Rabu, 29 Juni 2011

KESASTRAAN KALSEL SEBELUM, SEMASA, DAN SESUDAH TAHUN 70-AN

Oleh : Arsyad Indradi



Alhamdulillah aku masih menyimpan buku Data-Data Kesenian Daerah Kalsel yang berupa stensilan yang diterbitkan Depdikbud Kan.Wil Prov.Kalsel, Proyek Pusat Pengenbangan Kesenian Kalsel 1975/1976, karena pada tahun 90-an kantor ini terbakar, arsip Data Seni Budaya yang lainnya entahlah apakah dapat diselamatkan. Buku ini sangat penting untuk mengetahui perkembangan kesastraan Kalsel pada masa itu.

Tulisan ini khusus mengetengahkan data perkembangan kesastraan Kalsel merujuk pada buku Data-Data Kesenian Daerah Kalsel tersebut.

Perkembangan kesastraan Kalsel tentu saja tidak terlepas dari perkembangan kesastraan Indonesia, karena sastrawannya ikut memberikan andilnya bagi perkembangan kesastraan Indonesia. Ini tampak dalam periode - periode perkembangannya dari masing- masing periode tersebut. Periode – periode tersebut adalah :
1. Periode Sebelum Perang
2. Periode Pendudukan Jepang / Revolusi Fisik
3. Periode Tahun 50-an
4. Periode Tahun 60-an
5. Periode Tahun 70-an

1. Periode Sebelum Perang

Pada periode ini yang paling menonjol adalah Merayu Sukma ( nama aslinya : Muhammad Sulaiman ). Ada beberapa bukunya yaitu :
Putra Mahkota Yang Terbuang ( roman sejarah ), Yurni Yusri ( roman detektif ), Kunang-Kunang Kuning ( roman detektif ), Sinar Memecah Rahasia ( roman detektif ), Berlindung dibalik Tabir ( roman ), Jiwa yang Disiksa Dosa (roman), dan Jurang Meminta Korban ( roman ). Hampir semua bukunya diterbitkan di Medan. Sayangnya buku-bukunya ini tidak dicetak ulang sehingga sulit didapat. Masa produktifitasnya terhenti ditahun 50-an sampai akhir hayatnya.

Penulis lainnya adalah Arthum Artha karyanya berupa cerpen banyak dimuat di majalah Terang Bulan (Surabaya). Selain cerpen ia menulis roman antara lain : Gadis Zaman Kartini ( Gemilang,1949,Kandangan), Tahanan Yang Hilang ( Pustaka Dirgahayu,1950, Balikpapan), Kepada Kekasihku Rokhayanah ( Mayang Mekar,1951,Banjarmasin). Puisi-puisinya juga bertebaran di majalah Mimbar Indonesia, Siasat/Gelanggang, Indonesia, Pelopor, Mutiara, Zenith,Gajahmada dan lain-lain.

Pada periode ini muncul Maseri Matali (Kandangan) dan puncak karyanya menjelang akhir revolusi fisik sampai tahun 1952. Ia satu-satunya Penyair Kalsel yang disoroti kritikus HB Yassin. Puisi-puisinya umumnya dimuat di Mimbar Indonesia, Pancawarna, Waktu dan Bakhti. Ia dianggap penyair yang kuat pada zamannya. Ia tidak sempat menerbitkan semua karyanya dalam satu antologi. Tetapi setahun setelah ia wafat (1969), sebanyak 15 puisinya dibukukan oleh D.Zauhidhie dkk. dalam judul “ Nyala “ (stensilan).

Muncul di periode ini seperti, M.Yusuf Aziddin, Mugeni Jafri, Haspan Hadna. Karya-karya mereka hampir tak pernah dibaca oleh generasi berikutnya karena di samping tidak banyak juga tidak pernah dibukukan.

Selengkapnya klik http://penyairnusantara.blogspot.com atau http://penyair-kalsel.blogspot.com

Minggu, 26 Juni 2011

MENEBAR BENIH SASTRA DI BANUA MURAKATA

INI catatan ringan sebagai bahan untuk sebuah iven sastra "Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII di Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 16--19 September 2011. Catatan ringan ini sengaja dibuat selagi ada kesempatan, dan tentu saja perlu masukan dan saran dari pembaca budiman demi sesuatu yang lebih bermanfaat dan mendatangkan martabat bagi pergerakan sastra. Judul catatan ini, sepenuhnya menuruti tema yang diusung oleh panitia penyelenggara. Lantaran belum ada deskripsi lengkap mengenai maksud dan tujuan hajatan Aruh Sastra (setidaknya belum membaca TOR), saya masih meraba-raba apakah yang sebaiknya dikemukakan dalam iven tahunan yang mulai melegenda itu.

Agar pembaca memiliki gambaran betapa aktivitas sastra di Kalimantan Selatan selama ini, akan saya nukilkan historisitas jejak kesastrawanan Kalimantan Selatan, setelah itu barulah saya coba kemukakan kiat atau strategi "menebar benih sastra di Banua Murakata".


Pergerakan Sastrawan Kalsel


Sastra Indonesia di Kalimantan Selatan sesungguhnya sudah mulai dilakukan sebelum perang dunia kedua, di sekitar pertengahan atau akhir tahun 1930-an, atau hampir bersamaan dengan kurun waktu kegiatan penulisan yang dilakukan oleh para sastrawan Angkatan 1930-an (Angkatan Pujangga Baru). Meskipun pada kurun waktu awal penulisan para sastrawan Kalsel tidak setenar Angkatan Pujangga Baru, karena mereka umumnya menulis pada penerbitan (majalah dan koran) lokal, tidak sebagaimana sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang menciptakan karya-karyanya yang menjadi karya monumental karena menulis dalam majalah Pujangga Baru – satu-satunya penerbitan penting yang memuat karya sastra para sastrawan di zamannya. Para sastrawan Kalsel yang memulai kegiatan penulisan karya sastra ini antara lain Merayu Sukma, Anggraini Antemas (Yusni Antemas), M. Yusuf Aziddin, Artum Artha, Ramlan Marlim, Hadharyah M, Merah Danil Bangsawan, dan lain-lain. Mereka juga telah mempunyai sejumlah buku, baik yang diterbitkan Kalsel atau usaha sendiri, maupun di luar Kalsel.

Dapat dikemukakan bahwa setiap periodisasi sastra Indonesia, sastrawan Kalsel melibatkan diri. Pada kurun waktu 1942 s.d. awal 1950-an bermunculan pula karya para sastrawan Kalsel baik dari mereka yang menulis sebelum tahun 1940-an maupun mereka yang baru memublikasikan karyanya dalam peeiode ini, seperti Artum Artha yang produktif memublikasikan karya puisi, cerpen dan romannya di media massa berwibawa di Jakarta seperti majalah Mimbar Indonesia dan Siasat/Gelanggang. Sederet nama lain yang juga intensif menulis dan memublikasikan puisi-puisinya ke majalah Mimbar Indonesia, Waktu, Pantja Warna, dll. adalah Maseri Matali, Asyikin Noor Zuhri, Masrin Mastur, dll. Penyair Maseri Matali sendiri sempat disinggung oleh Paus Sastra H.B. Jassin dalam bukunya Tifa Penyair dan Daerahnya sebagai salah seorang penyair berbakat dari pedalaman Kalimantan yang bersahut-sahutan dengan generasi seangkatannya (Angkatan 45).

Setelah Angkatan 45, sastrawan Kalsel yang muncul dan mulai aktif menulis dalam berbagai genre penulisan; puisi cerpen, novel ialah Hijaz Yamani, Ramta Martha (Rahmat Marlim), Azn. Ariffin, Dachry Oskandar, D. Zauhidhie, Taufiqurrahman, Yustan Aziddin, Salim Fachry, Sholihin Hasan, Aliansyah Ludji, Rustam Effendi Karel, Korsen Salman, Imran Mansyur, Abdul Kadir Ahmad, Syamsul Suhud, Syamsul Bahriar AA, Syamsiar Seman, Goemberan Saleh, Sir Rosihan, dll. Karya para sastrawan ini dipublikasikan di berbagai majalah dan surat kabar terbitan lokal dan Jakarta, seperti Pahatan, Pusparagam, Bandarmasin, Minggu Pagi, Mimbar Indonesia, Kisah, Budaya Jaya, Zenith, Siasat, Gembira, Gajah Mada, Indonesia, Horison, Roman, Cerita, Konfrontasi, dan lain.lain.

Dekade 1960-an di tanah air diwarnai oleh munculnya dualisme angkatan, yakni Angkatan 63 atau Angkatan Manifes yang dicetuskan oleh Satyagraha Hoerip dan Angkatan 66 yang dideklarasikan oleh H.B. Jassin. Pada tahun 1963 telah terjadi apa yang disebut Manifes Kebudayaan yang banyak didukung oleh para sastrawan yang anti-komunis di tanah air. Di antara para pencetus dan penandatangan Manifes Kebudayaan ini di Jakarta adalah H.B. Jassin, Wiratmo Sukito, Goenawan Mohamad, dll. Sedangkan para manifestan di Kalimantan Selatan terdapat pula para sastrawan seperti Yustan Aziddin dan Rustam Effendi Karel. Sastrawan Kalsel lainnya yang di tahun 1960-an itu bermukim di Jawa Timur yaitu Hijaz Yamani dan Andi Amrullah juga mendukung dan ikut menandatangani Manifes Kebudayaan tersebut. Dan para sastrawan Kalsel yang produktif dan muncul dalam dekade 60-an ini antara lain M.H. Hadharyah Roch, A.S. Ibahy, Ardiansyah M, Murjani Bawi, Bachtar Suryani, Gusti Muhammad Farid, dan lain-lain. Pada 1963 untuk pertama kali terbit antologi puisi penyair se-Kalimantan Perkenalan di Dalam Sajak Penyair Kalimantan. Kemudian terbit pula beberapa antologi puisi perorangan dari penyair D. Zauhidhie (Imajinasi, 1960), Bachtar Suryani (Kalender, 1967), Syamsiar Seman (Bingkisan, 1968), dan Maseri Matali (Nyala, 1968).

Perkembangan sastra(wan) dekade 1970-an di Kalimantan Selatan terbilang sangat pesat dan menggembirakan, sebagaimana hingar-bingarnya percaturan sastra di tanah air. Terutama di Kalsel, kenyataan perkembangan yang menggembirakan ini dirayakan lagi dengan dibentuknya lembaga atau organisasi kesenian seperti Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kalimantan Selatan (kini menjadi Dewan Kesenian Kalimantan Selatan) yang digagas pada Musyawarah Seniman (Musen) pertama se-Kalimantan Selatan, 28 April s.d. 2 Mei 1971 di kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara. DKD Kalsel periode pertama ini diketuai oleh seniman dan politisi Anang Adenansi. Kemudian berturut-turut di berbagai kota dan kabupaten lainnya di Kalsel juga mendirikan dewan kesenian. Dan melalui program komite sastranya, DKD Kalsel menerbitkan majalah bulanan kebudayaan Bandarmasih, penerbitan rutin antologi puisi bersama maupun perorangan, antara lain Panorama, Bandarmasih, Jembatan, Jembatan II, Air Bah, 10 Penyair Hulu Sungai Utara, Banjarbaru Kotaku, Penjuru Angin, Riak-riak Barito, dll. Tahun 1978, Pustaka Jaya Jakarta menerbitkan antologi puisi Tanah Huma dari tiga penyair Kalsel, D. Zauhidhie, Yustan Aziddin, dan Hijaz Yamani. Demikian pun sayembara penulisan puisi dan even lomba deklamasi dan baca puisi secara rutin diselenggarakan dan diprakarsai DKD Kalsel. Dapat ditambahkan bahwa penyair Muda Kalsel (thn 70-an) yang paling menonjol adalah Arsyad Indradi-Ajamudin Tifani-Ibramsyah Barbary. Nama Iberamsyah Barbary tercantum dalam Data-data Kesenian Daerah Kalimantan Selatan,Depdikbud Kantor Wilayah Prov.Kalsel,Proyek Pusat Pengembangan Kesenian Kalsel 1975/1976.

Para sastrawan yang muncul pada dekade ini adalah Ajamuddin Tifani, Eza Thabry Husano, Arsyad Indradi, Hamami Adaby, M. Syarkawi Mar’ie, Yuniar M. Ary, A. Rasyidi Umar, Bakhtiar Sanderta, Sabrie Hermantedo, Andi Amrullah, Ibrahim Yati, Soufyan Surya, A. Mudjahidin S, Ulie S. Sebastian, Ibramsyah Amandit, Adjim Arijadi, Roeck Syamsuri Saberi, A. Dimyati Riesma, Rizhanuddin Rangga, Syarkian Noor Hadie, Johan Kalayan, Yan Pieter A.K. (Nayan van Houten), Dardy C. Hendrawan, Mas Husaini Maratus, Ahmad Fahrawi, Tarman Effendi Tarsyad, Burhanuddin Soebely, dan lain-lain. Oleh karena aktivitas bersastra di Kalsel kemunculannya lebih awal, maka penulisan sastra di daerah ini tumbuh dan berkembang lebih pesat dibandingkan provinsi lainnya di Kalimantan. Dan sebagai salah satu kantong kesusastraan di Indonesia, Kalimantan Selatan memiliki sastrawan-sastrawan yang kreatif dan eksis dengan karya-karya sastranya yang tidak kalah kualitasnya dengan karya para sastrawan luar Kalsel. Karya para sastrawan Kalsel baik secara kuantitas maupun kualitas tidak hanya hadir sebagai khasanah lokal (Kalsel), tetapi juga memberi kontribusi bagi masyarakat dan perkembangan sastra Indonesia modern. Bila ada anggapan bahwa Kalsel adalah gudang sastrawan, hal itu tak bisa dimungkiri dan stigma itu masih melekat hingga hari ini.

Dekade awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an – untuk sementara – diklaim sebagai ‘puncak’ pertumbuhan ataupun perkembangan sastra di Kalimantan Selatan. Namun di dua dekade ini karya sastra yang paling dominan hadir adalah genre puisi. Hal ini terbukti dari jumlah karya sastra (sajak) dan penyair Kalsel yang muncul ke permukaan. Menurut sastrawan dan kritikus sastra Korrie Layun Rampan, bukan hanya perkembangan kuantitas sastrawan dan karya sastra, tapi juga perkembangan kualitas sastra sangat pesat di Kalsel. Rubrik-rubrik sastra di media cetak lokal maupun nasional didominasi oleh puisi. Khususnya untuk publikasi karya puisi, cerpen, cerber, dan esai di media cetak lokal, para sastrawan Kalsel merasa terbantu dengan kehadiran rubrik sastra di harian Banjarmasin Post, Media Masyarakat, dan Dinamika Berita (sekarang Kalimantan Post). Lebih spektakuler lagi, harian Banjarmasin Post – koran tertua di Kalimantan yang kini merger dengan harian Kompas – merupakan satu-satunya penerbitan di dunia – berdasarkan klaim Ajip Rosidi – yang berani menyajikan rubrik puisi bernama Dahaga untuk sosialisasi karya para penyair. Sedemikian banyaknya penyair yang menulis untuk Dahaga, sehingga pada setiap hari pemunculannya rubrik ini dijejali oleh sajak dan sangat luar biasa dalam melahirkan penyair – tentu dengan klasifikasi; penyair yang sajaknya berkualitas dan tidak berkualitas. Secara representatif dapat digambarkan, bahwa sepanjang tahun 1981 saja tercatat sebanyak 251 orang penyair yang menulis untuk Dahaga dengan jumlah sajak tak kurang dari 2.336 buah (berdasarkan data penelitian pengamat sastra Kalsel, Tajuddin Noor ganie). Rubrik puisi Dahaga yang sempat bertahan sekitar 7 tahun (1978-1985) ini digawangi oleh tiga serangkai sastrawan, yaitu Yustan Aziddin (Wapemred. Banjarmasin Post), D. Zauhidhie, dan Hijaz Yamani (ketiganya kini sudah almarhum). Tumbuh suburnya perpuisian – hingga muncul anggapan Kalsel mengalami inflasi puisi dan kepenyairan – di Kalsel juga memacu antarpenyair untuk saling berkompetisi menerbitkan sajak-sajaknya, baik secara perseorangan maupun secara kolektif bersama penyair luar Kalsel yang diterbitkan Banjarmasin, Surabaya, Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Tasikmalaya, Padang, dan beberapa kota lainnya, hingga Brunei Darussalam dan Malaysia. Bahkan pada dekade 1980-an itu pula – berdasarkan hasil penelitian tak resmi penyair Jogja, Bambang Widiatmoko – Kalsel diklaim menduduki peringkat kedua dalam kategori populasi penyair terbanyak di Indonesia setelah Jogjakarta.

Even-even sastra seperti forum diskusi atau temu sastrawan juga marak diselenggarakan di berbagai kota dan kabupaten di wilayah Kalsel. Forum sastra paling monumental di era 1980-an adalah Fo-rum Penyair Muda 8 Kota se-Kalimantan Selatan 1982, yang digagas oleh komunitas penyair bernama Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB). Sastrawan/penyair yang menonjol dengan wawasan estetik puisi dan menemukan gaya pengucapan atau bahasanya sendiri serta beberapa di antaranya memiliki reputasi kepenyairan nasional pada dekade ini, antara lain Ajamuddin Tifani,Ahmad Fahrawi,Burhanuddin Soebely, Tarman Effendi Tarsyad (walaupun awal ke-munculan keempat sastrawan ini pada dekade 1970-an, tapi oleh Abdul Hadi WM di Forum Puisi Indonesia ’87 di TIM dikategorikan sebagai generasi penyair 80-an), Y.S. Agus Suseno, M.Rifani Djamhari, Noor Aini Cahya Khairani, Ali Syamsuddin Arsi, Ariffin Noor Hasby, Sandi Firly, Fahruraji Asmuni, Eddy Wahyuddin SP, Muhammad Radi, Zain Noktah, Kony Fahran (kini bermukim di Tenggarong, kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim), Jamal T. Suryanata, Eko Suryadi WS, Abdul Karim, Tajuddin Noor Ganie, Radius Ardanias, Maman. S. Tawie, Iwan Yusi, Micky Hidayat, Akhmad setia Budhi, Aria Patrajaya, Sri Supeni, Mas Alkalani Muchtar, dan lain-lain untuk menyebut hanya beberapa nama. Iklim bersastra yang terbilang kondusif dan bergairah pada dekade 80-an dan 90-an tersebut boleh dikata merupakan era kebangkitan sastra Kalsel dengan ledakan-ledakan kreativitas yang telah berimplikasi melahirkan sejumlah sastrawan dengan kapasitas intelektual dan kegigihan idealisme yang cukup penting diperhitungkan pada khasanah sastra Indonesia.

Pertengahan 1990-an hingga memasuki abad 21, yaitu awal 2000-an hingga 2008 ini, walaupun iklim bersastra di Kalsel tidak sesemarak dekade sebelumnya, namun denyut kehidupan dan kegairahan para sastrawan untuk berkarya masih tetap terasa dan tidak pernah mengalami stagnasi atau kemandekan. Para sastrawan terkini dari generasi 2000-an yang sedang berproses, kreatif serta produktif dan mulai bermunculan ikut menyumbangkan bentuk, warna dan pengucapan literer, dan mereka pun bersemangat merayakan kreativitas bersastra, bersaing bersama sastrawan generasi 1990-an serta disokong oleh sastrawan dari generasi 1980-an dan beberapa dari generasi 1970-an yang masih menunjukkan vitalitas berkarya. Sederet nama sastrawan baru generasi pertengahan 1990 hingga 2000-an ini antara lain: Sainul Hermawan, M. Hasbi Salim, Harie Insani Putra, Abdurrahman Al Hakim, Abdurrahman El Husaini, Isuur Loeweng, M. Nahdiansyah Abdi, Hajriansyah, Elang W. Kusuma, Aliman Syahrani, Shah Kalana Al-Haji, Hardiansyah Asmail, Andi Jamaluddin AR. AK., Fahmi Wahid, Fitriadi, M. Fitran Salam, Joni Wijaya, dll. Para sastrawan ini menulis dalam berbagai genre, seperti puisi, cerpen, esai, dan novel. Pada dekade ini bermunculan pula para penulis perempuan yang rata-rata masih berstatus mahasiswi dan aktivis seni di kampusnya, di antaranya: Nonon Jazouly, Dewi Alfianti, Hudan Nur, Nina Idhiana, Syafiqotul Machmudah, Rahmatiah, Ratih Ayuningrum, Nailiya Nikmah, Anna Fajarona, Endang Fitriani, Rismiyana, Annisa, dan Helwatin Najwa. Karya-karya berupa puisi, cerpen, dan esai sastra para perempuan muda yang pintar, cerdas dan memiliki potensi hebat ini semakin menunjukkan adanya upaya masing-masing mereka untuk mengeksplorasi sumber-sumber penciptaan yang beraneka-warna, dan menjelajahi berbagai kemungkinan bentuk maupun gaya pengucapan. Dan kehadiran maupun peran para sastrawan generasi baru ini setidaknya turut pula memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Kalsel. Tetapi, berkaca pada pengalaman, hanya sastrawan yang memang benar-benar mempunyai ketangguhan dan kesungguhan yang terus-menerus untuk menciptakan karya yang berkualitas secara estetik maupun tematik, gigih dan konsisten, memperlakukan kerja sastra yang identik dengan ‘kekerasan’, ‘kekejaman’, dan ‘berdarah-darah’ yang kemudian mampu mempertahankan eksistensi kesastrawanannya.

Sepanjang tahun 1980 hingga 1990-an, kesusastraan Indonesia mutakhir dilanda hiruk-pikuk dengan terjadinya ledakan-ledakan luar biasa dahsyatnya sehubungan dengan gerakan sastra secara kolektif yang memunculkan komunitas budaya atau komunitas sastra di berbagai wilayah di Indonesia. Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP), Komunitas Budaya Buruh Tangerang (BUBUTAN), Roda-Roda Budaya Tangerang, Komunitas Sastra Tegal, untuk menyebut hanya beberapa nama, merupakan gerakan sastra yang mencuat sebagai fenomena pertumbuhan sastra yang menarik. Bahkan di tahun 90-an keberadaan KSI dan RSP menjadi perbincangan dan diangkat sebagai polemik panjang di berbagai media massa nasional. Menjamurnya komunitas sastra yang diklaim sebagai lahirnya “pusat-pusat” pergerakan sastra baru ini berbarengan dengan ramainya polemik tentang “marjinalisasi” sastra Indonesia dan peran para sastrawan akibat sistem penunjang kreativitas yang sangat tidak memadai. Tumbuhnya komunitas-komunitas sastra ini tak dimungkiri menimbulkan pula konsekuensi interpretatif beragam baik positif maupun sinisme. Namun yang pasti, kehadiran komunitas-komunitas sastra alternatif ini di samping ingin memperbaiki berbagai ketimpangan yang ada dalam perangkat sistem sastra di Indonesia, tampaknya dimaksudkan juga sebagai upaya ‘perlawanan’ atau ‘pembangkangan’ para sastrawan yang merasa terpinggirkan terhadap pusat-pusat kekuasaan yang melakukan penetrasi terhadap dunia sastra, dalam konteks ini negara, media massa, sekaligus mendobrak arogansi sentralisme dan monopoli para sastrawan mapan yang bertahta di pusat kesenian seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)nya. Dalam pandangan kreatif, lahirnya komunitas sastra merupakan penentangan terhadap legitimasi dan kewibawaan pemegang otoritas sastra di pusat – yang sebelumnya dapat dianggap sebagai penghalang kreativitas.

Bagi sastrawan Kalimantan Selatan, menjamurnya komunitas sastra di berbagai wilayah tanah air sesungguhnya bukan sesuatu yang asing. Di awal 1980-an – selain komite sastra di Dewan Kesenian Kalsel, bidang seni sastra di Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Kalsel, dan Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalsel serta cabang-cabang HIMSI di berbagai kota dan kabupaten – khususnya Banjarmasin sebagai ibu kota provinsi, sudah memiliki komunitas sastrawan bernama Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB). Kehadiran HPMB yang didirikan pada tahun 1981 oleh para aktivis sastra – terutama para penyair muda kreatif, gigih, punya daya gerak dan cukup militan – ini merupakan fenomena tersendiri bagi perjalanan dan persentuhan proses kreatif kepenyairan Kalsel.

Salah satu forum sastra yang terbilang fenomenal pernah diselenggarakan komunitas ini adalah Forum Penyair Muda 8 Kota se-Kalimantan Selatan 1982 dan Forum Siklus 5 Penyair Banjarmasin di Banjarmasin. Kiprah komunitas ini sempat mengalami kevakuman selama beberapa tahun karena berbagai kesibukan para penggiatnya di luar komunitas. Akhirnya pada pertengahan tahun 1980-an, komunitas ini bubar dengan sendirinya.Walaupun komunitas penyair ini hanya tinggal nama, namun kiprah, andil ataupun sumbangsihnya dalam meramaikan dan merayakan rumah besar sastra di Kalsel bahkan turut pula mewarnai peta sastra tanah air patutlah untuk diapresiasi dan senantiasa dikenang.

Setelah komunitas penyair (HPMB), pada pertengahan tahun 1980-an dunia sastra Kalsel disemarakkan lagi dengan bertumbuhannya komunitas sastra di berbagai daerah kabupaten dan kota, baik yang terorganisir maupun organisasi informal. Namun atmosfer yang tercipta dari komunitas tersebut tentu berpengaruh positif bagi perkembangan dan pertumbuhan sastra di masing-masing wilayah komunitas itu berada. Di Banjarmasin berdiri Bengkel Sastra Banjarmasin, Sanggar Sastra Mandiri, Busur Sastra dan Teater Balambika (BSTB), Lingkaran Sastra Mozaika, Forum Diskusi Sastra Poetica (bermarkas di Taman Budaya Kalsel), Keluarga Penulis Banjarbaru, Dapur Seni Amandito (Kota Banjarbaru), Sanggar Marta Intan (Martapura, Kabupaten Banjar), Posko La Bastari (Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan), Sanggar Sastra Sukmaraga (Kabupaten Hulu Sungai Utara), Sanggar Sastra Mandastana, Sanggar Riak-riak Barito (Kabupaten Barito Kuala), Sanggar Anggrek Harivi (Kabupaten Tanah Laut), Pusat Olah Seni Sastra Kotabaru, Sanggar Bamega 88 (Kabupaten Kotabaru), dan Himpunan Penulis, Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N) Korwil Kalsel. Dari puluhan organisasi komunitas yang berbentuk formal maupun nonformal ini sebagian besar juga tinggal nama alias bubar tanpa alasan yang jelas.

Dekade 1990-an hingga 2000-an, bermunculan pula komunitas-komunitas sastra di berbagai kantong budaya yang pertumbuhan dan perkembangan sastranya cukup meriah. Seperti di kota Banjarbaru berdiri komunitas Kilang Sastra Batu Karaha, Forum Taman Hati, Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, Front Budaya Godong Kelor, Rumah Sastra Pelanduk, serta Sanggar Ar Rumi dan Sanggar Matahari, X-Pas Borneo (ketiganya di kota Martapura, kabupaten Banjar), dan beberapa komunitas sastra lainnya, baik yang berjalan sendiri maupun berkelompok. Sederet komunitas yang frekuensi kegiatan bersastranya cukup tinggi di beberapa kampus perguruan tinggi negeri maupun swasta dan bermunculannya Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) di beberapa sekolah menengah atas di Kalsel yang diprakarsai majalah sastra Horison, juga tak bisa diabaikan perannya. Namun dalam perjalanannya, di antara komunitas ini hanya beberapa yang mampu bertahan hidup hingga hari ini.


Pola Pergerakan Aruh Sastra


Menurut wawasan Ali Syamsudin Arsy (Salah seorang yang jadi motor penggerak Aruh Sastra di Barabai) tahap awal adalah pra-aruh; berpeluang untuk 'mempersiapkan segala sesuatu yang akan ditemui pada 'saat-aruh', 'mempersiapkan' ini bukan hanya panitianya, tetapi persiapan semua komponen-elemen masyarakatnya, yang berhubungan langsung dengan jenis-jenis karya sastra itu sendiri maupun yang hanya merupakan dampak dari terselenggaranya aruh itu sendiri, persiapan bukan hanya kasak-kusuk persoalan dana yang akan dihabiskan, ambil satu contoh kata 'pelayanan'; akankah terlayani segala-sesuatu yang diperlukan oleh para tamu nantinya, sigap, mandiri, tidak semua bertumpu pada sang ketua, pendelegasian tugas wewenang dengan memahami batas-batasnya masingmasing, satu contoh ini saja bukan hal yang mudah, padahal yang masuk dalam kategori 'mempersiapkan' wah seabrek-segunung-gunung (cara pikir manusia indonesia saat ini adalah dengan ucapan, "akh, gampang saja nanti, akh bisa aja dia nanti... dsb dsb," Padahal (?!!!), tidak semudah itu) Apalagi bila melibatkan yang memang orang-orang belum memahami konsep dunia-dalam sastra dan sastrawan (seniman), nah untuk ini saja bukan main kata mempersiapkan itu harus terancang, jadi di segi kepanitiaan sangat memerlukan yang dinamakan 'pasukan khusus' dan akan lebih baik dilakukan dalam waktu panjang, dalam berkali-kali simulasi, biasanya 'orang-orang teater' sangat serasi-sejalan dalam pemikiran ini. 'Mempersiapkan' masyarakat luas agar mau membuka mata terhadap pentingnya keberadaan sastra itu di tengah mereka, karena kelahiran atau keberadaan sastra sebenarnya berasal dari dalam masyarakat itu sendiri.

Tahap kedua adalah saat-aruh, (oke coba simak kembali poin-poin yang telah disusun oleh Yessika Susastra di atas) sebenarnya semua elemen di atas harus ikut terlibat dari awal sampai berakhirnya acara, satu contoh, pejabat yang akan dipercaya membuka atau memberikan kata sambutan, setelah habis kesempatan (mungkin hanya 20-30 menit bergabung, setelah itu langsung hilang dan tidak pernah lagi kembali) ini isyarat bahwa sebenarnya orang-orang tersebut tidak betah berada lama berbaur dan saling membuka persoalan apa yang harus disampaikan-diterimakan, inilah saat yang tepat berbaur tanpa pembatas, dibatasi oleh 'waktu'lah, oleh 'acara' di lain tempatlah, akh akh, datang dan meninggalkan luka menganga saja, sastra-sastrawan pada saat seperti ini juga memerlukan sikap apresiasi yang tinggi dari para panutan pejabatnya, para pemimpinnya, sastrawan sadar bahwa mereka tetap memiliki pemimpin, tetapi bukan untuk menjauh darinya, bukan hanya janji-janji dalam kata sambutannya tetapi kata 'mengapresiasi' itu terikat dalam sama merasakan, bila ada yang memang perlu dikoreksi maka koreksilah, itu sudah disiapkan wadahnya dalam bentuk Dialog atau Seminar atau apapun gaya dan tatacaranya, sastrawan yang datang bukan untuk hanya mendengarkan kata sambutan, tetapi 'penerimaan' dan 'melayani' itulah pada dasarnya, yang 'melayani' bukan pada 'panitia saja' tetapi seluruh elemen masyarakatnya termasuk tentu pimpinan tertingginya, siapkan waktu untuk agenda itu dari awal hingga berakhirnya, para sastrawan datang bukan hanya untuk berdialog dengan sesama sastrawan saja tetapi kepada masyarakat seluruhnya sebagai tuan rumah dengan cara integrasi karya dan karena sastra itu lahir dari dalam masyarakat itu sendiri maka fungsi-manfaat serta keberadaan sastra itu haruslah kembali kepada masyarakatnya semula, di sinilah diperlukan 'jembatan-penghubung' antara karya sastra dengan pembaca.

Tahap ketiga, adalah tahap paling penting, yaitu pasca-aruh, secara garis besarnya adalah aruh sastra (atau apapun sebutannya, temu, pertemuan, ajang dll dll) pada dasarnya 'mempersiapkan masyarakat'nya agar setelah usai agenda aruh itu gairah, aktifitas, bersastra menjadi bagian dari hidup dan kehidupannya; yang akan melandasi tatacara hidup dan kehidupan berbangsa bernegara; kita pasti cinta indonesia.

Idealnya, saat aruh sastra bermuara berbagai persoalan yang terkait dengan geliat sastra dan masalahnya.Berbagai pihak penggiat sastra ada baiknya menyumbulkan peta permasalahan di daerahnya masing-masing, sehingga suatu ketika, melalui Aruh Sastra, dapat disusun proyek besar peta masalah dan solusiny. Terkait dengan hal ini Ali Syamsudin Arsy berharap agar derah-daerah seperti di Barabai ada Fahmi yang sangat tahu persoalan di sana(akhir-akhir ini boleh jadi merangkap juga untuk wilayah Balangan), di Amuntai ada Fahruraji, Hasby Salim, dkk, di Pelaihari ada Jamal TS, di Marabahan ada Ibramsyah Amandit, Rock Syamsuri, Syarkian Noor Hadi, dkk, Tanjung ada Bacco, Lilies, (terakhir Setia Budhi di sana), di Tapin ada A.Kusairi, Bram dkk, di Kandangan ada Burhanuddin Soebly, Aliman, Iwan Yusi, dkk, di Tanah Bumbu ada Andi Jamaluddin Ar Ak, Karim, dkk, di Kotabaru ada Eko Suryadi, Gonzales, Najwa, dkk, di Banjarmasin ada Tarman, Tajuddin, Agus, Hajri, dkk. Nah berharap agar yang sudah aktif ini semakin meningkat karya-berkaryanya dan mampu menampilkan yang baru dengan segala kedinamisannya sendiri-sendiri, termasuk bermunculan penulis-penulis perempuan, (secara pribadi saya berkeinginan nama-nama penulis yang terpampang di rak-rak buku banyak perpustakaan kita adalah nama-nama dari dalam banua sendiri, silahkan teliti pada banyak perpustakaan kita nama-nama yang ada oh oh maafkan saja) ini persoalan yang harus diselesaikan oleh satu atau dua titik saja tetapi pula merupakan mata rantai yang akan melibatkan banyak pihak; penentu kebijakan maukah melahirkan payung hukum ke bawahnya agar antusias dan hasrat serta kegairahan itu menjadi perayaan besar-bersama-sama, adakah dimasukkan secara nyata dalam setiap anggaran belanja daerah tentang penyediaan buku-buku itu, adakah langkah nyata pembelian-pembelian buku-buku yang terencana dan berkesinambungan dari tahun ke tahun, terbaca dengan jelaskah itu, adakah bentuk-bentuk apresiasi nyata kepada penulis urang banua dan itu terbaca jelas dalam setiap program, pernahkah di dalam setiap pelaksanaan aruh sastra ada pembelian buku-buku oleh instansi pemerintah atau bermitra sebelum penerbitan buku-buku itu untuk mengisi rak-rak pustaka di kantor-kantor (sementara jawaban pastinya adalah = Belum pernah ) bahkan yang paling sering adalah adanya sikap "menagih, mana buku jatahku, gratis" akh, keterlaluan sekali kau bah !!! tapi sudahlah, semoga ini hanya sebagian pemikiran masa lalu saja, dan kini semoga ada yang melakukan terobosan positif, contohnya secara langsung saya alami di Banjarbaru pernah suatu malam saya ditanya,"Berapa Asa menjual buku Gumam itu?", kemudian saya jawab, "25 ribu Bang," sambil senyum dan berharap ada pembelian secara nyata,"Ini ada 250.000,-, tolong antarkan ke rumah," seraya menyerahkan uang itu secara tunai dan tidak banyak pikir, "Makasih Bang," balasku (sebenarnya saat itu saya terharu dan berdebar juga dada ini, begitu besar penghormatannya), sesampainya di rumah langsung dibungkus buku yang dipesan dan besok harinya saya antar ke rumah beliau, itu baru satu orang, lalu bagaimana dengan sikap pemerintah yang dalam hal ini dihuni oleh para pejabat dengan tingkat pemikiran yang luar biasa hebat (apalagi sudah banyak yang menyandang gelar s2, bahkan s3, bahkan rangkap sssssssssss, wah sangat sangat sangat luar biasa hebatnya), nah ini hanya satu contoh kecil saja dan maaf berkaitan persoalan pribadi saya, bagaimana dengan pribadi yang lain dalam konteks sastra-bersastra dan kesastraan yang lebih luas, boleh jadi sama tapi tak serupa atau bahkan sangat jauh berbeda


Menebar Benih Sastra, Meningkatkan Minat Berkarya Sastra


Upaya menebar benih sastra dan meningkatkan minat berkarya sastra sebenarnya telah banyak dilakukan oleh kawan-kawan di Kalsel, baik melalui dunia perbukuan, dunia blog, komunitas dan pergerakan individual sastrawan. Dunia perbukuan misalnya, dapat dicatat kegilaan Arsyad Indradi menerbitkan buku fenomenal bertajuk Antologi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru) dan puluhan buku lainnya. Selain itu, Hamamy Adaby menerbitkan buku puisi bahasa Banjar dan bahasa Idonesia, Ali Syamsuddin Arsy secara fenomenal menawarkan esstetika baru untuk urusan menulis puisi melalui buku-buku serial Gumam-nya yang juga fenomenal, Micky Hidayat dengan Meditasi Rindu-nya, Hamberan Syahbana dengan apresiasinya, dan tentu saja banyak buku beredar dari kalangan sastrawan Kalsel. Selain dunia buku, blog menjamur dan tumbuh berkembang di Kalsel. Blog ini tidak saja menjadi dokumen, melainkan juga telah mewarna dunia sastra dengan dinamikanya sendiri. Terakhir, hal yang turut menyangga dinamika sastra di kalsel adalah akivitas kelompok sastra yang mengusung aneka nama komunitas sastra.

Langkah strategis dalam upaya menebar benih sastra dan meningkatkan minat berkarya sastra perlu dilakukan secara bersama-sama oleh stakeholders, seperti dikemukakan dalam poin-poin berikut:


Stakeholders seni budaya (Gubernur, angota DPRD, instansi seni, dan seniman serta budayawan) perlu bersinergi menyatukan langkah dan persepsi untuk membina dan mengembangkan potensi seni sastra. Pembina seni sastra perlu menyusun program peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui berbagai kegiatan sarasehan, seminar, pelatihan, dan bimbingan teknis. Dalam upaya pembinaan seni sastra ini kiranya perlu dimksimalkan peran lembaga atau organisasi sastra yang dapat mewadahi kiprah sastrawan dan masyarakat dalam berkarya. Masuk dalam pembinaan ini perlu didirikan sekolah seni, baik tingkat sekolah menengah maupun sekolah tinggi.
Materi pembinaan meliputi sastra yang berakar pada budaya daerah dan berssinergi dengan seni arsitektur, seni batik, seni tari, seni musik, seni teater, seni kerajinan, seni desain grafis, seni film, seni rupa, dan seni budaya tradisi di setiap daerah di kabupaten di Kalimantan Selatan.
Pembina seni sastra seyogianya dapat memainkan peranannya masing-masing dan secara bersama-sama memajukan seni sastra ke kancah yang lebih luas (regional, nasional, internasional) dengan prinsip think globaly, act localy (berwawasan global, bertindak lokal) seperti falsafah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Pelaku seni sastra terus berkarya. Aktivitas pelaku seni sastra ini perlu difasilitasi sepantasnya. Pelaku seni sastra ini meliputi organisasi seperti sanggar seni dan aktivitas individual sastrawan. Pelaku ini dalam melaksanakan aktivitasnya perlu dukungan perhatian dan financial yang memadai dan pemberian penghargaan khusus bagi pelaku seni dan budaya oleh pemerintah adalah merupakan hal yang sepantasnya.
Jalur pendidikan formal dan nonformal, termasuk pelatihan dan sanggar kerja yang terjdwal penting pula dijadikan tumpuan dalam menebar benih dan ,inat berkarya sastra.
Aruh Sastra, sebagai iven yang telah mentradisi dan merupakan bertemunya stakeholders yang terkait dengan minat berkarya sastra kiranya mampu memainkan peranannya secara lebih efektif dn signifikan.
Dunia sastra kini, sejalan dengan paradigma yang telah mengglobal, yakni fenomena dunia maya seperti banyaknya blogger, facebokers, twitter, dan grup-grup penulisan kreatif, maka upaya menebar benih sastra dan meningkatkan minat berkarya sastra dapat dilakukan di situs jejaring sosial, apalagi banyak tokoh sastrawan yang memanfaatkan akun ini untuk melakukan "pembinaan" dan apresiasi bagi para pendatang baru di dunia penulisan kreatif.
Tujuan akhir paradigma sastra adalah perilaku. Pendidikan sangat sentral untuk membentuk paradigma ini sejak dini, untuk mengarah pada pemahaman dan menumbuhkan daya cipta, mendukung penciptaan insan yang cerdas ESQnya, untuk menghadapi dan bersesuaian dengan lingkungan dari waktu ke waktu, maka peran pendidikan formal dan nonformal tidak dapat diabaikan. Siswa dan mahasiswa adalah ujung tombak dalam pembinaan minat berkarya sastra.

Kamis, 23 Juni 2011

HARUSKAH MENULIS HAIKU SESUAI DENGAN ASLINYA?

Catatan Heru Emka

“ Kenapa haiku yang ditulis mas Heru tidak seperti aslinya ? Bukankah haiku Jepang terdiri ndari tiga baris, dengan jumlah suku kata 5, 7, 5 ? Kenapa haiku mas Heru ada yang 4 baris,dan jumlah suku katanya juga tak sama ?,” tanya Nila via inbox di FB-ku.


Kenapa kita tak perlu menulis haiku pedrsis secara aslinya ? Jawabnya bukan saja (kita yang berbahasa Indonesia ) tak mungkin menulis haiku seperti aslinya ( karena struktur dan gramatika bahasa yang kita gunakan tidak sama ) namun juga kenapa kita harus mengikatkan diri, bila situasi dan kondisi ( saat kita menulis haiku ) amat berbeda dengan era dan tradisi penulisan haiku tradisional di Jepang sana.

Haiku, yang dalam bahasa Jepangnya berarti ‘ syair ringan’ ini secara luas memang dipahami sebagai sajak pendek yang terdiri dari tiga baris, dengan isian yang setiap barisnya terdiri dari 5, 7, 5 suku kata. Namun definisi seperti ini tergolong definisi haiku yang paling populer, yakni setelah berkembang dengan bentuk haiku berbahasa Inggris di AS misalnya. Haiku tradisional di Jepang sendiri diitulis dalam huruf Kanji, dalam satu baris tegak lurus memanjang. Dalam hitungan 17 mora ( semacam suku kata dalam bahasa Jepang ). Walau begitu apa yang disebut sebagai mora ini tak mutlak sama dengan suku kata dalam bahasa Inggris atau suku kata dalam bahasa Indonesia, karena struktur gramatika asa yang berbeda.

Penjelasan lainnya bisa begini. Jumlah baris dan jumlah suku kata yang terdapat pada haiku Jepang adalah persoalan bentuk. Sedangkan kata-kata kalimat di dalamnya adalah persoalan isi. Tradisi penulisan haiku di kalangan para pendeta Zen di Jepang berkaitan erat dengan musim sebagai referensi, karena itu sebagian besar haiku yang mereka tulis pun bertemakan alam, seperti haiku Basho ini :



tako tsubo ya
hakanaki yume wo
natsu no tsuki

Diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi :

The octopus' fleeting dream
in the trap
the summer moon

Saya alihkan ke bahasa Indonesia-kan menjadi :

( gurita melintas mimpi
dalam perangkap
bulan musim semi )

atau haiku yang ditulis oleh Kobayashi Issa yang seperti ini :

katatsumuri
soro soro nobore
fuji no yama

Diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi :

O snail,
Climb Mt. Fuji,
But slowly, slowly!

Saya terjemahkan ke bahasa Indonesia-kan menjadi :

( wahai siput
yang mendaki Gunung Fuji,
setapak demi setapak )

Juga haiku yang ditulis oleh penyair haiku klasik lainnya, Saigyo, yang sepert ini :

qtsuki no yuku
yama ni kokoro wo
wokuri irete
yami naru …

Diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi :

My mind I send
with the moon
that goes beyond the mountain…

Saya aliihkan ke dalam bahasa Indonesia-kan menjadi :

kukirimkan anganku
bersama sang bulan
/ melintas seberang gunung…


Penulis haiku yang pendeta Zen ini, sesuai kebiasaan tradisi penulisan mereka, menggunakan apa yang disebut sebagai “ saijiki” istilah yang mengacu pada wacana penanggalan musim, itulah sebabnya haiku juga disebut sebagai ‘syair musim’, di mana setiap kalimat mencerminkan alam di musim tertentu. Kalimat pendek seperti ‘daun gugur’ dengan jelas berkaitan dengan musim gugur. Dan di dalam tradisi penulisan haiku, kata “ kigo “ atau musim, juga mencerminkan karakter tertentu, misalnya ‘ angina dingin musim gugur’, jelas melambangkan ‘kesepian’, atau awal datannya musim dingin yang membekukan, pertanda keprihatinan, dan sebagainya…


Beda Bahasa, Bergeser Maknanya

Bila secara sederhana kita hitung suku katanya saja, kata ‘sayonara’ jelas tak sama dengan ‘selamat tinggal’, maka tak mungkin kita menulis haiku persis dengan pola bahasa Jepang. Yang orang Jepang sendiri punya gambaran yang berbeda ketika mengalih bahasakan Haiku Katak-nya Basho ke dalam bahasa Inggris. Ini contohnya : Haiku Katak Basho, aslinya begini :


Furu ike ya
kawazu tobikomu
mizu no oto


Nobuyuki Yuasa menterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi :


Breaking the silence
Of an ancient pond,
A frog jumped into water —
A deep resonance.


Sedangkan Hiroko Odagiri menterjemahkan haiku yang sama, berubah menjadi :

The old pond is still
a frog leaps right into it
splashing the water

Karena itulah saya melihat mereka yang belajar menulis haiku, dan terpaku pada aturan kaku gramatika haiku Jepang, hanya menghasilkan baris kalimat baku yang kaku , dan kehilangan momen puitik yang justru harus ditangkap dan diekspresikan secara minimalis dalam kalimat singkat, pada dan memikat. Inilah intinya : momen puitik yangv harus diungkapkan….bukan aturan kaku tentang jumlah baris, hitungan suku kata, dan sebagainya,…Tradisi penulisan pendeta Zen juga terbentuk wacana alam lingkungannya, di biara Budha di pedesaan, pegunungan dan sebagainya. Sedang kita ada di jaman modern, di tengah perkotaan, di mana masalah menangkap ‘keheningan’ menjadi persoalan yang lebih menantang. Situasinya amat berbeda, dan hasilnya pun tak mungkin sama.

Bagaimana pendapat anda ?

-Heru Emka, penyair dan peminat kajian budaya. Editor antologi haiku Danau Angsa -