ia terpamer ke mata masyarakat sebagai pengadilan. Misalnya dalam puisi Cermin Senja karya Zuhriyah Alpiani. Fajar telah beralih senja. Fajar dan senja adalah satu jarak yang begitu jauh untuk dipersandingkan. Fajar adalah lambang waktu dini sebelum pagi dan senja adalah lambang selepas petang menjelang malam. Persandingan mereka ( fajar dan senja ) dengan meninggalkan tengah hari dan petang adalah kurang wajar. Namun, sebagai mata pengajaran dan pembelajaran, sengaja ia dilepaskan begitu agar masyarakat pembaca tahu di mana kelemahan dan kelebihan anak muda berjulung keris dalam bidang puisi ini bertatih.

Sebagai sebuah karya sastra, puisi tidak lepas dari menyampaikan amanat untuk masyarakatnya. Konsep sastra Eropa sebelum kurun ke 20, Dante, Chaucer, Cenventes, Shakespeare, Goethe, menulis untuk menyampaikan amanat agama dan nilai masyarakat, separuhnya dalam cara yang agak langsung, dan separuhnya tidak. Tetapi hari ini keadaan ini sekiranya berlaku akan mendapat cemoohan andai kata ada pengarang yang cuba mengajar pembacanya. Kata-kata kritikal seperti didactic dan phony sering dilontar kepada mereka.

Tetapi dalam dunia pembelajaran, rasanya ia belum sampai ke tahab itu. Saya melihat semua puisi-puisi pelajar ini hanya berada di permukaan saja. Mereka menyuarakan yang paling terapung di atas tanpa mendasari ke dalam-dalaman yang filosofis. Misalnya sajak Nopriyando Eko, Tanah Kenangan ini.



silsilah tanah ini bermula dari perang

yang menyisakan gundukan sejarah dan kehidupan

pada ujung siginjai terukir manis sebuah kekuatan

di lebur meliuk merungkai kenangan



tanah kenangan yang ditinggalkan

menghadiahkan hamparan hutan dan perbukitan

dipisahkan sebuah sungai naga dari selatan

tempat berenang anak kemanakan



Pada dua perenggan ini penulis hanya menggambarkan visual yang ada. Tidak kelihatan pun dalamannya yang mahu diloloskan secara folosofis. Memang tidak dinafikan bahawa usia juga mematangkan penyair. Dalam usia rata-rata 20-an, ia adalah usia Chairil Anwar menceburi dunia sastra pada tahun-tahun 30-an dulu. Selain usia kematangan, persekitaran juga memainkan peranan yang besar terhadap pertumbuhan pemikiran seseorang. Chairil di universitas alami sedangkan mereka ini di universaitas pravesi. Hasilnya sangat berlainan. Memang tidak bermaksud saya mengajari bagaimana puisi itu terhasil dengan segala susuk wujudnya. Ini telah dipelajari oleh pelajar-pelajar dalam mata kuliahnya. Namun memperkatakan hasil cipta, ini lebih membahagiakan. Coba perhatikan pantun lama ini.


Hari hujan puyuh mendengut

Mendengut mari sepanjang jalan

Air dalam kapal tak hanyut

Konon pula kemarau panjang



Masuk hutan dalam belukar

Hendak cari pucuk rotan

Sebab durian menjadi mangkar

Waktu luruh ditimpa kawan



Jikalau tuan pergi ke Jambi

Kemboja tumbuh di batu

Jikalau tuan kasihan kami

Ambillah mega buatkan baju



Apakah yang dapat kita cuplik dalam pantun di atas. Ya, sudah tentu makna dalamannya, bukan. Inilah yang mahu saya katakan dalam penulisan puisi. Puisi-puisi besar biasanya akan terkandung amanat di dalamnya. Bahasa atau permukaan puisi itu hanya visual untuk melontarkan kata. Lihat bagaimana Chairil menghasilkan puisinya.



Rumahku



Rumahku dari unggun-timbun sajak

Kaca jernih dari luar segala nampak



Kulari dari gedong lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalan



Kemah kudirikan ketika senjakala

Di pagi terbang entah ke mana



Rumahku dari unggun-timbun sajak

Di sini aku berbini dan beranak



Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

Jika menagih yang satu



Puisi seperti dalam seni yang lain bergerak dan hidup atas daya estatik. Pengalaman estatik adalah pengalaman yang bergerak secara bebas dan seboleh-bolehnya tidak mahu tunduk kepada aturan-aturan, hatta nilai dan akhlak ( Muhamad Qutb, 1983: 5 ) Jika melihat perkembangan seni sastra yang berorentasikan barat, seni puisi seakan bebas bergerak. Estatik iaitu ciri seni yang menampilkan ciri keindahan.



Dalam sajak Senja Kali Ini, ciptaan Putri Rahayu menyatakan sedemikian.



senja kali ini. aku di pinggir sungai. di sungai anak-

anak riang berenang. matahari bersinar dan begitu hangat.

langit kemerahan dan gumpalan awan membentuknya

berbeda-beda seperti ingin bermain denganku

aliran air begitu tenang. ingin kurangkai apa yang

kuinginkan

tapi. percuma saja. air tetap saja air. bukan buku yang

bisa menampung rangkaian kata. lalu bisa diabadikan

di pinggir sungai. dan senja kali ini. matahari

begitu menghangatkan tubuhku

kemudian tenggelam begitu saja



Secara introvet atau eksrovet seorang seniman yang menyuarakan perasaannya, sekaligus menyuarakan tentang persekitaran, masyarakat, alam dan pandangan-pandangan pribadinya tentang harapan, cita-cita dan tujuan zaman dan masyarakatnya. Sastrawan-sastrawan Eropa abad ke 18, Voltaire ( 1694-1778 ) dan Rousseau ( 1712-1778 ) menggunakan puisi sebagai pencerahan zaman feudal di Perancis. Di Amerika, Thomas Paine ( 1737-1809 ) melalui Common Sense, The Crisis, The Right of Man dan Age of Reason membangkitkan semangat rakyat terhadap penjajahan Inggeris. Rabindranath Tagore ( 1861-1941 ) melalui Gitanjali telah memperkenalkan filsafat masyarakat Asia khususnya India sebagai tenaga besar yang menjadi roh kebudayaan dan sosial kehidupan.



Saya kutip puisi Kertas Buram tulisan Ummi Kalsum ini.



kertas buram

kau dibuang disisihkan

tanpa belas kasihan

dan tak seorang pun

yang mau memilihmu



kertas buram

kau dilumuri bercak tinta

membuat kau penuh noda



kertas buram

kau seperti hama

yang merusak tanaman

para petani



Puisi yang sangat sederhana namun masih menarik untuk diperkatakan. Secara umumnya, dapat digolongkan dua cabang penyuaraan diri ( self-expression ) dalam sastra. Pada satu bagian pengarang menyelam ke dalam jiwanya sendiri ( introveted ) yang terdapat pada puisi-puisi larik, autobiografi atau puisi-puisi perkabungan ( elegy ) Satu bagian yang lain adalah penyair menggeledah dunia luar diri yang lebih subjektif. Dan pasti diingat, seorang pengarang bukan semata-mata mengarang sesuatu yang indah-indah, melainkan yang penting adalah isinya yang bakal dikongsi bermasa oleh pembacanya.



Elok juga kalau puisi-puisi matang disertakan di sini untuk melihat keindahannya. Sebagai contoh, lihat Lagu Gadis Itali ini.



kerling danau di pagi hari

loceng gereja bukit Itali

jika musimmu tiba nanti

jemputlah abang di teluk Napoli

kerling danau di pagi hari

loceng gereja bukit Itali

sedari abang lalu pergi

adik rindu setiap hari



kerling danau di pagi hari

loceng gereja bukit Itali

andai abang tak kembali

adik menunggu sampai mati



batu tandus di kebun anggur

pasir di bawah nyiur

abang lenyap hatiku hancur

mengejar bayang di salju gugur



Dan coba lihat sajak Kasih karya H. R. Bandaharo ini.



Dari ini aku genap 39 tahun

di depanku di atas meja sebuah vas

dengan aster merah dan putih

Ah, Chai, cintamu suci ini

beri rasa kaya padaku melebihi

Rockefeller atau siapa pun

Kau beri makna haru pada warna lama

dan bunga-bunga bisu ini bicara padaku

tentang kasih yang damai di dada



Puisi yang berskala universal, cakupan temanya lebih besar daripada puisi personal. Ini beda antara penyair senior dan penyair junior dalam pengungkapan puisinya. Puisi universal adalah generalisasi fikiran dan perasaan yang terang dalam bahasa yang tidak akan mati, dan ia menyentuh perasaan dan tepat mengenai hal-hal setiap orang ( Anis Sabirin, 1972: 16 ) Ia menyuarakan kembali segala emosi kemanusiaan namun paling tinggi nilainya menyuarakan kembali perasaan yang mengendap jauh di lubuk hati setiap manusia dalam bahasa yang indah dan berkesan.



Lihatlah bagaimana Jojor Helmita mengutarakan persoalan personalitinya.



Pelita Hatiku



Ibu kasihmu mengalir tulus padaku

kulihat dankurasakan begitu dalam

dekapanmu sungguh menyejukkan hatiku



Ibu maafkan segala kesalahanku

semua yang terbaik kanku berikan padamu

doamu mengiringi setiap langkah hidupku



Dalam Bintang Hatiku pula,



ayah pengorbananmu tulus padaku

susah payah terus berusaha demi aku anakmu

lelahmu meniti kehidupan yang panjang

semangatmu selalu utuh yang tak pernah hilang



Walaupun kedua puisi ini berlainan yaitu dua puisi yang beda, namun pengucapannya adalah sekata dan senada. Untuk tidak membazirkan waktu dan pembacaan pembaca, ia harus menjadi satu saja puisi. Akan menjadi klise sekiranya hal itu diulang-ulang dan terus dirakamkan zaman berzaman. Muhamad Haji Salleh dalam memperkatakan tentang klise menyatakan, walaupun pengukur kejayaan bahasa seseorang penyair ialah kemampuannya memilih dan menggunakan perkataan dengan sesuai dan tepat, tetapi masih terlalu ramai penyair mengulangi ungkapan-ungkapan lama, imej-imej biasa yang tidak dapat lagi menyumbangkan makna yang diinginkan. Kata-kata atau frasa-frasa begini sering disebut ' basi ' dalam dunia kritikan kita, atau ' klise ' dalam istilah baru ( 1984: 54 )

Sigmund Freud ( 1856-1939 ) menyatakan puisi umpama mimpi. Ia pendek, padat dan pekat. Tafsiran dari kata-kata Frued ini harus diselami dan bukan diambil secara eksrinsik ( luaran ) namun seharusnya puisi dipadat-padati dan bukan dipanjang-panjangi. Kerana sastra telah membagikan genre dengan puisi adalah kepadatan dan prosa adalah perincian ( detail ) Cerpen ( cerita pendek ) adalah perincian kepada puisi yang agak pendek dan novel pula perincian puisi yang panjang. Puisi seperti mimpi, menggunakan bahasa perlambangan atau bahasa kias. Jadi puisi adalah perlambangan-perlambangan yang harus dicari maknanya oleh pembaca. Memang dalam dunia puisi di Nusantara, puisi pendek lebih lekat diingatan pembacanya berbanding puisi panjang berbentuk balada. Puisi-puisi pendek Chairil Anwar terbukti mengangkat namanya sebagai penyair. Begitu juga puisi pendek Sapardi Joko Damono, Sitor Sitomurang, Amir Hamzah dan lain-lain. Puisi-puisi panjang kepunyaan Rendra, Linus G. Suryadi misalnya, sangat langka dan hanya didengari seketika saja. Di Malaysia juga, puisi-puisi Latiff Mohidin, Zurinah Hassan, Siti Zainon Ismail, A. Ghaffar Ibrahim, antaranya sangat relatif pendek dan digemari.

Bagi seorang pengamat atau kritikus, suara yang dilontar ke tengah audien adalah kata-kata yang penuh keberanian. Misal tulisan ini saya perturunkan, " pada pendapat saya bunyi sajak ini agak patah-patah, tidak licin dan tidak dimaksudkan supaya licin. Kesan patah-patah ini nampaknya datang dari penggunaan kata-kata yang keras konsonannya, baris-baris yang pendek dan pergerakan idea yang cepat. Tidak ada percantuman, antara isi dan irama di sini, manakala isinya agak lembut serta sedih, iramanya keras dan patah-patah. Kesannya ialah pertentangan antara isi dan suasana. Sajak ini tidak berjaya. " ( Muhammad Haji Salleh, 2005: 99 )

Dalam kata pendahuluannya, Dr. Sudaryono, Dosen Pengampu Matakuliah Penulisan Puisi telah menyatakan, dalam perspektif historis, Negeri Jambi berdiri di atas tanah terpilih. Ada semacam keyakinan bahwa di masa sepasang angsa putih itu bercengkarama, mengais tanah dan beristirahat. Yang demikian saya dapati banyak puisi mengenai latar Jambi ini dinukilkan oleh penyair. Antara yang dapat dikesan ialah Sungai Batanghari ( hal. 8 ) Angso Duo ( hal. 15 ) Simpang Rimbo, Alam Barajo ( hal. 17 ) Satu Sudut Tanah Pilih ( hal. 22 ) Payo Sigadong ( hal. 32 ) Senja di Betrix ( hal. 33 ) Kesetiaan Batanghari ( 34 ) Sketsa Batanghari ( hal. 39 ) Trotoar Tepi Batanghari ( hal. 40 ) Pasar Angso Duo ( hal. 44 ) Tanah Jambi ( hal. 47 dan 49 ) Angso Dua Bicara ( hal. 52 ) Jambi ( hal. 66 ) dan lain-lain.


Dan kembali menggunakan teori dan perkembangan sajak-sajak Chairil, teori ' genetic structuralisme ' yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann, yang selalunya bergerak dalam hubungan ' sociology of literature. ' Ia dapat menghubungkan fikiran pusat dalam satu-satu kelompok masyarakat dan kebudayaan. Sajak dengan sendirinya telah menjadi medium yang sangat berkuasa pada tempat-tempatnya.

Dapatlah saya tanggapi bahwa antologi puisi Kepak Angsa Putih, hasil kerja mahasiswa semester III, Matakuliah Menulis Puisi ini merupakan langkah awal bagi mahasiswa ini mendekati dunia sastra yang lebih besar dan mencabar. Mahasiswa telah ditunjuk konsep lokakarya dan unjuk kinerja yang menjadi acuan dalam proses penulisan puisi dan seharusnya ia menjadi bekal untuk mereka menjadi sastrawan pula. Bagi saya, Dr. Sudaryono sudah menunjukkan jalan benar karena beliau bukan sahaja seorang dosen yang mengajar puisi tetapi beliau sendiri larut dalam duinia puisi tersebut. Dan ini merupakan satu-satunya jalan bagi mereka yang ingin terus berjalan di jalan berliku dan berdebu bernama dunia puisi.

Daftar Pustaka

Kepak Angsa Putih ( Dr. Sudaryono, Pengantar ) Lembaga Swadaya Mandiri, Jambi, 2011
Modern Literary Theory - A Comprative Introduction, Ann Jefferson and David Robey, London, 1982
Pengalaman Puisi, Muhammad Haji Salleh, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur 2005
Asas Menganalisa Sastra, Mana Sikana, Penerbit Karyawan, Bangi, Selangor, 1988
Dilema Usaha Manusia Rasional, Sindhunata, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1993
Mengenal Puisi, Anis Sabirin, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1989
Penelitian Sastra Metodologi dan Penerapan Teori, S. Jaafar Husin ( ed ) Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kuala Lumpur, 1995
Puisi Melayu Moden, Drs. Umar Junus, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1976



*) Makalah yang dipersiapkan untuk kuliah umum bagi mahasiswa peserta penulisan kreaatif puisi di Universitas Jambi, Desember 2011.