Selasa, 15 Maret 2011

ESTETIKA KESUFIAN "TUHAN, KITA BEGITU DEKAT" ABDUL HADI WM

Oleh Puji Santosa


1. Pendahuluan

Abdul Hadi W.M. adalah salah seorang penyair yang telah menghasilkan beberapa kumpulan sajak, antara lain, Terlambat di Jalan (1968), Laut Belum Pasang (1971), Cermin (1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1975), Tergantung Pada Angin (1977), dan Anak Laut Anak Angin (1984). Salah satu sajak Abdul Hadi W.M. yang menarik dan kuat sehingga mengangkat dirinya sebagai penyair sufistik adalah sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat". Sajak ini dibuat oleh Abdul Hadi W.M. pada tahun 1976 yang dimuat dalam kumpulan sajak Tergantung Pada Angin (1977). Kemudian sajak tersebut dimuat kembali dalam kumpulan sajak Anak Laut Anak Angin (1984). Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" tersebut dipilih sebagai sampel dalam analisis sajak berdasarkan teori semiotika Riffaterre dalam memahami estetika kesufian.

Model penelitian sajak dengan menggunakan metode analisis semiotika Riffaterre di Indonesia pernah diterapkan oleh Rachmat Djoko Pradopo (1994) terhadap sajak "Dewa Telah Mati" karya Subagio Sastrowardojo, dan Faruk Ht (1996) yang menganalisis sajak "Aku" karya Chairil Anwar. Oleh karena itu, pemilihan sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" sebagai sampel penelitian dengan menggunakan pendekatan semiotika Riffaterre di dalam memahami estetika kesufian didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut.

1. Sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" memberikan nuansa sufistik yang bersifat Islami yang harus dibaca dalam dua tataran semiotik.
2. Sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" memiliki kekayaan referensi atau acuan sehingga membuat asyik menelusuri benang-benang tenunan maknanya.
3. Sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" dipandang sebagai karya puncak Abdul Hadi W.M. dalam penghayatannya sebagai umat Islam yang religius, imanen, dan transendental dari dimensi estetika kesufian.
4. Kajian sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" dengan menggunakan pendekatan semiotika Riffaterre sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan oleh orang lain sehingga mendorong penulis untuk mencoba menerapkan teori semiotika Riffaterre tersebut.


2. Kerangka Teori

Kata semiotika dalam bahasa Indonesia diturunkan dari bahasa Inggris: semiotics, yang berasal dari bahasa Yunani: semeion, yang berarti: tanda (Teeuw, 1984:47). Nama lain semiotika adalah semiologi. Para penutur bahasa Inggris dan di lingkungan kebudayaan Amerika nama semiotika sudah menjadi istilah yang umum. Istilah semiotika ini menjadi populer berkat buah pemikiran seorang filsuf dan ahli logika Charles Sanders Peirce. Ia menyamakan pengertian semiotika dengan logika (van Zoest, 1993:1). Peirce mengembangkan semiotika dalam hubungannya dengan filsafat pragmatisme. Sedangkan di lingkungan kebudayaan Perancis dan para penutur bangsa Eropah yang lain, nama semiologi lebih dikenal dan dipahaminya. Hal ini berkat jasa baik "Bapak Semiotika Modern" (van Zoest, 1992: 1), Ferdinand de Saussure, yang berhasil meletakkan dasar-dasar semiologi kebahasaan dan psikologi sosial bagi perkembangan ilmu semiotika.

Dalam pertumbuhan selanjutnya, semiotika dikembangkan menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri, antara lain, Charles Morris, Roman Jakobson, Jonathan Culler, Roland Barthes, Umberto Eco, Jurij J. Lotman, dan Michael Riffaterre. Kemudian, teori semiotika yang akan diacu dalam analisis sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" adalah teori semiotika yang dikembangkan oleh Michael Riffaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978). Ia menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa, puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Laras bahasa puisi tersebut disebabkan oleh penggubahan (displacing) makna, penciptaan (creating) makna baru, dan perusakan (distorting) makna kebahasaan sehari-hari. Bahasa sehari-hari itu bersifat mimetik sehingga membangun arti (meaning) yang beraneka ragam dan menampakkan adanya keterpecahan atau ketakgramatikalan (ungramatikalitas). Sebaliknya, bahasa puisi itu bersifat semiotik sehingga membangun makna (significance) tunggal dan memusat.

Sebagai wujud ekspresi kebahasaan, puisi hanya dapat dipahami maknanya apabila pembacanya mengusai konvensi bahasa. Pertama kali yang harus dimiliki pembaca adalah menguasai kode bahasa puisi yang dibacanya. Namun, pembacaan atas dasar konvensi bahasa itu, yang oleh Riffaterre disebut dengan pembacaan heuristik (1978: 5), tidaklah mencukupi untuk memahami makna yang sesungguhnya sebuah puisi. Dari pembacaan heuristik itu selanjutnya pembaca harus bergerak lebih jauh ke pembacaan hermeneutik (1978:6). Pembacaan hermeneutik ini mendasarkan pada konvensi sastra dan budaya. Artinya, dari pemahaman makna kebahasaan yang masih beraneka ragam dan menampakkan adanya keterpecahan (semiotika tataran pertama), pembaca puisi harus bergerak lebih jauh untuk memperoleh kesatuan makna puisi secara menyeluruh (semiotika tataran kedua). Gerak pembacaan puisi lebih jauh itu dimungkinkan karena pembaca didorong oleh adanya hambatan dalam pembacaan semiotika pada tataran yang pertama tersebut. Dalam pembacaan semiotika tataran pertama yang bertumpu pada tahap pembacaan heuristik itu banyak ditemukan arti yang beraneka ragam, keterpecahan makna, dan tampak berserak-serak tak beraturan atau ungramatikalitas (ketakgramatikalan). Itulah sebabnya pembacaan harus dilakukan dalam dua tataran.

Selanjutnya, Riffaterre menjelaskan bahwa memahami puisi itu seperti sebuah donat. Sesuatu yang hadir secara tekstual adalah daging donatnya. Sedangkan sesuatu yang tidak hadir secara tekstual adalah ruang kosong berbentuk bundar yang berada di tengahnya dan sekaligus menopang dan membentuk daging donat menjadi donat. Adapun ruang kosong yang tidak hadir secara tekstual itu menentukan sebuah puisi menjadi puisi. Ruang kosong seperti itu oleh Riffaterre disebut sebagai hipogram. Hipogram ini oleh Riffaterre dibedakan atas dua jenis, yaitu hipogram potensial (yang terkandung dalam arti kias atau majas bahasa sehari-hari, seperti presoposisi dan sistem deskriptif) dan hipogram aktual (yang berupa teks-teks atau wacana yang sudah ada sebelumnya yang dapat menjadi referensi atau acuan puisi tersebut).

Ruangan kosong berbentuk bundar yang berfungsi untuk menopang daging donat dan membuat donat menjadi donat itu sekaligus merupakan pusat makna dari sebuah puisi. Pusat makna seperti itu oleh Riffaterre disebut sebagai matriks. Seperti halnya hipogram, matriks ini tidak hadir dalam sebuah teks. Namun, aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang berupa model. Model ini berupa kata atau kalimat tertentu yang bersifat puitis. Model (atau dapat disebut sebagai pola dasar yang pertama) itu selanjutnya diperluas pengertian dan konteksnya sehingga menurunkan teks puisi secara keseluruhan. Sebuah model dapat sebagai tanda (kata atau kalimat) yang benar-benar puitis apabila mengacu pada sebuah hipogram tertentu atau bersifat hipogramatik. Artinya, model itu akan sangat bersifat puitis sebagai sebuah tanda apabila memiliki kekayaan referensi. Oleh karena itu, kesatuan tekstual puisi yang diturunkan dari matriks dan dikembangkan dari model di atas, menurut Riffaterre, merupakan sebuah struktur yang seringkali terdiri dari satuan-satuan yang beroposisi secara berpasangan (oposisi biner atau binari). Hubungan antarsatuan itu seringkali juga merupakan hubungan ekuivalensi atau kesejajaran makna.

3. Pembacaan Heuristik

Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau ungramatikalitas. Hal ini dapat terjadi karena hanya didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Agar lebih jelasnya, perhatikan sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" berikut.


Tuhan, Kita Begitu Dekat


Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat

Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu


(Abdul Hadi W.M., 1977, Tergantung Pada Angin)



Judul sajak di atas, "Tuhan, Kita Begitu Dekat", sebagai indeks terhadap teks karena merupakan "nama" teks yang bersangkutan, dan dapat dipahami dari makna kebahasaannya sebagai berikut.

Kata Tuhan berarti: sesuatu yang diyakini, dipuja, disembah oleh manusia sebagai Yang Maha Kuasa atau Maha Perkasa. Kata Tuhan adalah sebutan untuk khalik atau Sang Pencipta sebagai pujaan atau sembahan manusia dalam bahasa Melayu (Indonesia). Dalam bahasa Inggris kita temukan padanan kata Tuhan adalah: god, Latin: Yehuah, Cina: Deo, dan Arab: Allah Ta'ala. Kata kita yang berarti: kata ganti untuk orang pertama jamak, bukan mereka atau aku dan engkau (sekalian). Kata kita tersebut membayangkan adanya manusia, entah lelaki atau perempuan, entah tua atau muda, yang lebih dari seorang. Kata begitu artinya: (1) seperti itu; demikian itu; (2) sangat; terlalu; (3) segera setelah .... Kata dekat artinya: (1) pendek, tidak jauh (jarak atau antaranya); (2) hampir; (3) berhampiran (dengan); (4) akrab; melekat; intim; rapat (tentang hubungan dan lain sebagainya); dan (5) menjelang. Kalimat dalam judul sajak tersebut diulang kembali pada larik pertama dan kedua bait pertama, kedua, dan ketiga. Perulangan kalimat itu berfungsi sebagai penegas pengertian makna hubungan kedekatan antara manusia dengan Tuhan.

Sebagai api dengan panas merupakan perumpamaan hubungan antara Tuhan dengan kita (manusia). Kata sebagai merupakan alat metafora untuk memperbandingkan secara tidak langsung antara dua benda atau lebih. Kata sebagai itu berarti pula sama pengertiannya dengan kata seperti, semisal, seumpama, dan seibarat. Kata api berarti cahaya yang berasal dari sesuatu yang terbakar atau nyala. Sedangkan kata dengan berarti lagi pula, serta, dan sekalian atau bersamaan. Kata panas berarti terasa seperti terbakar atau terasa dekat dengan api.

Aku panas dalam apimu merupakan kalimat metafora yang dibangun dari kata-kata aku, panas, dalam, dan apimu. Kata aku berarti orang pertama tunggal. Secara memesis kata aku tersebut membayangakan adanya seseorang, entah lelaki atau perempuan, entah di mana, entah tua atau muda, dan entah kapan terjadi. Sebagai kata ganti atau sebutan orang pertama tunggal, kata aku jelas menunjukkan adanya manusia. Kata panas dan api artinya sudah diterangkan di muka. Kata dalam artinya di atau berada. Kata -mu sebagai kependekan dari kata kamu atau kata klitik yang menunjukkan kepunyaan atau kepemilikan.

Kalimat pernyataan Seperti kain dengan kapas dibangun dari kata-kata: seperti, kain, dengan, dan kapas. Kata seperti sebagai alat perbandingan sama pengertiannya dengan kata: sebagai, semisal, seumpama, dan seibarat. Kata kain berarti barang yang ditenun dari bahan kapas, dan kata kapas berati serat berbulu putih yang dapat dipintal menjadi benang atau kain. Kata dengan, seperti diterangkan di muka, berarti lagi pula, serta, dan sekalian, atau bersamaan. Kalimat perumpamaan: “Seperti kain dengan kapas” membayangkan hubungan antara kain dan kapas sangat melekat atau menyatu.

Aku kapas dalam kainmu merupakan pernyataan tokoh aku (manusia) yang secara metaforis membayangkan hubungan antara aku (manusia) dengan Tuhan yang diibaratkan sebagai hubungan antara kapas dalam kain yang melekat atau menyatu. Persatuan dari dua unsur yang telah menjadi satu itu tampaknya sulit untuk dipisahkan karena antarunsur sudah melebur menjadi satu kesatuan yang bersifat tunggal, utuh, dan terpadu.

Seperti angin dan arahnya merupakan perumpamaan secara langsung antara angin dengan arahnya. Kata angin berarti udara yang bergerak atau hawa dari suatu cuaca. Kata arah berarti jurusan, tujuan atau maksud yang dituju. Kalimat itu membayangkan adanya angin yang digerakkan menuju pada suatu titik atau sasaran tertentu. Dalam bait ini terjadi perulangan kalimat "kita begitu dekat" yang berfungsi sebagai penegas maksud, yaitu kedekatan manusia dengan Tuhan.

Kesan heterogenitas dan keterpecahan makna dalam pembacaan heuristik dalam sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" tersebut semakin kuat terlihat pada bait terakhir. Dalam gelap berarti berada di suatu tempat yang tidak ada cahayanya atau kelam. Frasa "dalam gelap" tersebut membayangkan seseorang yang berada di suatu tempat kelam, entah di mana dan kapan, yang tidak ada cahayanya. Tiba-tiba muncul kalimat "Kini aku nyala/ Pada lampu padammu" yang tidak diketahui hubungannya dengan frasa “dalam gelap”. Kata kini berarti waktu sekarang ini. Kata nyala berarti api yang hidup, berkobar-kobar, yang bercahaya dan panas. Kata pada berarti kepada, tertuju, atau terpusat. Sedangkan kata lampu berarti alat penerang, entah yang berasal dari neon listrik, entah petromak, entah lilin yang terbakar, entah obor, atau entah lampu minyak yang lain. Kata padam berarti mati, gelap, tidak ada cahaya.

Kalimat: “Kini aku nyala pada lampu padammu” terasa ambigu dipahami secara harfiah. Kalimat tersebut dapat menjadi: “Kini/ aku nyala/ pada lampu/ padammu” atau “Kini aku/ nyala pada/ lampu padammu”. Dua cara pemahaman tersebut jelas menimbulkan arti ganda. Ada frasa “kini aku” dan mungkin pula ada frasa “aku nyala” yang keduanya memiliki pengertian berbeda. Kalimat itu jelas membayangkan adanya ketakgramatikalan susunan persyaratan kalimat bahasa Indonesia. Munculnya keterangan keadaan "dalam gelap" dan keterangan waktu "kini" yang secara tiba-tiba muncul menunjukkan adanya ketakgramatikalan. Munculnya keterangan tujuan "pada lampu padammu", siapa yang dituju atau dimaksudkan oleh-mu itu tidak jelas bentuk dan wujudnya, makhluk (manusia--aku, kita) atau Tuhan. Dan mengapa "lampu padammu"? Adakah Tuhan is the dead?



4. Pembacaan Hermeneutik

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari satu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks.


4.1 Hipogram Potensial
Hipogram potensial adalah segala bentuk implikasi dari makna kebahasaan, yaitu yang berupa presuposisi dan makna konotatif yang sudah dianggap umum. Implikasi itu tidak dapat ditemukan dalam kamus, baik kamus ekabahasa maupun kamus dwibahasa, karena implikasi bukan berdasarkan pada arti denotatif kebahasaan. Implikasi itu sebenarnya telah ada pada pikiran penutur bahasa pada umumnya.

"Tuhan, Kita Begitu Dekat" yang menjadi judul dari puisi di atas sebenarnya sudah mengimplikasikan adanya hubungan kedekatan antara Tuhan dengan manusia. Tuhan yang disapa oleh manusia dengan rasa kebersatuannya ditunjukkan dengan kata kita yang berarti aku dengan Engkau. Akunya adalah manusia sedangkan Engkau adalah Tuhan. Selain menujukkan adanya hubungan antara aku dengan Engkau, kata Kita juga menunjukkan adanya persamaan atau kebersatuan antara Aku dengan Engkau. Dalam dunia kebatinan Jawa hubungan, persamaan dan kebersatuan antara aku dengan Engkau, ditunjukkan dengan pandangan filsafat "Manunggaling kawula lan Gusti" (bertunggalnya hamba dengan Tuhan). Kesatuan ini harus dipandang sebagai wujud kesatuan spritual, bukan kesatuan harfiah antarunsur. Karena dalam dunia sufi atau kebatinan hubungan kedekatan antara aku dengan Engkau ditunjukkan dengan adanya paham wujudiyah, peleburan dua (atau lebih) bentuk atau sifat ke dalam satu kesatuan yang utuh (Hamzah Fansuri, Rumi, dan Syamsuddin Al-Sumatrani) atau disebut pula anna al-hak (Al Hallaj).

Kalimat yang menjadi judul sajak itu juga menunjukkan adanya pernyataan atau kesaksiaan manusia atas keberadaannya dengan Tuhan. Sebagai manusia yang sudah memiliki derajat insan kamil, sudah sampai pada tahap makrifat, dapat menyaksikan kehadiran Tuhan yang berada di dekatnya. Kesaksian atas kedekatan hubungan manusia dengan Tuhan merupakan pengalaman spritual seseorang dalam menghayati agamanya secara religius dan imanen. Seperti ungkapan yang sering kita jumpai sehari-hari: "Tuhan beserta kita". Ungkapan kalimat bijak itu berarti: di mana dan kapan pun kita berada di situ juga ada Tuhan. Jadi, ungkapan kalimat bijak itu secara jelas menyadarkan kita bahwa Tuhan selalu menyertai kita di mana dan kapan pun kita berada.

Secara spritual Tuhan dipahami oleh manusia sebagai Alif Lamm Miim (Hanya Tuhan yang mengetahui maksudnya, Al Quran, Surat Al Baqarah ayat 1). Namun, para sufi memahaminya dalam empat hal, yaitu:

1. Dzat, yang bukan berawal dan berakhir, bukan rupa, bukan warna, bukan wujud, bukan materi, keadaan yang tenang, tenteram, kasih, damai, dan bahagia;
2. Sifat, sifat dinamis dari Tuhan yang maha bijakasana, maha berkehendak, maha berkuasa, maha adil, maha pengasih, dan maha penyayang;
3. Asma, nama Tuhan yang baik-baik, seperti Allah Ta'ala, Yehuah, Deo, dan God; dan
4. Afngal, pakartining karsa, terbabarnya kehendak, hadirnya nasib dan takdir baik dan buruk.


Walaupun dzat, sifat, asma, dan afngal dapat dibedakan menurut pengertiannya, tetapi keempatnya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Utomo, 1997:39). Dzat meliputi sifat, sifat menyertai asma, dan asma menandai afngal. Pemahaman tentang Tuhan yang demikian itu oleh manusia menjadi hidup yang dinamis.

Kalimat: "Tuhan, kita begitu dekat" tersebut diulang kembali pada bait pertama, kedua, dan ketiga yang mengimplikasikan betapa pentingnya pewartaan ada hubungan kedekatan antara aku dengan Engkau itu. Selain untuk menjelaskan betapa penting hubungan antara aku dengan Engkau tersebut dilanggengkan (diabadikan) juga oleh sebuah penegasan kembali bahwa kedekatan hubungan antara aku dengan Engkau sebagai paham bertunggalnya kehidupan manusia dengan Tuhan. Dalam filsafat Jawa diungkapkan: Urip iku siji, asale saka Gusti Allah, baline marang Allah. Asale saka Urip, baline marang Urip (Hidup itu satu, asalnya dari Tuhan dan kembalinya kepada Tuhan. Asalnya dari Hidup dan kembalinya kepada Hidup). Tuhan dalam filsafat Jawa ini diartikan sebagai Hidup Abadi (Urip Langgeng), tempat asal dan kembalinya hidup (sangkan paraning dumadi).

"Sebagai api dengan panas" mengimplikasikan hubungan antara api dengan panas yang sulit untuk dipisahkan, menyatu atau saling melekat. Demikian pula kalimat "Aku panas dalam apimu" mengimplikasikan hubungan kedekatan antara unsur benda api yang dibandingkan dengan unsur benda panas, dan antara aku dengan -mu (Tuhan). Hubungan yang melekat dan menyatu antara api dengan panas sebagai metafora hubungan kedekataan antara Aku dengan Engkau (manusia dengan Tuhan). Hubungan kedekatan itu dapat dijelaskan dengan mengajukan pertanyaan: Bagaimana ada panas tanpa api? Jawabnya: Api dapat ada tanpa adanya panas, tetapi panas ada karena adanya api. Api merupakan unsur alam kedua setelah suasana, air, dan tanah. Di sini api merupakan unsur yang dominan dari unsur panas. Hal itu dikarenakan oleh keberadaan panas yang merupakan bagian dan sangat bergantung dari keberadaan api. Dengan metafora "Sebagai api dengan panas/Aku panas dalam apimu" dapat dipahami bahwa manusia merupakan bagian dari Tuhan, dan keberadaan manusia sangat bergantung pada keberadaan Tuhan. Dengan demikian keberadaan Tuhan itu sendiri tanpa bergantung pada keberadaan manusia. Tuhan merupakan causa prima (penyebab pertama dan utama) keberadaan manusia. Tuhan terlebih dahulu ada sebelum diciptakannya manusia.

Demikian juga kalimat yang menyatakan "Seperti kain dengan kapas/Aku kapas dalam kainmu" dan "Seperti angin dan arahnya" juga mengimplikasikan kedekatan hubungan antara satu benda dengan benda lainnya yang menyatu dan sulit untuk dipisahkan. Kalimat-kalimat di atas sebagai metafora hubungan antara manusia dengan Tuhan yang menyatu (bertunggal) dan sulit untuk dipisahkan. Metafora di atas menunjukkan adanya paham kesatuan wujud (kebertunggalan). Keterjalinan hubungan antara manusia dengan Tuhan diibaratkan seperti hubungan antara api dengan panas, kain dengan kapas, dan angin dan arahnya.

Untuk menjelaskan paham kesatuan wujud hubungan antara aku dengan Engkau yang dimetaforakan "Seperti kain dengan kapas/ Aku kapas dalam kainmu" dapat diajukan pertanyaan: bagaimana kain dapat ada? Kain ada karena ada kapas yang dipintal (ditenun) menjadi kain. Kapas hanya merupakan unsur pembentuk kain. Keberadaan kain sangat bergantung pada keberadaan kapas yang dipintal menjadi kain. Kapas yang tidak dipintal tidak akan menjadi kain. Jika kapas diartikan sebagai metafora manusia, kain metafora kehidupan, dan Tuhan pemilik kehidupan. Jadi, metafora di atas diartikan bahwa manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan milik Tuhan, sebab tubuh atau badan manusia sebagai kendaraan Tuhan.

Sementara itu, metafora di atas juga secara nyata menunjukkan jalan bagi manusia apabila manusia ingin meleburkan diri ke dalam unsur ketuhanan. Manusia harus dapat menghilangkan sifat-sifat yang melekat pada diri manusia sebagai syarat finalnya. Hal ini dianalogikan dari kapas yang melebur menjadi kain. Jika kapas ingin melebur menjadi kain, harus dihilangkan sifat kekapasannya. Sifat kekapasan menunjukkan sifat lahir manusia (badan wadag, jasmani), sedangkan kain menunjukkan sifat kerohaniahan manusia (jasmani halus, phisikis). Kain dan kapas juga sebagai simbol, sampai meninggal pun manusia tidak dapat meninggalkan kain (kafan) dan kapas sebagai pembungkus jenazah. Dalam pemahaman spritual ini kain dan kapas merupakan simbol kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan.

"Seperti angin dan arahnya" mengimplikasikan hubungan dua unsur yang sulit untuk dipisahkan pula. Angin (dalam spritual Jawa dipahami sebagai wadag suasana atau bayu) merupakan unsur alam pertama selain api, air, dan tanah. Angin dan arah memang tidak dapat dipisahkan. Keberadaan angin karena digerakkan menuju ke suatu arah tertentu. Arah selalu mengikuti angin bergerak. Ke mana pun angin bertiup, ke situlah arah mengikutinya. Jawatan metereologi dan geofisika setiap hari memantau arah dan angin bertiup sebagai ramalan cuaca.

Metafora di atas menjelaskan bahwa manusia dapat hidup karena digerakkan oleh dinamika hidup yang menuju (mengarah) kepada sumber hidup sejati. Di muka telah diterangkan bahwa Tuhan adalah hidup abadi, yang berarti pula menjadi dinamika hidup sejati, sumber hidup, yang menghidupi segenap makhluk, dan arah yang menjadi tujuan hidup manusia kembali kepada pemilik kehidupan. Dengan metafora ini secara jelas diterangkan bahwa Tuhan sebagai pemiliki, penggerak, yang menghidupi semua kehidupan, dan sumber hidup itu merupakan arah yang harus dituju manusia sesuai dengan petunjuk (arahan) Tuhan. Sesuai dengan firman Tuhan dalam Al Quran Surat Al Fatihah: Ihdinash shiraathal mustaqiim (Tunjukkanlah kami ke arah jalan yang benar) menjadi pedoman hidup manusia kembali kepada Tuhan.

"Dalam gelap" mengimplikasikan suatu keadaan di mana manusia berada dalam situasi yang gelap, yang tidak ada cahayanya. Sebagai simbol, "dalam gelap", berarti: berada pada tataran atau level primitif. Artinya, manusia belum dapat menemukan jalan kebenaran sesuai dengan petunjuk (arahan) dari Tuhan. Atau dapat juga diartikan bahwa manusia belum memiliki kesadaran atas keberadaan Tuhan. "Kini aku nyala/Pada lampu padammu" mengimplikasikan setelah kehadiran nabi atau rasul sebagai Utusan Tuhan yang membawa agama wahyu, manusia telah menemukan pencerahan atau sinar terang menuju jalan kebenaran yang sesuai dengan petunjuk dari Tuhan. Agama wahyu yang dibawa oleh nabi atau rasul Tuhan itu mampu menyalakan rasa (yang dimiliki manusia) keimanan manusia terhadap Tuhan. Di sini berarti manusia telah menemukan kesadaran atas keberadaan Tuhan sehingga "Kini aku nyala/ pada lampu padammu" lebih berarti dan bermakna penemuan kembali iman manusia yang telah lama hilang.

Keadaan gelap dan terang tersebut dapat diumpamakan sebuah lampu senter. Cahaya dari lampu senter memancar ke satu jurusan, yakni ke arah jalan kembali kepada Tuhan. Di belakang lampu senter tersebut keadaan gelapnya, dan di samping kiri kanan lampu senter itu setengah gelap. Cahaya lampu senter merupakan simbol keimanan dan kesadaran manusia atas keberadaan Tuhan setelah mendapatkan pencerahan dari Nabi dan Rasul. Di belakang dan kiri kanan lampu senter itu mirip dengan keadaan manusia dalam gelap atau tidak memiliki kesadaran atas keberadaan Tuhan yang senantiasa berada di dekatnya.
Pernyataan-pernyataan dalam puisi "Tuhan, Kita Begitu Dekat" tersebut terdapat beberapa oposisi, yaitu oposisi antara "Tuhan" (Kau, -Mu) dengan "manusia" (aku) atau "Khalik" dan "makhluk". Oposisi tersebut dimetaforakan dengan beberapa oposisi pula, yaitu oposisi antara api dengan panas, kain dengan kapas, angin dengan arahnya, dan gelap dengan lampu, serta nyala dengan padam. Hubungan antara Aku (manusia) dengan panas, kapas, angin, gelap, dan padam terbangun atas pertalian atau ekuivalensi metaforis (kesebandingan). Hubungan antara Tuhan (Kau, -Mu) dengan api, kain, arah, lampu, dan nyala terbangun atas pertalian atau ekuivalensi metaforis (kesebandingan). Sedangakn hubungan antara api dan panas, kapas dan kain, angin dan arah, gelap dan lampu, dan nyala dan padam terbangun atas pertalian atau ekuivalensi metonimi (keterkaitan). Antara Tuhan dan Aku dipisahkan oleh sebuah jarak dan dihubungkan oleh "nyala" atau "cahaya". "Nyala" atau "cahaya" tersebut berupa rasa iman atau kerinduan pertemuan antara Aku dan Tuhan.
Bentuk oposisi dalam sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" karya Abdul Hadi W.M. tersebut di atas dapat disederhanakan sebagai berikut.



Tuhan >< manusia Kau/-Mu >< aku (Engkau) >< (aku) Khalik >< makhluk kain >< kapas api >< panas arah >< angin lampu >< gelap nyala >< padam



Oposisi tersebut mampu menjelaskan di mana kedudukan, peran, dan fungsi manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Manusia hanya berkedudukan sebagai makhluk yang berperan sebagai individu, seperti unsur kapas, panas, dan angin dalam situasi gelap karena padamnya lampu. Kedudukan Tuhan jelas sebagai khalik, Sang Pencipta Alam Semesta, yang berfungsi sebagai kain penyatu, api pencerahan, petunjuk arah jalan kebenaran dan kebajikan, lampu penerang kegelapan, dan nyala iman manusia yang telah lama padam. Dengan melihat kedudukan dan peran atau fungsi masing-masing itu hendaknya manusia mampu menempatkan dirinya di tengah-tengah semesta alam. Oleh sebab itu, Jalal Ad-din Rumi mengatakan bahwa manusia bukan hanya mikrokosmos melainkan juga makrokosmos (Kartanegara, 1986: 57). Sekalipun manusia itu kelihatannya muncul sebagai makhluk ciptaan Tuhan, namun sesungguhnya Tuhan itu mencipta demi kepentingan hidup manusia. Hubungan timbal-balik seperti itulah sebenarnya yang membangun hubungan kedekatan antara manusia dengan Tuhan. Dengan jalan seperti itulah dapat kita rasakan betapa dekatnya hubungan kita dengan Sang Maha Pencipta Alam Semesta, karena kita bagian dari alam dan alam merupakan bagian tak terpisahkan dari manusia.


4.2 Model, Matriks, dan Hipogram Aktual
Papaparan hipogram-hipogram potensial pada tahap pembacaan hermeneutik di atas telah berhasil mendapatkan kesatuan dunia imajiner sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat". Dalam sajak itu terbangun adanya citra kerinduan manusia terhadap Sang Khalik atau Tuhan. Seperti halnya manusia pengembara yang telah lama meninggalkan kampung halamannya. Pada suatu saat manusia pengembara itu rindu terhadap kampung halamannya, asal-mulanya dahulu. Demikian juga manusia, hidup di dunia ini merupakan pengembaraan setelah terusir dari kampung halamannya (surga, firdaus), seperti yang tersirat pada kisah Adam dan Hawa yang terusir dari surga (Hadi, 1999:193). Ia rindu pada surga yang menjanjikan suasana bahagia, tenang, damai, dan diliputi penuh kasih sayang. Kerinduan itu oleh Abdul Hadi W.M. diwujudkan dengan beberapa metafora yang menunjukkan kedekatan hubungan antara api dengan panas, kain dengan kapas, angin dengan arah, gelap dengan lampu, dan nyala dengan padam. "Nyala lampu" berfungsi sebagai simbol "pencerahan" wilayah "gelap". Secara signifikan "nyala lampu" merupakan personifikasi bernyalanya rasa keimanan manusia kepada Tuhan. Hubungan kedekatan antara manusia (aku) dengan Tuhan dapat terjalin erat yang didasarkan pada dimensi keimanan manusia kepada Tuhan. Hanya rasa keimananlah yang mampu mendekatkan hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Bangunan imajiner sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" karya Abdul Hadi W.M. itu tentu belumlah sepenuhnya utuh sebagai satuan makna yang menjadi pusatnya. Hal ini disebabkan belum ditemukannya model dan matriksnya. Model merupakan aktualisasi pertama dari matriks. Aktualisasi pertama dari matriks ini berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi tersebut. Eksistensi kata itu dikatakan puitis bila tanda itu bersifat hipogramatik dan karenanya monumental. Artinya, kata atau kalimat itu mengandung pancaran makna kata yang bersifat membias ke mana-mana.
Ada dua tanda yang tampaknya monumental dalam sajak "Tuhan, kita begitu dekat", yaitu (1) judul sajak itu sendiri, "Tuhan, Kita Begitu Dekat", dan (2) kalimat terakhir dalam sajak itu, "Dalam gelap kini aku nyala pada lampu padammu". Kedua kalimat itu agak sulit dibedakan kekuatan puitisnya. Kedua-duanya bersandar pada dua wacana yang sama-sama kuatnya seperti dua sisi mata uang. Yang pertama bertolak dari wacana religius Islami ketauhidan, sufisme dan keagamaan ihwal pewartaan hubungan kedekatan antara manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu, kalimat tersebut digunakan sebagai judul sajak yang memiliki nilai puitis yang bersifat hipogramatik dan monumental. "Tuhan, Kita Begitu Dekat" adalah aktualisasi pertama dari matriks. Perulangan sebanyak tiga kali pada bait pertama, kedua, dan ketiga, secara tegas dan jelas menunjukkan betapa penting dan puitisnya kalimat tersebut.
Selain hal di atas, model pertama kalimat puitis "Tuhan, Kita Begitu Dekat" menunjukkan hubungan kedekatan yang terasa intim antara manusia dengan Tuhan. Dari kalimat tersebut kemudian melahirkan kalimat-kalimat puitis yang lain, seperti "Sebagai api dengan panas/ Aku panas dalam apimu", "Seperti kain dengan kapas/ Aku kapas dalam kainmu", "Seperti angin dan arahnya/ Kita begitu dekat". Kalimat "Tuhan, Kita Begitu Dekat" menjadi muara atau tumpuan dari kalimat-kalimat puitis yang lainnya. Kalimat "Tuhan, Kita Begitu Dekat" juga mampu menggaungkan kembali wacana-wacana puitis yang telah terbangun sebelumnya. Untuk membuktikan hal ini maka akan ditelusuri pada kajian hipogram aktual.
Model kedua berangkat dari wacana religius modern yang mengabarkan keimanan manusia yang menyala dengan terangnya setelah mendapatkan pencerahan atas petunjuk Tuhan melalui para nabi dan rasul. "Dalam gelap kini aku nyala pada lampu padammu" menyiratkan urutan perjalanan spritual manusia dari gelap menuju kepada terang. Gelap dan terang ini mengingatkan kita pada sajak Chairil Anwar "Lagu Siul I & II" yang sering dikutip sebagai sajak yang bernuansakan sufistik (Hadi, 1999:143--148). Mari kita perhatikan sajak Chairil Anwar yang telah menjadi obsesi Abdul Hadi berikut.



LAGU SIUL



I

Laron pada mati
Terbakar pada sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal dicerlang caya matamu
Heran! Ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di apimu
'Ku kayak tidak tahu saja.


II

Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan bahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.


Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.


Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena Kau tidak akan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.



28 November 1945



Abdul Hadi W.M. benar-benar terobsesi secara kreatif oleh sajak Cahiril Anwar "Lagu Siul" sejak duduk di bangku SMP (Hadi, 1999:143), yakni jauh hari sebelum diciptakannya sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" tersebut. Dari hasil pembacaan sajak Chairil Anwar itulah sehingga muncul kalimat: "Dalam gelap kini aku nyala pada lampu padammu". Unsur-unsur yang terlihat jelas dari sajak Chairil dalam sajak Abdul Hadi itu adalah: (1) dari api tetap menjadi api, (2) dari sumbu lampu menjadi lampu, (3) dari padami yang diterjemahkan menjadi padammu, (4) dari unggunan api yang oleh Abdul Hadi diterjemahkan menjadi nyala, dan (5) dari laron pada mati terbakar, ajal cerlang, habis hangus, dan terpanggang tinggal rangka diterjemahkan menjadi dalam gelap. Meskipun tokoh Ahasveros dan Eros itu simbol religius agama Yahudi, bersumber pada Bibel, Kitab Ester, Abdul Hadi tidak mempersoalkan hal itu. Ia hanya mengangkat hakikat gelap dan terang serta nyala lampu pada sajak tersebut ke dalam pemahaman religius sajaknya. Dengan demitefikasinya itu Abdul Hadi mampu membuat sajak "Tuhan, kita begitu dekat" tersebut utuh terpahami sebagai dunia otonom, teks yang berdiri sendiri tanpa dikaitkan dengan tokoh mitologi agama Yahudi.

Matriks yang menjadi "roh" dari puisi sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" adalah pencerahan keimanan manusia kepada Tuhan. Semangat pencerahan keimanan manusia kepada Tuhan itu terbangun dari ungkapan kalimat "Sebagai api dengan panas/ Aku panas dalam apimu" yang ekuivalensi maknanya dengan kalimat "Dalam gelap/ Kini aku nyala/ Pada lampu padammu". Api, panas, lampu, dan nyala merupakan simbol penerangan dan sekaligus pembebasan jiwa yang terbelenggu oleh kegelapan. Hubungan kedekatan antara manusia dengan Tuhan yang dimetaforakan dengan api, panas, lampu, dan nyala adalah semangat pencerahan keimanan sekaligus pembebasan jiwa yang terbelenggu oleh kegelapan dunia yang fana. Hanya dengan pencerahan keimanan dan pembebasan jiwa yang terbelenggu kegelapan itulah yang mampu mendekatkan hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Hipogram aktual yang mampu menggaungkan wacana-wacana sebelumnya adalah pewartaan tentang hubungan kedekatan antara manusia dengan Tuhan. Hubungan kedekatan antara manusia dengan Tuhan, "Tuhan, kita begitu dekat", pada masa dahulu telah diwartakan oleh para penyair sufi, seperti Al Hallaj, Ibn Arabi, Faridudin Attar, Jalal Ad-din Rumi, M. Iqbal, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, dan para suluk atau mistikus dari Jawa seperti Sunan Bonang, Syeh Sitti Jenar, Mangukunegoro IV, dan Ronggowarsito. Mereka semua mewartakan kedekatan hubungan manusia dengan Tuhan dalam bingkai paham bertunggalnya hamba dan Tuhan.

Sejumlah pewartaan hubungan kedekatan antara manusia dengan Tuhan dalam Al Quran terungkap dalam Surat 28: 88, "Kullu syai-in haalikun illaa wajhahuu", artinya: Segala-galanya hilang kecuali wajah Allah yang hidup kekal. Juga ada pula hadis nabi yang berbunyi: "Man'arafa nafsuhu faqad'arafa rabbahu", artinya: Barang siapa mengenal dirinya, dialah yang mengenal Tuhannya. Selain itu, juga terdapat sebuah ayat dalam Al Quran yang menyatakan secara tegas hubungan kedekatan antara manusia dan Tuhan, yaitu Surat 50/Qaaf : 16, yang berbunyi: "Nahnu aqrabu ilaihi min hablil wariid", artinya: Kami lebih dekat dengan manusia dari pada pembuluh darah yang ada di urat lehermu.

Kedekatan hubungan antara manusia dan Tuhan juga ditulis oleh Dr. S. Radhakrishnan (terjemahan Iwan Nurdaya Djafar) sebagai berikut. "Kehadiran dari yang bersifat Tuhan telah dipahamkan dalam kata-kata yang berbeda. Kita mengatakan: Itu seni para nabi. Budha berkata bahwa setiap orang memiliki esensi pencahayaan. Jesus berkata bahwa kerajaan Tuhan ada dalam dirimu. Nabi Muhammad bersabda bahwa Tuhan lebih dekat untukmu dari pada urat nadi di lehermu. Terhadap semuanya ini orang menyetujui kehadiran satu elemen ketuhanan dalam diri manusia."

Ungkapan khas para sufi dan para suluk dari Jawa adalah "Kalbu mukmin baitullah" artinya: di dalam hati orang yang beriman terdapat singgasana Tuhan. Hanya di dalam kalbu atau hati orang-orang yang beriman itulah singgasana Tuhan. Sebab hanya orang-orang yang berimanlah yang dapat menemukan Tuhan di dalam hati sanubarinya. Dalam konsep mistikus Jawa tersebut, Tuhan diartikan sebagai Dzat yang inmateriil, tidak berunsur, tidak dapat diraba, tidak dapat dilihat, dan hanya dapat dirasakan oleh kalbu. Cedhak tan sesenggolan adoh tan antara (dekat tidak bersentuhan, jauh tidak ada batasnya). Hanya mata hati yang suci yang mampu melihat kehadiran Dzat Tuhan, yang dalam bahasa sufi disebut al-insan al-kamil. Para sufi itu juga sering menggambarkan "Tuhan, kita begitu dekat" dengan metafora "Seperti bunga dengan harumnya, madu dengan lebahnya, dan sungai dengan alirannya" atau kadang pula dengan simbol laut seperti dalam syair "Laut Mahatinggi" Hamzah Fansuri (Hadi, 1995: 136--144). Salah satu bait dari syair karya Hamzah Fansuri tersebut berbunyi sebagai berikut.


Wujudmu itu jadikan mata
Matamu itu jadikan nyawa
Nyawamu itu lenyapkan sana
Pada laut yang maha bercahaya


(Fansuri dalam Hadi, 1995: 137)

5. Simpulan

Pembacaan sajak "Tuhan Kita Begitu Dekat" karya Abdul Hadi W.M. dengan pendekatan semiotika yang dikembangkan Riffaterre membuahkan sebuah pemahaman makna secara total. Pada tahap pembacaan semiotika pertama (heurestik atau pada level kebahasaan) membuahkan sebuah heterogenitas yang ungramatikal, terkoyak-koyak dan tidak terpadu. Seolah-olah tidak ada kesinambungan antara baris demi baris atau bait demi bait dalam sajak tersebut. Akan tetapi, setelah diadakan pembacaan yang lebih jauh pada pembacaan semiotika tingkat kedua (hermeneutik) diperoleh sebuah makna yang padu tentang pewartaan hubungan kedekatan antara manusia dengan Tuhan yang dipandang dari dimensi estetika kesufian.
Kalimat "Tuhan, kita begitu dekat" dalam sajak tersebut menjadi model pertama matriks yang mampu menggaungkan wacana-wacana yang ada sebelumnya. Dengan matriks pencerahan keimanan manusia kepada Tuhan mampu merekatkan hubungan manusia dengan Tuhan, baik secara imanen maupun secara transendental, dalam wacana estetika religius kesufian.
Sajak "Tuhan, Kita Begitu Dekat" karya Abdul Hadi W.M. tersebut menunjukkan betapa kuat pengaruh dari puisi-puisi sufi, baik citraannya, pemakaian lambang, maupun metaforanya. Dalam sajak Abdul Hadi itu memberi gambaran upaya manusia untuk bertunggal dengan Tuhan, yakni suatu jalan kerohanian menuju kembali kepada Tuhan yang berangkat dari ajaran tauhid Islam. Karya semacam ini mencerminkan perenungan yang dalam dan keluasan berpikir serta wawasan yang jauh tentang semesta raya seisinya. Selain itu, tampak juga adanya upaya penyair mencari kebenaran yang memadukan antara zikir dan pikir secara sunggguh-sungguh dan maksimal. Pesan pembebasan dan pencerahan jiwa yang terbelenggu kegelapan menjadikan sajak itu semacam profetik (kenabian) dan apokaliptik (kewahyuan). Kegembiraan spritual dan kearifan dalam menyikapi kehidupan yang tercermin sajak itu menjadikan hidup senantiasa optimis, tanpa mengenal putus asa karena senantiasa bertakwa dan beriman.



[]

Senin, 14 Maret 2011

"KALALATU", ANTARA BALADA DAN MANTRA

Jika Ajip Rosidi punya “Jante Arkidam” dan Rendra punya “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo” atau “Mencari Bapa”, seorang Arsyad Indradi (Penyair dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan) punya “Bagandang Nyiru”, “Kakek Adul”, “Nama Terpuji”, “Terbang Burung”, “Nini Aluh”, “Harumi Tanah Banyu”, “Nisan Berlumur Darah”, “Dundang Duka Seribu Burung”, dan lain-lain. Balada selalu menarik dibicarakan karena di dalam puisi jenis ini tampil karakter tokoh atau sesuatu yang ditokohkan. Ajip Rosidi menampilkan karakter Jante Arkidam, yang digali dari khasanah budaya Pasundan, Jawa Barat. Rendra menampilkan sosok manusia Jawa dalam sajak-sajak balada yang digubahnya.

Dalam proses kreatif penulisan sajak, atau dalam perkembangan seorang penyair dalam dunia kreatif, hampir dapat dipastikan pernah memilih balada sebagai cara ungkap. Ajip Rosidi meskipun pernah menghasilkan “Jante Arkidam”, tidak dikenal sebagai penyair balada, ia lebih intens menghasilkan sajak-sajak lirik-naratif-imajinatif. Berbeda dengan Ajip, Rendra sangat kuat mengekpresikan ide-idenya melalui puisi berjenis balada.

Di dunia kepenyairan Indonesia, Rendra boleh jadi tergolong penyair yang paling kuat menulis balada, terbukti banyak sajak yang ditulis Rendra, misalnya “Balada Orang Tercinta”, “Balada Sumilah”, “Balada Lelaki Tanah Kapur”, dan lain-lain. Rendra kuat menghasilkan sajak balada, sebab latar belakang penguasaan teater meronai balada-balada yang ditulisnya. Balada memang dekat dengan kemampuan olah teater. Penyair yang juga menguasai teater biasanya berhasil menulis sajak jenis balada ini.

Arsyad Indradi, sebagai penyair yang tumbuh dan besar di daerahnya berhasil menulis sajak-sajak berjenis balada yang dibaurkan dengan mantra dalam bahasa Banjar—dan penyair ini bermukim di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Sajak-sajak bahasa Banjar dan terjemahan dalam bahasa Indonesia dihimpun dalam buku Kalalatu (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, 2006). Buku ini memuat 70 sajak yang ditulis dekade 1990-an hingga 2000-an. Kalimantan dalam peta sastra nusantara tak bisa diremehkan, sebab di pulau ini ada Korrie Layun Rampan, Ajamudin Tifani (almarhum), Hamami Adaby, Micky Hidayat, dan tentu saja Arsyad Indradi.

Balada yang disuguhkan dalam buku Kalalatu ini tentu saja tidak menampilkan pengertian balada secara teoretis, melainkan penyair Arsyad Indradi hanya mengambil dan menampilkan ruh balada dan dipadukannya dengan kekuatan mantra. Dengan kata lain, balada yang diciptakan oleh penyair Banjarbaru ini telah mengalami apa yang disebut eksplorasi intuisi dan imajinasi, serta melakukan sintesis baik pada lapisan bunyi (lapisan lambang-lambang bahasa sastra), lapisan arti (sejumlah makna yang terpendar oleh lambang kebahasaan), maupun lapisan dunia metafisis (dunia pengucapan, tujuan, dan efek yang difungsikan) dan dikawinkan dengan sajak berjenis mantra.

Seterusnya, sebagai hasil kreasi, sajak-sajak balada dan mantra karya Arsyad Indradi menampakkan adanya keaslian (orisinalitas), kejelasan (lantaran pilihan kata yang tepat, penggunaan metafor, dan kesatuan imaji), memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa, foreshadowing, dan penggunaan enjambemen), sugestif (dapat merangsang secara asosiatif dan memberikan daya ajuk), asosiatif, dan menampilkan cerita secara runtut. Marilah kita simak balada yang memiliki kekuatan magis seperti mantra yang digubah oleh Arsyad Indradi.

Dalam sajak “Bagandang Nyiru” (menabuh tampah), tampil tokoh Ainun, Juhri, Kakek Adul, dan Nini Aluh. Ainun digambarkan sebagai teman sepermainan Juhri dan Juhri mewakili tokoh yang bisa dijadikan teladan, “Juhri yang berkaki panjang sebelah/ tapi pintar bagimpar dan bagipang/ di kampung namanya terpuji”. Masyarakat memandang hormat dan bersahabat pada Juhri yang membawa “handayang dan suluh/Riuh bergendang tampah sambil memanggil nama Juhri/”. Ciri khas balada dan mantra tampil melalui repetisi seperti ini: “Sungai semakin mengalir deras Juri pulang/ Juhri pulang/ Juhri pulang/ Juhri merasa semakin juga terbawa arus/... Juhri pulang/ Kau dimana Juhri/ Cepat pulang”. Sosok Kakek Adul dan Nini Aluh ditampilkan sebagai tokoh masyarakat yang mewakili “tuo-tuo tengganai” atau “pemangku adat” yang disegani. Peristiwa tragis yang menimpa Juhri lantaran hanyut di sungai dikemas secara halus, namun tragik. Di sini juga tampak muatan lokal (local colour) yang disajikan secara arif oleh penyairnya.

Tokoh Kakek Adul selanjutnya tampil mendominasi pada sajak berjudul “Kakek Adul”. Siapa Kakek Adul, apa masalahnya, dan bagaimana keberadaannya? Kakek Adul digambarkan sebagai cermin: “Kakek cermin bagi kami”. Hal ini disebabkan bahwa Kakek Adul adalah representasi adat-istiadat, sumber petuah, sumber berbagai ajaran tentang kehidupan. Kita simak: Bila tinggi sekolahnya jangan dilupakan juga/ adatistiadat dan petuah orang bahari/ Hidup ada aturannya tungai/ Jika terlanggar pamali/ Ini dikatakan tahyul/ Permisi lewat di hadapan orang tua/ Pamali duduk di muka pintu waktu hari senja/ Anak beriman ingat dengan waktu/ Pelihara sangkar bumi dan sangkar langit/ kita di dalamnya di bibir tiada lepas dengan thayyibah/ di ruas jari kita jangan tertinggal tasbih/ Bila tidur bantal kita syahadat/ Selimut kita zikir...”. Kakek Adul adalah sosok manusia yang arif, disegani, dan penyayang anak-cucu, dan dijadikan acuan dalam menjalani kehidupan.

Tokoh Nini Aluh, sebagaimana juga tokoh Kakek Adul, merupakan wakil dari sosok orang tua yang nasihat-nasihatnya pantas diteladani lantaran memiliki kesaktian. Sosok Nini Aluh ini secara lengkap dapat kita tangkap melalui penggambaran: “Di banua banyak orang berobat pada nenek/ Jika kena pulasit parang maya atau termakan racun/ Dan beliauu seperti membuangi klimpanan/ Cah jika ular saja tidak mempan mematuk beliau/ dimasukkan beliau dalam tapih”. Kekuatan balada dan mantra, antara lain tampil melalui deskripsi atau narasi dengan eksplorasi intuisi dan imajinasi, serta melakukan sintesis baik pada lapisan bunyi (lapisan lambang-lambang bahasa sastra), lapisan arti (sejumlah makna yang terpendar oleh lambang kebahasaan), maupun lapisan dunia metafisis (dunia pengucapan, tujuan, dan efek yang difungsikan). Kita simak sajak “Nama Terpuji” berikut:

Harum setanggi pudak melati berenteng di gelung dua
Bergelang emas berkalung emas bersusun bertingkattiga
Berwajah cantik berharta banyak apalah artinya
Apalah artinya jika adat budi bahasa
tidak dipakai tidak dijaga
Banyak orang berperilaku banyak menenam nyiur
Padahal handayangnya gugur memperapas

Peribahasa menyatakan “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama”. Manusia mati meninggalkan nama ini dijadikan entry bagi penyair untuk mengekspresikan pemikirannya. Sajak yang mengandung ajaran luhur seperti itu, tampil juga dalam sajak “Sayang Gunung” seperti ini:

Bumi yang dipijak
Langit yang dijunjung
Siapalah lagi yang memelihara
Jika kita juga tidak ikut membangun
Rusaklah binasa
Jauhkan bencana

Sayang gunung
Sampai jauh batas suara burung
Sayang gunung
Sayangi tanah air hutan belukar
....
Seterusnya, sebagai hasil kreasi, sajak-sajak balada dan mantra karya Arsyad Indradi menampakkan adanya keaslian (orisinalitas), kejelasan (lantaran pilihan kata yang tepat, penggunaan metafor, dan kesatuan imaji), memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa, foreshadowing, dan penggunaan enjambemen), sugestif (dapat merangsang secara asosiatif dan memberikan daya ajuk), asosiatif, dan menampilkan cerita secara runtut. Kita simak beberapa penggalan berikut ini.

“Berdeburan angin beruap panas/ Diketinggian gunung hauqalah bau harum/ kembang alo kautsar semerbak/ Kupegangi erat jazim dalam dadaku/ Kuiringi kemana terbang hinggap kupukupu...Jangan sungkan masuklah/ Beradab dengan shalawat/ Nyalai karmanya dengan ma’rifatullah/ Bukai jendelanya dengan nuruttajali” (“Terbang Burung”).

Sementara itu, sajak yang kental nuansa mantranya tampak pada sajak “Darah” seperti ini: Adalah langit darah berdarah/ Tak habishabis jadi laut berabadabad telah/ tak berpus di atasnya rajah perahu Nuhmu/tak singgahsinggah pada dermaga darahku/Hu Allah darahku hanyut dalam darahmu/ kutubku tenggelam dalam kutubmu/ menghemas napas darahku membatubara/ dikunci rahasia Alifmu Alif Alif/ darh Adamku yang terdampar di bumi/yang rapuh berabadabad mencari darah hawaku/ yang rapuh tersesat di belantaramu meraung/ darah laparku mencakarcakar mencari darahku/ beri aku barang setetes Hu Allah/ getar alir napas menyeru darahmu mengalir darah mataku/ mengalir darah musafir di sajadahmu/ mengalir menuju rumahmu.

Kekuaatan magis dengan pola ungkap mantra, seperti pernah dilakukan oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri dengan “O, Amuk, Kapak”-nya, dapat kita rasakan dalam larik-larik sajak “Darah” berikut:

darah hidupku Hu Allah
darah matiku Hu Allah
darah hidupmatiku Hu Allah
darah raungku Hu Allah
darah cakarku Hu Allah
darah laparku Huu Allah
darah hausku Hu Allah
darah ngiluku Hu Allah
darah rinduku Hu Allah
....

semesta bergoncang Hu Allah
arasy pun bergoncang Hu Allah
darahku aujubilah
darahku astafirullah
darahku subhanallah
Allah

Sajak “Darah” yang berdarah-darah ini niscaya memiliki kekuatan magis setara dengan sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Arsyad Indradi dalam sajak “Darah” ini berhasil menggali potensi budaya Melayu dengan tradisi mantranya. Ciri-ciri mantra yang memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa, foreshadowing, dan penggunaan enjambemen), sugestif (dapat merangsang secara asosiatif dan memberikan daya ajuk), dan membius lantaran ketepatan ungkapan dengan kata-kata kongkret. Tak pelak lagi, sajak “Darah” mewakili keberhasilan Arsyad Indradi sebagai penyair yang pantas diperhitungkan. Sekian, salam budaya.

Minggu, 13 Maret 2011

PUISI, SALING MENGINSPIRASI

D. Kemalawati
~ Pemilik Romog Sastra, Aktivis LaPena, Penyair dan Guru Matematika

Sumber inspirasi menulis puisi bisa dari mana saja. Pernyataan itu tentu tak perlu kita bantah. Menonton telivisi yang menayangkan bagaimana dahsyatnya gempa bumi melanda sebuah pulau,bagaimana bangunan bertingkat seolah menari-nari saat gempa berskala tinggi menggoyangnya, akan menjadi inspirasi bagi seorang penulis puisi untuk menuliskan syairnya. Bagaimana banjir bandang menghanyutkan gelondongan kayu dengan airnya kuning dan berat meluncur dengan kekuatan dahsyat, menghantam semua penghalang dan menghancur leburkan seluruh infrasruktur yang ada hingga nyawa manusia direnggutnya. Melihat tubuh manusia yang tergulung, berputar diantara air yang memburu kemudian tergeletak dibalut lumpur, tak bergerak, naluri penyair akan berpendar-pendar mencari kata yang tepat menggumamkan rasa dukanya.

Penyair menyampaikan semua rasa yang bergejolak di jiwanya dengan menyusun kata yang kadang menusuk para pembacanya tepat pada sasarannya. Ada penyair yang berhasil mengumpulkan kekuatan kata-kata sehingga puisinya dimaknai seperti yang dikehendaki. Tetapi tidak sedikit penyair yang mencari cara lain agar puisi-puisinya mengajak pembaca berimajinasi lebih liar dari penulisnya sendiri.

Tak ada patokan yang harus dipatuhi seorang penyair kecuali menjaga rambu-rambu seadanya selebihnya adalah rasa yang ditawarkan kepada pembaca yang kemudian dicecap oleh pikiran perasaan pembaca bahwa puisi yang dihasilkan oleh penyair tersebut mempunyai cita rasa tinggi. Dan seperti juga makanan yang enak di lidah orang yang gemar memasak, dia akan selalu terinspirasi bila memakan makanan dengan cita rasa yang belum pernah dirasa untuk memasak dengan rasa yang sama. Tentu dengan mengetahui bumbu-bumbu apa yang ada dalam racikan makan yang baru pertama dinikmatinya.

Demikian juga penyair. Dalam hal ini, saya ingin berbagi bagaimana sebuah puisi yang saya tulis membalas SMS seorang sahabat hati (meminjam istilah penyair Dimas Arika Mihardja) bapak Arsyad Indradi yang mengabarkan kepada saya tentang kebahagiaannya karna baru saja mendapat anugerah dari Allah SWT seorang cucu laki-laki. Meski bukan cucu pertama, tapi bagi sang kakek yang sastrawan Indonesia yang sangat bergiat dalam dunia maya, lewat blog Penyair Nusantara dan beberapa blog lainnya yang beliau kelola, hal ini adalah kebahagiaan yang tak cukup kata untuk melukisnya. Dan saya membalas SMS beliau dengan puisi singkat yang saya beri judul Menimang Cucu.

SMS yang terkirim itu masih saya simpan, dan saya yakin bapak Arsyad Indradi pun masih menyimpannya. Berikut saya turunkan di sini SMS tersebut.

MENIMANG CUCU
Kepada Arsyad Indradi
D Kemalawati

Setelah takbir kau perdengarkan
geliatnya kelihatan nyata
sembari mengucap syukur
kau raba detak jantungmu
menyamakan dengan denyut nadinya
sungguh waktu memberimu debar itu
sebagai jelmaan diri
kau simak tangis pertamanya
sebagai puisi berima muda
mendaratlah kasih dalam kecupan
entah telah berapa lama
kau simpan wanginya
sebelum ia dalam pelukan.


Banda Aceh, 10 Maret 2011

Setelah puisi itu terkirim ke bapak Arsyad, dan beliau membalas: “Trimakasih mba De bingkisan puisinya. Cucu pertama kedua orangtuanya teriak kaget campur kagum karena kukasih tongkat dan mahkota dewa di fotonya dan daku jadikan foto profilku di FB. Oya mba De kita berempat baca puisi di gunung wayang, nanti daku pasangkan di blog mba De.”

Demikian SMS balasan bapak Arsyad. Ya, rumoh sastra dkeumalawati tampil jauh lebih indah setelah campur tangan bapak Arsyad Indradi. Puisi- puisi yang ada di bawah rumah wayang adalah puisi SMS yang diabadikan bapak Arsyad sehingga ikatan kekerabatan dengan foto kami (Arsyad Indradi, Diah Hadaning, De kemalawati dan Dimas Arika Mihardja) tampil lebih simetris dan menarik.

Apa yang saya tuliskan sebagai prolog ini sebenarnya adalah suatu pembuka perbincangan yang biasanya kami lakukan di ruang diskusi Rabu sore di lembaga kami, Lapena. Karena berbagai kesibukan ruang diskusi rabu sore itu sudah vakum dalam waktu yang lama. Dan sebagai pelepas rasa kangen saya dengan teman-teman peserta diskusi yang biasa hadir nyata di lapena, maka lewat lembaran catatan ini saya berbagi dengan teman teman bagaimana puisi itu sebenarnya saling mengispirasikan bagi sesama penyair.

Puisi Menimang Cucu yang saya kirimkan spontan ke bapak Arsyad Indradi seperti yang saya tuliskan di atas, kemudian saya baca ulang lalu saya edit beberapa bagian sehingga saya yakin untuk menetap di Rumoh Sastra D Keumalawati dan Romoh Puisi Kemala. Setelah muncul di halaman depan blog, saya pikir tak salah kalau saya juga berbagi di FB. Dan ternyata setelah saya terbitkan dengan menandai beberapa teman yang bagi saya meski pun ruangnya berbeda, mereka tak lain adalah teman berbincang di diskusi Rabu sore Lapena, komentar teman-teman disana tak hanya komentar biasa tetapi juga puisi-puisi yang dilahirkan spontan oleh teman-teman penyair seperti yang saya kutip berikut ini. Saya mulai dengan puisi saya.

MENIMANG CUCU
Kepada Arsyad Indradi
D Kemalawati

Setelah takbir kau perdengarkan
geliatnya kelihatan nyata
sembari mengucap syukur
kau raba detak jantungmu
menyamakan dengan denyut nadinya
kau simak tangis pertamanya
sebagai puisi berima muda
mendaratlah kasih dalam kecupan
entah telah berapa lama menghidu wanginya
sebelum kau timang dia


Banda Aceh, 10 Maret 2010

Komen pertama yang menuliskan puisinya untuk Bapak Arsyad datang dari Dimas Arika Mihardja.

MENIMANG CINTA, MEMINANG KASIH
~ bait-bait buat abah arsyad indradi


Dimas Arika Mihardja

seusai kautancapkan gunungan lengkap dengan wajah ceria
angin lalu bercerita tentang desah kasih, ciuman putih
ingin jemari ini tak letih menguntai ruas doa buat abah
untuk pewaris riwayat cinta berbusana kasih

Puisi itu dituliskan beberapa saat setelah puisi saya Menimang Cucu itu saya berhasil diterbitkan di FB. Dan komentar kedua yang menuliskan puisinya juga untuk bapak Arsyad dengan nada yang sama muncul dari Yssika Susastra. Berikut ini aslinya.

DALAM BAYANG IMPIAN
Yessika Susastra


engkaukah cucuku? darah daging yang kuderaskan pada denyut
jantung yang bernama kekasih? ah, senyummu sepertinya aku hafal
sejak nenekmu dulu mencium punggung tangan saat ikrar
sebelum persandingan

engkaukah? ah, alangkah cantik mungil bibirmu
apakah yang kaubisikkan? abah?o, aku kakekmu
yang lucu, hayo tersenyumlah

duh, basah deh sarung kakek terkena pipismu
tapi enggak apa, pipislah lagi
basuh dada kakek dengan kehangatan
engkaulah? ah, kakek bahagia

Puisi itu juga tak berselang lama muncul di layar sama setelah beberapa komentar lainnya. Puisi berikutnya ditulis oleh penyair Moh Gufron Cholid yang di bawahnya dituliskan tanggal penulisannya yaitu 11 Maret, satu hari setelah puisi Menimang Cucu saya publikasikan.

ADA SURGA DALAM KECUPMU
: Arsyad Indradi

Moh Gufron Cholid

Ada surga dalam kecupmu
Saat kau timang cucu
Dalam debar rindu

Ada surga dalam kecupmu
Kebahagian menjadi tugu
Dunia pun cemburu
Sebab karunia tak henti memburu
Ramai sunyi hidupmu

Kamar Hati, 11 Maret 2011

Terinspirasi dengan puisi Menimang Cucu, seorang teman guru yang handal dalam menulis cerpen dan pernah beberapa kali memenangkan Sayembara Menulis Cerpen Guru (LMCP) yang diadakan Diknas Herni fauziah, kini bermukim di Medan, Sumatra Utara juga menulis puisi dengan judul yang sama Menimang Cucu. Sambil tertawa-tawa di telpon Herni yang akrab kupanggil Tata itu mengatakan kalau dia terinspirasi dengan puisi saya dan sengaja memakai judul itu sebagai tandingan. Berikut puisi yang diterbitkan di note-nya Herni Fauziah.

MENIMANG CUCU
Herni Fauziah

Seorang perempuan renta
melantunkan senandung buaian
tak berirama

Ceracau-ceracau
bagai suara mantera di antara wangi dupa
Seorang bocah
bertelanjang dada
meringkuk
merengkuh tubuhnya berselimut kain kumal, pudar warnanya

Gigil-gigil sisa tangisan tadi malam
masih lekat di gurat-gurat wajahnya
senandung buaian masih terdengar
mengisahkan cerita yang tertunda


Ayah tiada
Bunda di Saudi Arabia
bersandar di bahu yang renta
rapuh pula
dengan buaian kehilangan irama
senandung terus terdengar
entah sampai ke lembaran berapa
mereka tak berani menerka


Medan, 11 Maret 2011

Dengan tidak bermaksud mengatakan siapa menginspirasi siapa, dan juga tidak bermaksud memberikan suatu kesimpulan yang mutlak, dari apa yang saya dapatkan dalam menulis catatan di FB berupa puisi yang sangat sederhana telah lahir beberapa puisi yang sangat menginspirasi dan layak untuk dibincangkan. Tentu bagi mereka yang menulis di komentar puisi saya masih terbuka peluang untuk mereka mengubahnya dan menuliskan kembali di catatan mereka. Demikian, salam sastra De Kemalawati



Banda Aceh, 13 Maret 2011

Rabu, 09 Maret 2011

MANIFESTO: PROSES KREATIF PENCIPTAAN PUISI

SAJAK ATAU PUISI ialah gelegak riak jiwa, kesan-kesan perseptual, rekaman rangsang puitik yang tumbuh memutik di antara kelopak bunga kata. Sajak selalu bergerak serupa riak menjadi ombak lalu bergulung serupa gelombang rasa dengan irama nada sebagai hasil olah pikir, dzikir, dan menafsirkan hidup dan kehidupan. Sajak yang kutulis kadang serupa kaca jerning begitu bening hingga kita dengan mudah bercermin melihat aneka bayang wajah sendiri, orang lain, semesta, dan bisa jadi wajah Tuhan yang secara mimesis tampil dalam aneka rupa. Sajak serupa ini kunamakan sebagai sajak "Sederhana untukmu": kutulis sebuah sajak sederhana untukmu dan untuk-Mu. Sebuah sajak mengelopak di dada, kupersembahkan untukmu dan untuk-Mu. Inilah sajakku, suara sukma yang terpadu melagukan nama-nama mesra menyentuh kalbu".

Sebuah sajak, dalam konteks tertentu serupa dengan hidangan yang siap untuk disantap:"Santaplah sajakku. Anggurnya mewangi. Santaplah buah yang terhidang penuh dengan kecintaan, sebab di sana ada desah sederhana untuk keselamatan perhelatan". Penggubah sajak, dalam kaitan ini serupa koki yang meracik hidangan buat persembahan. Sajak yang hakikatnya sebuah masakan itu lalu terhidang untuk keselamatan perhelatan. Ya, perhelatan,sebab hiup ini senyatanya merupakan serangkaian ritual peribadatan yang disebut perhelatan. Hidangan berupa sajak yang tersaji memang harus dinikmati dengan kegairahan tersendiri: Santaplah sajakku, anggurnya mewangi. Santaplah buah yang terhidang penuh gairah, sebab di sana ada desah sederhana untukmu. Tugas penggubah sajak telah selesai begitu telah menyajikan puisi di atas meja hidangan.

Selama menekuni karir di bidang penulisan kreatif puisi, saya menemu sebuah konsepsi estetis bahwa puisi itu merupakan saksi yang sexy. Bagi saya, puisi semata-mata berfungsi sebagai saksi. Saksi yang sexy. Sexy? Ya, keseksian menurut pertimbangan nalar saya bukan semata-mata tampil dalam bentuk atau sosok fisikal semata, dan yang terutama ialah keseksian secara batiniah. Nah, "apa pula keseksian yang bersifat batiniah ini?", mungkin Anda bertanya? Baiklah, saya akan berusaha memperkenalkan konsep ini: puisi sebagai saksi yang sexy.

Menurut pertimbangan saya, berdasarkan sedikit pengalaman selama ini, puisi hadir sebagai saksi. Melalui puisi yang diciptakan oleh penyair, siapa pun penyair itu, puisi yang dihadirkannya pertama-tama merupakan pengalaman pribadi, sosial, atau religius terhadap apa yang terjadi di sekeliling yang bersifat kontekstual. Puisi yang hakikatnya merupakan pengalaman yang paling berkesan bagi penyairnya itu, langsung atau tidak langsung memberikan kesaksian atas berbagai fenomena yang secara kontekstual terjadi pada masanya.

Sebagai kesaksian, puisi mengabadikan peristiwa (suasana, fenomena, berita batin, sikap, visi dan misi) yang paling berkesan, yang realisasinya dapat berupa potret hitam putih, gambar beraneka warna, atau lukisan yang terpapar menurut berbagai aliran melalui pilihan kata yang mewakili aneka pencerapan dan perenungan penyairnya. Puisi dengan demikian berfungsi sebagai saksi mata batin penyairnya. Dalam konteks ini, puisi yang sexy ialah puisi yang mampu mengusung spiritualitas, rohaniah, dan batiniah di mata batin penyair dan pembaca puisi.

Selain sebagai saksi puisi ternyata dalam menjalankan fungsinya berpenampilan sexy. Sexy di sini hendaklah diperluas perspektifnya. Keseksian puisi tidak semata-mata tampil melalui tipografi (tata wajah), diksi (pilihan kata) yang diperindah, melangit, di awang-awang, abstrak, dan seterusnya. Puisi tampil sexy bukan semata-mata pada keindahan bahasanya, meskipun keindahan bahasa menjadi ciri pribadi puisi yang sexy, keseksian puisi juga tampil melalui keindahan makna (perenungan, refleksi, nilai, guna, dan manfaatnya). Pemakaian bentuk bahasa yang indah memang sebagai wadah penyampaian makna yang juga indah. Keseksian puisi hadir melalui keindahan bahasa dan keelokan makna bagi kehidupan manusia. Puisi yang sexy, dengan demikian merupakan puisi yang memiliki harmonisasi, intensifikasi, dan korespondensi antara bahasa dan pendaran maknanya.

Puisi yang sexy mempersyaratkan adanya media ekspresi (bahasa) yang indah dan substansi isi (makna) yang juga indah. Keelokan bahasa yang membungkus makna yang bernilai tentu akan mempercantik sosok puisi. Namun, demikian harus buru-buru ditambahkan bahwa fenomena keindahan bahasa dan makna sebagai penanda keseksian puisi ini realisasinya dapat beraneka ragam. Keseksian puisi, sesuai dengan evolusi selera pembaca, terentang antara sosok puisi yang diafan (mudah dipahami) hingga sosok puisi yang prismatis (banyak memendarkan makna seperti prisma). Memang ada sosok puisi yang tergolong hermetis (gelap) yang susah dipahami oleh pembaca. Puisi yang gelap, yang susah dipahami oleh pembaca menurut saya tidaklah termasuk pada puisi yang seksi sebab di sana terdapaat kebuntuan komunikasi. Puisi yang seksi adalah puisi yang "komunikatif" (komunikatif dalam tanda petik).

Puisi hakikatnya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi protes, puisi kamar, atau puisi auditorium semuanya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi demo, yakni puisi yang memuat protes berupa unjuk rasa secara jelas memberikan kesaksian terhadapfenomena zaman. Puisi kamar, yakni puisi yang cocok dibaca seorang diri di dalam kamar, yang biasanya berisi perenungan penyairnya, hakikatnya juga memberikan kesaksian atas berbagai hal baik secara personal, sosial, atau dalam konteks religiusitas penyairnya. Demikian pula puisi yang bersorak auditorium, yakni puisi yang cocok dibacakan di hadapan audiens di auditorium (panggung) juga berisi kesaksian penyair terhadap gejolak zaman.

Demikian, salam budaya.

MERAWAT EKOLOGI SASTRA

Dari dulu hingga kini selalu ada upaya pelahiran sastra. Sastra lahir dari rahim kreator yang karena profesi dan ”panggilan” hati nuraninya selalu termotivasi untuk melahirkan karya-karyanya. Karya sastra bagi sastrawan ibarat anak kandung kehidupan yang dicurahi dan dilandasi rasa kasih sayang. Bedanya dengan jabang bayi lainnya, janin sastra dikandung oleh sastrawan dalam kurun waktu yang tiada terbatas. Ada sastrawan yang mengandung ”janin sastra” selama sebulan, lima bulan, setahun, bahkan bertahun-tahun bergantung ”pendewasaan” dan kesiapan masing-masing sastrawan.

Selama mendewasakan janin sastra, sastrawan tak pernah lelah mengasup gizi yang diperlukan bagi pertumbuhan janin sastra berupa perenungan, pertimbangan, dan ketepatan momentum pelahirannya. Ada sastrawan yang produktif yang banyak melahirkan anak bernama sastra, tetapi tidak sedikit yang tidak produktif bahkan mandul. Dalam gejolak ekonomi, politik, sosial dan budaya seburuk apapun tidak menghalangi pelahiran dan kelahiran sastra. Tidak ada pihak mana pun yang kuasa menghalangi pelahiran dan kelahiran sastra. Sastra bisa lahir di manapun dan dalam kondisi apapun, sebab sejatinya sastrawan selalu bergumul dengan daya kreativitasnya untuk berkarya. Menurut kodratnya, sastra dapat lahir sendiri dengan selamat karena pelahiran sastra itu bersifat personal dan individual. Namun, ada kalanya kelahiran sastra perlu ditolong dan dibantu oleh bidan (baca: penerbit berwibawa), disupport oleh badan (misalnya Pusat Bahasa, lembaga pendidikan, lembaga kesenian, lembaga kebudayaan, dll), dan dirawat oleh seorang Bapak Bijak (baca: pengamat/kritisi).

Masalahnya adalah kehadiran bidan yang siaga (penerbit yang siap melayani), badan (lembaga terkait), dan Bapak Bijak (pengamat/kritisi) yang penuh perasaan cinta untuk merawat dan memelihara sastra semakin langka. Dalam konteks inilah prolog ini bermuara: ”Merawat Ekologi Sastra”. Ekologi sastra terkait dengan lingkungan pelahiran dan tumbuh-kembangnya sastra, yakni kreator, distributor, dan kritisi. Sastra dapat lahir, tumbuh, dan kemudian berkembang sesuai dengan dinamikanya sendiri.

Sastrawan dapat ”berdarah-darah” merawat tumbuh dan berkembangnya sastra. Bisa saja ia menyerahkan hidup dan matinya demi kemajuan sastra. Ia tak mengenal cuaca. Tak mengenal musim. Tak mengenal perubahan panca roba. Sastrawan ialah ibu kandung sastra yang selalu memelihara anak-anaknya dengan penuh perasaan bertanggung jawab, penuh cinta kasih, penuh pengabdian, dan selalu menjunjung kebenaran serta keadilan di atas segala-galanya. Itulah sebabnya kemudian kita bisa memiliki khasanah sastra Indonesia klasik, sastra Indonesia baru, dan sastra Indonesia mutakhir. Sastrawan yang baik selalu mengawal karya yang dilahirkannya hingga tumbuh menembus perjalanan waktu. Tugas utama sastrawan ialah bagaimana ia melahirkan karya sastra yang bernilai literer, best sellers, dan menawarkan sesuatu yang bermakna bagi dirinya sendiri, karyanya, dan terutama demi kebaikan orang lain.

Perkembangan sastra di Provinsi Jambi, misalnya, akan tidak sehat jika berbagai pihak yang terkait dengan ekologi sastra bersikap masa bodoh, menjauh dari entitas bernama sastra, dan tidak peduli ada atau tiadanya sastra. Lantas siapakah yang bertanggung jawab merawat ekologi sastra di Jambi? Pertama dan utama, pihak yang bertanggung jawab atas keselamatan sastra ialah sastrawan. Sastrawan mestilah memiliki tanggung jawab ”moral” dalam berkarya. Sastrawan yang baik selalu berkehendak melahirkan karya sastra yang bernilai, baik lisan maupun tulisan. Pendeknya, sastrawan selalu berusaha melahirkan karya bernilai, baik bernilai bagi karyanya, pembacanya, maupun masa depan sastra. Tugas sastrawan ialah menemukan medium ungkap yang paling tepat bagi karya-karya yang dilahirkannya.

Kedua, pihak yang juga bertanggung jawab menyelamatkan ekologi sastra ialah penerbit, dokumentator, pustakawan, institusi kesenian dan kebudayaan. Pihak ini semuanya turut bertanggung jawab menciptakan ekologi sastra yang sehat. Mereka terkait dan bertanggung jawab langsung atau tidak langsung terhadap nasib sastra. Partisipasi, pengertian, dan pengorbanan berbagai pihak terkait atas nasib sastra kita akan menjadi penyelamat kehidupan sastra di masa-masa yang akan datang. Tentu saja sesuai dengan bidang garapan masing-masing, sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan perasaan ”tanggung jawab” masing-masing.

Pihak ketiga yang turut berkewajiban menjaga ekologi sastra ialah pengamat, kritisi, dan akademisi. Pihak-pihak ini terutama berasal dari kalangan terdidik yang memiliki kesadaran dan kemauan yang baik untuk menjaga, membina, dan mengembangkan kehidupan sastra yang dinamik, demokratis, fleksibel, dan dapat dipertanggung jawabkan menurut metode berfikir ilmiah. Karya sastra yang hadir di provinsi Jambi, termasuk kumpulan cerpen remaja yang diterbitkan oleh Kantor Bahasa Provinsi Jambi, pantas mendapat apresiasi yang selayaknya dari masyarakat pembaca. Masyarakat pembaca memiliki keleluasaan dalam memilih apa yang akan dibaca dan dikaji. Hasil pembacaan dan kajian pembaca atas karya sastra itu pada saatnya turut mengukuhkan keberadaan sastra dan sastrawan bersangkutan.

Antologi Cerpen Remaja ”Hujan di Bulan Juni” yang dilengkapi dengan deskripsi sederhana terkait dengan 20 cerpen nominasi lomba penulisan cerpen remaja tahun 2005-2006 dapat dipandang sebagai satu upaya merawat ekologi sastra. Antologi ini mempertemukan tiga pihak terkait dengan ekologi sastra, yakni kreator cerpen (remaja/pelajar sekolah menengah di Provinsi Jambi), lembaga penerbit (Kantor Bahasa Provinsi Jambi), dan kritisi dari kalangan akademisi. Tahun ini juga terbit sebuah buku kumpulan puisi karya mahasiswa "Kepak Angsa Putih", memuat kaeya mahasiswa penulisan kreatif yang terbit secara Indie dan swadaya mandiri. Buku "Kepak Angsa Putih" ini akan dilaunching tanggal 22 Maret 2011 di Aula Rektorat Universitas Jambi pukul 08.30 sampai selesai. Acara launching buku ini bertepatan dengan acara DIALOG SASTRA DAN TEMU PENYAIR 3 KOTA, yang meluncurkan buku 3 DI HATI yang memuat karya Diah Hadaning (Jakarta), Dimas Arika Mihardja (Jambi), dan D Kemalawati (Aceh).

Taman Budaya Jambi juga merespon dengan mengemas acara LESEHAN SASTRA, yang akan mempertemukan penyair, peminat sastra,dan seniman lainnya untuk bersama-sama menikmati PESTA PUISI, pemapran proses kreatif, dan menggelar wacana perbincangan terkait seni dan budaya sebagai agenda membangun peradaban. LESEHAN SASTRA ini digelar 22 Maret 2011 pukul 20.30 WIB sampai dengan selesai. Sinergisitas antarberbagai pihak ini layak dijaga, dirawat, dan dijadikan acuan dalam membina dan mengembangkan sastra di Provinsi Jambi.

Demikian, salam budaya.