Jumat, 22 April 2011

ENAM CARA MEMBENAMKAN DIRI DI KONDE PENYAIR HAN

Oleh Syaiful Alim


Data Objek Telaah:
Judul : Konde Penyair Han
Penulis : Hanna Fransisca
Penerbit : KataKita, Depok
Cetakan : 1, April 2010
Tebal : 141 halaman



Prolog

Jujur, sebenarnya saya gentar menulis hasil pembacaan saya terhadap buku puisi Konde Penyair Han (KPH) karya Hanna Fransisca ini. Kenapa? Pertama, KPH diberi epilog oleh penyair besar Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Kedua, KPH masuk dalam 5 Besar Khatulistiwa Literary Award 2010. Ketiga, KPH meraih penghargaan Buku Sastra Terbaik Pilihan TEMPO 2010.

Selain ketiga faktor di atas, kegentaran saya juga dipengaruhi oleh siapa saya sesungguhnya. Saya bukan sarjana sastra, bukan esais sastra, dan bukan penyair. Secara akademik, saya sarjana syariah yang jauh dari pembahasan sastra dan hal ikhwal yang berkaitan dengannnya. Nah, tetapi kenapa saya berani menuliskan ini?

"Saya punya rencana akan menelaah buku puisi Mbak"

Kalimat yang terucap itulah yang menggedor-gedor jantung saya untuk mencari dan mencuri waktu menulis hasil pembacaan KPH dengan segala kekurangan dan ketaksempurnaan. Saya haturkan mohon maaf kepada penyair Hanna Fransisca dan para pembaca.


Cara Kesatu: Ilalang dan Luka Pengarang

Saya katakan, 67 sajak KPH adalah penjabaran dari ungkapan sejarah hidup penyair yang menghabiskan 9 lembar (hal. 11-19) yang berjudul 'Konde dan Rambut Saya yang Jelita'. Dari situ, kita memperoleh biografi diri penyair, proses kreatif, dan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang berjasa dalam penerbitan buku puisinya.

Saya yakin bahwa yang ditulis penyair pada halaman-halaman awal buku puisi ini adalah semacam pintu atau bahkan keutuhan 'rumah' sajak-sajak dalam KPH ini. Untuk itu, saya akan menyingkap sajak-sajak melalui lorong yang ditunjukkan oleh penyairnya sendiri.

Menurut Aminuddin (2010), bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara kehidupan seorang penyair dengan gagasan yang dituangkan dalam puisi yang diciptakannya. Dia melanjutkan, dengan demikian, dapat juga disimpulkan bahwa manfaat mempelajari biografi pengarang adalah untuk mengembangkan kemampuan apresiasi, dan bukan untuk menghafalkan angka dan tahun.

Sebelum dilakukan telaah bagaimana hubungan antara kepribadian dan karya sastra, terdapat beberapa unsur yang perlu diketahui. Pertama, kita perlu mengamati si pengarang untuk menjelaskan karyanya. Telaah dilakukan terhadap eksponen yang memisahkan dan menjelaskan kualitas khusus suatu karya sastra melalui referensi kualitas latar, kehidupan, dan lingkungan pengarang. Kedua, kita perlu memahami si pengarang terlepas dari karyanya; caranya, kita amati biografi pengarang untuk merekonstruksi si pengarang dari sisi kehidupannya dang menggunakan karyanya sebagai rekaman kehidupan dan perwatakan. Ketiga, kita perlu membaca suatu karya sastra untuk menemukan cerminan kepribadian si pengarang dalam karya tersebut (Abrams, 1997).

Berpijak dari dua pandapat ilmuwan sastra di atas, saya mendapati dua kata kunci untuk menguak sosok penyair dan karyanya, yaitu ilalang dan luka (pengarang). Sebelum diteruskan, ada pertanyaan yang urgen: kenapa Hanna Fransisca memilih 'sajak/puisi' sebagai media ungkap kehidupan pribadinya yang sangat personal? Kenapa bukan prosa seperti Anne Frank yang menuangkan kegetiran hidup pada masa rezim Hitler dalam The Diary of Young Girl? Kita tahu, selain itu adalah pilihan Hanna Fransisca, bahwa sajak atau puisi dibentuk oleh beberapa unsur, misalnya unsur diksi, citraan, kiasan, simbol, dan metafora. Nah, unsur-unsur yang saya sebutkan itulah yang menyembunyikan makna atau hakikat yang lain dari sajak. Di satu sisi, penyair Hanna Fransisca ingin berbagi kisah hidup, tetapi di sisi lain, sang penyair mencoba 'menutupi' rahasia atau misteri dengan memanfaatkan unsur-unsur puisi yang telah saya sebutkan. Apa yang terjadi? 'Yang personal' masih berstatus 'Yang Sakral'. Mari, kita telusur.

"Sejak kecil saya menyukai kesendirian: memandang rumputan, memperhatikan capung meluruskan sayap seperti pesawat kecil yang meluncur ke angkasa, juga belalang-belalang yang memiliki kaki panjang untuk melompat. Saya juga menyukai warna kupu-kupu, dan sering kali membayangkan bisa terbang dengan sayap warna-warni.

Di belakang rumah saya ada hamparan semak, di depan rumah tak ada bunga-bunga yang bisa ditanam (halaman rumah yang bisa ditanami adalah kemewahan yang tak dimiliki keluarga kami), maka puluhan bunga-bunga liar, serta warna-warna ilalang (yang sering kali berubah setiap musim berganti), menjadi surga bagi kesendirian. Saya sering kali terpesona dengan kerisik angin yang memompa ratusan ilalang, bunyi unggas milik tetangga, burung-burung kecil yang liar, serta binatang-binatang halus yang senantiasa beterbangan ketika malam tiba. Saya selalu membayangkan mereka cukup berbahagia."
(Konde dan Rambut Saya yang Jelita, hal. 11-12 garis miring dari saya)


Sungguh pengantar yang menggetarkan! Bayangkan, penyair Hanna Fransisca langsung menumbuk jantung pembacanya dengan memaparkan kesendirian masa kecil dan menyebut ilalang sebagai surga bagi kesendiriannya. Bagi saya, inilah awal luka pengarang dan ilalang hanyalah sebagai teknik pengalihan lukanya itu. Ilalang di sini bisa menjadi 'metafora' dan bisa berdiri sendiri yang merupa dunia tumbuhan. Mungkin sang penyair ingin mengatakan bahwa hidup adalah setajam ilalang, tetapi memendam pesona.

Pada pengakuan berikutnya, sang penyair makin jatuh cinta pada 'ilalang' dan sebenarnya apa yang dimaksud 'luka' itu:

"Setiap pagi saya berangkat ke sekolah dengan sepasang sepatu paling buruk. Sungai dan gemericik air yang selalu saya lewati ketika pergi dan pulang adalah keajaiban lain yang tertinggal menjadi ingatan. Gema para perempuan yang mencuci pakaian, suara kain basah yang dibanting di atas papan, serta mulut anak-anak yang berteriak memanggil ibunya. Saya melihat para perempuan, anak-anak, dan sungai jernih yang mengalirkan kehidupan panjang sebagai sesuatu yang mengandung bahagia.


Ketika di rumah, saya selalu dihadapkan terlibat memikirkan persoalan hidup sehari-hari—yang semestinya adalah bagian dari persoalan orang-orang dewasa. Sering kali ketika menghadapi ancaman tidak bisa mengikuti ujian, dan mendengar bagaimana Ibu mengatakan, “Tidak ada perlunya membayar uang sekolah, uang sedikit lebih baik digunakan untuk membeli beras!”, maka saya berdiri sejenak di belakang rumah melihat bagaimana angin begitu kerasnya menghempaskan batang-batang ilalang. Ilalang-ilalang yang kuat, ilalang-ilalang yang selalu kembali tegak berdiri setelah dihempas ke kanan dan ke kiri. Saya akhirnya jatuh cinta pada ilalang. Hingga larut malam saya membantu Ibu mencuci pakaian-pakaian para langganan (Ibu adalah pahlawan sebenarnya, yang mencari pekerjaan tambahan dari upah buruh mencuci), saya selalu tetap kuat berdiri. Saya harus tetap kuat, meskipun saya selalu ingin menangis ketika mendengar derit pintu, dan Ayah pulang pada puncak malam yang lelah dengan suara batuknya yang bergema panjang hingga pagi hari. Saya selalu bermimpi menjadi ilalang."

(Konde dan Rambut Saya yang Jelita, hal. 12-13 garis miring dari saya)


Ternyata luka itu bermula dari getir takdir atau nasib yang salib. Dan yang mengejutkan adalah ilalang kini seolah hidup; ilalang telah jadi pembasuh luka pengarang. Inilah keistimewaan sajak-sajak Hanna Fransisca dalam KPH ini selain ia pandai memanfaatkan dunia kuliner untuk menghidangkan 'bebek peking' kalau meminjam bahasa Sapardi Djoko Damono. Benda-benda mati atau hidup diusung ke dalam sajak-sajaknya tanpa tergelincir pada kerumitan berbahasa. Coba kita tengok bait-bait sajak yang diniatkan sebagai ode kepada sang Ibu Chang Po Cin dan sang Ayah Cu Kim Chan.


Adik, sebutir nasi
yang menyelinap di lambungmu,
adalah bulir-bulir lepuh tangan ibu.

(sebait sajak 'Layang-layang' hal. 38)



Ini kacang hijau
atau hatimukah,
yang kami makan hari ini,
bersama Tuhan yang selalu
kuajak
bicara.

(sebait sajak 'Puisi Kacang Hijau' hal. 90)


Ayah yang lelah, membisikkan kata sayang begitu pasrah,
lalu menggiringnya pergi
menjadi tiada.

(bait terakhir sajak 'Kepada Kerbau' hal. 60)

Sengaja bait-bait di atas saya biarkan begitu saja, saya telaah di waktu dan tempat pembahasan yang tepat. Nah, untuk mengakhiri tulisan bagian pertama ini, sila dinikmati kelanjutan pengantar buku puisi KPH.

"Saya kira pada waktu-waktu yang paling buruk itulah saya menulis puisi. Saya kira bukan puisi, tapi hanya semacam puisi. Saya menulis catatan keluh-kesah dengan diam-diam, menyembunyikannya dengan diam-diam dalam buku tulis, dan tak seorangpun boleh tahu. Saya adalah anak perempuan pemalu yang tak pernah memiliki keberanian untuk berbicara, tak pernah memiliki keberanian untuk memulai berteman, atau untuk bertanya soal apa saja kepada siapa saja. Maka saat menulis saya memiliki tempat paling nyaman untuk berbicara. Pada zaman buruk itu pula, saya kira, awal perkenalan saya dengan membaca. Saya menyukai buku cerita yang awalnya diperkenalkan ibu guru di perpustakaan sekolah. Saya suka membaca cerita, karena di dalamnya saya bisa mendengar sekaligus berbicara. Saya menyukai cerita, karena di sanalah saya bisa mengunjungi tempat-tempat bahagia. Saya bisa berteman dengan tokoh-tokoh di dalamnya, mengajak mereka berbuat apa saja di luar buku—di dalam imajinasi saya. Itulah saat-saat paling indah, di samping keindahan berteman dengan ilalang dan bunga-bunga liar, sungai dan burung-burung, juga kupu-kupu dan ratusan serangga yang senantiasa berlesatan memburu cahaya di malam hari.

Lalu datanglah saat paling memalukan dalam hidup saya, yakni ketika ibu guru yang mengetahui saya menyukai buku cerita. Beliau menyuruh saya membaca puisi di depan kelas. Demi Tuhan saya membenci hari itu. Seumur hidup saya tak pernah membayangkan harus berdiri di depan kelas dan berbicara. Saya lalu berdiri di depan kelas dengan gagap dan nyaris pingsan (disoraki teman-teman). Saya berdiri terpaku, gemetar, tak bisa berkata apa pun, dan kemudian menangis.

Saya terus menulis yang bukan puisi, di dalam buku yang selalu diam tapi sesungguhnya mengajak saya bicara. Saya selalu katakan bukan puisi, karena sejak hari memalukan itu, saya membenci puisi. Tentu saya tetap suka membaca cerita, karena buku-buku cerita sudah jelas bukan puisi. Hingga kemudian saya berhenti sekolah (saya hanya lulus sekolah formal setingkat SMP), dan kemudian menjadi pelayan toko.

Demikianlah hidup semakin rumit, karena saya sadar bahwa perjuangan hidup ternyata bukan cerita. Dengan melewati sejarah kejam bertubi-tubi, memintas usia remaja di lorong-lorong ruko, saya jadikan seluruh umur dan keremajaan saya adalah kerja. Barangkali karena takdir saya sebagai perempuan pemalu yang tak pernah jatuh cinta pada usia remaja (yang selalu berbicara pada saat-saat sendiri), maka di sela-sela tumpahan waktu untuk kerja, saya selalu membutuhkan buku-buku. Buku-buku itulah, yang kelak secara ajaib telah membuka kotak pandora tentang “kesadaran minoritas” dan rasa “ketidakberdayaan pada nasib”, yang membuat saya semakin serius dalam mempelajari hal-hal baru. Menjelang dewasa adalah usia yang belum cukup matang untuk pergi merantau ke Jakarta.Tapi saya memutuskan pergi ke Jakarta.

Maka sejarah kembali berulang dengan kegetiran yang berbeda. Dalam peradaban yang sama sekali berbeda, aroma kota yang kejam, persaingan yang memerlukan kecerdasan; daya tahan dan kekuatan diri diuji sehabis-habisnya. Sering kali malam-malam saat hening saya memandang langit di kejauhan: membayangkan kampung kelahiran yang bernama Singkawang. Pada zaman ketika nasib mulai membaik di tempat saya memandang kali ini, saya menitikkan air mata. Saya teringat ilalang-ilalang yang menyemak di belakang rumah, burung-burung liar, sungai-sungai yang mengalir, bukit-bukit, hamparan kuil-kuil dan aroma gaharu. Semua tempat, semua tokoh, dan seluruh peristiwa yang berjasa membuat saya kini dapat berdiri dengan tegar, tiba-tiba menjelma menjadi cerita yang penuh cinta. Hingga peristiwa Mei 1998 membakar Jakarta, meluluhlantakkan seluruh harapan, dan membalik sejarah kembali pada titik nol.

Kecemasan, perburuan, pembakaran, pemerkosaan. Saya melihat gelombang ribuan orang memadati bandara untuk menyelamatkan diri: menuju negeri-negeri yang jauh. Saya menjerit lantaran kecintaan pada negeri telah mulai tumbuh semenjak menyadari bahwa saya berbeda. Politik yang membuat saya berbeda, tapi bukankah politik bisa berubah? Buku-buku, sekali lagi telah membuka kotak pandora tentang pemahaman saya terhadap negara, terhadap tanah air, terhadap Singkawang, dan ibu kota tanah air saya, Jakarta. Maka keberanian untuk mati di tempat saya membangun takdir, sepenuh-penuhnya saya sadari. Saya memutuskan untuk tidak pergi mengungsi ke negeri-negeri yang jauh—negeri yang bukan tanah air saya.

Setelah badai politik mereda, saya semakin mencintai puisi. Entah kenapa rasa malu pada ibu guru yang telah membuat saya membenci puisi di bangku SMP, telah membalik kesadaran saya di kemudian hari untuk mencintai puisi. Secara pelan tapi pasti, catatan-catatan kecil saya yang merupakan catatan harian tempat saya menemukan teman bicara, telah berubah menjadi baris-baris puisi."



Cara Kedua: Kredo Konde


Pada tahun 1970-an, dunia persajakan Indonesia digemparkan oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri yang memproklamirkan 'kredo puisi'. Kredo tersebut bisa dilacak di buku sajak O Amuk Kapak dan buku esai Isyarat.

Kredo, menurut saya, semacam kitab suci penyair. Layaknya sebuah kitab suci, kredo dijadikan anutan, acuan, pedoman, atau tuntunan dalam gerak mencipta sajak. Sajak-sajak yang hendak dilahirkan harus sesuai dengan kredo yang telah diprokamirkan. Kredo inilah yang menimbulkan kontrovesi dari khalayak sastra Indonesia. Sutardji banyak melanggar kode etik bersajak atau bisa dikatakan telah melakukan banyak penyimpangan dalam sajak-sajaknya; penghapusan tanda baca, pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan dua kata atau lebih, penghilangan imbuhan, dan bahkan menabrak rambu-rambu sintaksis dan semantik.

Saya tidak menyebut Sutardji berlindung di bawah naungan 'licentia poetica'. Tapi Beliau sungguh telah istiqomah dengan jalan yang dipilihnya. Nah, yang perlu disayangkan adalah generasi penyair masa kini; cuma mengekor Sutardji tanpa punya pijakan sendiri yang kukuh dan sekadar menulis sajak yang aneh atau berakrobat kata.

Jika kita cermati sajak-sajak Sutardji, memang Beliau patuh benar dengan kredonya, tapi saya mencium aroma pengkhianatan pada sajak dengan titi mangsa tahun 90-an. Apakah Sutarji sudah tidak percaya dengan kredo kepenyairannya? Apakah Sutardji sudah punya kredo baru yang justru mementahkan sajak-sajak awalnya?

Saya belum mendapatkan jawaban dari dua pertanyaan yang saya ajukan, namun menurut saya, penyair boleh saja mengkhianati kredo yang sudah dilahirkannya selama sang penyair terus berproses menuju kebaruan berbahasa.

Kita kembali ke penyair Hanna Fransisca. Penyair Hanna Fransisca memang tidak secara terang seperti Sutardji dalam memprokalimirkan sebuah kredo bersajak. Tetapi saya menduga bahwa penyair perempuan ini sedang menggelar kredonya. Dugaan saya ini atas dasar:

Pertama: judul buku puisi penyair Hanna Fransisca adalah Konde Penyair Han
Kedua: Hanna Fransisca menulis dalam kata pengantar yang berjudul Konde dan Rambut Saya yang Jelita, "Inilah Konde: metafora tentang benda sederhana yang selama ini mampu membuat rambut keindonesiaan kita yang indah permai ini tidak lepas tergerai dan tercerai-berai. Inilah bunga padma, bunga suci yang tetap indah meski tumbuh di rawa-rawa. Inilah Konde Penyair Han, yang menyanggul sajak dengan bunga padma seperti menyanggul rambut tanah air yang permai."
Ketiga: Penyair Hanna Fransisca menulis sajak bertajuk 'Konde' pada halaman 21.

Saya menyebutnya sebagai 'Kredo Konde'. Konde? Iya sebuah benda yang biasanya digunakan untuk menyanggul rambut perempuan. Coba kita baca sajak utuh 'Konde' dan penggalan sajak 'Arisan' di bawah ini:

a. Penyair Han
menyanggul sajak
dengan bunga Padma:

"Tuan, sekepal jantungku berdegup mencarimu,
menggunting urat hasrat dari nafasmu,
dan Tuhanku mengajari menyimak,
mengejar lekuk yang kauasinkan dari hatimu."

Amin.

(Sajak 'Konde' hal. 21)



b. Rambutmu digelung, dengan konde merah
serupa kertas angpao bertuliskan mantra.

(sepenggal sajak 'Arisan' hal. 51 tanda miring dari saya)


Ada dua keanehan (dibaca: keunikan atau keistimewaan) dari kedua sajak di atas jika dikaitkan dengan kredo KPH:
1. Sajak a tidak memuat kata 'konde' padahal jelas berjudul 'konde'. Justru sebaliknya dengan sajak b; tidak berjudul 'konde' tetapi memuat kata 'konde'
2. Sajak a bernada doa yang ditandai kata 'amin' sedangkan sajak-sajak yang berjudul doa tidak mengusung kata 'amin'. Bisa ditemui di sajak 'Doa Sajak Vihara' hal. 121, sajak 'Doa Sebelum Terbit Matahari' hal. 122, sajak 'Doa Sebelum Malam' hal. 123, dan sajak 'Doa Pagi Tepian Lubuk' hal. 124.

Dua keanehan di atas tidak mempengaruhi bangunan sajak secara keseluruhan. Secara teks, memang bertolak belakang, tetapi secara kontekstual atau ruh justru mendarahdagingkan.

Penyair Hanna Fransisca menyatakan bahwa konde adalah sebuah metafora. Lalu apa sebenarnya metafora itu? Albertine Minderop mengutip pendapat Reaske (2010):

Metaphor: the figure of speech which compares one thing to another directly. Usually a metaphor is created through the use of some from of the verb "to be" For instance, if we say, "life is hungry animal," hungry animal has become a metaphor for a life. If a poet writes, "my love is a bird, flying in all directions," the bird has become a metaphor of the poet's love (Reaske, 1966:37).

Teks inggris di atas sudah jelas meski tidak diterjemahkan. Reaske mendefinisikan metafora sebagai gaya bahasa yang membandingkan satu benda dengan benda lainnya secara langsung yang dalam bahasa Inggris menggunakan to be. Misalnya kita mengatakan, "kehidupan ini binatang lapar" binatang lapar merupakan metafora kehidupan, yakni kehidupan yang serakah dan ganas. Atau seorang penyair yang berujar, "Cintaku burung terbang yang mengembara ke segala arah" burung terbang merupakan metafora dari cinta sang penyair yang bebas ke mana/siapa saja.

Metafora, kata Monroe, adalah “puisi dalam miniatur”. Metafora menghubungkan makna harfiah dengan makna figuratif dalam karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra merupakan karya wacana yang menyatukan makna eksplisit dan implisit. Dalam tradisi positivisme logis, perbedaan antara makna eksplisit dan implisit diperlakukan dalam perbedaan antara bahasa kognitif dan emotif, yang kemudian dialihkan menjadi perbedaan menjadi vokabuler denotasi dan konotasi. Denotasi dianggap sebagai makna kognitif yang merupakan tatanan semantik, sedangkan konotasi adalah ekstra-semantik.

Dalam retorika tradisional, metafora digolongkan sebagai majas yang mengelompokkan variasi-variasi dalam makna ke dalam pengalaman kata-kata, atau lebih tepatnya proses denominasi. Aristoteles, dalam Poetic’s-nya, menjelaskan bahwa metafora adalah “penerapan kepada suatu benda atau nama yang termasuk sesuatu yang lain, interferensi yang terjadi dari jenis ke jenis spesies, dari spesies ke jenis, dari spesies ke spesies, atau secara proporsional”. Oleh karena itu, metafora memiliki ide lebih banyak dari kata untuk mengungkapkan kaya itu, metafora akan meregangkan makna kata-kata yang dimiliki melampaui pemakaian biasanya (Ricoeur, 1976: 45).

Supaya lebih jelas, kita nikmati sajak Charil Anwar berikut ini:

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Sajak "Aku", Chairil Anwar, "Aku Ini Binatang Jalang", Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, cetakan kedua puluh satu, juli 2009 garis miring dari saya)

Aku ini binatang jalang, ujar Chairil Anwar. Binatang jalang adalah metafora dari kehidupan si aku lirik yang bebas dan ingin merdeka dari segalanya. Metafora binatang jalang dimanfaatkan penyair untuk menguatkan atau mempertegas tekad atau kehendak yang ingin disampaikan kepada pembaca.

Lalu apa metafora dari konde dalam sajak penyair Hanna Fransisca? Kita tak perlu pusing, karena sang penyair menyatakan sendiri dalam Konde dan Rambut Saya yang Jelita, "Inilah Konde: metafora tentang benda sederhana yang selama ini mampu membuat rambut keindonesiaan kita yang indah permai ini tidak lepas tergerai dan tercerai-berai. Inilah bunga padma, bunga suci yang tetap indah meski tumbuh di rawa-rawa. Inilah Konde Penyair Han, yang menyanggul sajak dengan bunga padma seperti menyanggul rambut tanah air yang permai."


Cara Ketiga: Menerawang Singkawang


Penyair Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia) lahir 30 Mei 1979, di Singkawang, Kalimantan Barat. Saya belum tahu banyak tentang biografi penyair kita ini selain informasi dari buku puisi KPH. Di situ, penyair tidak begitu jelas melakukan periodeisasi hidupnya, bisa dimaklumi karena ini bukan buku biografi.

Penyair kita ini menjalani masa kanak dan remaja di tempat kelahirannya, Singkawang. Dan menjelang dewasa, sang penyair merantau ke Jakarta. Di perantaun inilah sang penyair menuliskan sajak-sajak yang kemudian diterbitkan KataKita, Depok.

"…Hingga kemudian saya berhenti sekolah (saya hanya lulus sekolah formal setingkat SMP), dan kemudian menjadi pelayan toko.
(Konde dan Rambut Saya yang Jelita, hal. 14)

"….Menjelang dewasa adalah usia yang belum cukup matang untuk pergi merantau ke Jakarta.Tapi saya memutuskan pergi ke Jakarta."
(Konde dan Rambut Saya yang Jelita, hal. 15)

Dari 67 sajak dalam KPH, hampir 99 % ditulis di Jakarta. Yang menarik adalah sang penyair juga menulis beberapa sajak yang beraroma kota kelahirannya, Singkawang. Memang, jurus seperti ini sudah biasa dilakukan banyak penyair. Tapi yang istimewa dari Hanna Fransisca adalah dia bisa mengambil jarak dengan objek sajak. Berbeda dengan penyair D. Zawawi Imron dan Abdul Hadi W.M, misalnya.


Kita tahu, D. Zawawi Imron terkenal sebagai duta sajak Madura yang dijuluki 'celurit emas'. Sepuluh (?) buku puisi tunggal D. Zawawi Imron selalu basah dengan desah Madura. Dari sepuluh (?) itu, yang paling kental Madura-nya adalah Semerbak Mayang (1977), Madura, Akulah Lautmu (1978), dan Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996).

Kita kembali ke penyair Hanna Fransisca. Saya mendapatkan 6 sajak yang secara tersurat maupun tersirat berbicara tentang Singkawang, yaitu:

1. Sajak 'Amoi' hal. 26
2. Sajak 'Taiwan di Kolam Mataku' hal. 35
3. Sajak 'Kepada Adik' hal. 40
4. Sajak 'Singkawang, 1' hal. 68
5. Sajak 'Singkawang, 2' hal. 69
6. Sajak 'Kapuas' hal. 79


Saya tampilkan sajak utuh 'Singkawang, 2' dan sajak 'Madura, Akulah Darahmu' karya D. Zawawi Imron sebagai pembanding:

a. Gemericik sungai, lumut menjulur, ikan-ikan yang subur!
Tepi kolam menepi, bebiji sawi mengalir mimpi.

Kau jala pesona, hijau memanjang,
memadat dalam ranum pepaya.
Harum keringat, sunyi matahari, hijau dingin.


Seekor sriti hinggap di tepi langit.
Rindu tanah, rindu air, rindu kesuburan.

(Sajak ''Singkawang, 2', Hanna Fransisca, hal. 69, ditulis di Jakarta, September 2009)



b. Di atasmu, bongkahan batu yang bisu
Tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
Biar berguling di atas duri hati tak kan luka
Meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
Dan aku
Anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
Bahwa aku sapi kerapan
Yang lahir dari senyum dan airmatamu

Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
Sebasah madu hinggaplah
Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
Emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua

Di sini
Perkenankan aku berseru:
- madura, engkaulah tangisku

bila musim labuh hujan tak turun
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi kerapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku


di ubun langit kuucapkan sumpah:
- madura, akulah darahmu.

(Sajak “Madura, Akulah Darahmu” dalam 'Madura, Akulah Lautmu', D. Zawawi Imron, 1996: 98-99)


Dari kedua sajak penyair yang berbeda di atas, saya menghasilkan beberapa kesimpulan:

1. Sajak 'Singkawang, 2' karya Hanna Fransisca lahir dari rindu dan kenangan. Sedangkan sajak 'Madura, Akulah Darahmu' karya D. Zawawi Imron lahir dari sebuah pengakuan dan kesaksian yang dalam bahasa agama (Islam) disebut sebagai 'syahadat'.
2. Sajak 'Singkawang, 2' karya Hanna Fransisca lebih dekat dengan puisi lama semacam pantun. Sedangkan sajak 'Madura, Akulah Darahmu' karya D. Zawawi Imron lebih akrab dengan puisi modern yang memberikan keluasan berekspresi.
3. Sajak 'Singkawang, 2' karya Hanna Fransisca sederhana dalam pengungkapan dan tidak terlalu hiperbolis dalam memuja sesuatu. Sedangkan sajak 'Madura, Akulah Darahmu' karya D. Zawawi Imron terlalu hiperbolis – jika tidak boleh menggangap berlebihan- yang menyebabkan sajak tergelincir pada pengkultusan sesuatu.


Mari kita telaah lebih lanjut dengan konsentrasi nomor 3:

1. a. Gemericik sungai, lumut menjulur, ikan-ikan yang subur!
Tepi kolam menepi, bebiji sawi mengalir mimpi.
2. a. Dan aku
Anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
Bahwa aku sapi kerapan
Yang lahir dari senyum dan airmatamu
1. b. Kau jala pesona, hijau memanjang,
memadat dalam ranum pepaya.
Harum keringat, sunyi matahari, hijau dingin.
2. b. Di sini
Perkenankan aku berseru:
- madura, engkaulah tangisku
3. a. Seekor sriti hinggap di tepi langit.
Rindu tanah, rindu air, rindu kesuburan.
3. b. bila musim labuh hujan tak turun
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi kerapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu


Keterangan: 1, 2, 3 a adalah bait-bait milik sajak Hanna Fransisca dan 1, 2,3 b milik sajak D. Zawawi Imron

Kelebihan penyair D. Zawawi Imron dalam sajak 'Madura, Akulah Darahmu' adalah kepiawaiannya menyelundupkan 'benda-benda' yang kemudian dipekerjakan sebagai personifikasi dan dihiperbolakan. Teknik ini memang menarik, tetapi jika berlebihan, justru akan mengurangi nilai atau keagungan yang diapresiasi. Nah, inilah yang hendak dihindari oleh penyair Hanna Fransisca. Dia menyajakkan Singkawang tanpa pemujaan yang berlebihan, misalnya dia cuma menulis, "Kau jala pesona, hijau memanjang/ memadat dalam ranum papaya/ Harum keringat, sunyi matahari, hijau dingin.// dan dia bisa mengambil jarak dengan objek sajak; seolah-seolah Hanna Fransisca adalah orang 'di luar' Singkawang yang mengagumi Singkawang, sehingga apa adanya dalam memberi penilaian. Barangkali pengakuan Hanna Fransisisca ini yang menyebabkannya bisa mengambil jarak dengan objek sajak:

"Maka sejarah kembali berulang dengan kegetiran yang berbeda. Dalam peradaban yang sama sekali berbeda, aroma kota yang kejam, persaingan yang memerlukan kecerdasan; daya tahan dan kekuatan diri diuji sehabis-habisnya. Sering kali malam-malam saat hening saya memandang langit di kejauhan: membayangkan kampung kelahiran yang bernama Singkawang. Pada zaman ketika nasib mulai membaik di tempat saya memandang kali ini, saya menitikkan air mata. Saya teringat ilalang-ilalang yang menyemak di belakang rumah, burung-burung liar, sungai-sungai yang mengalir, bukit-bukit, hamparan kuil-kuil dan aroma gaharu. Semua tempat, semua tokoh, dan seluruh peristiwa yang berjasa membuat saya kini dapat berdiri dengan tegar, tiba-tiba menjelma menjadi cerita yang penuh cinta."
(Konde dan Rambut Saya yang Jelita, hal. 15-16 garis miring dari saya)

Menurut pengakuan Hanna Fransisca, sajak 'Singkawang, 2' ditulis di Jakarta, September 2009, ini berarti Hanna sedang menghadirkan Singkawang ke dalam sajaknya dan bukan sajak yang menghadiri Singkawang. Gerak 'menghadirkan' dan gerak 'menghadiri' jelas menghasilkan sajak yang berbeda. Dalam gerak 'menghadirkan', imaji lebih bermain ketimbang menimbang-nimbang objek pada gerak 'menghadiri', misalnya pada sajak-sajak D. Zawawi Imron.

Sebenarnya ada yang lebih membuat saya tertarik dari sajak 'Singkawang, 2' adalah sebagai berikut:

1. ikan-ikan yang subur!
2. memadat dalam ranum pepaya.
3. hijau dingin


Aduhai, alangkah rekah kata-kata itu! dari sisi sintaksis dan semantik, bait-bait di atas bisa dipertanggungjawabkan.



Cara Keempat: Negeri yang Ngeri


(1) Hingga peristiwa Mei 1998 membakar Jakarta, meluluhlantakkan seluruh harapan, dan membalik sejarah kembali pada titik nol.

(2) Kecemasan, perburuan, pembakaran, pemerkosaan. Saya melihat gelombang ribuan orang memadati bandara untuk menyelamatkan diri: menuju negeri-negeri yang jauh. Saya menjerit lantaran kecintaan pada negeri telah mulai tumbuh semenjak menyadari bahwa saya berbeda. Politik yang membuat saya berbeda, tapi bukankah politik bisa berubah? Buku-buku, sekali lagi telah membuka kotak pandora tentang pemahaman saya terhadap negara, terhadap tanah air, terhadap Singkawang, dan ibu kota tanah air saya, Jakarta. Maka keberanian untuk mati di tempat saya membangun takdir, sepenuh-penuhnya saya sadari. Saya memutuskan untuk tidak pergi mengungsi ke negeri-negeri yang jauh—negeri yang bukan tanah air saya.

Dua petikan di atas sengaja saya dahulukan. Betapa kondisi dan situasi yang melingkupi Hanna amat miris dan mengiris. Itulah sebab yang melahirkan sajak-sajak berikut ini:

1. Sajak 'Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi' hal. 22
2. Sajak 'Air Mata Tanah Air' hal. 27
3. Sajak 'Lilin Negeri, 1' hal. 32
4. Sajak 'Lilin Negeri, 2' hal. 33
5. Sajak 'Sang Naga' hal. 34
6. Sajak 'Puisi Mei' hal. 42
7. Sajak 'Nyanyi Tanah Negeri' hal. 43
8. Sajak 'Rapat' hal. 49
9. Sajak 'Kerbau' hal. 57

Saya akan mengutip beberapa bait dari sajak 'Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi' dan sajak 'Puisi Mei':

Setelah tak lulus SMP Negeri, setelah guru
tulen pribumi dengan pasti mengatainya:
"Di sudut bibirmu ada sebutir nasi.
Bukan tempatmu di sini."

……………………….


"Engkau hanyalah tamu
tanah dan air, menunggu di beranda
sampai mati."

………………………..

"Kelahiranmu di bumi pertiwi,
membikin wajah negeri cantik sekali."

………………………..

Di mulut ibu guru yang menyebut namamu noni,
di kepala anak-anak yang mengaku diri pribumi,
di benak mereka yang selalu menunggu waktu
untuk membakar bulu kemaluanmu.

(Cuplikan-cuplikan dari sajak 'Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi' hal. 22-25)



Pernahkah kau saksikan tarian jujur
yang memaku matamu hingga ke ujung kubur?
Kulit mayat daging bebas kau lumat
Puing-puing tegak, di bawah tiang bendera Negara,
membawa kau, yang kini kusebut kalian,
pada gairah syahwat.


Debu gemuruh
nafsu gemuruh:
kausebut aku dungu
Inilah Negeri Mei, Amoi!
tarian naga meliuk merah sepanjang kota
Kau kibarkan tanda kutang tepat di bawah warna
bendera,
merah dan putih.
Seperti darah. Seperti kulit.
"Mari membakar sate, dari pekik anak dara yang
Belum lulus esde."
Lalu kalian menyambutnya dengan sederhana,
dengan menjarah lorong-lorong kota
sambil menyanyikan bersama: Padamu Negeri.

(Sajak utuh 'Puisi Mei' hal. 42)


Tanpa tafsir yang rumit, sebenarnya kedua sajak di atas sudah berbicara sendiri tentang apa yang hendak diketengahkan sang penyair. Dari kedua sajak di atas, saya peroleh beberapa ironi dan tragedi:

Pertama: kebencian pribumi terhadap etnis Tionghoa atau China
Kedua: tumbuh subur rasisme
Ketiga: pelecehan fisik maupun psikis yang lebih dikenal dengan 'Tragedi Mei' (13-14 Mei 1998)
Keempat: kegagalan pemerintah melindungi rakyat

Saya sendiri anti pengkotakan-pengkotakan dalam bentuk apapun, misalnya penyebutan 'pribumi' dan 'peranakan atau keturunan'. Dan yang aneh dan ajaib, ternyata pemerintah adalah biang kerok terhadap kejadian-kejadian mengerikan itu. Pemerintah pada masa Soeharto (orde baru/orba) mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) dan Intruksin Presiden (Inpres) yang isinya antara lain berupa pelarangan sekolah dan penerbitan buku, Koran, ataupun majalah berbahasa China:

1. Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/krp/12/1968 mengenai penggantian nama,
2. Inpres No. 14/1967 yang mengatur agama, kepercayaan, dan adat istiadat keturunan China,
3. Keppres No. 240/1967 mengenai kebijakan pokok menyangkut WNI keturunan asing dan
4. Inpres Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah China.

Sungguh saya meneteskan air mata ketika penyair Hanna Fransisca membisiki telinga saya, "Di sudut bibirmu ada sebutir nasi/ Bukan tempatmu di sini.// dan Engkau hanyalah tamu/ tanah dan air/ menunggu di beranda/ sampai mati.// sungguh bagaimana perasaan saya jika berada di posisi penyair Hanna Fransisca? Seorang anak yang tidak diakui ibu pertiwi. Seorang anak manusia yang hanya dianggap sebagai 'tamu' yang kemudian diusir 'tuan rumah' dan entah mengembara ke mana. Ah, cukup, saya tidak mau membahas lagi tentang kepedihan ini!

Seorang Hero atau Pahlawan akan hadir dalam masa vacum of power. Di mana sang Maha yang disimbolikkan dengan Dewa atau Tuhan tidak hadir di air mata yang mengalir. Ketika malapeteka menimpa, dirundung mendung ketakberdayaan, dikepung ombak badai dari segala arah penjuru, manusia membutuhkan sesuatu atau seseorang yang meneduhkan dan membawanya ke jalan penyelamatan. Dan sang Hero adalah juru selamat bukan juri pertandingan. Dia adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Pada tanggal 18 Januari 2000, Presiden KH. DR. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 6/2000 yang isinya mencabut Inpres No. 14/1967. Kebijakan Gusdur itu melahirkan kebebasan etnis Tionghoa dalam menjalankan ritual keagamaan, adat istiadat, serta memperbolehkan pengekspresian terhadap kebudayaannya di Indonesia. Presiden Abdurrahman Wahid telah mengambil keputusan bersejarah dan monumental. Maka tak heran bila Gus Dur dianugerahi gelar Bapak Tionghoa.

Penyair Hanna Fransisca sebagai anak sah ibu pertiwi yang baik menciptakan tiga sajak yang khusus diberikan kepada Abdurrahman Wahid sebagai tanda jasa atau ungkapan rasa terima kasih, yaitu:

1. Sajak 'Air Mata Tanah Air' hal. 27
2. Sajak 'Lilin Negeri, 2' hal. 33
3. Sajak 'Sang Naga' hal. 34

Saya petik bait terakhir sajak 'Sang Naga' pada halaman 34. Penyair Hanna amat cermat memanfaatkan tokoh 'naga' sebagai simbol dari si aku lirik.

"Engkau.
Engkau adalah putriku,
naga yang ditolak separuh badan,
untuk dimakan separuh yang lain.
tapi kini datanglah! Kau aman
di pelukan hatiku."


Cara Kelima: Marginalisasi Perempuan dan Pemberontakan dalam Puisi

Entah sejak kapan sejarah marginalisasi perempuan bermula. Ada yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang merestui ini yang berpijak pada kitab suci. Akhirnya ramai-ramai para ahli agama mendekontruksi dan merekontruksi tafsir keagaaman. Misalnya penelusuran kembali siapa yang bersalah atas ditendangnya Adam dan Hawa ke alam dunia. Yang kemudian dikenal sebagai 'dosa asal'.

Terlepas dari polemik dosa asal di atas, saya bisa mengerucutkan sebab marginalisasi perempuan:

Pertama: Budaya patriaki, di mana laki-lakilah yang paling hero dari perempuan dalam segala bidang dan perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap.
Kedua: Kondisi ekonomi, di mana perempuan harus terus berjuang melawan ketidakadilan-ketidakadilan yang lebih dilatarbelakangi oleh kebijakan-kebijakan yang tidak memihak. Dari beberapa referensi, saya peroleh bahwa 'amoi' adalah seseorang yang tidak punya nilai tawar dalam masyarakat kapitalistik. Dia selalu jadi tumbal nasib yang salib. Nasibnya akan berubah jika dinikahi lelaki-lelaki asal Taiwan atau Hongkong yang baik hati, jika tidak, nasibnya lebih mengerikan.


Saya dapati beberapa sajak yang berbicara tentang tema yang sedang saya bicarakan:
1. Sajak 'Amoi' hal. 26
2. Sajak 'Perempuan Tanpa Bulu' hal. 64
3. Sajak 'Bulu Kaki Mata Sipit' hal. 66
4. Sajak 'Gerhana' hal. 81
5. Sajak 'Puisi Kupu-Kupu' hal. 86
6. Sajak 'Puisi Piring Kaleng' hal. 88
7. Sajak 'Puisi Kacang Hijau' hal. 90
8. Sajak 'Puisi Roda Pedati' hal. 92


Mari kita resapi beberapa petikan sajak berikut ini:

a. bunga yang koyak tenggelam, beribu perawan,
dipaksa pergi menyongsong angina
(bait terakhir sajak 'Amoi' hal. 26)
b. Di Pecinan hanya amoi yang mesti telanjang,
sebab bulu bagi suami adalah hitungan rezeki
yang harus pasti.

…………….

"Dara manis, jangan menangis. Lelaki tak pernah sedih
saat menceraimu di pagi sedih."

………………
Hanya di Pecinan, amoi malang mesti telanjang.
Menjadi pengantin sedih di pagi sedih,
atau mempelai penuh berkah, yang kelak berubah
menjadi tuah

(Petikan-petikan sajak 'Perempuan Tanpa Bulu' hal. 64-65)

c. Kausesali ibu yang melahirkan perempuanmu,
kaucaci leluhur yang menjadikan kau pengantin mati
hingga pagi hari.
………………..

"Sungguh layak bagi kau, jika pengantinmu
menjual diri di jalan raya."
(Dua cuplikan sajak 'Bulu Kaki Mata Sipit' hal. 66-7)
d. Tapi sebilah tombak selalu telah membelah sayapku
Jalan yang kini bercabang kian menjulang
Aku melayang gentayangan menuntaskan angan yang makin memanjang

(bait terakhir sajak 'Puisi Roda Pedati' hal. 93)

Tapi si aku lirik tidak begitu saja menerima pelecehan dan penindasan, ia berusaha melawan atau memberontak walau dengan suara parau dan tenaga yang ringkih:

e. Mari kuajak kau meneguk racun
dengan secangkir kopi pahit,
dan kuceritakan padamu tentang bulu kaki
yang bikin lelakimu mati.

(bait pembuka sajak 'Bulu Kaki Mata Sipit' hal. 66)

f. Maka doa kalian, para petualang,
jangan kira jalan lempang selalu menuntunmu
pada asal dosa, dan menebusnya dengan nikmat
yang membawa terbang kupu-kupu
dari tebing yang berkilau cahaya, menuju lembah air
tempat engkau memandikan perempuanmu
dengan harum apel yang kaukira
jatuh dari surga.

(sebait sajak 'Puisi Kupu-Kupu' hal. 86)

g. "Bertahanlah Moi,
jangan takut rumput menutup jalan
sebab harum bunga akan bicara."
…………

"Aku ingin memintal cahaya
menjadi lingkaran kemilau tanpa bahaya."

(dua petikan sajak 'Puisi Piring Kaleng' hal. 88)

Cera Keenam: Apa Guna Sajak?

Apa yang berharga dari puisiku, tanya penyair Wiji Thukul atau tanya Subagio Sastrowardoyo, Apakah arti sajak ini. Bagaimana menurut Penyair Hanna Fransisca? Apakah dia juga punya pertanyaan sama dengan penyair Wiji Thukul dan Subagio Sastrowardoyo? Apa yang melatarbelakangi Hanna Fransisca menulis sajak-sajak yang terhimpun dalam Konde Penyair Han? Pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan dijawab oleh sang penyair melalui kata pengantar yang berjudul 'Konde dan Rambut Saya yang Jelita' halaman 11-19. Saya kutipkan beberapa kalimat di bawah ini (tanda miring dari saya):

(1) Saya kira pada waktu-waktu yang paling buruk itulah saya menulis puisi. Saya kira bukan puisi, tapi hanya semacam puisi. Saya menulis catatan keluh-kesah dengan diam-diam, menyembunyikannya dengan diam-diam dalam buku tulis, dan tak seorangpun boleh tahu.

(2) Saya adalah anak perempuan pemalu yang tak pernah memiliki keberanian untuk berbicara, tak pernah memiliki keberanian untuk memulai berteman, atau untuk bertanya soal apa saja kepada siapa saja. Maka saat menulis saya memiliki tempat paling nyaman untuk berbicara.

(3) Saya terus menulis yang bukan puisi, di dalam buku yang selalu diam tapi sesungguhnya mengajak saya bicara. Saya selalu katakan bukan puisi, karena sejak hari memalukan itu, saya membenci puisi. Tentu saya tetap suka membaca cerita, karena buku-buku cerita sudah jelas bukan puisi.

(4) maka di sela-sela tumpahan waktu untuk kerja, saya selalu membutuhkan buku-buku. Buku-buku itulah, yang kelak secara ajaib telah membuka kotak pandora tentang “kesadaran minoritas” dan rasa “ketidakberdayaan pada nasib”, yang membuat saya semakin serius dalam mempelajari hal-hal baru.

(5) Sering kali malam-malam saat hening saya memandang langit di kejauhan: membayangkan kampung kelahiran yang bernama Singkawang.

(6) Setelah badai politik mereda, saya semakin mencintai puisi. Entah kenapa rasa malu pada ibu guru yang telah membuat saya membenci puisi di bangku SMP, telah membalik kesadaran saya di kemudian hari untuk mencintai puisi. Secara pelan tapi pasti, catatan-catatan kecil saya yang merupakan catatan harian tempat saya menemukan teman bicara, telah berubah menjadi baris-baris puisi."

Pada tulisan bagian pertama sudah saya singgung soal luka sebagai bahan bakar sajak; baik luka diri pengarang maupun luka orang-orang yang berada di sekitar pengarang. Jika meminjam bahasa penyair Triyanto Triwikromo dalam kata pengantarnya pada buku puisi Kembang Setaman, ia mengatakan bahwa peradaban yang luka sebagai pusat penciptaan puisi.

Apa yang dilakukan Hanna Fransisca adalah sesuai dengan pesan penyair Inggris, Jhon Keats, puisi adalah satu-satunya yang mampu merangkul keasingan. Kita tahu bahwa masa kanak Hanna Fransisca diliputi kesendirian dan keterluntaan nasib. Bagi saya, itulah keasingan yang dimaksud Jhon Keats. Hanna Fransisca mencoba mengikis – atau justru ingin menikmati – keasingan itu dengan memandang ilalang-ilalang yang bergoyang di belakang rumahnya. Kemudian berlanjut dengan mencintai buku-buku bacaan dan bergerak untuk menuliskan gairah dan gerahnya pada kehidupan. Kau kemudian hanya mengenal satu bunyi: puisi, tulis Hanna Fransisca dalam sajak 'Puisi Piring Kaleng' halaman 89.

Penyair Subagio Sastrowardoyo pernah menulis puisi berjudul ‘Sajak’ yang berkenaan dengan peran atau guna sajak bagi kehidupan.

“Ah, sajak ini,
mengingatkan aku kepada langit dan mega.
Sajak ini mengingatkanku kepada kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakanku aku kepada pisau dan tali.
Sajak ini melupakan kepada bunuh diri”

Penyair Subagio Sastrowardoyo sebelumnya bertanya dengan kalimat yang menggugat sebanyak tiga kali: Apakah arti sajak ini. Ini berarti setiap penyair punya alasan dan jawaban sendiri dan berbeda kenapa dirinya menulis sajak. Di sini, saya menolak anggapan bahwa menjadi penyair adalah sebuah kutukan. Kutukan siapa?

Lain lagi dengan penyair Acep Zamzam Noor, menulis sajak adalah melayani kerinduan yang menyerang. Seperti yang ditulis dalam sajak 'Mengapa Selalu Kutulis Sajak' pada buku puisi Tamparlah Mukaku.

Mengapa selalu kutulis sajak
Apabila kerinduan tiba-tiba menyerbuku
Mengapa harus sajak, kekasihku, mengapa harus ia
Yang mampu kupersembahkan kepadamu.


Epilog

Karena segalanya harus ada akhir, maka perkenankan saya mohon maaf kepada penyair Hanna Fransisca dan Pembaca atas keterbasan saya dalam mengulas buku KPH. Terima kasih dan salam hormat dari saya.

“Setiap hendak kutangkap
Ia lolos dari dekap
Tak mampu menampung rasa
(Sajak 'Yang Tak Peduli', Subagio Sastrowardoyo)


Malang, 22 April 2011
Syaiful Alim
Penulis novel Kidung Cinta Pohon Kurma

Kamis, 21 April 2011

DUA SAJAK TENTANG KARTINI, SEBUAH PERBANDINGAN

catatan Dimas Arika Mihardja

Pengantar:

Bukan sebuah kebetulan terhadap sosok Raden Ajeng Kartini melahirkan banyak interpretasi. Bagaimanakah "pembacaan" sosok Kartini oleh dua orang penyair berjenis kelamin berbeda, berbeda etnis, dan berbeda suasana? Tulisan sederhana ini bermaksud menyandingbandingkan dua sajak, yakni "Ketika Kartini Berkunjung ke Aceh" (D Kemalawati, Banda Aceh) dan "Ketika Kartini Tak Singgah ke Sekolah" (Ardi Nugroho, Sidoarjo). Kita sandingbandingkan dulu kedua sajak itu.


Ketika Kartini Berkunjung Ke Aceh
(D Kemalawati, Banda Aceh)

Ia memakai kebaya ungu
Sanggul melati dan slop berhak tinggi
Di tangannya pena emas dan sehelai perangko


Ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa
Dari belantara Cut Nyak Dien mengirim aba-aba
Ia butuh senjata menikam serigala.


(KEMALA, Meditasi Dampak70, 293)



KETIKA KARTINI TAK SINGGAH KE SEKOLAH
(Ardi Nugroho, Sidoarjo)



melintas Jembatan Porong
anak perempuan dekil bernyanyi lagu ala kadar
tangannya bergoyang mainkan kencringan
mimiknya lucu hidungnya ingusan
suaranya pecah, menambah ruwet perempatan dekat lampu merah
namun sorot matanya selipkan kerinduan
yang teramat panjang


memasuki Pasar Larangan
perempuan muda membaca sajak dari lapak ke lapak
wajah melonnya berbinar menangkap matamata liar
gerak tubuhnya menggambar jerat keterpaksaan
dan lagilagi terselip kerinduan
yang panjang


di gerbang kedatangan Bandara Juanda
perempuan setengah baya berkacamata hitam
celana ketat string, kaos singlet bergambar durian
rambut rebonding depan, keriting kiri kanan
berasesori headset setia rojer merojer bro dan sist
lambaian tangannya lukiskan kebebasan
dari senyumnya, tetap tertangkap kerinduan
yang teramat panjang


di ruang kelas enam, esde Kecamatan Waru
perempuan tua berkacamata baca
membuka ensiklopedi kehidupan
mencari makna arti kerinduan
yang teramat panjang!



Sidoarjo, 21 April 2011


Sangat lama saya digoda oleh sebiji sajak karya D.Kemalawati bertajuk "Ketika Kartini Berkunjung ke Aceh". Sajak ini terus-menerus meneror pikiran saya. Akibatnya, begitu mas Ardi Nugroho meminta sebuah judul untuk puisi yang digubahnya, saya tak sengaja (dan mungkin akibat teror sajak D. kemalawati) saya menyumbangkan judul puisi Mas Ardi Nugroho "Ketika Kartini Tak Singgah ke Sekolah". Celakanya, atau beruntungnya, mas Ardi Nugroho menerima judul puisi yang kusumbangkan. Lantaran kedua sajak ini meneror pikiran, saya lantas tertantang untuk menyanding-bandingkan kedua sajak ini dengan pertanyaan utama: "bagaimana dua penyair berbeda gender, etnis, dan letak geografis menafsirkan sosok Kartini?"


Sajak gubahan D. Kemalawati tampil dalam bentuk dua bait seuntai, sedangkan sajak gubahan mas Ardi Nugroho hadir dalam eujud empat bait seuntai. Kedua sajak sama-sama tampil dalam bait yang genap dan keduanya tentu saja merupakan reinterpretasi terhadap sepak terjang Kartini. Saat Kartini berkunjung ke Aceh (pada suatu masa, entah kapan itu terjadi, mungkin hanya di dunia fantasi dan imajinasi penyair), orang-orang Aceh, paling tidak diwakili oleh sosok D. Kemalawati lebih mengemukakan sikap "berjaga-jaga" atau "siaga". Sikap berjaga-jaga atau siaga (dengan rencong) yang secara tegas dinyatakan pada pamungkas sajaknya : "Ia butuh senjata untuk menikam serigala". Di awal sajaknya, penyair D.Kemalawati dengan piawai mendeskripsikan sosok Kartini melalui simbol-simbol yang melekat pada kedirian dan pribadi Kartini, seperti ini:


Ia memakai kebaya ungu
Sanggul melati dan slop berhak tinggi
Di tangannya pena emas dan sehelai perangko

Kata "kebaya ungu", "anggul melati", "selop berhak tinggi", "pena emas", dan "perangko" semuanya merupkan simbol yang secara jitu dipilih dan dikenakan untuk sosok Kartini. Dengan simbol-simbol itu (lantaran simbol itu dipakai untuk mewakili banyak makna) maka kepadatan sajak D.Kemalawati tampil memukau lantaran padat. Kepadatan sajak ini secara langsung menunjukkan betapa efektifnya dunia simbol mewakili entitas (termasuk realitas) yang hendak dientaskannya. Sosok kaum ningrat, terpelajar, berderajat tinggi (berhak tinggi), suka membaca dan menulis (pena emas), dan suka berkorespondensi (perangko) merupakan dunia simbol untuk merepresentasikan diri dan kepribadian Kartini. Penyair D. Kemalawati mengerti bahwa "Surat-surat Kartini" lebih banyak menunjukkan korespondensi antara Kartini dan warga bangsa Belanda. Kata "Belanda", sejak dulu dipandang "berbahaya" bagi masyarakat Aceh, oleh sebab itulah bait kedua ini lantas hadir:

Ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa
Dari belantara Cut Nyak Dien mengirim aba-aba
Ia butuh senjata menikam serigala.

Reinterpretasi Penyair D. Kemalawati dan sikap kritisnya sebagai generasi penerus Cut Nyak Dien masa kini, memunculkan gagasan sehingga tertuang ungkapan ini:


Ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa
Dari belantara Cut Nyak Dien mengirim aba-aba
Ia butuh senjata menikam serigala.


"Aba-aba" yang diberikan oleh Cut Nyak Dien untuk menyiapkan senjata itu tak lain merupakan sikap waspada, bersiaga, atau berjaga-jaga terhadap "musuh dalam selimut". Frasa "musuh dalam selimut" ini hendaklah dipahami sebab di ungkapan itu D. Kemalawati memilih simbol "serigala" (ingat ungkapan: serigala berbulu domba, ingat pula ungkapan bahwa Belanda suka sekali "adu domba" dalam menjalankan politiknya. Frame reference seperti ini lalu oleh D. Kemalawati dinyatakan agar siaga menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Lalu, bagaimana halnya interpretasi Ardi Nugroho terhadap sosok Kartini? Diksi "Porong" (larik 1 bait 1) yang dipadupadankan dengan kata "jembatan" sehingga tercipta "Jembatan Porong" semestinya tak hanya diartikan nama tempat di Jawa Timur. Kita bisa memaknai diksi "porong" itu sama dengan "gosong" atau "hangus". Saat melintasi jembatan di siang bolong, matahari membikin gosong anak perempuan dekil yang bernyanyi sebuah lagu ala kadar. Lagu itu seakan terdengar begini: "begini nasib perempuan jalang, ke mana-mana modal kencringan, tiada orang yang kasihan.... Reff: hati sungsang sebab tak ada yang berih uang, oo, hati meradang lantaran kebelit utang, oo, begini nasib pengamen jalanan, sepanjang jalan jadi gunjingan,tiada orang yang menyayang." Dalam bait pertama sajak Ardi Nugroho sosok Kartini masa kini (April 2011) tampil sebagai perempuan yang dekil yang mengamen di jembatan yang hangus lantaran dibakar matahari.

Sehabais menyanyikan lagu "Begini Nasib" (menurut imajinasi DAM), gadis dekil itu entah belajar dari mana menyanyikan lagu ini: Wahai ibu kita Kartini, putri dari Jepara, sungguh besar sanggulnya, panjang kukunya" lagu perempuan itu "suaranya pecah, menambah ruwet perempatan dekat lampu merah, namun sorot matanya selipkan kerinduan". Menurut pikiran perempuan dekil itu, negeri ini tak berambu dan tak berlampu sehingga keruwetanlah adanya.

Sesaat aku lirik memasuki Pasar Larangan. Nah, ini, diksi yang ajaib "Pasar Larangan" (bisa saja bursa narkoba, ganja, pil koplo, dan aneka minuman memabukkan. Cilakanya, di dalam pasar itu ada perempuan perlente, modis, bergaya, dan sableng meski samar-samar perempuan perlente (bukan lonthe lho) memiliki "kerinduan yang teramat panjang" juga. Sosok Kartini dihadirkan di tengah pasar yang penuh dengan dunia tawar-menawar, pencopetan, pemalsuan timbangan, dan bergaya serupa perempuan metropolis.

Lihatlah, di gerbang kedatangan Bandara Juanda si aku bersua perempuan berkaca mata hitam (pandangannya tentu suram atau bahkan gelap, barangkali suka gelap mata alias nekat). Perempuan berkaca mata hitam ini kayaknya jadi korban zaman. Semua kemajuan dunia salon (bukan sablon lho) dimanfaatkan sehingga bukannya keindahan yang tampil justru keberntakan. lewat bait ini penulisnya berpikir, "apakah ini hasil emansipasi Kartini?". Perempuan berkaca mata hitam ini kayanya juga menyimpan kerinduan yang teramat panjang. Apakah yang dirindui? Kebebasan berdandan? Kebebasan berpenampilan? Entahlah.

Lalu yang paling memprihatinkan ialah di ruang kelas enam esde Kecamatan Waru (nah kata "waru" ini kan bergambar daun cinta?) ada seorang guru yang keliru menafsirkan emansipasi: menyuruh anak sekolah menulis tentang Kartini dan menelantarkan anak-anaknya sendiri sehingga gagal memahami makna kehidupan. Semua itu tentulah bermuara atau menjadikan kerinduan yang teramat panjang. Kerinduan tentang apa? Tentu saja kerinduan memaknai kehidupan secara tepat, memahami hakikat emansipasi dan menerapkannya secara tepat.

Sosok Kartini tampil beda di dua sajak gubahan D. Kemalawati (penyair perempuan berasal dari Aceh) dan sajak Ardi Nugroho (mudah-mudahan jadi penyair lelaki dari Sidoarjo, jawa Timur hehehehe). Perbedaan kedua sajak tersebut terbatas pada penampilan (perwujudan sajak) dan reinterpretasi terhadap sosok Kartini. Persamaannya, meskipun samar-samar, kedua sajak ini mengajak para pembacanya untuk bersikapwaspada, siaga, atau berjaga-jaga. Berjaga-jaga dalam hal apa? Berjaga-jaga terhadap aneka kemungkinan perubahan atau perkembangan budaya. Jika sajak D. Kemalawati penuh dengan simbol, sajak Ardi Nugroho juga memanfaatkan simbol yang digaloi dari lokalitas tempat, tetapi tempat itu hadir secara eksotik di dalam sajak seperti "Jembatan Porong","Pasar Larangan", "Gerbang kedatangan", dan "menulis Kartini bagi siswa kelas enam esde".

Perkembangan globalisasi dan perubahan tata nilai memang harus diwaspadai oleh siapa saja. Inilah saya kira moral value kedua sajak ini. Demikianlah perbandingan secara sekilas dua sajak yang sama-sama memiliki kekuatan eksspresi. Jika sajak D. Kemalawati tampil padat memikat, sajak Ardi Nugroho tampil "nakal" dan sedikit "Mbeling" gaya pengungkapannya. Kedua sajak ini, tentu saja, layak mendapat tempat di hati pembacanya masing-masing. Dengan dua sajak ini kita tak serta merta bisa memasukkannya ke dalam karya "penyair salon" yang menjadi keprihatinan Rendra (almarhum), sebab kedua sajak ini masing-masing memiliki konteks yang jelas, dan peduli pada realitas yang dijadikan pangkal tolak renungan kedua penyair.

Salam DAM, damai dalam persaudaraan
Jambi, Hari Kartini, 21 April2011.

Minggu, 17 April 2011

YENI FRANSISCA DI ANTARA "HUJAN", "MIMPI" DAN "YANG LAIN"

Catatan: Dimas Arika Mihardja



Pengantar:

Siang ini seusai mengikuti prosesi pernikahan tetangga terdekat, kembali kubuka fb. Hei, ada kiriman puisi yang menurut catatanku baru pertama kali ini dikirim ke wall saya. Sebuah nama yang tak asing, terpahat di situ: Yeni Fransisca dan menyertainya empat puisi pendek. Catatan ini kubuat mendadak, seperti kebiasaan Yeni Fransisca yang suka mendadak memberikan kejutan manis.

Pagi ini aku mendapat kejutan manis dari Yeni Fransisca berupa puisi-puisi pendek. Diam-diam aku membaca dan berusaha memaknai apa yang dipikirkan atau direnungkan oleh seorang Yeni Fransisca. Terus terang, saya selama ini belum mengenal Yeni Fransisca. Nama ini memang cukup familiar sebab acap mengacungkan jempol pada status atau puisi yang kupublish. Sebenarnya saya (jika punya bakat balas dendam), cukuplah mengacungkan jempol untuk puisi-puisi yang ditagg ke wall saya.

Semalam saya tidak bermimpi. Sungguh kebetulan Yeni Fransisca menyuguhkan "mimpi-mimpi" siang dan malamnya di tengah "hujan", dan sikap tak "peduli", melainkan hanya peduli pada yang namanya "cinta". Konsepsi mengenai cinta, pandangannya terhadap cinta itu cukup berdimensi universal dan sakral. Universal lantaran cinta itu serupa virus jingga yang menerpa hati manusia untuk saling bersetia, menjaga, dan memelihara kasih sayang di antara sesamanya.Cinta juga berdimensi sakral, sebab semua ajaran agama tentulah berbasis cinta.

Catatan ini saya buat khusus, lantaran ruang komentar pada tagging puisi "mengharamkan" ENTER, padahal saya maunya menulis cukup leluasa. Secara khusus saya buat, alih-alih ini sebagai nomor perkenalan di antara saya dan Yeni Fransisca. Saya tidak tahu persis berapa umur Yeni Fransisca, suku bangsa, etnis, atau informasi lainnya. hal ini disebabkan lantaran saya tak pernah mau memasuki dapur orang untuk sekadar melacak jejak kaki Yeni Fransisca. Saya juga tidak tahu sejak kapan ia menulis,berapa banyak karya yang ditulis, apa sajakah jenis tulisannya, namun kali ini saya membatasi hanya merespon puisi-puisi pendeknya.

Saat hujan atau menghadapi hujan, Yeni Fransisca memiliki pikiran unik dan khas, ia menyukai hujan hanya lantaran bersamanya bisa menyembunyikan (menyamarkan) air matanya. Air mata perlukah disembuyikan? Air mata perlambang suka atau duka. Suka atau duka ini tentulah personal sifatnya dan tak selalu harus menjadi konsiumsi publik. Begitulah Yeni Fransisca, yang saya tahu, disaat sakit (berduka) ia justru berbagi suka (bahagia) kepada sahabatnya bernama Ardi Nugroho yang saat itu sedang merayakan miladnya. Informasi ini, tentu saja saya peroleh dari sumber-sumber terpercaya. Hujan,bagi Yeni Fransisca seakan-akan mampu membantu "menyelamatkan" muka dari rasa duka atau bahagia.

Seperti apakah "mimpi" Yeni Fransisca saat siang atau malam? Serupa apakah "mimpi" (keinginan, harapan, cita-cita) seorang Yeni Fransisca? Ternyata ia berharap memiliki "kesetiaan" terhadap Babenya seperti kutipan "Mimpi Siang" ini:



"Tenanglah Babe, aku selalu ada untukmu"
mendadak mataku basah,
hadirmu begitu nyata.



Ternyata sosok Babe bagi Yeni Fransisca yang selalu diimpikan siang dan malam ialah Babe yang tangguh, kuat, dan penuh cinta kasih, seperti kutipan "Mimpi Malam" ini:


Dua hati sejiwa
Ataukah pertalian rasa
Lagi lagi kau datang, memberiku kekuatan
Bisikan itu kudengar lagi
"Babe, I love you so much..."
Ah, Kau membuatku tegar dan sanggup melangkah


Seorang Yeni Fransisca tidak mempedulikan sesuatu apapun kecuali cinta. Silakan baca puisi terakhir bertajuk "Yang Lain, Aku Tak Peduli". Puisi-puisi pendek yang ditulis oleh Yeni Fransisca ini tak palak lagi kaya aan aforisma-aforisma, gambaran kesan dan tanggapannya terhadap fenomena kehidupan. Fenomena kehidupan di sekelilingnya bersama keluarga (Babe--entah siapa yang dijadikan acuan Babe ini, bisa jadi seoorang ayah atau justru seorang suami). Sajak-sajak pendek gubahan Yeni Fransisca terasa lembut, namun terasa juga sesuatu yang menyentak. Sajak-sajak pendeknya telah sanggup berkomunikasi secara efektif dengan para pembacanya.


Penutup:

Demikian catatan ringkas ini, sebagai tanda perkenalan saya dengan Yeni Fransisca yang telah berkenan metagg puisi-puisinya ke wall saya. Tiada gading yang tak retak, tetapi justru lantaran keretakannyalah yang membuat nilai gading menjadi bernilai. Salam DAM, damai senantiasa. Kepada pembaca yang belum membaca puisi-puisi pendek lkarya Yeni Fransisca, berikut ini saya sertakan kutipannya, silakan mencicipi dan jika berkenan memberikan respon.



Puisi-puisi karya Yeni Fransisca:

NOTHING ELSE MATTERS

HUJAN

slalu kau tanya mengapa kusuka hujan,
karena bersamanya
aku bebas deraskan airmata
tanpa ada yang menghalanginya
tanpa malu siapapun kan tahu


MIMPI SIANG

kurasakan belaian tangan mendarat hangat di kepala
dan bisikan lembut merasuk ke dinding rasa
"Tenanglah Babe, aku selalu ada untukmu"
mendadak mataku basah,
hadirmu begitu nyata.


MIMPI SEMALAM

Dua hati sejiwa
Ataukah pertalian rasa
Lagi lagi kau datang, memberiku kekuatan
Bisikan itu kudengar lagi
"Babe, I love you so much..."
Ah, Kau membuatku tegar dan sanggup melangkah


YANG LAIN, AKU TAK PEDULI

Entah mereka mau bilang apa
Entah mereka bermain apa terhadap kita
Kita akan tetap dekat, dan selamanya saling percaya
Yang lainnya, aku tak peduli
Cinta ini milik kita



Jakarta, 16 April 2011



Salam DAM, damai senantiasa di dalam hujan, apalagi hujan cinta
Jambi, 17 April 2011

Sabtu, 09 April 2011

CAPAIAN ESTETIK PUISI INDONESIA, SEBUAH CATATAN RINGKAS

Oleh Harris Effendi Thahar**)



1. Pembuka



Selepas tumbangnya Orde Lama di penghujung 1960-an, muncul kegairahan baru dalam proses penciptaan seni. Saat itu kebebasan baru muncul setelah kungkungan demokrasi terpimpin di bawah komando Presiden Soekarno runtuh bersama tenggelamnya “seni untuk rakyat dan seni sebagai alat revolusi” yang dicanangkan kaum komunis Indonesia. Penganut Manikebu (Manifes Kebudayaan 8 Mei 1964) yang mengklaim “seni untuk seni”sebagai lawan kaum komunis dan pemerintahan Soekarno, pada awal 1970-an mulai bangkit dan berubah pandangan. Bahwa, persoalan kebudayaan bukanlah masalah berorientasi ke Barat atau ke Timur, melainkan kembali ke akar tradisi dalam proses dan capaian cipta seni, terutama dalam penciptaan puisi.

Roda sejarah berputar terus dan sejarah pun berulang bagaikan roda pedati. Di masa Orde Lama politik sebagai panglima dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Buku-buku yang tidak sesuai dengan jalannya revolusi akan digilas dan media massa yang dianggap anti revolusi dibredel pemerintah serta para aktivis dipenjarakan. Di antara para aktivis dan sastrawan yang dipenjarakan adalah Mochtar Lubis, HB. Jassin, dan HAMKA. Berikut buku-bukunya juga dilarang beredar, termasuk buku-buku Sutan Takdir Alisyahbana dan Usmar Ismail. Demikian juga halnya pada masa pemerintahan Orde Baru (1966 sd. 1998), pelarangan buku-buku sastra yang sekalian pengarangnya dipenjarakan adalah Pramudia Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Rivai Apin dan tidak sedikit pula yang membuang diri ke luar negeri.

Masa eforia dan bulan madu kemenangan Orde Baru 1966 yang ditandai oleh puisi-puisi protes sosial Taufiq Ismail dan WS Rendra tidaklah lama. Kebebasan berekspresi para sastrawan dan penyair mulai dibatasi oleh politik pembangunan pemerintahan Soeharto yang dilatari oleh pemerintahan militer berbaju sipil. Kondisi ini timbul setelah peristiwa Malari (15 Januari 1974) pelarangan-pelarangan yang disebut dengan pembredelan penerbitan media massa sewaktu-waktu pasti muncul karena dianggap tidak sejalan dengan ideologi pembangunan. Maka berjatuhanlah korban-korban dengan dilarangnya terbit harian Indonesia Raya milik Mochtar Lubis, harian Pedoman milik Rosihan Anwar. Demikian juga harian Kompas, Sinar Harapan, dan majalah berita mingguan Tempo pernah dibredel dan cepat-cepat minta “ampun” lalu kemudian terbit kembali. Khusus Majalah Berita Mingguan Tempo, harus menunggu sidang pengadilan untuk dinyatakan tidak bersalah dan kembali terbit setelah pemerintahan Orde Baru tumbang.

Selanjutnya, di era reformasi (sejak 1998) ini tampaknya karya sastra yang paling banyak ditulis dan dipublikasikan adalah puisi. Hal itu dapat dilihat di hampir setiap koran edisi Minggu dan beberapa majalah secara rutin menerbitkan puisi-puisi baru yang ditulis oleh penulis-penulis produktif yang rata-rata berusia muda. Gejala ini jauh berbeda dengan zaman majalah sastra Horison dan Basis di tahun 70-80-an menjadi penyalur utama publikasi puisi. Selain itu, saat ini penerbitan buku-buku kumpulan puisi juga tampak lebih gencar, baik melalui penerbit perorangan maupun penerbit yang telah mapan. Singkatnya, perpuisian di tanah air saat ini mengalami booming, masa perkembangan baru ditinjau dari kuantitas penyair dan puisi-puisi yang ditulis. Selain itu, penghargaan terhadap karya sastra setiap tahun di tingkat nasional mau pun regional akhir-akhir ini telah memicu kegairahan menulis para sastrawan. Dengan demikian, muncul pertanyaan, bagaimanakah capaian estetik puisi Indonesia saat ini sehubungan dengan maraknya penulisan dan publikasi puisi?

Pertanyaan ini penting untuk dicarikan jawabannya sehubungan dengan kelahiran angkatan baru (2000-an) hingga kini belum mendapat posisi yang jelas dalam sejarah sastra Indonesia modern, karena ciri estetiknya belum memperlihatkan mainstream yang kuat.



2. Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachri



Chairil Anwar dianggap sebagai pelopor puisi modern Indonesia dengan gaya pengucapan yang bebas. Bebas dalam artian tidak lagi terpengaruh terhadap puisi-puisi yang ditulis oleh penyair-penyair Indonesia sebelumnya seperti M. Yamin,Amir Hamzah, Asmara Hadi dan lainnya yang masih terikat dengan pola-pola syair, pantun dan soneta. Tidak saja dari segi bentuk, tetapi dari segi kekuatan dan kedalaman isi sajak-sajaknya Chairil Anwar memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan perpuisian di Indonesia. Menurut Mahayana 1), dalam perjalanan hidupnya yang pendek, Chairil Anwar (1922-1949) berhasil menanamkan pohon kreativitas yang hingga kini masih terus berkembang dan berbuah. Chairil Anwar telah mencengkeramkan pengaruhnya dalam dunia pendidikan, yang menjadikan anak-anak sekolah senang berpuisi, mencintai puisi, mencintai sastra, dan mencintai Indonesia.

Penyair-penyair sesudah Chairil terus bermunculan, terutama setelah tumbangnya pemerintahan Orde Lama. Tersebutlah sejumlah nama yang mengemuka seperti WS Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi Joko Damono, Abdul Hadi WM, Taufiq Ismail, Sobagio Sastro Wardojo, Hartoyo Andangjaya, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar di samping sejumlah nama lain yang juga menulis puisi. Meski demikian, tidak terlihat perkembangan yang mencolok dari sajak-sajak yang ditulis oleh para penyair sesudah Chairil Anwar, kecuali dari segi tema-tema yang cukup beragam. Hal ini sangat terkait dengan sumber-sumber penciptaan yang tidak terbatas lagi dengan “melihat ke Barat atau ke Timur,” bahkan terlihat kecenderungan kembali pada kekayaan akar tradisi. Maka, adalah Sutardji Calzoum Bachri yang dikenal dengan puisi-puisinya yang berangkat dari tradisi pengucapan mantra.

Soetardji tidak saja terbatas pada pengucapan mantra, akan tetapi mengukuhkan kepenyairannya dengan kredo puisi-nya yang terkenal(1973)2). Inti dari kredo puisi Sutardji adalah membebaskan kata dari beban arti, kata adalah pengertian itu sendiri. Dengan kata lain, jangan bebankan kata dengan pengertian-pengertian, akan tetapi tampilnya kata-kata adalah pengertian itu sendiri sebagai mana yang terdapat dalam mantra-mantra yang memiliki kekuatan magis, tanpa mempertanyakan lagi pengertiannya. Dengan demikian Sutardji pada zamannya telah menanamkan tonggak kepenyairannya yang ”baru,” sekaligus menandai perkembangan baru perpuisian Indonesia. Sebagaimana lazimnya dunia penciptaan seni, tentu saja Sutardji diikuti oleh epigon-epigonnya yang merasa tren kepenyairan pada zaman itu adalah kembali ke akar tradisi.

Kehadiran dan kepenyairan Sutardji dianggap telah memberikan warna baru setelah Chairil Anwar, bahkan Sutardji pun mengklaim dirinya sebagai presiden penyair Indonesia pada tahun 70-an itu. Namun, kredo itu pun akhirnya diingkari setelah gema puisi mantra mulai pudar. Sutardji akhirnya juga menulis puisi di luar kredo yang pernah diproklamirkannya. Ia kembali pada lirik-lirik yang sarat dengan beban pengertian seperti yang dapat disimak pada sajaknya Tanah Airmata. Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar saja bila dilihat dari keterlibatan sosial penyair terhadap situasi lingkungannya yang mencengkam, seperti kutipan berikut ini.



Tanah Airmata

tanah airmata tanah tumpah darahku

mataair airmata kami

airmata tanah air kami



di balik gembur subur tanahmu

kami simpan perih kami

di balik etalase megah gedungmu

kami coba sembunyikan derita kami

kami coba simpan nestapa

kami coba kuburkan duka kami

tapi perih tak bisa sembunyi

ia merebak ke manamana



bumi memang tak sebatas pandang

dan udara luas menunggu

namun kalian takkan bisa menyingkir

ke mana pun melangkah

kalian pijak airmata kami

ke manapun terbang

kalian kan hinggap di airmata kami

ke mana pun berlayar

kalian arungi airmata kami



kalian sudah terkepung

takkan bisa mengelak

takkan bisa ke mana pergi

menyerahlah pada kedalaman airmata kami

(1997)



Meski demikian, penyair-penyair seangkatan Sutardji tetap saja menulis puisi dengan gaya pengucapan masing-masing. Sajak-sajak lirik Sapardi Joko Damono masih tetap eksis dengan imaji-imaji yang memukau, sajak-sajak sufistik religius Abdul Hadi WM dan Hamid Jabbar, dan sajak-sajak kepedulian Goenawan Mohamad terhadap kemanusiaan tetap saja memperkaya heterogenitas estetika perpuisian Indonesia. Agar lebih jelas, berikut ini dikutipkan salah satu sajak Goenawan Mohamad.



Aungsang Suu Ky



Seseorang akan bebas dan akan selalu

sehijau kemarau

Seseorang akan bebas dan sehitam asam

musim hujan

Seseorang akan bebas dan akan lari

atau letih

Dan langit akan sedikit dan bintang

beralih

Dan antara tiang tujuh bendera dan pucuk pucat

pagoda

Seseorang akan bebas sorga akan

tak ada

Tapi barangkali seseorang akan bebas dan memandangi

tandan yang terjulai

tandan di pohon saputangan, tandan ditebing jalan

ke Mandalay



(1996-1997)



3. Afrizalian



Tersebutlah Afrizal Malna 1980-an sebagai penyair yang muncul setelah redupnya kredo puisi Sutardji. Sajak-sajaknya yang ciri-cirinya bertolak belakang dengan pengucapan akar tradisi, katakanlah mantra dan pantun, sempat membawa pengaruh kepada penyair-penyair seangkatannya. Maka, pada awal 1990-an sempat muncul gaya Afrizalian yang nyaris menjadi mainstream dunia perpuisian Indonesia pada masa itu3). Untuk lebih jelas, dikutipkan sebuah sajak Afrizal berikut ini.



Dada

Sehari. Waktu sama sekali tak ada, Dada. Bumi terbaring dalam

tangan yang tidur. Ingin jadi manusia terbakar dalam mimpi sendiri.

Sehari. Semua terbaring dalam waktu tak ada. Membaca, Dada.

Membaca kenapa harus membaca, bagaimana harus dibaca. Orang-orang terbaring dalam tubuhnya sendiri, orang-orang terbaring dalam pikirannya sendiri. Mengaji, Dada. Mengaji. Keinginan jadi manusia, menulis dan membaca di tangan sendiri.



Sehari. Waktu tidak menanam apa-apa, Dada. Hanya hidup, hanya hidup membaca dirinya sendiri; seperti anak-anak membaca, seperti anak-anak bertanya. Menulis, Dada. Menulis kenapa harus menulis, bagaimana harus ditulis. Orang-orang menjauh dari setiap yang bergerak. dada, seperti menakuti dari setiap yang dibaca dan

ditulisnya sendiri. Membaca jadi mengapa membaca, menulis

menjadi mengapa menulis.



Sehari. Aku bermimpi aku jadi manusia, Dada.Sehari.

Dada Sehari.



(1983)

Kesan apakah yang ditimbulkan oleh sajak Dada di atas? Kontemplasi penikmat puisi dibawa Afrizal ke alam surealis, mengaduk bawah sadar, tanpa dapat menjelaskan apa yang berkecamuk di dalam dada jika suatu hari atau sekali waktu terperangkap dalam mimpi-mimpinya sebagai manusia. Di sisi lain, sebagian pembaca cepat-cepat menuding sajak-sajak Afrizal sebagai puisi gelap karena ketaklaziman bangun narasinya. Keunikan sajak-sajak Afrizal ini banyak memberi inspirasi pada pengikut-pengikut seangkatannya yang kadang-kadang memang terpleset pada “kegelapan” makna.

Sementara itu, esai-esai yang ditulis Afrizal Malna pada umumnya sangat lugas, tajam, dan tentu saja esai-esai yang terang dan bernas. Satu hal yang perlu dicatat bahwa puisi dan esai-esainya tetap memiliki kesamaan nuansa, senantiasa baru dalam pengucapan dan pesona eksplorasi bahasanya yang mempribadi.







4. Joko Pinurbo, Acep Zamzam Noor, Sitok, Gus tf. dan Rieke Diah Pitaloka

Menjelang berakhirnya abad ke-20, dunia perpuisian Indonesia dikejutkan oleh sajak-sajak Joko Pinurbo. Sajak Celana-nya seperti bermain-main; akan tetapi dinilai istimewa oleh banyak orang. Demikian juga halnya jadwal kumpulan puisinya Di Bawah Kibaran Sarung, terkesan sebagai antipoda terhadap diksi-diksi puisi yang telah ditulis orang lain selama ini.

Banyak pengamat menilai, justru di balik kesederhanaan dan antipoda diksi tersebut sajak-sajak Joko Pinurbo justru selalu diikuti oleh kejutan-kejutan. Kejutan-kejutan tersebut justru terletak pada logika akhir yang selalu tak terduga dan membalikkan logika biasa. Berikut ini dikutipkan salah satu sajak Joko Pinurbo.



Celana (3)4)



Ia telah mendapatkan celana idaman yang lama

didambakan, meskipun untuk itu ia harus

berkeliling kota dan masuk ke setiap toko busana.



Ia memantas-mantas celananya di depan cermin sambil

dengan bangga ditepuk-tepuknya pantat tepos

yang sok perkasa. “Ini asli buatan Amerika,”

katanya kepada si tolol yang berlagak

di dalam kaca.



Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih

yang menunggunya di pojok kuburan. Ia memamerkan

celananya: “Ini asli buatan Amerika.”



Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang

bertenger di dalam celana. Ia sewot juga.

“Buka dan buang celanamu!”



Pelan-pelan dibukanya celana yang baru, yang

gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung

yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah ke mana.



1996

Dewan juri Khatulistiwa Award 2005 memilih kumpulan puisi Joko Pinurbo Kekasih sebagai pemenang dan berhak mendapatkan hadiah sebesar Rp 50 juta serta akses untuk mengikuti festival penulis tingkat dunia. Koodinator dewan juri, Riris K. Sarumpaet5) mengomentari sajak-sajak Joko Pinurbo bahwa ia menjungkirbalikkan kaidah artistik puisi dengan justru mengembalikan bahasa puitik ke bahasa sehari-hari. Permainan citranya sarat kejutan, kaya akan simbol, lembut, dan mengandung misteri kehidupan. Lebih lanjut Riris mengatakan, ketika yang sederhana menjadi puisi, maka baik kata, tema, maupun keheningan yang dibawanya menjadi sangat tidak sederhana dan tidak biasa.

Kehadiran puisi-puisi Joko Pinurbo telah sangat meninggalkan Afrizalian yang sarat tegangan absurditas dan beban imaji. Meski demikian, penyair-penyair seangkatan Joko Pinurbo semisal Acep Zamzam Noor, Sitok Srengenge, Gus tf, dan Diah Pitaloka (sekadar untuk menyebut beberapa nama) masih tetap dengan puisi-puisi lirik dengan gaya pengucapan masing-masing. Dari ketiga penyair yang disebut belakangan terkesan kesalehan yang dalam atas kesadaran tentang dunia serta posisi penyair sebagai makhluk religius. Jika penyair Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin yang disebut sebagai pelopor Angkatan 45 kesusastraan Indonesia modern yang juga menulis puisi tentang Tuhan barulah sebatas munajad vertikal (hablumminallah). Sementara itu, Acep dalam sajaknya “Cipasung” justru munajad vertikal dan horizontal (hamblumminallah dan hablumminanas) menjadi satu dalam suatu eksplorasi bahasa yang puitis.

Acep Zamzam Noor yang telah banyak menerbitkan buku puisi ini berhasil menjadi pemenang Khatulistiwa Award 2007. Untuk lebih dekat dengan Acep Zamzam Noor, berikut kutipan salah satu sajaknya.



Cipasung



Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning

Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri

Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu

Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental

Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup

Dan surauku terbakar kesunyian yang menyalakan rindu



Aku semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi

Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari

Segala tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar

Bagi pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku

Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan

Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu



Hari esok adalah perjalananku sebagai petani

Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat

Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini

Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan

Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain

Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan berkubur



!989



5. Angkatan 2000 dan Binhad Nurrohmat



Angkatan 2000-an yang dimaksud di sini tidaklah merupakan penandaan telah lahirnya angkatan baru yang memiliki perbedaan mainstream dengan angkatan sebelumnya, melainkan untuk menadai bermulanya “kemeriahan” menulis dan publikasi puisi melalui media massa (cetak dan elektronik) serta penerbitan buku-buku puisi di mana-mana. Harian Kompas yang sebelumnya tidak menerbitkan puisi pada edisi Minggu, sejak permulaan abad XXI mulai mengikuti langkah beberapa koran menerbitkan puisi bersama cerpen dan esai. Hal ini menambah kemeriahan perpuisian Indonesia dan memberi ruang yang lebih luas kepada penulis-penulis puisi yang lebih muda usia, rata-rata para penulis yang lahir di pertengahan tahun 70-an hingga 80-an. Selain itu, angkatan 2000-an yang dimaksud di sini juga berdasarkan nama-nama penulis puisi yang belum tercatat di dalam buku Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2001) karena buku ini baru memuat sampai Moh. Wan Anwar yang lahir 1970. Meski demikian, kelahiran penulis-penulis puisi muda usia yang marak saat ini memublikasikan karya-karya mereka tidaklah berarti penulis-penulis yang sudah eksis sebelumnya berhenti menerbitkan puisi. Di antara penulis-penulis puisi yang lebih senior, Joko Pinurbo, Acep Zamzam Noor, Mardi Luhung, Iyut Fitra, Sitok Srengenge, dan lainnya masih terus menulis dan memublikasikan puisi-puisi mereka.

Maka, tersebutlah nama-nama seperti Binhad Nurrohmat, Aslan Abidin, Agus Hernawan, Wayan Sunatra, Ahda Imran, dan beberapa nama yang lebih muda, Inggit Putra Marga, Fitri Yani, M. Aan Mansyur dan seterusnya. Selain itu, berpuluh nama lainnya yang bermukim di kota-kota Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Bali yang tak dapat saya himpun nama dan karya-karya mereka, adalah pendatang baru dalam dunia perpuisian Indonesia mutakhir. Suatu hal yang menarik untuk dicatat adalah “kemeriahan” dan kegairahan menulis puisi yang intensitasnya jauh melebihi masa-masa sebelumnya. Berat dugaan bahwa hal ini terjadi berkat maraknya kegiatan komunitas-komunias sastra yang berkembang di awal abad ini. Menurut catatan, di Jabodetabek saja ada sekitar 50-an kumunitas sastra.

Meriahnya publikasi puisi saat ini, tidaklah dengan sendirinya merupakan indikator bahwa tingkat kematangan dan kekuatan visi penulis (penyair) sekaligus tercapai dengan sempurna. Masing-masing berada dalam proses mengeksplorasi bakat dan kadar intelektualitas, walaupun tingkat kematangan puisi tidak harus tunduk pada kemudaan usia. Hal itu telah dibuktikan oleh Chairil Anwar pada zamannya.

Setelah redanya hiruk-pikuk puisi-puisi protes sosial di permulaan Era Reformasi, dunia perpuisian Indonesia dikejutkan oleh lahirnya kumpulan puisi Binhad Nurrohmat, Kuda Ranjang. Penyair yang produktif ini juga nyaris memenangkan hadiah Khatulistiwa Award 2007 karena kumpulan puisinya Bau Betina merupakan salah satu dari 10 nominasi yang akhirnya dimenangkan Acep Zamzam Noor. Keistimewaan Binhad barangkali dari kejeliannya memilih garapan tema kemanusiaan dengan pengucapan yang lebih intim dan selama ini dianggap nakal, seperti halnya Joko Pinurbo dengan sajak “Celana” dan “Sarung“-nya. Namun keduanya berbeda dalam pengucapan.

Angkatan muda usia yang sedang produktif menulis dan memublikasikan puisi saat ini, merupakan kelanjutan dari generasi sebelumnya yang telah menghindari tradisi sajak-sajak lirik yang memaksakan bunyi. Akan tetapi lirik-lirik panjang maupun pendek tetap saja berusaha membangun narasi-narasi profan yang tampaknya berusaha lebih bebas dalam mencapai kesan estetik. Meski demikian, capaian estetik puisi-puisi Indonesia mutakhir belumlah memperlihatkan perubahan yang besar atau suatu mainsteam yang kuat seperti kuatnya Chairil Anwar pada masa kehadirannya sebagai penyair modern Indonesia. Kuantitas dan keberagaman pengucapan bahasa lebih menonjol ketimbang capaian estetik puisi. Tampaknya, masa booming puisi hari ini akan melahirkan mainsteam yang baru. Siapa tahu?*



Padang, 30 April 2008

*) Makalah untuk Temu Sastrawan Indonesia I di Jambi (makalah ini belum disunting)
**) Staf Pengajar Fakultas Bahasa Sastra dan Seni dan Pascasarjana Universitas Negeri Padang

1) Kompas, edisi Rabu 16 April 2008, halaman 12.
2) Sutardji Calzoum Bachri. Isyarat, kumpulan esai, hal. 3, penerbit Indonesiatera, Jogja 2007.
3) Ahmadun Yosi Herfanda, “Heterogenitas Puisi Indonesia Mutakhir,” http//dianing.wordpress.com/2007/06/12, diakses 18/1/2008.
4) Taufiq Ismail dkk.2002. Horison Sastra Indonesia (1) Kitab Puisi, hal.409. Jakarta:Horison/Ford Found.
5) Ruang Baca Koran Tempo, Edisi 30/10/2005 melalui http//jokpin.blogspot.com diakses 1/17/2008

Kamis, 07 April 2011

Catatan TSI 1 di Jambi: PALEMBANG HARUS BELAJAR PADA JAMBI

Oleh Purhendi

Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 1 di Jambi (7—11 Juli 2008) telah berlalu. Namun gaungnya masih terasa. Ada cengkrama yang tetap hangat. Ada silang sengketa soal karya sastra. Ada juga gagasan cemerlang ke masa depan. Sastrawan generasi terkini sampai yang sudah gaek masih juga hadir. Beberapa nama sastrawan yang sudah tidak asing lagi di antaranya yaitu L.K. Ara, Putu Wijaya, Sunaryono Basuki, Hamsad Rangkuti, Yvone de Fretes, Diah Hadaning, Tan Lioe Ie, dan lain-lain. Lantas, makna apa yang dapat diambil, terutama oleh para pekerja sastra di Palembang (Sumatra Selatan)?

Acara TSI yang telah menghadirkan sekitar 164 sastrawan dari berbagai pelosok tanah air tersebut tentulah hasil kerja keras segenap panitianya (ketua pelaksana Dr. Sudaryono, M.Pd. alias penyair Dimas Arika Mihardja) serta para pejabat di jajaran pemerintahan Jambi. Kekompakan mereka tampak dari kesigapan panitia dalam berbagai mata acara serta berbagai fasilitas yang digunakan untuk kegiatan. Hal ini, barangkali, di antara sesuatu yang harus dipelajari oleh para seniman/sastrawan di Palembang (Sumsel) di masa yang akan datang. Ini bukan tanpa alasan. Sebab, pada tahun 2010 nanti, melalui usulan rekan penyair Anwar Putra Bayu, Palembang telah direkomendasikan sebagai penyelenggara TSI. Sedangkan tahun 2009, daerah Bangka Belitung yang akan menjadi tuan rumah, melalui perpanjangan tangan rekan sastrwan Sunli Thomas Alexander, yang belum lama ini menjadi mualaf.

Dari TSI di Jambi tersebut, selain merekomendasikan Bangka Belitung dan Sumsel untuk menjadi penyelenggara berikutnya, juga menghasilkan beberapa keputusan lain, di antaranya sebagai berikut. Pertama, daerah penyelenggara berikutnya boleh melaksanakan kegiatan dengan tema dan sistem yang berbeda, terutama dikaitkan dengan keaktualan pada masa tersebut. Akan tetapi, nama TSI tetap dicantumkan sebagai wujud keberlanjutan dari acara di Jambi.

Kedua, perlu dibentuk sebuah wadah advokasi sastra sebagai upaya pembelaan terhadap para sastrawan yang mungkin saja mengalami intimidasi dari pihak-pihak tertentu secara sepihak. Dari beberapa nama wadah yang diusulkan kemudian disepakati nama ASI (Aliansi Sastra Indonesia).

Di malam pertama, saat pembukaan, diluncurkan dua antologi, yaitu Senarai Batanghari (cerpen) dan Tanah Pilih (puisi). Hari berikutnya, pada sesi-sesi persidangan, barangkali perlu dicari formula atau tema yang kekinian. Sebab bagi para sastrawan, materi-materi yang tersaji tampaknya bukan merupakan informasi baru. Banyak materi yang secara tidak langsung sudah dipahami oleh para peserta. Maklum, rata-rata yang hadir dapatlah dikatakan sastrawan ‘senior’. Walau demikian, tetap saja hal tersebut merupakan sesuatu yang menarik, baik sebagai informasi terdokumen masa kini maupun penambahan ide serta pola pikir untuk kegaiatn yang akan datang. Apalagi acara di Jambi merupkan TSI pertama yang mungkin saja masih dicari dan dikembangkan formula-formulanya secara khusus.

Adapun materi-materi persidangan yang disampaikan oleh para pemakalah lumayan padat. Pada hari kedua (hari pertama khusus cek in), misalnya, materi yang tersaji yaitu “Capaian Estetik Puisi Indonesia” oleh Haris Effendi Thahar, “Capaian Estetik Prosa Indonesia” oleh Sunaryono Basuki K.S., “Pengajaran Sastra Indonesia dan Regenerasi Sastrawan” oleh Suminto A. Sayuti, “Regenerasi Sastrawan Indonesia: Problema dan Solusi” oleh Korrie Layun Rampan, “Tradisi Kritik dalam Masyarakat Antikritik” oleh Hary S. Sarjono, “Dinamika Kritik Sastra Indonesia” oleh Ahda Imran, dan “Regenerasi Kritikus Sastra Indonesia” oleh Afrizal Malna dan Maizar Karim. Sedangkan materi persidangan pada hari ketiga meliputi “Kebijakan Surat Kabar dan Majalah dalam Publikasi Karya Sastra Indonesia” oleh Ahmadun Yosi Herfanda, “Kebijakan Penerbit dalam Publikasi Karya Sastra Indonesia” oleh Kartini Nurdin, “HAKI untuk Karya Sastra Indonesia” oleh Abdul Bari Azed, “Advokasi Sastra dan Sastrawan Indonesia” oleh Fadlillah, dan “Wadah Sastrawan Indonesia: Filosofi dan Organisasi” oleh Acep Zamzam Noor.

Sebagai acara para sastrawan, setiap malam selama TSI ini tentu saja dikhususkan untuk dan oleh para sastrawan (dan masyarakat umun, tentu). Ada pembacaan puisi, pembacaan cerpen, monolog (Putu Wijaya), musikalisasi puisi, sastra tradisi/tutur, serta beberapa tari tradisional oleh masyarakat. Semua acara malam pesta sastrawan ini dilaksanakan di panggung terbuka Dewan Kesenian Jambi.

Hal lain yang juga menarik dari TSI ini yaitu adanya materi khusus untuk para guru, mahasiswa, dan penulis pemula, yaitu workshop penulisan kritik sastra di kantor Balai Bahasa Provinsi Jambi. Materi yang disajikan dalam dua hari ini dikomandani oleh sastrawan Maman S. Mahayana dan Agus R. Sarjono. Sedangkan pada hari terakhir diselenggarakan paket wisata ke situs percandian di Muaro Jambi.

Pesta sastra di Jambi memang telah usai, namun pesta sastra lainnya ke depan masih akan berlanjut. Palembang (Sumsel) dan segenap sastrawannya harus siap untuk melaksanakan hajatan dua tahun ke depan di 2010. Penulis (Purhendi), Anwar Putra Bayu, Koko P.Bhairawa, dan Jajang R. Kawentar, sebagai sastrawan yang telah diundang tentunya telah melihat dan merasakan langsung bagaimana denyut kegiatan sastra secara nasional itu. Tentu telah ada bekal yang dibawa. Telah ada pula rencana yang diinginkan. Juga ada idealisme yang hendak diwujudkan. Tinggal bagaimana nanti, mampukan terjalin kebersamaan antara para sastrawan di Palembang (Sumsel) serta para pemegang kebijakan di daerah ini yang konon merupakan daerah terkaya ke-5 secara nasional? Mampukah daerah yang dikenal sebagai lumbung pangan dan lumbung energi ini melaksanakan hajatan yang bernama sastra? Kita tunggu saja. Semoga, harus, dan pasti bisa!

Palembang, Juli 2008

Catatan: tulisan ini telah dimuat pada surat kabar Berita Pagi (Palembang) edisi Minggu, 20 Juli 2008

PURHENDI. Lahir di Desa Banjaran (Jateng), 11 Maret 1968. Menamatkan FKIP Unsri jurusan Bahasa Indonesia tahun 1993. Telah 20 tahun turut mengisi dunia sastra di Sumatra Selatan dan menjadi guru Bahasa Indonesia di berbagai SMP dan SMA, juga di berbagai bimbingan belajar di Palembang/Sumatra Selatan. Menulis cerpen, puisi, dan esai di berbagai media massa ibu kota dan daerah. Di antaranya pernah dimuat di Horison, Femina, Republika, Media Indonesia, Harian Ekonomi Neraca, Album Cerpen, Asah Asih Asuh, Romansa, Annida, Ceria Remaja, Anita Cemerlang, Lampung Post, Singgalang, Taruna Baru, Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres, Transparan, Suara Rakyat Semesta, Detak Jakarta, Monica, Berita Pagi, Palembang Ekspres, dll. Lebih dari 20 bukunya sudah terbit, baik yang berupa kumpulan puisi, cerpen, maupun esai, baik tunggal maupun bersama. Telah lebih dari 20 kali pula memenangkan sayembara penulisan cerpen, puisi, dan esai, baik tingkat lokal maupun nasional. Sejak awal September 2008, hijrah ke kampung halaman di Desa Banjaran bersama keluarga.

KAJIAN BUDAYA HERU EMKA: JALAN PEDANG HANS JALADARA

Apakah Anda pernah membaca komik Panji Tengkorak karya Hans Jaladara (Versi II, 15 jilid, 568 halaman. UP. Prasidha, Jakarta, 1985) ? Bagaimana Anda menafsirkan jalan hidup pendekar kelana yang menyembunyikan wajahnya dalam topeng berbentuk tengkorak ini ? Bagi saya, perjalanan hidup seorang Panji Tengkorak mirip mitos Sisifus, manusia-setengah-dewa yang dengan tabah menempuh hidup sebagai hukuman, dan menghadapi kekesia-siaan sebagai bagian dari hidupnya.

Bila Sisifus – yang saya baca dari penafsiran Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus, Penguin Modern Classics, 1980 - berani membocorkan rahasia dewa dan ikut campur tangan dalam menentukan nasih manusia,- maka Panji Tengkorak adalah figur seorang pendekar kelana yang menghayati takdir hidupnya di Jalan Pedang. Karena ingin mengubur identitas dan masa silamnya yang pahit, lelaki yang mengenakan mengenakan topeng tengkorak ini memutuskan untuk mengembara kemana saja sambil menyeret peti mati isterinya (Nesia), karena pendekar ini sudah bersumpah setia tak akan meninggalkan isterinya, dalam keadaan hidup atau mati (Panji Tengkorak, jilid 15. hal 551.)

Yang membuat hidup Panji mirip dengan Sisifus adalah rentetan kesia-siaan serta absurditas yang mengiringi Panji sepanjang hidupnya. Isu tentang buku rahasia ilmu silat yang dimilikinya tak saja membuat Panji selalu diintai bahaya, namun juga merenggut jiwa Murni, kekasihnya. Padahal buku itu sengaja dirobek-robek oleh panji, karena dianggap tak ada gunanya. Jalan Pedang yang ditempuh Panji sebagai seorang pendekar tak saja membuatnya bertarung melawan berbagai penjahat – termasuk perompak dari Jepang – termasuk Kebo Beok, gembong penjahat yang ternyata punya kaitan dengan asal usul Panji yang serba kabur.


Kelebat pedang dan cinta yang absurd

Jalan Pedang ini ternyata juga diwarnai beberapa kisah cinta yang tak kalah absurd di tengah kelebat pedang dan semburan darah. Inilah kebolehan Hans Jaladara sebagai komikus, dalam soal merangkai cerita. Tak kurang dari empat perempuan cantik dengan beragam karakter menaruh hati pada Panji.

Yang pertama adalah Mariani, adik Brajanata, lelaki yang terbunuh oleh Panji dalam sebuah duel di tengah jembatan (Jilid I hal 15). Yang kedua adalah Dewi Bunga, pendekar cantik yang mencari Panji untuk membalas dendam karena ayahnya Lakadana, juga terbunuh di tangan Panji. Yang ketiga Andini, pendekar cantik yang telengas namun rela mengorbankan jiwanya untuk Panji, bahkan setelah dia tahu bila cintanya terhadap Panji ternyata bertepuk sebelah tangan ( Jilid 14, hal 482). Yang terakhir, Nesia si mawar liar, yang dibesarkan oleh tokoh jahat Datuk Muka Hitam. Cinta Nesia inilah yang paling posesif , sehingga dia menggunakan segala cara, termasuk meracun Mariani dan memaksa Panjji bersumpah setia padanya bila ingin mendapatkan penawar racun itu.

Semua pernyataan cinta ini terasa absurd karena Panji harus memilih langkah yang paling tak membahagiakan dirinya. Kepada Mariani, perempuan lugu yang paling dicintai, karena wajah dan tubuhnya begitu mirip dengan Murni, mendiang kekasih Panji dulu, pendekar ini harus menyatakan penolakannya, karena terlanjur bersumpah setia pada Nesia, wanita yang sebenarnya justru dibenci oleh Panji. Adakah Mariani mengerti bahwa pengingkaran Panji ini terjadi karena Panji ingin menyelamatkan jiwa Mariani ? Dan kenapa sebuah Panji tak berani menyatakan cintanya yang tumbuh diam-diam untuk Mariani ? Dan kenapa Panji lebih memilih menyeret peti mati di sepanjang jalan hidup yang penuh dengan kelebat pedang ?

Apakah Panji merasa kebahagiaan dan kedamaian yang didambakan semua orang sebagai sesuatu yang absurd dan sia-sia dijalani oleh seorang pendekar pedang seperti dirinya ? Apalagi bayang-bayang gelap sejarah masa silamnya, kelahiran dan masa kanak-kanaknya yang terbungkus kabut misteri, terkuakkan dengan sebuah tragedi yang menyakitkan ketika dalam sebuah duel yang menentukan, penjahat besar Kebo Beok mengakui bila Panji adalah anak yang lama terpisah dengannya.

Narasi kehidupan pahit Panji Tengkorak ini membuat saya memahami apa yang diucapkan Camus tentang Sisyphus, bahwa penderitaan membuat tokoh ini lebih hebat daripada takdirnya, lebih kuat dari batu, alat penghukumnya. “ ..he is superior to his fate. He is stronger than his rock.” – tulis Camus dalam The Myth of Sisyphus, hal 109. Mungkin Camus meyakini bahwa kebahagiaan akan muncul hanya dari berbagai penemuan yang absurd ( …that happiness necessarily springs from the absurd discovery.) namun bagi Panji, kematian orang yang dicintai (Murni) membuat dirinya hampir gila dan nekat menempuh hidup di Jalan Pedang. Ajal Andini dan Nesia, yang mengorbankan diri dengan cara berbeda, serta rasa aib sebagai anak penjahat Kebo Beok, bahkan membuat Panji hampir bunuh diri.

Menempuh Jalan Pedang sambil menyeret peti mati, bukankah ini tak ubahnya menyongsong ajal dalam hidup yang absurd ? Hans Jaladara sendiri tak melukiskan gejolak batin Panji, kecuali diakhir komik Panji tengkorak ini dia menuliskan narasi;” Laki-laki itu menyeret-nyeret peti jenasah ghadis yang dibencinya, tapi yang mencintai dirinya….Apakah Panji akhirnya berbahagia ? Entahlah. Namun Albert Camus di akhir esainya tentang Sisifus menuliskan,” One must imagine Sisyphus happy.”

Nafas man hua dan anakronisme

Yang menarik, Hans Jaladara termasuk komikus dengan nafas kreatifitas yang panjang. Banyak komikus di Indonesia, namun biasanya mereka hanya bisa disebut sebagai ‘tukang gambar’ saja, karena mereka biasanya kedodoran dalam kemampuan merangkai cerita. Dari sisi ini nampak kelebihan Hans Jaladara sebagai seorang komikus. Pembacanya tak saja terkesan oleh gambar-gambar ekspresif yang ditampilkannya : pertarungan berdarah yang seru , aneka gerakan silat yang ‘benar’, adegan yang filmis, wajah para tokohnya yang ekspresif.

Semua gambar itu tumbuh dalam bingkai kisah yang mengalir, dengan berbagai kelokan yang cukup mengejutkan, beberapa penggalan yang membuat pembaca penasaran, dan adegan kilas balik yang menyimpan jawaban. Kisah seru Panji Tengkorak ternyata diimbangi dengan beberapa karya lain yang tak kalah menarik, seperti Walet Merah (16 jilid, 1969), Si Rase Terbang (8 jilid, 1969) dan sekuelnya yang berjudul Pandu Wilantara (9 jilid, 1977)

Walet Merah mengisahkan sepak terjang Warti, adik Mariani, yang sudah berubah menjadi perempuan sakti berbaju merah, sehingga mendapat julukan si Walet Merah. Dari sini saya melihat berbagai faktor yang sepertinya mempengaruhi komik silat Hans Jaladara. Pendekar wanita Walet Merah misalnya, kemunculannya agak bersamaan . dengan pendekar wanita yang berjuluk Walet Emas dalam sebuah film silat Hong Kong yang berjudul Come Drink With Me. Kebetulan DVD film silat keluarah Shaw Brothers ini juga menjadi bagian dari koleksi film silat saya.

Dalam film yang disutradarai oleh King Hu ini (sudah dirilis ulang oleh Shaw Brothers dalam bentuk VCD dan DVD), juga ada tokoh pengemis sakti yang dijuluki Kucing Mabuk. Dalam komik Walet Merah juga ada Kucing Mabuk, yang juga seorang pengemis sakti,- walau karakter dan alur kisah mereka berdua berbeda. Ini menunjukkan adanya faktor reminiscence atau pengaruh yang terjadi tanpa disadari, atas film silat Hong Kong atau cerita silat Cina atau komik silat man hua.

Nafas man hua ini terasa sekali dalam komik silat Hans Jaladara. Salah satu ilmu meringankan tubuh pendekar Pandu Wilantara si Rase Terbang, yakni ilmu terbang di atas rumput, mirip dengan ilmu Thio Bu Kie dalam kisah silat Golok Pembunuh Naga. Bahkan ada beberapa narasi dalam komik silat Hans yang alurnya mirip dengan bagian dari kisah silat Cina seperti Liang I Shen. Tokoh Panji Tengkorak bisa jadi diilhami oleh kekaguman Hans Jaladara terhadap pendekar kay pang (kaum pengemis) atau pendekar kelana seperti Zatoichi. Bahkan senjata Panji Tengkorak bukanlah pedang atau golok konvensional, di tempatkan dalam sarungnya, namun berupa bilah panjan

Walau bukan ganjalan besar, dalam komik Hans Jaladara terjadi jugta beberapa anakronisme. Misalnya dalam Panji Tengkorak, sejak awal dikisahkan Panji duduk di bawah pohon di tepian sungai Cikande ( jilid I, hal 2), di kawasan Pasundan. Namun Panji menunjukkan tingkah yang tak lazim di daerah Pasundan, pergi menyeret peti jenasah. Peti jenasah adalah idiom budaya Barat. Belakangan Panji, eh…Hans Jaladara mengakui adegan ini terpengaruh film koboi spagheti berjudul A Coffin for Django, yang dibintangi Giulianno Gemma. Bahkah Hans mengakui bila wajah Panji adalah wajah sang aktor koboi-spaghetti.

Bila Zatoichi punya profesi pemijat keliling, Panji Tengkorak walau berpakaian pengemis yang compang-camping, tak pernah nampak mengemis. Beberapa ankronisme lain seperti sebuah gua di kawasan Pasundan yang ternyata merupakan jalan lain menuju alam pra-sejarah, yang oleh Hans di sebut Alas Purba yang masih dihuni Tyranosaurus Rex. Namun saya bisa memahami bahwa alur kisah ini dipakai Hans sebagai legitimasi peningkatan ilmu silat Panji, karena di Alas Purba ini dia bertemu Harimau Bertangan Sakti, tokoh tua yang menurunkan tenaga dalam ‘yang sudah dilatih seratus tahun’ kepada Panji.

Yang menarik, Hans punya ide mengesankan. Pada sekuel Rase Terbang berikutnya; Pandu Wilantara, dia mengisahkan sang pendekar menderita amnesia, akibat luka parah yang didapat dari sebuah pertarungan. Dia hidup dalam identitas baru sebagai lelaki tanpa nama, yang dijuluki Jembros karena cambangnya yang tumbuh lebat. Djembros ini tak menyadari bila dirinya menguasai ilmu silat tingkat tinggi. Bagaimanapun juga Hans Jaladara seharusnya punya tempat yang istimewa dalam blantika komik Indonesia. Dan saya cukup senang melihat Hans kembali berkarya, saat komik terbarunya; Intan Permata Rimba, menghiasi harian Suara Merdeka. Namun sebagai pembaca setia Hans sejak tahun ’60-an, goresan Hans kali ini nampak encer sekali. Jauh dari gambar-gambarnya dulu yang ekspresif dan kaya detil. Apakah dikau sudah lelah, Hans ?



- Naskah ini menjadi bagian dari bukuku tentang budaya pop dan gaya hidup;
- Nietzsche di Tengah Mall ( 2011) yang akan diterbitkan -